Ahmad Syahrin Thoriq (Official) @subulana Channel on Telegram

Ahmad Syahrin Thoriq (Official)

@subulana


Chanel ini adalah kumpulan tulisan al Ustadz KH. Ahmad Syahrin Thoriq dalam masalah Fiqih, Tafsir, Hadits, Sirah, Sejarah dan cabang keilmuan lainnya. Juga informasi seputar dunia Islam dari sumber yang kredibel.

subulana (Indonesian)

Selamat datang di subulana, channel resmi Ahmad Syahrin Thoriq! Channel ini adalah tempat di mana Anda dapat menemukan kumpulan tulisan dari al Ustadz KH. Ahmad Syahrin Thoriq mengenai berbagai masalah dalam Fiqih, Tafsir, Hadits, Sirah, Sejarah, dan cabang keilmuan lainnya. Dengan bergabung di channel ini, Anda akan mendapatkan informasi seputar dunia Islam dari sumber yang kredibel. Siapa sebenarnya Ahmad Syahrin Thoriq? Beliau adalah seorang ulama yang ahli dalam bidang Fiqih dan memiliki pengetahuan yang luas dalam berbagai disiplin ilmu Islam. Dengan bergabung di channel subulana, Anda akan dapat mengakses wawasan dan pengetahuan yang mendalam tentang Islam. Jangan lewatkan kesempatan untuk memperkaya pengetahuan Anda dan mendapatkan informasi yang membangun melalui channel subulana. Bergabunglah sekarang dan jadilah bagian dari komunitas yang peduli akan pengetahuan agama Islam! Mari kita bersama-sama mendalami ajaran Islam dan meraih kebaikan dalam kehidupan sehari-hari.

Ahmad Syahrin Thoriq (Official)

30 Jan, 09:04


𝗬𝗔𝗡𝗚 𝗠𝗨𝗗𝗔𝗛 𝗧𝗘𝗥𝗟𝗜𝗛𝗔𝗧

Oleh : Ahmad Syahrin Thoriq

Al imam Ibnu Sirin rahimahullah suatu ketika ditimpa sebuah musibah yang berat, beliau terlilit hutang dan beberapa masalah hingga menyebabkan sang imam dijebloskan ke dalam penjara. Saat itu beliau berkata :

إني لأعرف الذنب الذي حمل به على الدين منذ اربعين سنة

"Sungguh aku mengetahui musibah ini yang bahkan menimpa agamaku adalah disebabkan oleh dosaku yang pernah kulakukan 40 tahun yang lalu."[1]

Dosa yang dimaksud beliau tersebut adalah bahwa pernah pada suatu hari sang imam jengkel terhadap seseorang hingga beliau berkata kepadanya : "Hai si bangkrut !"

Hanya karena ucapan tersebut beliau merasa pantas mendapatkan hukumannya di dunia dan menganggapnya sebagai sebuah dosa yang besar yang tidak beliau lupakan.

Subhanallah. Begitulah orang - orang shalih, dosa mereka sangat sedikit, sehingga ketika ditegur lekas tersadar. Mereka itu seperti lembaran kertas yang putih bersih, setitik saja ada noda, akan langsung terlihat dengan jelas.

Bandingkan dengan kita para pendosa ini, tapi yang seringnya merasa sebagai orang suci. Saat ditegur bahkan diadzab olehNya sebab karat dosa yang menumpuk dengan pongahnya berani berkata : "Ya Allah apa dosaku sehingga Engkau uji aku dengan ujian berat ini."

Ujian ? Yang namanya ujian itu untuk orang-orang shalih, sedangkan teguran untuk yang sedang salah atau lengah agar mau berbenah, adapun untuk para pendosa lebih pasnya musibah itu disebut adzab atau hukuman...

Semoga bermanfaat.
_
1. Sifah ash Shafwah (2/145)

Ahmad Syahrin Thoriq (Official)

28 Jan, 01:09


UKHWAH DAN PERSATUAN UMAT

Oleh : Ahmad Syahrin Thoriq

Al imam Ahmad bin Abdul Halim rahimahullah berkata :

وإذا تفرق القوم فسدوا وهلكوا، وإذا إجتمعوا صلحوا وملكوا، فإن الجماعة رحمةٌ والفرقة عذابٌ

"Jika suatu kaum berpecah belah, mereka pasti akan ditimpa kerusakan dan kebinasaan. Sebaliknya, jika mereka bersatu, maka keadaan mereka akan baik dan diberikan kekuasaan. Sungguh, persatuan adalah rahmat, sedangkan perpecahan adalah azab."

Sebagian ulama berkata :

وليس العيب في الخلاف ولكن العيب في التعصب للرأي والحجر على عقول الناس وآرائهم، هذه النظرة إلى الأمور الخلافية جمعت القلوب المتفرقة على الفكرة الواحدة، وحسب الناس أن يجتمعوا على ما يصير به المسلم مسلماً

"Bukanlah aib yang nista manakala kita berbeda pendapat. Tetapi aib sebenarnya adalah sikap fanatik seseorang dengan pendapatnya saja, lalu cenderung menolak pikiran orang lain dan menyerang pendapat mereka.

Menyikapi khilafiyah dengan sikap menghargai akan menghimpun hati yang bercerai berai kepada satu pemikiran. Cukuplah orang-orang itu terhimpun atas sesuatu yang menjadikan seorang muslim adalah muslim."

Al imam Khaitsamah rahimahullah berkata :

شيء هو احلى من العسل ولا ينقطع وهي الألفة التي جعلها الله بين المسلمين.

"Sesuatu yang ia lebih manis dari madu dan yang tidak pernah putus manfaatnya, yaitu adanya persatuan yang Allah anugerahkan kepada umat Islam."

Qultu : "Generasi terdahulu begitu mudah untuk bersatu, karena mereka tahu syarat persatuan itu hanyalah satu, yaitu ikatan keimanan.

Sedangkan kita menambahkan syarat harus semadzhab, semanhaj, seharakah, sefikrah dan sepengajian."

•┈┈•••○○❁༺ⒶⓈⓉ༻❁○○•••┈┈•
⤵️https://t.me/subulana
🌐 www.konsultasislam.id
📱facebook.com/AhmadSyahrinThoriq

Ahmad Syahrin Thoriq (Official)

27 Jan, 00:49


SANG PENOLONG SUNNAH

Oleh : Ahmad Syahrin Thoriq

1. Al imam Muhammad bin Idris asy Syafi'i rahimahullah, atau yang lebih dikenal dengan nama imam Syafi'i adalah seorang ulama besar generasi tabi'ut tabi'in yang merupakan pendiri satu dari empat madzhab fiqih ahlusunnah wal jama'ah.

2. Beliau juga dikenal sebagai ulama yang pertama kali menyusun ilmu ushul fiqih lewat karyanya ar Risalah. Dan oleh ulama sezaman dan setelahnya ia digelari sebagai nashirusunnah, yang artinya penolong atau penghidupnya sunnah.

Karena beliau dengan hujjahnya telah membungkam pihak- pihak yang mencoba untuk menembak jatuh otoritas hadits sebagai salah satu sumber utama hukum Islam setelah al Qur'an.

Karena jasanya inilah imam Ahmad pernah berkata tentangnya :

كان الشافعي كالشمس للدنيا وكالعافية للناس

“Syafi’i itu laksana matahari bagi dunia, dan seperti kesehatan bagi kehidupan manusia."

3. Kecerdasannya telah nampak sejak kecil. Ia mengkhatamkan hafalan Qur'annya saat usia 7 tahun. Dan telah menghafal beberapa kitab hadits seperti al Muwatha' karya imam Malik sebelum usia baligh.

4. Diantara bukti kecerdasan beliau yang mengagumkan adalah kekuatan hafalannya yang luar biasa. Terkadang beliau bisa menghafal sebuah pelajaran hanya dalam sekali baca.

Sehingga disebutkan dalam beberapa riwayat, imam syafi'i jika membaca sebuah buku, maka beliau akan menutup lembaran berikutnya. Mengapa ? Karena kalau sampai halaman itu terlirik, akan ikut terhafal. Beliau tidak ingin hafalannya kacau karena bercampurnya hafalan dari bacaannya.

5. Imam Syafi'i berguru kepada ulama-ulama besar di masanya. Di Makkah ia belajar kepada Sufyan bin Uyainah, di Madinah ia belajar kepada Imam Malik, dan di Iraq ia juga belajar kepada murid-muridnya imam Abu Hanifah seperti Muhammad bin Hasan asy Syaibani.

Hal inilah yang kemudian menjadikan madrasah kelimuan yang didirikannya, yakni madzhab syafi'i seperti menggabungkan antara dua madzhab besar yang saling berhadapan kala itu, antara madzhab ahlu hadits yang berpusat di Hijaz dan madzhab ar Ra'yu (akal) yang berkiblat ke Iraq.

6. Keunggulan imam syafi'i lainnya adalah penguasaannya terhadap bahasa arab yang sangat mendalam. Hampir tidak ada yang berani mendebat penafsiran beliau terhadap ayat al Qur'an jika syafi'i sudah menggunakan pisau bahasa dalam membedah dalil.

Kekuatan bahasa ini di dapatkan lewat proses yang tidak main-main. Salah seorang putrinya memberikan kesaksian :

فأقام الشافعي علمَ العربية وأيامَ الناس عشرين سنة، فقلنا له في هذا، فقال: ما أردت بهذا إلا استعانةً للفقه

“Imam Syafi’i menghabiskan waktu dua puluh tahun dalam mempelajari bahasa Arab, kami bertanya kepada beliau tentang hal ini, lalu beliaupun menjawab, ‘Yang saya inginkan hanyalah agar saya terbantu untuk memahami Fiqih."

7. Hampir tidak didapati lahn (kesalahan) imam syafi'i dalam berbahasa yang lazim terjadi pada ulama lainnya, baik dalam tulisan-tulisannya maupun ucapannya.

Karena itulah imamnya ilmu sirah, Ibnu Hisyam rahimahullah berkata tentangnya :

الشَّافِعِيُّ حُجَّةٌ فِي اللُّغَةِ

"Syafi'i adalah hujjah dalam bahasa."

Beberapa muridnya pernah menjumpai ada orang-orang ahli bahasa hadir di majelis imam Syafi'i, bukan untuk mengambil ilmu fiqih, tapi sekedar untuk mempelajari dan menikmati kefasihan bahasa gurunya tersebut.

8. Keilmuannya diakui oleh kawan maupun lawan. Bahkan pencapaiannya disebut telah melampaui guru-gurunya.

Pernah ditanyakan kepada Abu Tsaur, manakah yang dalam ilmunya syafi'i ataukah Muhammad bin Hasan asy Syaibani yang menjadi gurunya saat itu. Abu Tsaur menjawab :

الشافعي أفقه من محمد، وأبي يوسف، وأبي حنيفة، وحماد، وإبراهيم، وعلقمة، والأسود

“Asy-Syafi’i lebih alim dari pada Muhammad bin Al-Hasan dan juga Abu Yusuf, bahkan lebih alim dari Abu Hanifah (guru keduanya), dan bahkan lebih alim dari Hammad (gurunya Abu Hanifah), dan lebih alim dari Ibrahim (gurunya Hammad), dan bahkan lebih alim dari ‘Alqamah (gurunya Ibrahim), dan bahkan lebih alim dari al Aswad (gurunya ‘Alqamah).”

Ahmad Syahrin Thoriq (Official)

27 Jan, 00:49


9. Namun demikian, imam Syafi'i dikenal sangat tawadhu' dan begitu memuliakan guru-gurunya. Pernah ia diminta untuk mengajar di masjid Nabawi sepeninggal imam Malik, maka beliau tidak mau menempati kursi yang biasa digunakan gurunya tersebut.

Namun ia memilih duduk disamping kursi, dan saat berfatwa ia melirik ke arah kursi yang pernah ditempati imam Malik itu, seakan meminta persetujuan.

10. Imam Syafi'i juga adalah ahli sastra yang hampir sulit dicari bandingannya. Siapapun yang pernah mengkaji "Diwan asy Syafi'i " yakni kitab kumpulan puisinya pasti akan mengagumi kefasihan dan keindahan bahasa beliau.

Syair-syairnya sangat bermutu, temanya mengena, bahasanya berkelas. Bahkan dalam versi terjemahannya pun tak hilang keindahan sastranya.

