*Fenomena Masjid Jogokariyan Sebagai Gerakan Sosial Inovatif*
Kemarin saya mengikuti pelatihan yang diisi oleh seolah ulama aktivis, pembaharu misi dan fungsi masjid, yaitu KH. Ahmad Jazir, ASP, pemimpin Masjid Jogokariyan Yogyakarta yang masyhur itu.
Akhirnya saya dapat kesimpulan, bahwa:
Masjid sebenarnya dapat menjalankan dan mengembangkan fungsinya sebagai pemerintahan kecil yang mengurusi segala masalah rakyat, dari ibadah, sosial, ekonomi, pendidikan, kesehatan hingga peningkatan kapasitas rakyat di sekitar masjid. Dan Masjid Jogokariyan adalah bukti dan pembuktian misi dan fungsi masjid yang luas dan mengagumkan tersebut.
Masjid Jogokariyan kini tidak saja mengurusi rakyat sebatas teritorialnya di sebuah kelurahan di Yogyakarta, tapi sudah merambah ke Jawa Timur, Jawa Tengah hingga perbatasan Vietnam - Kamboja, kampung Muslim Champa, yang dikenal punya ikatan leluhur dengan penduduk pulau Jawa.
Masjid memang harus sebaiknya diurus oleh para aktivis plus ulama yang memiliki jangkauan visi jauh ke depan dan horizon pengetahuan yang luas. Tidak sekedar menyelenggarakan jumatan, PHBI dan sholat jamaah lima waktu. Mereka para DKM itu harus menyadari dirinya sebagai Ra'i (pemerintah mini) yang mengurusi rakyatnya. Maka dalam rangka menunjang fungsi pemerintahan mini tersebut, masjid harus memiliki satuan-satuan tugas (relawan atau laskar), yang mengurusi, mulai dari antar jemput lansia yang hendak sholat, pasukan siap berkelahi dengan rentenir yang mengejar jamaah masjid yang jadi korban perasan rentenir, hingga mengurusi sawah-sawah, peternakan, pasar milik masjid, ratusan jaringan UKM milik masjid, hotel, pesantren milik masjid, dapur berjalan milik masjid, hingga kesejahteraan para khadam/pelayan masjid, mulai dari gaji imam, marbot, dan sebagainya.
Mengenai masalah rentenir tersebut, Kyai Jazir mengisahkan. Dia heran dengan sebuah warung yang ramai, tapi pendapatnya tidak seberapa. Ditanya Kyai Jazir, "Lo kok bisa, Bu, untung warungnya sedikit?"
"Gini, Pak Ustadz, saya minjam dari 10 orang. Per hari, bayar 50 ribu. Pendapatan bersih dibayar 50 kali 10, hanya tinggal 400 ribu," jawab pemilik warung.
"Ya sudah. Gini saja, serahkan urusan bayar utang modal ke rentenir itu ke kami," perintah Kyai Jazir. Maka seluruh rentenir yang mencekik ekonomi pemilik warung tersebut pun disuruh menghadap ke Masjid Jogokariyan karena mau dibayar seluruh utang modal Ibu tersebut.
Rentenir itu pun datang dengan bingung. Lalu diberitahu baik-baik.
"Pak, utang modal Ibu tersebut sekarang kami bayar. Adapun bunganya, tidak. Dengan demikian lunas utang Ibu tersebut." Tegas diberitahu kepada rentenir.
"Lho, nggak bisa, begitu. Bunganya juga."
"Oke. Allah menyuruh kami memerangi praktik bunga atau riba. Sekarang pilih mana, berkelahi dengan kami atau Anda stop sekarang juga!" Tekan Kyai Jazir. Di belakang Kyai Jazir telah berdiri siap tempur para jagoan dari relawan Masjid Jogokariyan. Akhirnya selesai urusan si Ibu warung. Si rentenir kecut dan pulang dengan wajah kuyu.
Masjid memang harus benar-benar diurusi dengan serius dan logis. Seorang marbot (pengurus kebersihan harian di Masjid Jogokariyan saja, selain digaji UMR, juga mendapat tunjangan beras, biaya anak sekolah, kesehatan dan kesejahteraan lainnya. Sedangkan Imam di Masjid Jogokariyan, menikmati gaji 8 juta lebih, jumlah yang lebih dari cukup untuk biaya hidup di Yogyakarta.
Tapi hal itu wajar, Masjid Jogokariyan dapat menghimpun dana puluhan milyar dalam setahun. Bahkan lebih. Aliran dana itu, bukan saja dari para pengeluar zakat dari jamaah Masjid Jogokariyan. Tapi juga dari penduduk di berbagai wilayah Indonesia, hingga manca negara.
Kesohoran Masjid Jogokariyan yang sangat inovatif, amanah dan terpercaya di bawah kepemimpinan KH. Ahmad Jazir, ASP, telah mengundang minat bagi banyak kalangan untuk mengalirkan dananya ke berbagai aktivitas Masjid Jogokariyan.