Belajar Tauhid

Ibnu Al-Mibrad Al-Hambali rahimahullah menuturkan,

‏العجبُ من بعض المتفقهة الفجرة يَذكرون (أحاديث الطاعة) لكثيرٍ من الظلمة ممن انغمسَ في الظلم، وعامَ فيه وسبحَ، وأخذَ أموال الناس من غير حلها، وقتلَ النفس الحرام أكثر من ألف مرة بغير حق، واستحلَّ أموالَ الناس ودماءَهم وأعراضهم، ويُزين له أنه عادلٌ! "ولولا أنتَ ولولا أنتَ" ، ليتوجهَ بذلك عنده ، وينفقَ سوقُه ، فلا كثَّر اللهُ في المسلمين أمثالهم

"Sungguh mengherankan sebagian orang yang mengaku sebagai ahli fikih, namun sebenarnya mereka adalah orang-orang fasik!

Mereka membawakan hadits-hadits tentang kewajiban menaati penguasa untuk membela banyak pemimpin zalim, mereka yang telah tenggelam dalam kezaliman, berenang di dalamnya, bahkan menyelam jauh.

🔹 Mereka merampas harta manusia tanpa hak.

🔹 Mereka membunuh jiwa yang haram untuk dibunuh lebih dari seribu kali tanpa alasan yang benar.

🔹 Mereka menghalalkan harta, darah, dan kehormatan manusia.

Namun, tetap saja ada yang menghiasi dan memuji mereka sebagai pemimpin yang adil dengan berkata, “Kalau bukan karena engkau, kalau bukan karena engkau...”, hanya agar mereka mendapatkan perhatian dan meraih keuntungan dari kedekatan dengannya.

⚠️ Semoga Allah tidak memperbanyak orang-orang semacam ini di tengah kaum Muslimin!"

📚 Sumber: Idhāh Thuruq al-Istiqāmah" hlm. 123-124.

#nasihat

🌐 Channel Whatsapp Belajar Tauhid: https://t.ly/belajartauhid

🌐 Channel Telegram Belajar Tauhid: https://t.me/belajartauhidofficial

Kedudukan Surah Al-Baqarah

Surah Al-Baqarah merupakan surah pertama dari tujuh surah yang panjang (as-sab’uth-thiwāl). Wahyu dalam surah ini diturunkan secara berkelanjutan sejak awal hijrah hingga wafatnya Nabi ﷺ. Dalam Shahih Muslim, Nabi ﷺ bersabda,

لا تجعلوا بيوتكم مقابر، إن الشيطان ينفر من البيت الذي تقرأ فيه سورة البقرة

"Janganlah kalian jadikan rumah-rumah kalian seperti kuburan, karena setan lari dari rumah yang dibacakan di dalamnya Surah Al-Baqarah." [HR. Muslim]

Beliau juga bersabda,

اقرؤوا سورة البقرة؛ فإن أخذها بركة، وتركها حسرة، ولا تستطيعها البطلة

"Bacalah Surah Al-Baqarah, karena mengamalkannya adalah keberkahan, melalaikannya adalah penyesalan, dan para penyihir tidak mampu mengatasinya." [HR. Muslim]

Surah ini merupakan surah pertama yang diturunkan di Madinah, dan wahyunya terus berlanjut sejak awal periode Madinah hingga ditutupnya seluruh Al-Qur'an dengan turunnya ayat terakhir, yaitu firman Allah,

وَاتَّقُوا يَوْمًا تُرْجَعُونَ فِيهِ إِلَى اللَّهِ ثُمَّ تُوَفَّى كُلُّ نَفْسٍ مَا كَسَبَتْ وَهُمْ لَا يُظْلَمُونَ

"Dan takutlah kalian kepada hari di mana kalian akan dikembalikan kepada Allah, kemudian setiap jiwa akan diberi balasan atas apa yang telah diperbuat, dan mereka tidak akan dizalimi." [QS. Al-Baqarah: 281]

Dr. Musy'il Abdul Aziz Al-Falahiy dalam Al-Kharithatu Al-Quraniyyah.

