𝗠𝗮𝗻𝘁𝗶𝗾 𝗦𝘂𝗻𝗻𝗶 𝘃𝘀 𝗠𝗮𝗻𝘁𝗶𝗾 𝗪𝗮𝗵𝗮𝗯𝗶
𝗜𝗯𝗻 𝗧𝗮𝗶𝗺𝗶𝘆𝗮𝗵 𝘀𝗮𝗻𝗴𝗮𝘁 𝘁𝗶𝗱𝗮𝗸 𝘀𝘂𝗸𝗮 𝗱𝗲𝗻𝗴𝗮𝗻 𝗶𝗹𝗺𝘂 𝗺𝗮𝗻𝘁𝗶𝗾, 𝗸𝗮𝗿𝗲𝗻𝗮 𝗶𝗹𝗺𝘂 𝗺𝗮𝗻𝘁𝗶𝗾 𝗯𝗲𝗿𝘁𝗲𝗻𝘁𝗮𝗻𝗴𝗮𝗻 𝗱𝗲𝗻𝗴𝗮𝗻 𝗮𝗸𝗶𝗱𝗮𝗵 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗺𝗲𝗿𝗲𝗸𝗮 𝘆𝗮𝗸𝗶𝗻𝗶, 𝘆𝗮𝗶𝘁𝘂 𝘁𝗮𝗷𝘀𝗶𝗺 𝗱𝗮𝗻 𝘀𝗲𝗴𝗮𝗹𝗮 𝗸𝗼𝗻𝘀𝗲𝗸𝘂𝗲𝗻𝘀𝗶𝗻𝘆𝗮. 𝗞𝗮𝗿𝗲𝗻𝗮 𝗶𝘁𝘂, 𝗺𝗲𝗿𝗲𝗸𝗮 𝗺𝗲𝗻𝗴𝗴𝘂𝗻𝗮𝗸𝗮𝗻 𝗱𝗮𝗹𝗶𝗹 𝗹𝗮𝗶𝗻 𝘀𝗲𝗯𝗮𝗴𝗮𝗶 𝗮𝗹𝘁𝗲𝗿𝗻𝗮𝘁𝗶𝗳 𝗺𝗮𝗻𝘁𝗶𝗾, 𝘆𝗮𝗶𝘁𝘂 𝗱𝗮𝗹𝗶𝗹 𝗳𝗶𝘁𝗿𝗮𝗵.
Akan tetapi, Ibn Taimiyah pun kadang-kadang menggunakan ilmu mantiq yang sedikit berbeda dari mantiq pada umumnya. Hal ini diikuti oleh para pengikutnya sejak beberapa tahun yang lalu, baik di Jazirah Arab maupun di Nusantara. Akibatnya, muncul spesies baru dari Taimi, yaitu yang mempelajari ilmu mantiq tetapi pada saat yang sama berusaha merevisi mantiq agar sesuai dengan pandangan tajsim mereka.
Oleh karena itu, muncul mantiq-mantiq yang aneh sebagai hasil dari proses ini, yang mana juga dilakukan oleh Ibn Taimiyah jauh sebelum para pengikutnya melakukannya.
Sebagai contoh, mantiq yang aneh yang dipakai oleh Ibn Taimiyah adalah bagaimana beliau mengkritik Imam Razi dan membela Karromiyah dengan cara seperti ini:
"𝗜𝗺𝗮𝗺 𝗥𝗮𝘇𝗶 salah karena mensifati Allah dengan sifat-sifat ketiadaan, seperti menafikan arah, tempat, dan batas. 𝗝𝗮𝗵𝗺𝗶𝘆𝘆𝗮𝗵 juga salah karena konsekuensi dari madzhab mereka adalah bahwa Allah merasuk pada Makhluqnya.