11. Madzhab Syafi'i adalah madrasah keilmuan dalam ilmu fiqih yang diikuti oleh mayoritas ulama dari berbagai disiplin ilmu. Hampir bisa dikatakan, ulama-ulama yang sering disebut dan akrab namanya di telinga kita hari ini, madzhabnya adalah syafi'iyyah.

Bahkan beberapa ulama yang telah sampai pada derajat mujtahid mutlaq, alias mampu untuk membuat madzhab sendiri, memilih puas untuk mengikuti madzhabnya, seperti imam Baihaqi dan imam Bukhari.

Bahkan Imam Baihaqi secara jujur mengatakan :

وقد قابلت أقوال كل واحد منهم بمبلغ علمي من كتاب الله، ثم بما جمعت من السنن والآثار في الفرائض والنوافل والحلال والحرام والحدود والأحكام ، فوجدت الشافعي رحمه الله أكثرهم اتباعا وأقواهم احتجاجا وأصحهم قياسا وأوضحهم إرشادا. وذلك فيما صنف من الكتب القديمة والجديدة في الأصول والفروع وبأبين بيان وأفصح لسان

“Aku telah membandingkan ijtihad masing-masing para imam madzhab itu, sejauh pengetahuanku terhadap Kitabullah, kemudian terhadap hadits dan atsar yang aku kumpulkan terkait hal-hal wajib,sunnah, halal, haram, hudud dan hukum.

Ternyata kudapati Syafi’i yang paling mengikuti (Qur’an dan Sunnah), yang paling kuat hujjahnya, yang paling shahih qiyasnya, dan paling jelas bimbingannya. Hal itu bisa ditemui pada kitab-kitab yang beliau karang, baik yang lama maupun yang baru, dalam masalah pokok maupun cabang, dengan penjelasan sangat gamblang dan bahasa yang paling fasih.”

12. Sudah menjadi sunnatullah para wali-wali ar Rahman, bahwa mereka pasti akan berhadapan dengan fitnahan keji dan permusuhan orang-orang dzalim. Maka demikian pulalah yang menimpa beliau.

Imam Syafi'i pernah dituduh mendukung kelompok makar. Beliaupun ditangkap dan digelandang dari Yaman menuju Iraq. Menempuh jarak ribuan kilometer untuk dipancung kepalanya.

Namun dengan izin Allah dan sebab kefasihannya dalam menegakkan hujjah, ia selamat dari rencana jahat musuh-musuhnya tersebut.

13. Ia wafat di Mesir tahun 204 H di usia 54 tahun. Dan menjelang kewafatannya ia menunjukkan karamahnya dengan mengkhabarkan kepada murid-muridnya tentang keadaan sebagian mereka sepeninggalnya nanti. Ia juga masih sempat melantunkan syair yang berisi pesan yang sangat bermakna :

تمنى أناس أن أموت وأن أمت * فتلك سبيل لست فيها بأوحد

فقل للذي يبغي خلاف الذي مضى * تهيأ لأخرى مثلها فكأن قد

"Ada sebagian orang ada yang berharap aku mati dan aku benar-benar akan mati. Kematian adalah jalan yang pasti aku tempuh, dan aku bukan seorang diri (yang lain juga akan mati)

Katakan kepada orang yang berharap suatu hal yang berbeda dengan yang telah terjadi. Bersiaplah engkau menghadapi kematian serupa dengan yang pasti akan menghampiriku."

Wallahu a'lam.

📜Faqih wal Mutafaqqih (2/41), Al Wafi bil Wafayat 19/143), Mukhtashar Tarikh Dimasyq 6/434), Ma’rifatussunan Wa al Atsar (1/ 213)

Ahmad Syahrin Thoriq (Official)

26 Jan, 00:29


Al Qasam katanya yang menghancurkan Gaza ? Justru al Qassam adalah pahlawan Gaza.

Ahmad Syahrin Thoriq (Official)

23 Jan, 08:16


Seandainya tuduhan tukang fitnah dan antek zionis itu benar, bahwa Hamas adalah sebab kehancuran dan penderitaan rakyat Palestina, maka mereka tidak akan menyambut para pejuang dan mengeluk-elukkan mereka, bahkan merekalah yang pertama kali akan menghakimi "kejahatan" Hamas...

Ahmad Syahrin Thoriq (Official)

21 Jan, 07:36


𝗕𝗔𝗚𝗜𝗔𝗡 𝗜𝗩 : 𝗜𝗕𝗡𝗨 𝗛𝗔𝗝𝗔𝗥 𝗨𝗟𝗔𝗠𝗔 𝗔𝗦𝗬’𝗔𝗥𝗜

Oleh : Ahmad Syahrin Thoriq

Al imam Ibnu Hajar al ‘Asqalani (773-852 H) adalah ulama besar dalam ilmu bidang ilmu hadits, dan fiqih Mazhab Syafi’i. Karya monumentalnya, Fath al-Bari, menjadi rujukan utama syarah Sahih al-Bukhari. Ia dijuluki Amirul Mukminin fil Hadits karena keahliannya dalam kritik sanad dan matan hadits.

Berikut ini adalah di antara hal yang membuktikan bahwa beliau beraqidah ahlussunnah wal Jama’ah dengan madzhab Asy’ariyah.

𝗕𝘂𝗸𝘁𝗶 𝗽𝗲𝗿𝘁𝗮𝗺𝗮 : 𝗧𝗮𝗳𝘄𝗶𝗱𝗵 𝗱𝗮𝗻 𝘁𝗮𝗸𝘄𝗶𝗹𝗻𝘆𝗮

Tafwidh dan juga takwil adalah dua metode yang digunakan oleh kalangan ulama Asy’ariyah dan menjelaskan sebagian sifat-sifat Allah. Dan imam Ibnu Hajar al Asqlani jika kita menelaah karya-karyanya, akan kita dapati beliau melakukan takwil, berikut diantaranya :

1. Mensucikan Allah dari tangan yang merupakan anggota tubuh.

أطولهم يداً أي أسمحهن، ووقع ذكر اليد في القرآن والحديث مضافاً إلى الله تعالى، واتفق أهل السنة والجماعة على أنه ليس المراد باليد الجارحة التي هي من صفات المحدثات. وأثبتوا ما جاء من ذلك وآمنوا به؛ فمنهم من وقف ولم يتأول، ومنهم من حمل كل لفظ منها على المعنى الذي ظهر له، وهكذا عملوا في جميع ما جاء من أمثال ذلك

"Ucapannya (orang yang paling panjang tangannya), maksudnya adalah orang yang paling dermawan. Dan kata 'tangan' disebutkan dalam al Qur'an dan hadits yang disandarkan kepada Allah Ta'ala, dan Ahlussunnah wal Jama'ah telah sepakat bahwa maksud 'tangan' bukanlah anggota tubuh yang merupakan sifat makhluk.

Mereka menetapkan apa yang disebutkan dalam hal itu dan beriman kepadanya; sebagian dari mereka berhenti tanpa menakwil, dan sebagian lainnya memaknai setiap lafadz dengan makna yang tampak baginya. Begitulah cara mereka memperlakukan semua sifat semacam itu."[1]

2. Penakwilan sifat malu (al-hayaa’)

Beliau saat menjelaskan sifat malu bagi Allah berkata :

“Ucapannya: maka Allah malu darinya, maksudnya adalah Allah merahmatinya dan tidak menghukumnya.”[2]

3. Menakwil sifat tangan sebagai kekuasaan

Beliau tentang sifat Yad dengan mengatakan : “Maksud dari tangan di sini adalah kekuasaan.”[3]

4. Menakwilkan sifat tertawa

Beliau rahimahullah berkata : “Ucapan “Allah tertawa kepada dua orang”, al Khathabi berkata: Tertawa yang terjadi pada manusia karena perasaan gembira atau senang tidaklah pantas disandarkan kepada Allah Ta’ala. Sebaliknya, ini adalah perumpamaan untuk perbuatan yang memunculkan kekaguman di mata manusia sehingga membuat mereka tertawa.

Maknanya adalah pemberitahuan tentang keridhaan Allah terhadap perbuatan salah satu dari keduanya dan penerimaan-Nya terhadap yang lainnya serta ganjaran mereka dengan surga meskipun kondisi mereka berbeda. Ia berkata: Imam al Bukhari menakwil sifat tertawa di tempat lain dengan makna rahmat, dan ini dekat. Namun, menakwilnya sebagai keridhaan lebih dekat, karena tertawa menunjukkan keridhaan dan penerimaan.”[4]

5. Takwilnya terhadap sifat tinggi dan dekat

Beliau berkata :

قوله: (فهو عنده فوق العرش)؛ قيل : معناه دون العرش. ويحتمل أن يكون المراد بقوله: "فهو عنده" أي ذكره أو علمه، فلا تكون العندية مكانية بل هي إشارة إلى كمال كونه مخفياً عن الخلق مرفوعاً عن حيز إدراكهم…".

“Ucapannya: (maka dia di sisi-Nya di atas Arsy), dikatakan bahwa maksudnya adalah di bawah Arsy. Bisa juga maksudnya adalah: (di sisi-Nya), yaitu di dalam ingatan-Nya atau ilmu-Nya. Maka, kedekatan di sini bukanlah kedekatan tempat, melainkan menunjuk kepada kesempurnaan tersembunyinya dari makhluk, terangkat dari batasan indera mereka.”[5]

𝗕𝘂𝗸𝘁𝗶 𝗸𝗲𝗱𝘂𝗮 : 𝗯𝗲𝗹𝗶𝗮𝘂 𝗺𝗲𝗻𝘂𝗸𝗶𝗹 𝘂𝗹𝗮𝗺𝗮-𝘂𝗹𝗮𝗺𝗮 𝗔𝘀𝘆’𝗮𝗿𝗶𝘆𝗮𝗵 𝗱𝗮𝗹𝗮𝗺 𝗸𝗶𝘁𝗮𝗯𝗻𝘆𝗮

Jika al imam Ibnu Hajar termasuk yang berpendapat bahwa Asy’ariyah adalah bukan Ahlussunnah, sudah pasti beliau tidak akan mungkin menukil dari para ulama-ulama yang aqidahnya bermadzhab Asy’ari seperti imam al Ghazali, imam Baqilani, Asy Syairazi dan lainnya.

Ahmad Syahrin Thoriq (Official)

21 Jan, 07:36


“Merupakan suatu kezaliman jika dikatakan tentang an Nawawi, Ibnu Hajar al Asqalani dan orang yang semisal mereka dengan julukan ahli bid’ah. Meskipun saya mengetahui bahwa keduanya termasuk golongan Asy’ariyah."[13]

Bersambung bagian ke V : Sultanul Ulama Izz Abdussalam
___
[1] Al Hady hal. 219
[2] Fath al-Bari (1/189)
[3] Fath al-Bari (1/419)
[4] Fath al-Bari (6/48)
[5] Fath al-Bari (6/337)
[6] Fath al Bari (13/479)
[7] Lisanul Mizan (6/31)
[8] Fath al Bari (11/488)
[9] Fath al Bari (13/439)
[10] Fath al Bari (13/493)
[11] Majmu’ Fatawa li Ibn Baz (28/47)
[12] Al Ilmu li Utsaimin hlm 149
[13]Jami’ Turats al Albani (6/163)

Ahmad Syahrin Thoriq (Official)

21 Jan, 07:36


Namun fakta justru menunjukkan bahwa dalam berbagai karyanya beliau menjadikan imam-imam dari kalangan Asy’ariyah sebagai rujukan untuk menjelaskan berbagai hal baik kaitannya dengan hadits, fiqih, Sejarah atau nasehat.