#serialtadabbur
#tadabbur

🌐 Channel Whatsapp Belajar Tauhid: https://t.ly/belajartauhid

🌐 Channel Telegram Belajar Tauhid: https://t.me/belajartauhidofficial

Hukum Sujud di Atas Lipatan Surban yang Dipakai dan Semisalnya (2)

Keempat
Sujud dengan langsung menempelkan dahi ke tempat sujud tanpa penghalang seperti sorban atau peci adalah lebih utama . Hal ini lebih menunjukkan ketundukan kepada Allah, lebih sempurna dalam pelaksanaan sujud, serta lebih jauh dari perbedaan pendapat. Namun, jika ada udzur seperti panas, dingin, bebatuan, duri, atau hal-hal lain yang menyakiti dahi, maka diperbolehkan menggunakan penghalang.

Imam An-Nawawi berkata,

العلماء مجمعون على أن المختار مباشرة الجبهة للأرض

"Para ulama sepakat bahwa yang lebih utama adalah dahi menyentuh langsung ke permukaan bumi (tempat sujud)." [Al-Majmu' Syarh Al-Muhadzdzab 3/426]

Ibnu Qudamah juga berkata,

والمستحب مباشرة المصلي بالجبهة واليدين ليخرج من الخلاف، ويأخذ بالعزيمة، قال أحمد: لا يعجبني إلا في الحر والبرد، وكذلك قال إسحاق

"Hal yang dianjurkan adalah sujud langsung dengan dahi dan tangan, agar keluar dari perbedaan pendapat dan mengamalkan yang lebih utama. Imam Ahmad berkata, 'Saya tidak menyukainya kecuali karena panas atau dingin,' demikian pula pendapat Ishaq."

Syaikh Ibnu Utsaimin berkata,

ا ينبغي أن يتخذ العمامة وقاية بينه وبين الأرض إلا من حاجة، مثل: أن تكون الأرض صلبة جدًّا، أو فيها حجارة تؤذيه، أو شوك، ففي هذه الحال لا بأس أن يتقي الأرض بما هو متصل به من عمامة، أو ثوب؛ لقول أنس بن مالك رضي الله عنه: "كنا نصلي مع النبي صلى الله عليه وسلم في شدة الحر، فإذا لم يستطع أحدنا أن يمكن جبهته من الأرض بسط ثوبه فسجد عليه"(1)، فهذا دليلٌ على أن الأَولى أن تباشر الجبهة مكان السجود، وأنه لا بأس أن يتقي الإنسان الأرض بشيءٍ متصل به من ثوب أو عمامة، إذا كان محتاجًا لذلك لحرارة الأرض، أو لبرودتها، أو لشدتها

"Tidak seharusnya seseorang menjadikan surban sebagai pelindung antara dahinya dan tanah kecuali jika ada kebutuhan, seperti tanah yang sangat keras, berbatu, atau berduri.

Dalam kondisi tersebut, tidak mengapa menggunakan surban atau pakaian sebagai pelindung. Sebagaimana disebutkan dalam hadis dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, "Kami salat bersama Nabi ﷺ dalam kondisi sangat panas. Jika seseorang di antara kami tidak mampu meletakkan dahinya di tanah, ia akan membentangkan pakaiannya lalu bersujud di atasnya." [HR. Al-Bukhari dan Muslim]

Hadis ini menunjukkan bahwa hal yang utama adalah dahi langsung menyentuh tempat sujud. Namun, jika ada kebutuhan, maka tidak mengapa menggunakan sesuatu yang menyatu dengan tubuh seperti pakaian atau sorban, baik kebutuhan itu karena panas, dingin, atau kerasnya permukaan tanah." [Majmu' Fatawa wa Rasail 13/136]

Sumber: https://www.alukah.net/sharia/0/150886/

#fikih

🌐 Channel Whatsapp Belajar Tauhid: https://t.ly/belajartauhid

🌐 Channel Telegram Belajar Tauhid: https://t.me/belajartauhidofficial

Hukum Sujud di Atas Lipatan Surban yang Dipakai dan Semisalnya (1)

Terkadang terjadi diskusi antara sebagian penuntut ilmu dan sebagian orang awam, atau mereka yang berintisab terhadap mazhab tertentu, khususnya dalam lingkungan Syafi'iyyah, tentang hukum sujud di atas sorban yang dilipat ketika melakukan shalat dan semisalnya seperti wanita yang bersujud di atas jilbab yang dipakainya.

