Kecemburuan dalam Praktik Poligami
Kecemburuan adalah fitrah alami dalam diri manusia selama masih dalam batas tertentu, jika melampaui batas tersebut, maka ia menjadi penyakit yang memerlukan pengobatan.
Kecemburuan seorang wanita terhadap suaminya dalam batas yang diizinkan adalah sesuatu yang alami dan dapat diterima. Tidak diragukan lagi bahwa ada banyak alasan di balik kecemburuan wanita terhadap suaminya, yang paling utama adalah ketika suaminya menikah dengan wanita lain, dan hal ini pernah terjadi pada Ummahatul Mukminin, termasuk yang terjadi pada Aisyah radhiallahu 'anha dalam kisahnya ketika ia memecahkan piring.
Dan juga dari hadits yang diriwayatkan dari Aisyah, ia berkata, "Hala binti Khuwailid, saudara perempuan Khadijah, meminta izin untuk masuk menemui Rasulullah, dan beliau mengenali suara Khadijah sehingga beliau terkejut dan berkata, 'Ya Allah, Hala." Aku pun cemburu. Lalu aku berkata, "Apa yang kau ingat tentang seorang wanita tua dari wanita-wanita Quraisy yang telah mati di masa lalu? Bukankah Allah telah memberikan ganti dengan yang lebih baik darinya?"
Maka wajah Rasulullah berubah dan beliau menegur Aisyah dengan marah, "Demi Allah, Allah tidak memberikan ganti dengan yang lebih baik darinya; dia beriman kepadaku ketika orang-orang kafir, dia membenarkanku ketika orang-orang mendustakanku, dan dia membantuku dengan hartanya ketika orang-orang menghalangiku, dan Allah memberiku anak darinya bukan istri-istri yang lain."
Aku (Aisyah) pun berkata, 'Wahai Rasulullah, maafkan aku dan mulai saat ini engkau tidak akan mendengarku menyebut-nyebut Khadijah dengan sesuatu yang membuatmu benci." [HR. Ahmad, Al-Bukhari, Muslim]
Dan bukti-bukti tentang hal itu banyak dan saya tidak bermaksud untuk merincinya. Namun yang ingin saya sampaikan adalah bahwa wanita tidak boleh membiarkan kecemburuan mendorongnya untuk melakukan apa yang diharamkan oleh Allah ta'ala.
Ada wanita yang mungkin cemburu jika suaminya menikah lagi, sehingga berbicara dengan kata-kata yang dapat mengeluarkannya dari agamanya tanpa ia sadari, karena ia menentang hukum Allah ta'ala; karena Allah telah mensyari'atkan poligami.
Mungkin dari perkataan sebagian muslimaj muncul indikasi kebencian terhadap hukum Allah ta'ala dan penentangan terhadapnya, bahkan mungkin membuatnya merasa perlu untuk memperbaiki hukum dan hikmah Allah.
Maka wajib bagi wanita untuk bertakwa kepada Allah ta'ala dan menimbang kata-katanya dengan timbangan syariat, dan tidak terjerumus ke dalam emosi dan kecemburuan; karena seorang hamba bisa saja mengucapkan kata-kata yang membuat Allah murka tanpa disadari, sehingga ia terjerumus.
Hal ini seperti yang disebutkan dalam hadits Abu Hurairah, bahwa Nabi ﷺ bersabda,
إن العبد ليتكلم بالكلمة ما يتبين فيها؛ يزل بها في النار أبعد مما بين المشرق
"Sesungguhnya seorang hamba bisa melontarkan kata-kata tanpa sadar, sehingga ia terjerumus ke dalam api neraka yang jaraknha lebih jauh daripada jarak antara timur dan barat." [HR.Al-Bukhari dan Muslim]
Dalam hadits Abu Hurairah yang lain disebutkan,
وإن العبد ليتكلم بالكلمة من سخط الله لا يلقي لها بالا يهوي بها في جهنم
"Dan seorang hamba bisa mengucapkan perkataan yang membuat Allah murka tanpa sadar, sehingga terseret ke dalam neraka karena perkataan tersebut." [HR.Al-Bukhari]
Al-Hafiz Ibn Hajar menuturkan,
«لا يلقي لها بالا» أي : لا يتأملها بخاطره ولا يتفكر في عاقبتها ولا يظن أنها تؤثر شيئًا، وهو من نحو قوله تعالى : وَتَحْسَبُونَهُ هَيِّنًا وَهُوَ عِندَ اللَّهِ عَظِيمٌ
"Kata 'tanpa sadar' berarti ia tidak memikirkan perkataan itu dalam hatinya atau tidak merenungkan akibatnya serta tidak mengira bahwa perkataan itu akan berpengaruh pada suatu hal, dan ini mirip dengan firman Allah, 'Dan kamu mengira itu hal yang sepele, padahal itu di sisi Allah adalah besar (QS.An-Nur:15).'" [Fath al-Baar 11/311]
-bersambung-