Seperti ucapan beliau :

فقال ‌الأشعري: كلام الله القائم بذاته يسمع عند تلاوة كل تال وقراءة كل قارئ، وقال ‌الباقلاني…

“Kalangan Asy’ariyah berkata: "Kalam Allah yang berdiri pada Zat-Nya dapat didengar saat setiap orang yang membaca melafalkannya dan setiap qari (pembaca) membacanya." Sedangkan Al-Baqillani berkata…”[6]

Beliau berkata tentang imam Fakhrurazi :

والفخر كان من أئمة الأصول وكتبه في الأصلين شهيرة سائرة وله ما يقبل وما يرد

"Fakhruddin adalah salah satu imam dalam ilmu usul, dan kitab-kitabnya dalam disiplin ilmu usul terkenal dan tersebar luas. Di dalamnya terdapat hal-hal yang dapat diterima dan hal-hal yang dapat ditolak.".[7]

𝗕𝘂𝗸𝘁𝗶 𝗸𝗲𝘁𝗶𝗴𝗮 : 𝗕𝗮𝗻𝘆𝗮𝗸 𝗺𝗲𝗻𝗷𝗲𝗹𝗮𝘀𝗸𝗮𝗻 𝘀𝗲𝘀𝘂𝗮𝘁𝘂 𝗱𝗲𝗻𝗴𝗮𝗻 𝗽𝗲𝗻𝗱𝗮𝗽𝗮𝘁 𝗔𝘀𝘆’𝗮𝗿𝗶𝘆𝗮𝗵

Seperti contoh ucapan beliau :

وقد اشتهر الخلاف في ذلك بين ‌الأشعرية والحنفية، وتمسك الأشاعرة بمثل هذا الحديث

“Dan kalangan Asy’ariyah berpegang teguh dengan hadits semacam ini…”[8]

Memang benar bahwa nukilan dalam kitab ulama itu tidak semua dijadikan rujukan atau pegangan oleh penulisnya, ada yang sekedar mengungkap data atau untuk mengoreksi kesalahannya.

Tetapi jika kita membaca karya imam Ibnu Hajar saat menukil pendapat Asy’ariyah kita akan paham bahwa beliau mengemukakannya bukan sekedar untuk menjadikannya sebagai data pembanding atau untuk mengoreksi kesalahannya, tapi beliau menghadirkannya sebagai penjelas atas sebuah bahasan. Seperti ucapan beliau lainnya :

وكلام الله قديم وقد ثبت أنه فيه الخالق الرزاق فانفصل بعض ‌الأشعرية بأن إطلاق ذلك إنما هو بطريق المجاز وليس المراد بعدم التسمية

“Dan kalam Allah adalah qadim, dan telah ditegaskan bahwa di dalamnya terdapat nama Al-Khaliq (Sang Pencipta) dan Ar-Razzaq (Sang Pemberi Rezeki). Maka, sebagian golongan Asy’ariyah menjelaskan bahwa penyebutan itu hanyalah dengan cara majaz (kiasan) dan bukan dimaksudkan untuk menafikan penamaan tersebut.”[9]

Dan perkataan beliau :

والذي استقر عليه قول ‌الأشعرية أن القرآن كلام الله غير مخلوق

“Dan pendapat yang telah menjadi ketetapan menurut Asy’ariyah adalah bahwa Al-Qur'an adalah kalam Allah yang tidak diciptakan…”[10]

𝗕𝘂𝗸𝘁𝗶 𝗸𝗲𝗲𝗺𝗽𝗮𝘁 : 𝗽𝗲𝗻𝗴𝗮𝗸𝘂𝗮𝗻 𝗽𝗶𝗵𝗮𝗸 “𝗹𝗮𝘄𝗮𝗻”.

Syaikh bin Baz ditanya apakah benar imam Nawawi dan Ibnu Hajar al Asqalani bukan termasuk ulama ahlussunnah wal Jama’ah ? Beliau menjawab :

لهم أشياء غلطوا فيها في الصِّفات: ابن حجر، والنووي، وجماعة آخرين، ليسوا فيها من أهل السنة، وهم من أهل السنة فيما سلموا فيه ولم يُحرِّفوه، هم وأمثالهم ممن غلط.

"Mereka memiliki beberapa hal yang salah dalam masalah sifat-sifat (Allah): seperti Ibnu Hajar, An Nawawi, dan kelompok lainnya. Mereka dalam perkara tersebut bukan termasuk Ahlussunnah. Namun, mereka termasuk Ahlussunnah dalam perkara yang selamat dari penyimpangan dan tidak mereka ubah. Mereka dan yang semisal dengan mereka adalah di antara orang-orang yang melakukan kesalahan."[11]

Selanjutnya adalah Syaikh Utsaimin ketika menilai pendapat-pendapat Ibnu Hajar yang merujuk kepada Asy’ariyah itu dipandang oleh beliau sebagai kesalahan. Beliau berkata :

إن الشيخين الحافظين "النووي ابن حجر" ‌لهما ‌قدم ‌صدق ‌ونفع ‌كبير ‌في ‌الأمة ‌الإسلامية ولئن وقع منهما خطأ في تأويل بعض نصوص الصفات إنه لمغمور بما لهما من الفضائل والمنافع الجمة

“Kedua syekh yang hafizh, yaitu An-Nawawi dan Ibnu Hajar, memiliki jasa yang besar dan manfaat yang sangat besar bagi umat Islam. Jika terjadi kesalahan dari mereka dalam menakwil sebagian teks yang berkaitan dengan sifat-sifat Allah, maka itu tenggelam dalam lautan keutamaan dan manfaat mereka yang begitu banyak.”[12]

Begitu juga Syaikh al Albani rahimahullah berkata :

مثل النووي وابن حجر العسقلاني وأمثالهم فهُم ‌من ‌الظلم ‌أن ‌يقال ‌عنهم ‌إنهم من أهل البدعة، أنا أعرف أنهما من الأشاعرة

Ahmad Syahrin Thoriq (Official)

20 Jan, 04:15


𝗕𝗔𝗚𝗜𝗔𝗡 𝗞𝗘 𝗜𝗜𝗜: 𝗕𝗨𝗞𝗧𝗜 𝗜𝗠𝗔𝗠 𝗡𝗔𝗪𝗔𝗪𝗜 𝗦𝗘𝗢𝗥𝗔𝗡𝗚 𝗔𝗦𝗬’𝗔𝗥𝗜

Oleh : Ahmad Syahrin Thoriq

Al imam Nawawi adalah seorang ulama besar yang digelari dengan julukan muhyiddin (sang penghidupnya agama). Dan beliau adalah pemilik karya-karya besar yang sangat popular hingga hari ini seperti kitab Riyadusshalihin, syarah Shahih Muslim, al Adzkar dan lainnya.

Berikut ini adalah diantara bukti yang bisa kami kemukakan, sebagai dasar tulisan ketika memasukkan beliau termasuk kelompok ulama yang dalam Aqidah mengikuti madzhab Asy’ariyah.

Sekedar disclamer bahwa sangat mungkin setelah membaca sampai selesai kita tetap berbeda pendapat dalam menilai madzhab beliau, dan itu tidaklah masalah. Asalkan kami tidak anda tuduh hanya asal main comot tanpa pertimbangan data yang bisa dipertanggungjawabkan secara keilmuan.

𝗕𝘂𝗸𝘁𝗶 𝗽𝗲𝗿𝘁𝗮𝗺𝗮 : 𝗸𝗲𝘀𝗮𝗸𝘀𝗶𝗮𝗻 𝘂𝗹𝗮𝗺𝗮-𝘂𝗹𝗮𝗺𝗮 𝗹𝗮𝗶𝗻𝗻𝘆𝗮

Al imam adz Dzahabi rahimahullah berkata :

والنووي ‌رجل ‌أشعري ‌العقيدة ‌معروف ‌بذلك، يبدع من خالفه ويبالغ في التغليظ عليه

"Dan an Nawawi adalah seorang yang berakidah Asy’ari, tentang hal itu sudah sangat dikenal. Dia membid’ahkan orang yang menyelisihinya dan sangat keras dalam bersikap terhadap penentang Asy’ariyah."[1]

Al imam Taqiyuddin as Subki rahimahullah berkata :

فإن ‌النووي ‌أشعري العقيدة

“Sesungguhnya an Nawawi bermadzhab Asy’ari dalam Aqidah.”[2]

Al imam Munawi rahimahullah berkata :

فإن النووي أشعري

“Sesungguhnya an Nawawi bermadzhab Asy’ari.”[3]

𝗕𝘂𝗸𝘁𝗶 𝗸𝗲𝗱𝘂𝗮 : 𝗣𝗲𝗻𝗴𝗮𝗸𝘂𝗮𝗻 𝗯𝗲𝗹𝗶𝗮𝘂 𝘀𝗲𝗻𝗱𝗶𝗿𝗶

Imam Nawawi dalam karyanya Bustan al Arifin menyebut Imam Abu al Hasan al-Asy'ari sebagai salah satu imamnya :

ومن المشهودين بكثرة التصنيف إمامنا الإمام أبو عبد الله محمد بن إدريس الشافعي والإمام أبو الحسن الأشعري رضي الله تعالى عنهما

Artinya: "Di antara yang dikenal dengan banyak karangannya adalah imam kita, Imam Abu Abdullah Muhammad bin Idris asy-Syafi'i dan Imam Abu al-Hasan al-Asy'ari, semoga Allah meridhai keduanya."[4]

Beliau juga berkata :

كان الأستاذ أحد الثلاثة الذين اجتمعوا فى عصر واحد على نصر مذهب الحديث والسنة فى المسائل الكلامية، القائمين بنصرة مذهب الشيخ أبى الحسن الأشعرى، وهم الأستاذ أبو إسحاق الإسفراينى، والقاضى أبو بكر الباقلانى، والإمام أبو بكر بن فورك

"Sang guru adalah salah satu dari tiga tokoh yang hidup pada masa yang sama dan berjuang untuk membela mazhab hadis dan sunnah dalam persoalan ilmu kalam. Mereka adalah tokoh yang mendukung mazhab Syaikh Abu al Hasan al Asy’ari. Mereka adalah al ustadz Abu Ishaq al Isfara'ini, al Qadhi Abu Bakr al Baqillani, dan Imam Abu Bakr bin Furak."[5]

𝗕𝘂𝗸𝘁𝗶 𝗸𝗲𝘁𝗶𝗴𝗮 : 𝗠𝗲𝗻𝗴𝗮𝗷𝗮𝗿 𝗱𝗶 𝗟𝗲𝗺𝗯𝗮𝗴𝗮 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝘀𝘆𝗮𝗿𝗮𝘁 𝗽𝗲𝗻𝗴𝗮𝗷𝗮𝗿𝗻𝘆𝗮 𝗯𝗲𝗿𝗺𝗮𝗱𝘇𝗵𝗮𝗯 𝗔𝘀𝘆’𝗮𝗿𝗶𝘆𝗮𝗵

Disebutkan bahwa Madrasah Darul Hadits al Asrifiyah menetapkan syarat bahwa semua pengajarnya harus bermadzhab Aqidah Asy’ariyah. Dan imam Nawawi bukan sekedar pengajar, namun pernah menjabat sebagai mudirnya. Disebutkan :

وهذه المدرسة وليها … الإمام ﺍﻟﻨﻮﻭﻱ والحافظ المزي الذي ﻛﺘﺐ ﻋﻠﻰ ﻧﻔﺴﻪ أﻧﻪ أﺷﻌﺮﻱ ﻗﺒﻞ أﻥ ﻳﻠﻲ ﺩﺍﺭ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ الأﺷﺮﻓﻴﺔ .

