BAGIAN III
3. Kebijakan Penggerusan Terkoordinasi:
Kondisi internal yang dihadapi oleh Irak, Bahrain, dan Yaman telah memainkan peran signifikan dalam mempengaruhi stabilitas dan keberlanjutan mereka sebagai negara-bangsa. Namun, intervensi Iran serta penurunan struktur ekonomi dan sosial di beberapa negara tersebut telah menciptakan kondisi yang memungkinkan campur tangan Iran.
Dalam konteks ini, Iran mengembangkan kebijakan yang dapat disebut sebagai kebijakan penggerusan terkoordinasi, yaitu ekspansi ideologis yang diikuti dengan ekspansi militer melalui agen-agen lokal.
Fenomena ini terlihat jelas pertama kali di Lebanon, yang menjadi titik lompatan strategis bagi Iran. Perang saudara pada 1980-an berfungsi sebagai faktor pendorong, dengan hadirnya kekuatan yang siap bertindak, seperti partai-partai yang memiliki kecenderungan pro-Iran, seperti Amal, yang memfasilitasi pembentukan Hizbullah.
Hizbullah kemudian berkembang menjadi agen utama Iran di Lebanon, yang berhasil menguasai dan melemahkan struktur politik serta negara Lebanon.
Di Yaman, kelompok Zaidiyah mulai mendekatkan diri dengan Iran. Iran berhasil mengubah mereka menjadi agen-agen yang membentuk sayap militer Houthi, yang awalnya berawal dari lembaga pendidikan dan kegiatan keagamaan, namun dengan cepat berkembang menjadi organisasi bersenjata.
Irak, yang sebelumnya terhindar dari pengaruh Iran hingga jatuhnya Baghdad pada tahun 2003, menjadi tempat bagi Iran untuk mendukung banyak partai dan organisasi yang dilatih selama dua dekade.
Setelah kejatuhan Baghdad, Iran memanfaatkan posisi tersebut untuk mendorong kelompok tersebut ke dalam panggung politik Irak. Dalam beberapa bulan, milisi ini hampir menghancurkan wajah Arab Irak, atau setidaknya sangat mendekati hal itu.
Namun, ini bukanlah satu-satunya infiltrasi Iran ke dunia Arab. Di Bahrain, Iran juga turut campur tangan dan berusaha menggulingkan negara tersebut dengan bantuan milisi ekstremis.
Iran terus menekankan pentingnya campur tangan di Bahrain, dengan tujuan mengubahnya menjadi wilayah yang rentan terhadap keruntuhan di masa depan.
Dalam penelitian yang dipublikasikan dengan judul "Ekspansi Iran di Dunia Arab: Antara Infiltrasi Politik dan Impian Ekspansi Syiah", penulis Safwat Jibr menyatakan:
"Khomeini berkata saat tiba di Teheran pada Februari 1979: 'Kami akan mengekspor "revolusi" ke seluruh dunia, agar semua orang tahu mengapa kami melakukan revolusi ini. Tujuan kami adalah kemerdekaan, yaitu pembebasan dari belenggu dan ketergantungan pada Timur dan Barat, serta kebebasan. Revolusi kami harus diekspor ke seluruh dunia. Mengekspor revolusi berarti membangunkan setiap bangsa dan pemerintahan."
Inilah yang menjadi dasar ideologi baru Iran menurut Ayatollah Khomeini.
Perubahan dan revolusi Arab telah membantu Iran untuk turut campur dalam urusan beberapa negara Arab, yang tercermin jelas dalam ekspansi Iran di banyak negara Arab.
Semakin meningkatnya sektarianisme dan perang saudara, semakin aktif peran Iran dan Pasukan Pengawal Revolusi (IRGC) di dunia Arab. Pada saat yang sama, lemahnya lembaga dan organisasi Arab memberikan peluang emas bagi Iran untuk menggantikan peran Arab di kawasan tersebut dengan peran Iran.
Iran sangat mahir dalam memainkan permainan "serang dan mundur" dalam politik dengan pihak Arab. Di satu sisi, Iran memperluas pengaruhnya di Yaman, Suriah, dan Irak, serta menghabisi lawan-lawan politiknya.
Di sisi lain, Iran berusaha mendekati dunia Arab dengan pernyataan-pernyataan tentang upaya rekonsiliasi atau perjanjian strategis. Namun, di waktu yang sama, Iran terus mendukung oposisi bersenjata di negara-negara Arab melalui milisi dan proxy yang berada di bawah pengaruhnya.
@Rabbits_Hole