Kisah berikut sangat layak dibaca. Semoga bermanfaat 🙏
==============
"Bu, Saya Ingin Menjadi Syahid di Tepi Barat,"
Mostafa Mousavi duduk di sudut kamarnya. Wajahnya memancarkan kebahagiaan yang sukar disembunyikan, seakan ada kobaran api yang menyala dalam hatinya. Di usia 17 tahun, ia sering dianggap lebih dewasa dari teman-temannya. Namun hari itu, Mostafa bukan sekadar remaja pemikir; ia adalah seseorang yang baru saja membuat keputusan besar dalam hidupnya.
"Kabar baik, Ayah. Proyekku diterima di Kanada!" ucapnya penuh semangat, nyaris melompat dari tempat duduknya.
Sayyid Ainullah Mousavi, ayahnya, hanya bisa tersenyum kecil mengingat momen itu. "Dia seperti anak kecil yang baru saja mendapatkan hadiah impiannya," katanya suatu hari kepada seorang wartawan. Tapi, siapa sangka, di balik kegembiraan itu, ada kenyataan yang mengguncang keluarga mereka.
Mostafa bukan pemuda biasa. Ia berhasil menciptakan drone canggih hasil kerja keras dan pikirannya selama bertahun-tahun. Namun di tanah airnya, Iran, proyek itu hanya mendapat pujian selangit tanpa tindakan nyata. "Maaf, biayanya terlalu besar, kami tidak bisa mendukungnya." Begitulah alasan yang selalu diterimanya.
Namun Mostafa tidak lantas menyerah, ia ingin membuktikan bahwa visinya bisa menjadi kenyataan. Akhirnya Mostafa memutuskan untuk menguji nasib di luar negeri. Hingga akhirnya, pemerintah Kanada menawarkan undangan resmi kepadanya untuk mewujudkan proyeknya itu.
Di mata kedua orang tuanya, ini adalah peluang besar. Tapi bagi Mostafa, tawaran itu seperti ujian moral. Ketika surat undangan itu sampai ditangannya, keluarganya penuh dilema. Ayah dan ibunya hanya bisa menatapnya, mencari tanda-tanda kegembiraan di wajah Mostafa.
Ibunya bertanya, mencoba menyembunyikan kegundahannya, "Jadi, kapan kamu berangkat?" Namun jawaban Mostafa memecah keheningan dengan tegas. "Tidak pernah."
Mereka terkejut. "Kalau tidak mau pergi, kenapa kamu kirim rencanamu ke sana?." "Tidak Ayah. Saya hanya ingin tahu apakah mereka benar-benar jujur," jawab Mostafa. "Saya ingin memastikan bahwa proyek saya memang layak dijalankan, bukan sekadar ditolak dengan alasan biaya, dan ternyata memang layak."
"Saya tidak ingin karya saya digunakan oleh negara lain. Saya ingin ini untuk tanah air saya. Bagaimana jika nanti mereka memaksa saya melakukan sesuatu yang melawan negara saya? Atau bahkan menggunakan drone itu untuk menyerang Iran? Saya tidak bisa mengambil risiko itu."
Kata-katanya membawa keheningan yang mencekam. Dengan suara yang bergetar, Mostafa melanjutkan, "Bu, saya ingin menjadi pilot. Saya ingin menerbangkan pesawat di atas kepala Israel. Saya ingin menjadi syahid di Tepi Barat."
Lagi, kata-kata Mostafa, seperti suara petir di tengah hari yang cerah, mengguncang hati kedua orang tuanya. Namun, keputusannya telah bulat. Kedua orang tuanya terdiam, berusaha memahami kekuatan tekad anaknya yang rela mengorbankan masa depan demi keyakinan.
Mostafa mulai melatih diri menjadi pilot, meski ia tahu rintangan besar ada di depannya. Kelainan kecil pada kakinya membuatnya gagal dalam seleksi penerbangan. Tapi kegagalan itu tidak mematahkan semangatnya. "Jika langit menolak saya, biarkan bumi menjadi medan perjuangan saya," gumamnya.
Ia beralih ke pelatihan militer darat, mempersiapkan diri untuk menjadi seorang pejuang. Ibunya, meskipun khawatir, tetap mendukung dengan cara yang lembut. “Kenapa kau tidak bawa saja drone-mu ke Suriah?” gurau ibunya, mencoba menyembunyikan kekhawatiran di balik senyum kecilnya.
Mostafa membalas gurauan itu dengan senyuman yang sama. Namun di balik senyumnya, ada tekad yang tak tergoyahkan. "Bu, saya ingin bertempur. Saya ingin hidup saya sepenuhnya untuk perjuangan."
Tiga tahun berlalu. Mostafa yang dulu hanyalah seorang pemuda dengan impian besar, kini telah menjadi seorang pejuang sejati. Ketika surat izin orang tua menjadi syarat untuk mengizinkannya pergi ke medan perang, ayah dan ibunya menandatanganinya dengan tangan yang bergetar.