"Dan madrasah ini pernah dipimpin oleh imam An Nawawi dan al Hafizh al Mizzi, yang menuliskan pada dirinya sendiri bahwa ia adalah seorang Asy’ari sebelum memimpin Dar al Hadits al Asyrafiyah.”[6]

𝗕𝘂𝗸𝘁𝗶 𝗸𝗲𝗲𝗺𝗽𝗮𝘁 : 𝗽𝗲𝗺𝗶𝗸𝗶𝗿𝗮𝗻𝗻𝘆𝗮

Di antara ciri yang paling kuat dalam madzhab Asy’ariyah adalah diterimanya metode Tafwidh sebagai yang paling unggul dan dibolehkannya takwil jika dibutuhkan. Dan jika kita membaca kitab-kitab karya sang imam kita akan ketahui bahwa beliau mengikuti metode madzhab Asy’ari dalam perkara ini, semisal ucapan beliau :

هذا ‌الحديث ‌من ‌أحاديث ‌الصفات ‌وفيها ‌مذهبان ‌تقدم ‌ذكرهما مرات في كتاب الإيمان أحدهما الإيمان به من غير خوض في معناه مع اعتقاد أن الله تعالى ليس كمثله شيء وتنزيهه عن سمات المخلوقات والثاني تأويله بما يليق به

Ahmad Syahrin Thoriq (Official)

20 Jan, 04:15


“Hadits ini termasuk dalam hadits-hadits sifat. Mengenainya ada dua pendapat yang telah disebutkan berulang kali dalam Kitab al Iman. Pendapat pertama adalah beriman kepadanya tanpa membahas maknanya, dengan keyakinan bahwa 'Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya' dan mensucikan-Nya dari sifat-sifat makhluk. Pendapat kedua adalah mentakwilkannya dengan makna yang sesuai…”[7]

𝗕𝘂𝗸𝘁𝗶 𝗸𝗲𝗹𝗶𝗺𝗮 : 𝗕𝗮𝗵𝗸𝗮𝗻 𝗱𝗶𝗮𝗸𝘂𝗶 𝗼𝗹𝗲𝗵 𝗽𝗶𝗵𝗮𝗸 “𝗹𝗮𝘄𝗮𝗻”

Tentang posisi beliau sebagai pengikut madzhab Asy’ari dalam Aqidah bahkan juga diakui oleh ulama-ulama dari madzhab lain. Di antaranya adalah apa yang dinyatakan oleh Syaikh al Albani rahimahullah :

مثل النووي وابن حجر العسقلاني وأمثالهم فهُم ‌من ‌الظلم ‌أن ‌يقال ‌عنهم ‌إنهم من أهل البدعة، أنا أعرف أنهما من الأشاعرة

“Merupakan suatu kezaliman jika dikatakan tentang an Nawawi, Ibnu Hajar al Asqalani dan orang yang semisal mereka dengan julukan ahli bid’ah. Meskipun saya mengetahui bahwa keduanya termasuk golongan Asy’ariyah."[8]

As Silafi rahimahullah berkata :

كان الإِمام ‌النووي رحمه الله ‌أشعري المعتقد، كثير التأويل لنصوص الكتاب والسنة عن ظواهرها. ولا يخفى هذا على من له أدنى إلمام بشرحه لصحيح الإِمام مسلم رحمه الله

"Imam an Nawawi rahimahullah adalah seorang yang berakidah Asy’ari, banyak melakukan takwil terhadap teks-teks Al Qur'an dan Sunnah dari makna lahiriahnya. Hal ini tidaklah samar bagi siapa saja yang memiliki pengetahuan dasar tentang syarah beliau terhadap Shahih Imam Muslim rahimahullah."[9]

Syaikh Abdul Aziz Rajihi berkata :

النووي رحمه الله في شرح صحيح مسلم يؤول الصفات على طريقة الأشاعر

"Imam an Nawawi rahimahullah dalam Syarh Shahih Muslim menakwilkan sifat-sifat (Allah) sesuai dengan metode Asy'ariyah."[10]

Syaikh Abdul Karim al Khudari berkata :

النووي ‌أشعري ويقرر عقيدة الأشاعرة في شرح مسلم بكل ما تتطلبه من أبواب العقيدة

“Nawawi adalah seorang Asy'ari, dan beliau menetapkan akidah Asy'ariyah dalam Syarh Shahih Muslim dengan mencakup seluruh bab akidah yang diperlukan."[11]

Muhammad bin Hadi al Madhali berkata :

كـذَّاب الذي يقول لك النووي سلفي، والله كَذَّاب حتى يموت كائنًا من كان، أشعريٌّ جلد

"Pendusta orang yang mengatakan kepadamu bahwa an Nawawi adalah seorang Salafi. Demi Allah, dia adalah pendusta, siapapun dia, hingga ia mati. (An Nawawi) adalah seorang Asy’ari tulen."[12]

Bersambung ke bagian ke IV : Imam Ibnu Hajar al Asqalani…
___
[1] Tarikh al Islami (15/336)
[2] Thabaqat Syafi’iyyah (6/19)
[3] Yawaqit wa Durar (2/381)
[4] Bustan al Arifin hal. 79
[5] Tahdzib al Asma wa al Lughat (2/170)
[6] Thabaqat Asy-Syafi'iyah (10/397)
[7] Syarh Nawawi ‘ala Muslim (5/28)
[8] Jami’ Turats al Albani (6/163)
[9] Tahqiq Irsyad ath Thulab (1/31)
[10] Syarah Aqidah Thahawiyah hal. 86
[11] Syarah Shahih Bukhari (4/23)
[12] H*tps://*pp.box.c*m/s/59q8z5h1kd

Ahmad Syahrin Thoriq (Official)

20 Jan, 03:59


𝗞𝗘𝗕𝗘𝗥𝗔𝗡𝗜𝗔𝗡 𝗦𝗔𝗡𝗚 𝗦𝗨𝗟𝗧𝗔𝗡𝗨𝗟 𝗨𝗟𝗔𝗠𝗔

Oleh : Ahmad Syahrin Thoriq

Jika kita membaca biografi sosok imam yang bergelar rajanya ulamanya ini, maka kita akan mendapati bahwa diantara hal yang paling menonjol pada diri beliau adalah keberaniannya yang luar biasa dalam menyampaikan dan membela kebenaran.

Imam Izz Abdussalam seperti tidak punya urat takut sama sekali, meski yang ia hadapi adalah pihak yang sangat kejam atau penguasa yang paling berpengaruh. Nah, di tulisan kali ini kita akan menuturkan kembali sebagian kisah tersebut.

Diriwayatkan bahwa ketika sultan Mesir hendak bersiap-siap untuk menghadapi invasi tentara Tartar, ia berkonsultasi dengan al imam Izz Abdussalam kaitannya dengan pesiapan kampanye tersebut. Sultan meminta persetujuan dari alim ulama untuk mengambil pajak dari orang-orang kaya dan para pedagang karena harta negara tidak cukup untuk membiayai perang tersebut.

Sang ulama dengan tegas mengatakan :

إذا أحضرت ما عندك وعند حريمك وأحضر الأمراء ما عندهم من الحلي الحرام وضربته سكة ونقدا وفرقته في الجيش ولم يقم بكفايتهم ذلك الوقت اطلب القرض وأما قبل ذلك فلا

“Jika engkau telah membawa apa yang ada padamu, juga apa yang ada pada istrimu, dan para amir membawa apa yang ada pada mereka berupa perhiasan haram itu, lalu engkau mencetaknya menjadi mata uang dan membagikannya kepada pasukan, namun itu masih belum mencukupi kebutuhan mereka saat itu, maka pinjamlah. Tapi sebelum itu, jangan!'

Mendengar ini terpaksa Sultan dan seluruh menteri dan pejabat lainnya bersegera mengumpulkan harta-harta mereka dan membawa semua yang mereka miliki ke hadapan sang imam. Tidak ada satupun dari para pejabat itu berani sedikitpun untuk menentang fatwanya karena beliau memiliki kedudukan yang agung di hadapan mereka dan wibawa yang sangat tinggi.

Konon ketika hari kewafatan sang imam dan jenazah beliau diusung ke pemakaman, sultan yang sempat melihat pemandangan adanya lautan manusia yang mengiringi jenazah tersebut berkata :

اليوم استقر أمري في الملك لأن هذا الشيخ لو كان يقول للناس اخرجوا عليه لانتزع الملك مني

'Hari ini kekuasaanku di kerajaan ini benar-benar kokoh, karena seandainya Syekh ini berkata kepada orang-orang, “Keluar dan melawan dia’ pasti mereka akan merebut kerajaan dariku.”

Semoga bermanfaat.
____
Ref : Thabaqat Asy Syafi’iyyah al Kubra (8/216)

Ahmad Syahrin Thoriq (Official)

18 Jan, 11:41


Beliau berkata : “Dan dalam firman-Nya ini : Sesungguhnya Allah tidak kosong dari tempat mana pun, jika yang dimaksudkan adalah ilmu-Nya, maka itu benar. Sesungguhnya ilmu-Nya mencakup seluruh hal yang diketahui. Adapun Zat-Nya, maka tidak mungkin terkurung dalam salah satu makhluk-Nya. Allah Mahasuci dari hal itu, dengan ketinggian yang besar." [3]

Beliau juga mengutip pendapat Mujahid, yang menyatakan bahwa ketika ayat “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Aku kabulkan” diturunkan, para sahabat bertanya, “Ke mana arah yang kita tuju?” Maka turunlah ayat: “Ke mana pun kamu menghadap, di sanalah wajah Allah.” [4]

Begitu juga saat beliau menjelaskan firman Allah ta’ala di surah al Maidah ayat 6 :

ﺑَﻞْ ﻳَﺪَﺍﻩُ ﻣَﺒْﺴُﻮﻃَﺘَﺎﻥِ ﻳُﻨْﻔِﻖ ﻛَﻴْﻒ ﻳَﺸَﺎﺀ

“Bahkan kedua tangan-Nya terbuka, Dia memberi sebagaimana yang Dia kehendaki.”

Maksudnya adalah bahwa Allah Maha Luas anugerah dan pemberian-Nya, yang tidak ada satu pun kecuali di sisi-Nya terdapat khazanahnya. Dialah yang memberikan segala kenikmatan kepada makhluk-Nya, tanpa sekutu bagi-Nya.” [5]
Dan masih banyak contoh lainnya.

𝗞𝗲𝗲𝗺𝗽𝗮𝘁 : 𝗗𝗮𝗹𝗮𝗺 𝗽𝗲𝗻𝗺𝗯𝗮𝗵𝗮𝘀𝗮𝗻 𝗔𝗾𝗶𝗱𝗮𝗵 𝗺𝗲𝗿𝘂𝗷𝘂𝗸 𝗽𝗲𝗻𝗱𝗮𝗽𝗮𝘁 𝗔𝘀𝘆’𝗮𝗿𝗶𝘆𝗮𝗵

Ketika membaca karya beliau maka kita juga akan mengetahui bahwa imam Ibnu Katsir bukan hanya sekedar menukil pendapat para ulama-ulama madzhab Asy’ariyah sebagai tapi juga menjadikannya sebagai salah satu rujukan.

Tak usah jauh-jauh kita mengambil contoh, saat beliau menjelaskan tentang masalah ism (nama) dalam surah al fatihah beliau mendatangkan rujukan nama-nama ulama Asy’ariyah seperti Abu Ubaidah, Sibawayh, Baqillani dan imam Fakhrurazi rahimahumullah. [6]

𝗞𝗲𝗹𝗶𝗺𝗮 : 𝗺𝗲𝗻𝘆𝗲𝗯𝘂𝘁 𝗶𝗺𝗮𝗺 𝗔𝘀𝘆’𝗮𝗿𝗶 𝗱𝗲𝗻𝗴𝗮𝗻 𝗶𝗺𝗮𝗺 𝗮𝗵𝗹𝘂𝘀𝘀𝘂𝗻𝗻𝗮𝗵

Dalam beberapa karyanya kita akan dapati al imam Ibnu katsir menisbahkan madzhab ahlussunnah wal Jama’ah kepada al imam Abul Hasan al Asy’ari rahimahullah, seperti ucapan beliau :

كما زعمه ابن حزم، وغير واحد من المتكلمين، بل الصحيح الأول، كما حكاه أبو ‌الحسن ‌الأشعري عن مذهب أهل السنة والجماعة

“…Sebagaimana yang diklaim oleh Ibnu Hazm dan beberapa ahli kalam lainnya. Namun yang benar adalah pendapat pertama, sebagaimana yang dinukil oleh Abu Hasan Al-Asy'ari dari mazhab Ahlus Sunnah wal Jamaah.” [7]

وما كنا معذبين حتى نبعث رسولا وقد حكاه الشيخ أبو ‌الحسن ‌الأشعري إجماعا عن أهل السنة والجماعة

“Dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang rasul' (Al Isra: 15). Hal ini juga telah dinukil oleh Syaikh Abu Hasan al Asy'ari sebagai ijma’ dari Ahlus Sunnah wal Jamaah." [8]

Bersambung ke Imam Nawawi, insyaallah…
_______

[1] Ad-Durar al Kaminah (1/17)
[2] Thabaqat Asy Syafi’iyyah al Kubra (10/398),
[3] Tafsir Ibnu Katsir (1/175)
[4] Ibid
[5] Tafsir Ibnu Katsir (3/341)
[6] Tafsir Ibnu Katsir (1/148-149)
[7] Bidayah wa Nihayah (6/36)
[8] Bidayah wa Nihayah (6/555)

Ahmad Syahrin Thoriq (Official)

18 Jan, 11:41


𝗕𝗔𝗚𝗜𝗔𝗡 𝗜𝗜 : 𝗠𝗘𝗥𝗘𝗞𝗔 𝗔𝗗𝗔𝗟𝗔𝗛 𝗔𝗦𝗬’𝗔𝗥𝗜𝗬𝗔𝗛

Oleh : Ahmad Syahrin Thoriq

Di tulisan sebelumnya telah kami sebutkan bahwa di antara cara mengetahui madzhab dari seorang ulama adalah dengan (1) Melihat pengakuannya (2) Melihat pemikiran dan amaliyahnya (3) Kesaksian ulama yang lain.