Akan tetapi, kesalahan Jahmiyah lebih sedikit daripada kesalahan Imam Razi. Adapun Karromiyah mengatakan bahwa Allah adalah jism dan memiliki tempat dan arah, dan kesalahan mereka jauh lebih sedikit daripada keduanya. 𝗠𝗮𝗸𝗮, 𝗸𝗶𝘁𝗮 𝘄𝗮𝗷𝗶𝗯 𝗺𝗲𝗻𝗴𝗶𝗸𝘂𝘁𝗶 𝗮𝗸𝗶𝗱𝗮𝗵 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗸𝗲𝘀𝗮𝗹𝗮𝗵𝗮𝗻𝗻𝘆𝗮 𝗹𝗲𝗯𝗶𝗵 𝘀𝗲𝗱𝗶𝗸𝗶𝘁."
Lihatlah bagaimana Ibn Taimiyah, dengan mantiq barunya, menyatakan bahwa tidak ada masalah mengikuti akidah yang salah asalkan kesalahannya hanya sedikit; pandangan ini tidak ada dalam metode mantiq dan akidah mana pun.
Beberapa hari yang lalu, saya melihat salah satu seminar Wahabi dari Indonesia, yang sudah beberapa kali berkunjung ke Malaysia, mengatakan:
“Jangan kita menafikan akal, karena akal ini selalu dipuji dalam Al-Qur’an. Akan tetapi, yang mesti kita nafikan adalah ar-Ra'yu, karena ra'yu ini dicela oleh Salaf.”
Lihat bagaimana seorang Taimi yang tidak pernah atau sangat jarang belajar ilmu mantiq berusaha menggunakan 𝙦𝙖𝙬𝙖’𝙞𝙙 𝙢𝙖𝙣𝙩𝙞𝙦𝙞𝙮𝙖𝙝, tetapi 𝗮𝗸𝗵𝗶𝗿𝗻𝘆𝗮 𝗷𝗮𝘁𝘂𝗵 𝗽𝗮𝗱𝗮 𝗸𝗲𝘀𝗮𝗹𝗮𝗵𝗮𝗻 𝗳𝗮𝘁𝗮𝗹 𝗸𝗮𝗿𝗲𝗻𝗮 𝘁𝗲𝗿𝗹𝗮𝗹𝘂 𝗳𝗼𝗸𝘂𝘀 𝗽𝗮𝗱𝗮 𝗟𝗮𝗳𝗮𝗱𝘇, 𝗽𝗮𝗱𝗮𝗵𝗮𝗹 𝗶𝗹𝗺𝘂 𝗺𝗮𝗻𝘁𝗶𝗾 𝗮𝗱𝗮𝗹𝗮𝗵 𝗶𝗹𝗺𝘂 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗹𝗲𝗯𝗶𝗵 𝗳𝗼𝗸𝘂𝘀 𝗸𝗲𝗽𝗮𝗱𝗮 𝗠𝗮𝗸𝗻𝗮, 𝗯𝘂𝗸𝗮𝗻 𝗟𝗮𝗳𝗮𝗱𝘇.
Lihat bagaimana ulama Ahlussunah, yang dalam budaya berpikir, belajar, dan talaqqi mereka selalu diawali dengan mempelajari ilmu mantiq sebelum mempelajari ilmu-ilmu lainnya. Sehingga cara berpikir mereka sangat tertata dalam memahami segala perkara.
Mereka tidak terlalu terfokus pada lafadz dari sebuah ungkapan, tetapi lebih fokus kepada makna dari ungkapan tersebut. Karena itu, mantiq diungkapkan dengan berbagai lafadz: kadang disebut Akal, kadang ar-Ra'yu, kadang al-mizan, kadang Madarikun Nadzor, bahkan kadang diungkapkan dengan al-Nur.
Dan mereka tidak alergi dengan lafadz-lafadz ini karena mereka terbiasa dengan istilah
"لا مشاحة في الاصطلاح بعد وضوح المعنى".
Bahkan Al-Imam Ghazali, dalam kitab beliau Al-Qisthas Al-Mustaqim, mengatakan bahwa Al-Qur’an tidak bisa disebut al-Nur kecuali karena di dalamnya terdapat kaidah-kaidah berpikir yang kita kenal sebagai ilmu mantiq.
Wallahu A'lam