Berikut ini kesimpulan yang diperoleh dari pembahasan yang dilakukan oleh Abdullah ibn Abduh Nu'man Al-Awadhy.

Setelah membahas kedua pendapat, para ulama yang menganutnya, serta dalil-dalil yang mendukung masing-masing pendapat, maka kesimpulan yang lebih kuat adalah sebagai berikut:

Pertama
Tidak ada dalil yang sahih dan jelas yang mewajibkan langsungnya dahi ke tempat sujud, begitu pula tidak ada dalil yang melarang sujud di atas lipatan sorban (Kaur al-‘Imamah). Ibnul Amir Ash-Shan‘ani berkata,

والأحاديث من الجانبين غير ناهضة على الإيجاب، وقوله: "سجد على جبهته" يَصدُق على الأمرين، وإن كان مع عدم الحائل أظهرَ، فالأصل جواز الأمرين

"Hadis-hadis dari kedua sisi tidak cukup kuat untuk menjadi dalil kewajiban. Pernyataan 'beliau sujud di atas dahinya' dapat mencakup kedua kondisi (dengan atau tanpa penghalang), meskipun lebih jelas tanpa penghalang. Maka, hukum asalnya adalah kebolehan kedua cara tersebut." [Subul As-Salam 1/271]

Kedua
Jika lipatan sorban yang digunakan tipis sehingga orang yang sujud masih dapat merasakan kelembutan atau kekasaran tempat sujud, maka tidak ada kemakruhan untuk sujud di atasnya.

Al-Mawardi Asy-Syafi‘i menjelaskan bahwa sorban yang tipis tidak menghalangi langsungnya dahi ke tempat sujud dengan mengutip pendapat Al-Auza‘i,

إن عمائم القوم كانت لفة أو لفتين لصغرها، فكان السجود على كورها لا يمنع من وصول الجبهة إلى الأرض

"Sorban mereka hanya satu atau dua lipatan karena ukurannya yang kecil, sehingga sujud di atas lipatannya tidak menghalangi sampainya dahi ke tanah." [Al-Hawi Al-Kabir 2/127]

Ketiga
Sebagaimana diperbolehkan sujud dengan penghalang yang terpisah dari tubuh (seperti sajadah atau tikar), maka sujud dengan penghalang yang menyatu dengan tubuh (seperti sorban yang dikenakan) juga diperbolehkan tanpa perbedaan.

Syaikh Al-Albani berkata'

وجملة القول: أنه لا دليل على عدم جواز السجود على حائل متصل؛ لا سيما والأدلة كثيرة جدًّا على جواز السجود على حائل منفصل، كالبساط والحصير ونحو ذلك؛ مما يفصل بين الجبهة والأرض، والتفرقة بين الحائل المتصل والحائل المنفصل من الثياب - مع أنه لا دليل عليه في النقل - فهو مع ذلك مما لا يشهد النظر السليم بصحته؛ لأنه إن كان الغرض إنما هو مباشرة الأرض بالسجود مبالغةً في الخضوع لله تعالى، فهو غير حاصل بالحائل المنفصل أيضًا

"Kesimpulannya, tidak ada dalil yang melarang sujud dengan penghalang yang menyatu dengan tubuh, terutama karena banyak dalil yang membolehkan sujud dengan penghalang yang terpisah, seperti sajadah dan tikar.

Pembedaan antara penghalang yang menyatu dan yang terpisah dengan tubuh, tanpa keberadaan dalil dari syariat, juga tidak masuk akal secara logis.

Jika tujuan sujud adalah agar dahi langsung menyentuh tanah sebagai bentuk ketundukan kepada Allah, maka tujuan ini juga tidak tercapai saat sujud menggunakan penghalang yang terpisah dari tubuh." [Silsilah Al-Ahadits Adh-Dha'ifah wa Al-Maudhu'ah wa Atsaruha As-Sayyi-u fi Al-Ummah 10/360]

-bersambung-