Berikut ini adalah contoh dari ulama-ulama kaum muslimin yang disebut sebagai ulama yang bermadzhab Asy’ariyah lewat ketiga cara di atas atau salah satunya. Kita awali dulu di tulisan kali ini dari al imam al Hafidz Abu Fida’ Ibnu Katsir rahimahullah. Selamat menyimak, semoga bermanfaat :

𝗔𝗹 𝗶𝗺𝗮𝗺 𝗜𝗯𝗻𝘂 𝗞𝗮𝘁𝘀𝗶𝗿 𝗿𝗮𝗵𝗶𝗺𝗮𝗵𝘂𝗹𝗹𝗮𝗵

Berikut ini adalah beberapa bukti dan indikasi kuat yang menunjukkan bahwa al imam Ibnu Katsir rahimahullah adalah termasuk ulama yang bermadzhab Aqidah Asy’ariyah.

𝗕𝘂𝗸𝘁𝗶 𝗽𝗲𝗿𝘁𝗮𝗺𝗮 : 𝗗𝗮𝗿𝗶 𝗣𝗲𝗻𝗴𝗮𝗸𝘂𝗮𝗻𝗻𝘆𝗮

Al Hafizh Ibnu Hajar as Asqalani meriwayatkan dalam biografi Ibrahim bin Ibnu al Qayyim al Jauziyyah rahimahullah, sebagai berikut :

ومن نوادره أنه وقع بينه وبين عماد الدين ابن كثير منازعة في تدريس الناس فقال له ابن كثير : أنت تكرهني لأنني أشعري . فقال له : لو كان من رأسك الى قدمك شعر ما صدقك الناس في قولك أنك أشعري وشيخك ابن تيمية

"Di antara kisah uniknya, pernah terjadi perdebatan antara dia (Ibrahim) dan Imaduddin Ibnu Katsir mengenai mengajar masyarakat. Maka Ibnu Katsir berkata kepadanya, 'Engkau membenciku karena aku seorang Asy'ari ?’ Dia menjawab, 'Seandainya dari ujung kepala hingga kakimu dipenuhi rambut (syu'ur), orang-orang tetap tidak akan mempercayai bahwa engkau seorang Asy'ari, karena gurumu adalah Ibnu Taimiyah !" [1]

𝗕𝘂𝗸𝘁𝗶 𝗸𝗲𝗱𝘂𝗮 : 𝗠𝗲𝗻𝗴𝗮𝗷𝗮𝗿 𝗱𝗶 𝗗𝗮𝗿𝘂𝗹 𝗛𝗮𝗱𝗶𝘁𝘀 𝗮𝘀 𝗔𝘀𝘆𝗿𝗮𝗳𝗶𝘆𝘆𝗮𝗵, 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝘀𝘆𝗮𝗿𝗮𝘁 𝗽𝗲𝗻𝗴𝗮𝗷𝗮𝗿𝗻𝘆𝗮 𝗵𝗮𝗿𝘂𝘀 𝗯𝗲𝗿𝗺𝗮𝗱𝘇𝗵𝗮𝗯 𝗔𝘀𝘆'𝗮𝗿𝗶.

Hal ini sebagaimana telah disebutkan oleh al imam Tajuddin as Subki rahimahullah bahwa diantara syarat bagi seseorang untuk bisa diterima mengajar di Darul Hadits al Asyrafiyyah adalah harus bermadzhab Asy’ari dalam aqidah sebagaimana yang telah disyaratkan oleh pewaqafnya. Dan diketahui bahwa al imam Ibnu Katsir memegang jabatan kepala pengajar di madrasah tersebut pada bulan Muharram tahun 772 H. [2]

Mungkin sebagian pihak akan tetap mencari celah dengan mengatakan : Bisa jadi imam Ibnu Katsir dalam hal ini sengaja bertaqiyah. Pura-pura saja mengaku mengikuti Asy’ariyah. Subhanallah, mungkinkah ulama sekelas beliau rela mencari tempat beramal yang bertentangan dengan aqidah dan juga dimungkinkan mendapat rezeki yang tidak halal karena menyelisihi akad ?

Orang seperti kita saja yang cuma begini, diminta mengajar dengan gaji 100 juta perpekan dengan syarat harus mengakui ikut sebuah Aqidah yang sesat katakan harus mengaku Ahmadiyah atau Rafidhah apakah mau ? Kalau saya sih tak sudi ! karena masih banyak cara lain untuk mendapatkan 100 juta tanpa harus menggadaikan Aqidah.

𝗞𝗲𝘁𝗶𝗴𝗮 : 𝗗𝗮𝗹𝗮𝗺 𝘁𝗮𝗳𝘀𝗶𝗿𝗻𝘆𝗮 𝗮𝗱𝗮 𝗧𝗮𝗳𝘄𝗶𝗱𝗵 𝗱𝗮𝗻 𝗷𝘂𝗴𝗮 𝘁𝗮𝗸𝘄𝗶𝗹
Siapapun yang membaca kitab tafsir beliau, pasti akan mengetahui bahwa sang imam ketika menjelaskan ayat-ayat yang berkaitan dengan sifat-sifat Allah ta’ala beliau melakukan Tafwidh dan juga takwil. Meski cara yang pertama adalah yang paling banyak beliau gunakan.

Dan dalam madzhab Asy’ariyah telah diketahui secara pasti bahwa meskipun takwil dibolehkan, tetaplah adalah metode tafwidh diunggulkan dari takwil.

Kita ambil contoh dalam tafsir Ibnu katsir misalnya saat beliau menjelaskan firman Allah di surah al Baqarah ayat 115 :

ﻭَﻟِﻠَّﻪِ ﺍﻟْﻤَﺸْﺮِﻕُ ﻭَﺍﻟْﻤَﻐْﺮِﺏُ ﻓَﺄَﻳْﻨَﻤَﺎ ﺗُﻮَﻟُّﻮﺍ ﻓَﺜَﻢَّ ﻭَﺟْﻪُ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺇِﻥَّ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﻭَﺍﺳِﻊٌ ﻋَﻠِﻴﻢٌ

"Dan milik Allah-lah timur dan barat. Maka ke mana pun kamu menghadap, di sanalah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui."

Ahmad Syahrin Thoriq (Official)

18 Jan, 09:26


𝗠𝗔𝗡𝗔 𝗕𝗨𝗞𝗧𝗜 𝗠𝗘𝗥𝗘𝗞𝗔 𝗔𝗦𝗬'𝗔𝗥𝗜𝗬𝗔𝗛 ?

Oleh : Ahmad Syahrin Thoriq

Madzhab yang diikuti oleh seorang ulama bisa diketahui lewat beberapa hal, diantaranya yaitu pertama dengan jalan pengakuan langsung dari ulama tersebut. Semisal dia mengatakan : Saya Syafi’iyyah, saya Hanabilah atau saya Asy’ariyah.

Yang kedua lewat pemikiran atau amalan dari sosok tersebut. Dimana mungkin seorang ulama tidak pernah diketahui mengatakan bahwa ia bermadzhab dengan sebuah madzhab tertentu, namun dari pemikirannya atau amaliyahnya ia diketahui bermadzhab dengan sebuah madzhab.

Yang dimaksud dengan pemikiran atau amaliyah di sini adalah yang menjadi ciri sangat khas dari sebuah madzhab, bukan ciri umum yang ada di dalam sebuah madhzab Islam.

Semisal ketika seorang ulama tidak menyatakan bahwa ia bermadzhab Syafi’i, namun ia diketahui berqunut setiap shubuh dan menyatakan bahwa hukum shalat hari raya itu sunnah misalnya, maka bisa saja ia dikatakan bermadzhab Syafi’iyyah. Karena dua hal yang kita jadikan contoh tersebut memang khas pendapat madzhab Syafi’iyyah.

Dan yang ketiga, madzhab seorang ulama bisa juga diketahui lewat kesaksian ulama lainnya. Semisal dalam thabaqat Syafi’iyyah dinyatakan bahwa imam Izz Abdussalam bermadzhab Syafi’i dalam fiqih dan Asy’ariyah dalam Aqidah, maka itu bisa menjadi bukti bahwa beliau memang bermadzhab dengan dua madzhab tersebut.

Namun tetap saja ketiga hal di atas sifatnya tidaklah pasti, bisa saja dimungkinkan adanya perbedaan pandangan terhadap madzhab seorang ulama meskipun dia menyatakan madzhabnya A misalnya, karena ternyata amaliyah atau pemikirannya dinilai lebih dekat kepada pemikiran madzhab B.

Contoh untuk yang pertama ini adalah al imam Ibnu Katsir rahimahullah, beliau secara tegas menyatakan bahwa madzhab beliau dalam Aqidah adalah Asy’ariyah, namun oleh sebagian kalangan dikatakan bahwa amaliyah dan pemikiran Ibnu Katsir lebih dekat kepada Atsariyah.

Atau seorang ulama disebut amaliyah atau pemikirannya B, namun diketahui dalam beberapa keadaan ia lebih dekat kepada A. Sehingga terjadilah perbedaan pendapat tentang madzhab sang ulama tersebut.

Contoh dalam hal ini misalnya al imam ath Thabari, beliau dinyatakan oleh kalangan Asy’ariyah sebagai bagian dari mereka karena takwil-takwil yang ada dalam tafsirnya yang sangat sejalan dengan paham Asy’ariyah, namun oleh sebagian pihak ditolak karena dalam hal lain beliau sejalan dengan kalangan Atsariyah.

Yang selanjutnya adakalanya seorang ulama dipersaksikan oleh ulama lain bermadzhab A, tapi ternyata oleh ulama yang lain lagi ia dimasukkan ke dalam thabaqat ulama B. Sehingga terjadilah perbedaan pendapat tentang madzhab ulama tersebut.

Dalam contoh ini misalnya al imam Bukhari, beliau diklaim oleh kalangan Syafi’iyyah bermadzhab Syafi’i, namun oleh kalangan Hanabilah beliau dimasukkan sebagai bagian dari ulama-madzhab tersebut.

Demikianlah permasalahan ini, bukan ilmu pasti yang sifatnya benar dan salah. Apalagi jelas di akhir tulisan telah kami nyatakan bahwa yang dimaksud Asy’ariyah dalam daftar yang telah kami buat adalah bukan hanya ulama yang secara tegas menyatakan ke-Asy’ariyah-annya atau melakukan pembelaan terhadap madzhab ini, tapi termasuk di dalamnya mereka yang menyebutkan keutamaan dari madzhab yang satu ini.

Maka tentu dalam hal yang seperti ini, sangat mungkin terjadi perbedaan pandangan atas madzhab yang dianut oleh seorang ulama diantara kita. Ya berbeda untuk hal yang seperti ini itu biasa saja, selama perbedaan itu didasarkan kepada ilmu dan data, tak selayaknya kita saling menistakan dan saling melemparkan tuduhan yang buruk terhadap sesame muslim.

Maka izinkan kami dalam hal ini untuk menerangkan tentang “keasy’ariahan” Sebagian ulama dengan tiga metode yang telah kami sebutkan, yakni (1) Pengakuannya (2) Fikrah dan amaliyahnya (3) Kesaksian ulama atasnya.

Ahmad Syahrin Thoriq (Official)

18 Jan, 09:26


Dan sangat mungkin setelahnya kita akan tetap berbeda pendapat. Dan itu tidak perlu diperuncing, karena tujuan kami menulis berseri tentang bab ini adalah bukan untuk mengajak anda untuk menjadi Asy’ari atau Maturidi, tapi mengajak kita semua untuk bersaudara dalam ikatan keimanan, bersatu padu dengan menghargai perbedaan dan tidak mudah mengusir kelompok lain dari rumah besar Ahlussunnah wal Jama’ah.

Bersambung…

Ahmad Syahrin Thoriq (Official)

18 Jan, 05:54


68. Abu Ishaq Ats-Tsa’labi (w. 427 H)

69. Abu Sahl Ash-Shaluki (w. 369 H)

70. Abu Bakar Al-Qaffal Asy-Syashi (w. 507 H)

71. Abu Sa’ad Al-Mutawalli An-Naisaburi (w. 478 H)

72. Al-Hakim An-Naisaburi (w. 405 H) – Penulis Al-Mustadrak.

73. Al-Khatib Asy-Syarbini (w. 977 H) – Penulis As-Siraj Al-Munir.

74. Al-Khatib Al-Baghdadi (w. 463 H) – Penulis Tarikh Baghdad.

75. Izzuddin Ibn Abd As-Salam (w. 660 H) – Sultan ulama.

76. Kamaluddin Ibnu Abi Syarif (w. 906 H)

77. Al-Malawi (w. 1181 H)

78. Al-Bujairimi (w. 1221 H)

79. Abdul Qahir Al-Jurjani (w. 471 H) – Tokoh ilmu balaghah.

80. Abdul Wahhab Asy-Sya’rani (w. 973 H) – Penulis Al-Yawaqit wa Al-Jawahir.

81. Abdullah bin Alawi Al-Haddad (w. 1132 H)

82. Ahmad Ar-Rifa’i (w. 578 H) – Pendiri tarekat Rifa’iyah.

83. Ahmad Zaini Dahlan (w. 1304 H) – Penulis Fitnah Al-Wahhabiyyah.

84. Ibrahim Al-Bajuri (w. 1277 H) – Penulis Hasyiah Al-Bajuri.

85. Hasan Al-Athar (w. 1250 H)

86. Muhammad Al-Ahmadi Az-Zawahiri (w. 1363 H)

87. Mustafa Said Al-Khan (w. 1429 H)

88. Nuh Al-Qudha’ (w. 1432 H)

89. Abdullah Al-Harari (w. 1429 H) – Penulis Bughyat At-Talibin.

Nama-nama yang telah kami sebutkan ada yang masuk kategori ulama Asy'ariyah Matudiridyah tulen, dalam artian membela madzhab ini dengan karya atau pernyatannya, sebagiannya hanya sebatas menyebut keutamaan kedua madzhab ini.

Wallahu a'am.

Ahmad Syahrin Thoriq (Official)

18 Jan, 05:54


𝗕𝗔𝗚𝗜𝗔𝗡 𝗜𝗜 : 𝗔𝗦𝗬'𝗔𝗥𝗜𝗬𝗔𝗛 𝗠𝗔𝗧𝗨𝗥𝗜𝗗𝗜𝗬𝗔𝗛 𝗗𝗔𝗥𝗜 𝗞𝗔𝗟𝗔𝗡𝗚𝗔𝗡 𝗨𝗟𝗔𝗠𝗔 𝗠𝗔𝗗𝗭𝗛𝗔𝗕 𝗙𝗜𝗤𝗜𝗛

Oleh : Ahmad Syahrin Thoriq

𝗠𝗮𝗱𝘇𝗵𝗮𝗯 𝗗𝘇𝗮𝗵𝗶𝗿𝗶

1. Abu Hayyan al Andalusi (w. 745 H) – Ulama besar dalam tafsir dan fikih.

𝗠𝗮𝗱𝘇𝗵𝗮𝗯 𝗛𝗮𝗻𝗯𝗮𝗹𝗶

1. Abu Al-Wafa Ibnu Aqil (w. 513 H) – Penulis kitab al Funun.

2. Abu Al-Faraj Ibnu Al-Jauzi (w. 597 H) – Penulis Daf' Syubah At-Tasybih bi Akuff At-Tanzih dan Talbis Iblis.

3. Ibnu 'Adil (w. 880 H) – Penulis Tafsir Al-Lubab fi Ulum Al-Kitab.

4. Izzuddin Ar-Rass’ani (w. 661 H) – Penulis Tafsir Rumuz Al-Kunuz.

5. Ibnu Hisyam Al-Anshari (w. 761 H) – Pakar gramatika dan fikih.

6. Ibnu An-Najjar (w. 972 H) – Ulama fikih dan ushul Hanbali.

7. Abu Al-Khaththab Al-Kaludzani (w. 510 H) – Penulis Al-Mandhumah Ad-Daliyah.

8. Mar’i Al-Karmi (w. 1033 H) – Penulis Bahjat An-Nazhirin wa Ayat Al-Mustadillin.

9. Mansur bin Yunus Al-Bahuti (w. 1051 H) – Ulama besar fikih Hanbali.

10. Sulaiman bin Abdul Wahhab (w. 1208 H) – Penulis As-Sawa'iq Al-Ilahiyyah fi Ar-Radd 'ala Al-Wahhabiyyah.

11. Muhammad bin Abdullah bin Humaid (w. 1295 H) – Penulis As-Suhub Al-Wabilah 'ala Dharaih Al-Hanabilah.

12. Mustafa bin Ahmad bin Hasan Asy-Syathi (w. 1348 H) – Penulis An-Naqul Asy-Syar’iyyah fi Ar-Radd 'ala Al-Wahhabiyyah.

13. Hasan bin Umar Asy-Syathi (w. 1274 H) – Ulama besar fikih Hanbali.

14. Muhammad bin Hasan bin Umar Asy-Syathi (w. 1307 H) – Ulama besar dari keluarga Asy-Syathi.

𝗠𝗮𝗱𝘇𝗵𝗮𝗯 𝗛𝗮𝗻𝗮𝗳𝗶

1. Al-Hakim As-Samarqandi (w. 342 H) – Ulama besar Mazhab Hanafi.

2. Abu Al-Yusr Al-Bazdawi (w. 493 H) – Penulis Usul Ad-Din yang menjadi rujukan utama pemikiran Maturidiyah.

3. Abu Al-Mu’in An-Nasafi (w. 508 H) – Penulis At-Tamhid li Qawa'id At-Tauhid dan Tabsirat Al-Adillah.

4. Najmuddin Umar An-Nasafi (w. 537 H) – Penulis Matn Al-'Aqa’id An-Nasafiyyah dan dikenal sebagai "Mufti Ats-Tsaqalain".

5. Sa’duddin At-Taftazani (w. 793 H) – Penulis Syarh Al-'Aqa’id An-Nasafiyyah.

6. Nuruddin As-Sabuni (w. 580 H) – Penulis Al-Bidayah fi Al-Kifayah fi Al-Hidayah.

7. Asy-Syarif Al-Jurjani (w. 816 H) – Ahli dalam ilmu kalam dan filsafat.

8. Al-Kamal bin Al-Humam (w. 861 H) – Penulis Al-Musayarah fi Al-'Aqa’id Al-Munjiyah.

9. Alauddin Al-Bukhari (w. 841 H) – Ulama besar dalam Mazhab Hanafi.

10. Abu As-Su’ud Afandi (w. 982 H) – Penulis tafsir Irsyad Al-'Aql As-Salim.

11. Akmaluddin Al-Babarti (w. 786 H) – Ulama dan penulis dalam ilmu kalam dan fikih.

12. Kamaluddin Al-Bayadhi (w. 1098 H) – Ulama besar dalam ilmu kalam.

13. Burhanuddin An-Nasafi (w. 687 H) – Ahli tafsir dan ushul Mazhab Hanafi.

14. Burhanuddin Al-Marghinani (w. 593 H) – Penulis Al-Hidayah fi Syarh Bidayat Al-Mubtadi.

15. Syihabuddin Al-Khafaji (w. 1069 H) – Tokoh penting dalam ilmu bahasa dan fikih.

16. Alauddin Al-Kasani (w. 587 H) – Penulis Badai’ As-Sanai’ fi Tartib Asy-Syara’i.

17. Syajauddin At-Turkistani (w. 733 H) – Ulama ushul yang dihormati.

18. Ibnu Kamal Pasha (w. 940 H) – Tokoh terkemuka dalam Mazhab Hanafi.

19. Ibnu Amir Hajj (w. 879 H) – Ulama fikih dan ushul.

20. Ibnu Qutlubgha (w. 879 H) – Ahli hadis dan fikih Mazhab Hanafi.

21. Ibnu Najim (w. 970 H) – Penulis Al-Bahr Ar-Ra’iq.

22. Ibnu Abidin (w. 1252 H) – Penulis Radd Al-Muhtar 'ala Ad-Durr Al-Mukhtar.

23. Ibnu Mawdud Al-Mawsili (w. 683 H) – Penulis Al-Ikhtiyar li Ta’lil Al-Mukhtar.

24. Asy-Syarnblali (w. 1069 H) – Penulis Nur Al-Idhah.

25. Al-Mulla Ali Al-Qari (w. 1014 H) – Penulis Mirqat Al-Mafatih.

26. Murtadha Az-Zabidi (w. 1205 H) – Penulis Taj Al-'Arus.

27. Muhammad Zahir Al-Kawthari (w. 1371 H) – Pembela pemikiran Asy’ariyah dan Maturidiyah.

28. Abdul Ghani Al-Maidani (w. 1298 H) – Ulama fikih Mazhab Hanafi.

29. Rahmatullah Al-Kairawani (w. 1308 H) – Tokoh besar Mazhab Hanafi.

30. Abdul Hayy Al-Laknawi (w. 1304 H) – Penulis karya-karya penting dalam fikih.

31. Khairuddin Ar-Ramli (w. 1081 H) – Ulama tafsir, hadis, dan fikih Mazhab Hanafi.

32. Hasunah An-Nawawi (w. 1343 H) – Tokoh penting dalam fikih Hanafi.

Ahmad Syahrin Thoriq (Official)

18 Jan, 05:54


33. Muhammad Khalil Al-Muradi (w. 1206 H) – Ulama besar Hanafi.

34. Muhammad Mustafa Al-Maraghi (w. 1364 H) – Penulis Tafsir Al-Maraghi.

35. Mahmud Syaltut (w. 1383 H) – Penulis Tafsir Al-Qur'an Al-Karim.

36. Wahbah Az-Zuhaili (w. 1434 H) – Penulis Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu.

37. Anwar Syah Al-Kashmiri (w. 1352 H) – Penulis Faidh Al-Bari.

38. Syah Waliyullah Ad-Dihlawi (w. 1176 H) – Penulis Hujjatullah Al-Balighah.

𝗠𝗮𝗱𝘇𝗵𝗮𝗯 𝗠𝗮𝗹𝗶𝗸𝗶

1. Abu Bakar Al-Baqillani (w. 403 H) – Ulama besar dalam ilmu kalam dan fikih Maliki.

2. Abu Al-Walid Al-Baji (w. 474 H) – Ahli fikih Maliki yang berpengaruh.

3. Abu Bakar Ibnu Al-Arabi (w. 543 H) – Penulis Ahkam Al-Qur’an.

4. Abu Abdullah As-Sukuni (w. tidak diketahui) – Ulama Maliki yang dikenal dalam fikih.

5. Abu Bakar Ath-Thurtusi (w. 520 H) – Tokoh dalam fikih dan pemikiran Islam.

6. Abu Al-Abbas Al-Wansyarisi (w. 914 H) – Ulama besar dari Afrika Utara.

7. Abu Dzar Al-Harawi (w. 434 H) – Perawi hadis dari Mazhab Maliki.

8. Abu Al-Qasim As-Suhaili (w. 581 H) – Penulis Ar-Raudh Al-Unuf.

9. Abu Utsman Sa’id Al-Aqbani (w. 811 H) – Ulama besar dari Aljazair.

10. Ibnu Rusyd Al-Jadd (w. 520 H) – Kakek Ibnu Rusyd filsuf, ahli fikih terkemuka.

11. Ibnu Farhun (w. 799 H) – Penulis Tabsirat Al-Hukkam fi Ushul Al-Aqdhiyah wa Manahij Al-Ahkam.

12. Ibnu Khaldun (w. 808 H) – Pendiri ilmu sosiologi.

13. Ibnu Al-Hajib (w. 646 H) – Ahli fikih dan ushul.

14. Ibnu Arafah (w. 803 H) – Tokoh besar dalam Mazhab Maliki.

15. Ibnu Bazizah (w. 673 H) – Ulama tafsir dan fikih.

16. Ibnu Baththal (w. 449 H) – Salah satu penjelas Shahih Al-Bukhari.

17. Ibnu Juzzi Al-Gharnathi (w. 741 H) – Penulis At-Tashil fi Ulum At-Tanzil.

18. Ibnu Athiyyah Al-Andalusi (w. 542 H) – Penulis Al-Muharrar Al-Wajiz.

19. Ibnu Malik Al-Andalusi (w. 672 H) – Ahli gramatika dan bahasa.

20. Ibnu Atha’illah As-Sakandari (w. 709 H) – Penulis Al-Hikam.

21. Ibnu Jamil Ar-Rub’i (w. 715 H) – Ulama terkenal dalam Mazhab Maliki.

22. Ibnu Khumair As-Sabti (w. 614 H) – Ahli fikih dan ushul.

23. Ibnu Abi Zayd Al-Qayrawani (w. 386 H) – Penulis Ar-Risalah.

24. Ibnu Barjan (w. 536 H) – Tokoh besar dari Andalusia.

25. Ibnu Ajrum (w. 723 H) – Penulis Muqaddimah Al-Ajrumiyyah.

26. Ibnu Sīdah (w. 458 H) – Ahli bahasa dan leksikografi.

27. Ibnu Bathuthah (w. 779 H) – Penjelajah Muslim terkenal.

28. Ibnu Al-Hajj Al-Fasi (w. 737 H) – Penulis Al-Madkhal.

29. Syihabuddin Al-Qarafi (w. 684 H) – Penulis Anwar Al-Buruq fi Anwa’ Al-Furuq.

30. Syihabuddin An-Nafrawi (w. 1126 H) – Ulama fikih Maliki.

31. Abu Ishaq Asy-Syathibi (w. 790 H) – Penulis Al-Muwafaqat fi Ushul Asy-Syari'ah.

32. Al-Mazari (w. 536 H) – Ulama Maliki dari Tunisia.

33. Al-Haththab (w. 954 H) – Penulis Mawahib Al-Jalil fi Syarh Mukhtashar Khalil.

34. Al-Qadhi Iyadh (w. 544 H) – Penulis Asy-Syifa bi Ta’rif Huquq Al-Musthafa.

35. Khalil bin Ishaq Al-Jundi (w. 776 H) – Penulis Mukhtashar Khalil.

36. Ahmad bin Umar Al-Qurthubi (w. 656 H) – Ulama tafsir dan fikih.

37. Ahmad bin Ash-Shiddiq Al-Ghumari (w. 1380 H) – Ahli hadis dan ushul.

38. Ahmad Ash-Shawi (w. 1241 H) – Ulama besar Mazhab Maliki.

39. Ahmad bin Ajibah (w. 1224 H) – Penulis Al-Bahr Al-Madid fi Tafsir Al-Qur'an Al-Majid.

40. Ahmad Al-Maqri At-Tilimsani (w. 1041 H) – Penulis Nafh At-Tib min Ghishn Al-Andalus Ar-Rathib.

41. Ahmad Ad-Dardir (w. 1201 H) – Ulama fikih dan tasawuf.

42. Ahmad Zarruq (w. 899 H) – Tokoh besar tasawuf.

43. Muhammad bin Khalifah Al-Abi (w. 827 H) – Ulama besar dari Afrika Utara.

44. Muhammad bin Ahmad Ad-Dusuqi (w. 1230 H) – Ahli fikih Maliki.

45. Muhammad Miyara (w. 1072 H) – Penulis kitab fikih Maliki.

46. Muhammad Al-Amir Al-Kabir (w. 1232 H) – Tokoh penting Mazhab Maliki.

47. Ali bin Makhluf (w. 718 H) – Qadhi Qudhat Mazhab Maliki di Mesir.

48. Ali As-Sa’idi Al-Adawi (w. 1189 H) – Ulama besar fikih Maliki.

49. Ibrahim Al-Laqani (w. 1041 H) – Penulis Jawharat At-Tauhid.

50. Abdurrahman Ats-Tsa’alibi (w. 876 H) – Penulis Al-Jawahir Al-Hisan fi Tafsir Al-Qur'an.

51. Abdurrahman Al-Akhdhari (w. 953 H) – Penulis As-Sullam Al-Munawraq.

Ahmad Syahrin Thoriq (Official)

18 Jan, 05:54


52. Abdul Baqi Az-Zarqani (w. 1099 H) – Ulama besar Maliki.

53. Muhammad bin Abdul Baqi Az-Zarqani (w. 1122 H) – Penulis Syarh Az-Zarqani 'ala Al-Muwaththa'.

54. Muhammad Al-Hajawi Ats-Tsa’alibi (w. 1376 H) – Ulama besar dari Maroko.

55. Muhammad bin Ali As-Sanusi (w. 1276 H) – Tokoh tasawuf terkenal.

56. Al-Hasan Al-Yusi (w. 1102 H) – Tokoh besar tasawuf dan fikih.

57. Yusuf Ad-Dajawi (w. 1365 H) – Ulama kontemporer Mazhab Maliki.

58. Muhammad Alish (w. 1299 H) – Ulama besar Mazhab Maliki.

59. Muhammad Ath-Thahir bin Asyur (w. 1393 H) – Penulis At-Tahrir wa At-Tanwir.

60. Ismail At-Tamimi (w. 1248 H) – Tokoh penting Mazhab Maliki.

61. Ahmad Ath-Thayyib (kontemporer) – Ulama besar dan tokoh Al-Azhar.

62. Ahmad Karimah (kontemporer) – Ulama Mazhab Maliki masa kini.

𝗠𝗮𝘇𝗵𝗮𝗯 𝗦𝘆𝗮𝗳𝗶'𝗶

1. Ibnu Suraij (w. 306 H)

2. Ibnu Hibban (w. 354 H)

3. Ibnu Furak (w. 406 H)

4. Ibnu Asakir (w. 571 H) – Penulis Tarikh Dimasyq.

5. Ibnu Al-Muqri (w. 837 H)

6. Ibnu Katsir (w. 774 H) – Penulis Tafsir Al-Qur'an Al-Azhim.

7. Ibnu Qadhi Syuhbah (w. 851 H)

8. Ibnu Allan (w. 1057 H)

9. Ibnu Al-Jazari (w. 833 H) – Tokoh besar dalam ilmu qira'ah.

10. Ibnu Raslan (w. 844 H)

11. Ibnu Ash-Shalah (w. 643 H) – Penulis Muqaddimah Ibnu Ash-Shalah.

12. Ibnu Al-Athar (w. 724 H)

13. Ibnu Imam Al-Kamiliyah (w. 874 H)

14. Ibnu Abi Ashrun (w. 585 H)

15. Ibnu An-Naqib (w. 769 H)

16. Kamaluddin Ibnu Az-Zamalkani (w. 727 H)

17. Muhammad bin Abdul Rahman Ad-Dimasyqi Al-Utsmani (w. 780 H)

18. Ibnu Ar-Rif'ah (w. 710 H)

19. Ibnu Khafif Asy-Syirazi (w. 371 H)

20. Ibnu Hajar Al-Haytami (w. 974 H) – Penulis Tuhfatul Muhtaj.

21. Ibnu Hajar Al-Asqalani (w. 852 H) – Penulis Fath Al-Bari.

22. Zakariya Al-Anshari (w. 926 H)

23. Syamsuddin As-Sakhawi (w. 902 H) – Penulis Adh-Dhau’ Al-Lami’.

24. Quthbuddin An-Naisaburi (w. 578 H) – Guru Shalahuddin Al-Ayyubi.

25. Muhibbuddin Ath-Thabari (w. 694 H)

26. Taqiyuddin Al-Hishni (w. 829 H) – Penulis Kifayat Al-Akhyar.

27. Taqiyuddin As-Subki (w. 756 H) – Penulis Al-Ibhaj fi Syarh Al-Minhaj.

28. Tajuddin As-Subki (w. 771 H) – Penulis Thabaqat Asy-Syafi'iyyah Al-Kubra.

29. Bahauddin Al-Ikhmimi (w. 764 H)

30. Jalaluddin Al-Mahalli (w. 864 H) – Penulis Tafsir Al-Jalalain.

31. Jalaluddin As-Suyuthi (w. 911 H) – Penulis Ad-Durr Al-Mantsur.

32. Badruddin Ibn Jama'ah (w. 733 H)

33. Zakiuddin Al-Mundziri (w. 656 H) – Penulis At-Targhib wa At-Tarhib.

34. Jamaluddin Al-Isnawi (w. 772 H)

35. Shalahuddin Al-‘Ala’i (w. 761 H)

36. ‘Alauddin Al-Iji (w. 756 H)

37. Zainuddin Al-'Iraqi (w. 806 H)

38. Sirajuddin Al-Balqini (w. 805 H)

39. Jalaluddin Al-Balqini (w. 824 H)

40. Jalaluddin Ad-Dawani (w. 918 H)

41. Syamsuddin Ar-Ramli (w. 1004 H)

42. Syihabuddin Ibnu Jahbal (w. 733 H)

43. Imam An-Nawawi (w. 676 H) – Penulis Riyadh Ash-Shalihin.

44. Ibnu Daqiq Al-‘Id (w. 702 H) – Penulis Ihkam Al-Ahkam.

45. Nasiruddin Al-Baidhawi (w. 685 H)

46. Waliuddin Al-'Iraqi (w. 826 H)

47. Syarafuddin Al-Manawi (w. 871 H)

48. Syamsuddin Al-Khusrawsyahi (w. 652 H)

49. Shafiyuddin Al-Hindi Al-Armawi (w. 715 H)

50. Jalaluddin Al-Qazwini (w. 739 H)

51. Fakhruddin Ar-Razi (w. 606 H) – Penulis Mafatih Al-Ghaib.

52. Abu Muhammad Al-Juwaini (w. 438 H) – Ayah Imam Haramain.

53. Abu Al-Ma’ali Al-Juwaini (w. 478 H) – Guru Imam Al-Ghazali.

54. Abu Bakar Al-Isma’ili (w. 371 H)

55. Abu Bakar Al-Baihaqi (w. 458 H) – Penulis As-Sunan Al-Kubra.

56. Abu Nu’aim Al-Ashbahani (w. 430 H) – Penulis Hilyat Al-Awliya'.

57. Abu Al-Qasim Al-Qusyairi (w. 465 H) – Penulis Risalah Al-Qusyairiyyah.

58. Abu Hamid Al-Ghazali (w. 505 H) – Penulis Ihya Ulumuddin.

59. Abu Ishaq Asy-Syirazi (w. 476 H) – Penulis At-Tanbih.

60. Abu Al-Qasim Al-Isfiraini (w. 452 H)

61. Abu Ishaq Al-Isfiraini (w. 418 H)

62. Abu Al-Husain Al-Malathi (w. 377 H)

63. Abu Al-Qasim Ar-Rafi’i (w. 623 H)

64. Abu ‘Utsman Ash-Shabuni (w. 449 H) – Penulis Aqidah Ash-Shabuni.

65. Abu Al-Fath Asy-Syahrastani (w. 548 H) – Penulis Al-Milal wa An-Nihal.

66. Abu Al-Qasim Al-Anshari (w. 511 H)

67. Abu Al-Mahasin Ar-Ruyani (w. 502 H)

Ahmad Syahrin Thoriq (Official)

18 Jan, 03:38


𝗨𝗟𝗔𝗠𝗔 𝗔𝗦𝗬’𝗔𝗥𝗜𝗬𝗔𝗛 𝗗𝗔𝗡 𝗠𝗔𝗧𝗨𝗥𝗜𝗗𝗜𝗬𝗔𝗛

Oleh : Ahmad Syahrin Thoriq

Sebelum kami postingkan tentang fatwa para ulama kaum muslimin tentang madzhab Asy’ariyah dan Maturidiyah, berikut ini kami sampaikan tentang sejumlah ulama dari berbagai disipin ilmu yang diketahui secara luas beraqidah dengan madzhab Asy’ari atau Maturidi.

𝗕𝗶𝗱𝗮𝗻𝗴 𝗧𝗮𝗳𝘀𝗶𝗿 𝗱𝗮𝗻 𝗜𝗹𝗺𝘂 𝗮𝗹 𝗤𝘂𝗿'𝗮𝗻

1. Abu Mansur Al-Maturidi (w. 333 H) – Penulis Ta’wilat Ahl As-Sunnah.

2. Ath-Thabari (w. 360 H) – Penulis Tafsir Al-Qur'an Al-'Azhim (atau Tafsir Al-Kabir).

3. Abu Laits As-Samarqandi (w. 373/375 H) – Penulis Tafsir Bahr Al-'Ulum.

4. Abu Ishaq Ats-Tsa’labi (w. 427 H) – Penulis Tafsir Al-Kasyf wa Al-Bayan 'An Tafsir Al-Qur'an.

5. Makki bin Abi Thalib (w. 437 H) – Penulis Tafsir Al-Hidayah ila Bulugh An-Nihayah.

6. Abu Al-Hasan Al-Mawardi (w. 450 H) – Penulis Tafsir An-Nukat wa Al-'Uyun.

7. Abu Al-Qasim Al-Qusyairi (w. 465 H) – Penulis Tafsir Lathaif Al-Isyarat.

8. Al-Wahidi An-Naisaburi (w. 468 H) – Penulis Tafsir Al-Wasith fi Tafsir Al-Qur'an Al-Majid.

9. Al-Baghawi (w. 516 H) – Penulis Tafsir Ma'alim At-Tanzil.

10. Abu Bakar bin Al-Arabi (w. 543 H) – Penulis Ahkam Al-Qur'an.

11. Ibn 'Atiyyah Al-Andalusi (w. 546 H) – Penulis Al-Muharrar Al-Wajiz fi Tafsir Al-Kitab Al-'Aziz.

12. Ibn Al-Jawzi (w. 597 H) – Penulis Zad Al-Masir fi Ilm At-Tafsir.

13. Fakhruddin Ar-Razi (w. 606 H) – Penulis Mafatih Al-Ghayb.

14. Al-Qurtubi (w. 671 H) – Penulis Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur'an.

15. An-Nasafi (w. 710 H) – Penulis Madarik At-Tanzil wa Haqa’iq At-Ta’wil.

16. Al-Baidhawi (w. 685 H) – Penulis Anwar At-Tanzil wa Asrar At-Ta’wil.

17. Al-Khazin (w. 725 H) – Penulis Lubab At-Ta’wil fi Ma’ani At-Tanzil.

18. Nizhamuddin An-Naisaburi (w. 728 H) – Penulis Gharaib Al-Qur'an wa Raghaib Al-Furqan.

19. Ibn Juzzi Al-Gharnathi (w. 741 H) – Penulis At-Tashil li 'Ulum At-Tanzil.

20. Abu Hayyan Al-Andalusi (w. 754 H) – Penulis Tafsir Al-Bahr Al-Muhith.

21. As-Samin Al-Halabi (w. 756 H) – Penulis Ad-Durr Al-Masun fi 'Ulum Al-Kitab Al-Maknun.

22. Ibn Katsir (w. 774 H) – Penulis Tafsir Al-Qur'an Al-'Azhim.

23. Badruddin Az-Zarkasyi (w. 794 H) – Penulis Al-Burhan fi Ulum Al-Qur'an.

24. Ibn Arafah (w. 803 H) – Penulis Tafsir Ibn Arafah.

25. Ibn Al-Jazari (w. 833 H) – Tokoh dalam ilmu Al-Qur'an.

26. Jalaluddin Al-Mahalli (w. 864 H) – Penulis Tafsir Al-Jalalain (bersama As-Suyuthi).

27. Jalaluddin As-Suyuthi (w. 911 H) – Penulis Ad-Durr Al-Mantsur dan Al-Itqan fi Ulum Al-Qur'an.

28. Abu As-Su’ud Afandi (w. 951 H) – Penulis Irsyad Al-'Aql As-Salim ila Mazaya Al-Kitab Al-Karim.

29. Al-Khathib Asy-Syarbini (w. 977 H) – Penulis As-Siraj Al-Munir.

30. Ismail Haqqi Al-Burusawi (w. 1127 H) – Penulis Ruh Al-Bayan.

31. Ahmad bin Ajibah (w. 1224 H) – Penulis Al-Bahr Al-Madid fi Tafsir Al-Qur'an Al-Majid.

32. Muhammad Abdul Azhim Az-Zarqani (w. 1367 H) – Penulis Mabahits fi Ulum Al-Qur'an.

33. Ahmad bin Mustafa Al-Maraghi (w. 1371 H) – Penulis Tafsir Al-Maraghi.

34. Badiuzzaman Said An-Nursi (w. 1379 H) – Penulis Rasail An-Nur.

35. Mahmud Syaltut (w. 1383 H) – Penulis Tafsir Al-Qur'an Al-Karim.

36. Muhammad Thahir bin Asyur (w. 1393 H) – Penulis Tafsir At-Tahrir wa At-Tanwir.

37. Muhammad Abu Zahrah (w. 1394 H) – Penulis Zahrat At-Tafasir.

38. Ibrahim Al-Qathan (w. 1404 H) – Penulis Taysir At-Tafsir.

39. Husain Muhammad Makhluf (w. 1410 H) – Penulis Kalimat Al-Qur'an: Tafsir wa Bayan.

40. Muhammad Mutawalli Asy-Sya'rawi (w. 1418 H) – Penulis Khawatir Al-Qur'an.

41. Wahbah Az-Zuhaili (w. 1436 H) – Penulis At-Tafsir Al-Munir.

42. Muhammad Ali As-Sabuni – Penulis Shafwat At-Tafasir.

𝗕𝗶𝗱𝗮𝗻𝗴 𝗛𝗮𝗱𝗶𝘁𝘀 𝗱𝗮𝗻 𝗜𝗹𝗺𝘂 𝗛𝗮𝗱𝗶𝘁𝘀

1. Ibnu Hibban (w. 354 H) – Penulis Shahih Ibn Hibban dan Kitab Ats-Tsiqat.

2. Ad-Daraquthni (w. 385 H) – Penulis Al-'Ilal Al-Waridah fi Al-Ahadits An-Nabawiyah dan As-Sunan.

3. Al-Hakim An-Naisaburi (w. 405 H) – Penulis Al-Mustadrak 'ala Ash-Shahihain.

4. Abu Bakar Al-Baihaqi (w. 458 H) – Penulis As-Sunan Al-Kubra dan Syu’ab Al-Iman.

Ahmad Syahrin Thoriq (Official)

18 Jan, 03:38


5. Abu Bakar Al-Ismaili (w. 371 H) – Murid Imam Al-Asy’ari, penulis I’tiqad A’immat Ahl Al-Hadits.

6. Al-Khathib Al-Baghdadi (w. 463 H) – Penulis banyak karya, termasuk Tarikh Baghdad.

7. Ibnu Asakir (w. 571 H) – Penulis Tarikh Dimasyq.

8. Abu Sulaiman Al-Khathabi (w. 388 H) – Penulis Ma’alim As-Sunan.

9. Abu Nu’aim Al-Ashbahani (w. 430 H) – Penulis Hilyat Al-Awliya.

10. Abu Dzarr Al-Harawi (w. 434 H) – Seorang periwayat dan ahli hadis.

11. Abu Thahir As-Salafi (w. 576 H) – Ulama besar dalam hadis dan sanad.

12. Abu Sa’d As-Sam’ani (w. 562 H) – Penulis Al-Ansab.

13. Qadhi Iyadh (w. 544 H) – Penulis Asy-Syifa bi Ta’rif Huquq Al-Musthafa.

14. Ibnu Shalah (w. 643 H) – Penulis Muqaddimah Ibnu Shalah dalam ilmu hadis.

15. Jamaluddin Al-Mizzi (w. 742 H) – Penulis Tahdzib Al-Kamal fi Asma' Ar-Rijal.

16. Izzuddin Ibnu Abdissalam (w. 660 H) – Ulama yang bergelar Sultanul Ulama dengan berbagai kitab dalam ushul dan hadis.

17. Abdullah bin Sa’ad bin Abi Jamrah Al-Andalusi (w. 699 H) – Penulis Bahjat An-Nufus.

18. Syamsuddin Al-Kirmani (w. 786 H) – Penulis Al-Kawakib Ad-Darari fi Syarh Shahih Al-Bukhari.

19. Ibnu Bathal (w. 449 H) – Salah satu pensyarah Shahih Al-Bukhari.

20. Ibnu Hajar Al-Asqalani (w. 852 H) – Penulis Fath Al-Bari, Lisan Al-Mizan, dan karya besar lainnya.

21. Syihabuddin Al-Qasthalani (w. 923 H) – Penulis Irsyad As-Sari fi Syarh Shahih Al-Bukhari.

22. Imam An-Nawawi (w. 676 H) – Penulis Syarh Shahih Muslim dan Riyadh As-Shalihin.

23. Muhammad bin Khalifah Al-Aby (w. 827 H) – Penulis Ikmal Al-Mu’allim bi Fawaid Muslim.

24. Muhammad bin Abdul Baqi Az-Zarqani (w. 1122 H) – Penulis syarah atas Al-Muwaththa’.

25. Muhammad Abdul Ra’uf Al-Munawi (w. 1031 H) – Ulama besar dalam hadis.

26. Nuruddin Al-Haitsami (w. 807 H) – Penulis Majma’ Az-Zawaid wa Manba’ Al-Fawaid.

27. Ibnu Al-Munir (w. 683 H) – Ulama hadis terkenal.

28. Ibnu Al-Qathan Al-Fasi (w. 628 H) – Ulama dalam ilmu jarh wa ta’dil.

29. Zainuddin Al-Iraqi (w. 806 H) – Ulama besar hadis.

30. Waliyuddin Al-Iraqi (w. 826 H) – Seorang ahli hadis.

31. Badruddin Ibn Jama’ah (w. 733 H) – Penulis berbagai karya tentang hadis dan fikih.

32. Badruddin Al-Aini (w. 855 H) – Penulis Umdat Al-Qari dalam syarah Shahih Al-Bukhari.

33. Shalahuddin Al-‘Ala’i (w. 761 H) – Penulis banyak karya tentang hadis.

34. Abu Bakar bin Furak (w. 406 H) – Ulama hadis dan teologi.

35. Ibnu Al-Mulaqqin (w. 804 H) – Penulis Tuhfah Al-Muhtaj.

36. Ibnu Allan (w. 1057 H) – Ulama dalam syarah hadis.

37. Ibnu Daqiq Al-‘Id (w. 702 H) – Penulis Al-Ihkam fi Ushul Al-Ahkam.

38. Jamaluddin Az-Zaili’i (w. 762 H) – Penulis Nashb Ar-Rayah.

39. Jalaluddin As-Suyuthi (w. 911 H) – Penulis Jami’ Al-Jawami' dan Tadrib Ar-Rawi.

40. Syamsuddin As-Sakhawi (w. 902 H) – Penulis Al-Maqasid Al-Hasanah.

41. Al-Mulla Ali Al-Qari (w. 1014 H) – Penulis Mirqat Al-Mafatih.

42. Al-Baiquni (w. sekitar 1080 H) – Penulis Manzhumah Al-Baiquniyah.

43. Zakiuddin Al-Mundhiri (w. 656 H) – Penulis At-Targhib wa At-Tarhib.

44. Abdul Hayy Al-Laknawi (w. 1304 H) – Penulis banyak kitab hadis.

45. Murtadha Az-Zabidi (w. 1205 H) – Penulis Taj Al-‘Arus dan ulama hadis terkenal.

𝗧𝗼𝗸𝗼𝗵-𝗧𝗼𝗸𝗼𝗵 𝗔𝗵𝗹𝗶 𝗦𝗲𝗷𝗮𝗿𝗮𝗵, 𝗦𝗶𝗿𝗮𝗵, 𝗱𝗮𝗻 𝗕𝗶𝗼𝗴𝗿𝗮𝗳𝗶

1. Abu Bakar Al-Baihaqi (w. 458 H) – Penulis Dalail An-Nubuwwah.

2. Abu Nu'aim Al-Ashbahani (w. 430 H).

3. Al-Qadhi Iyadh (w. 544 H) – Penulis Asy-Syifa bi Ta’rif Huquq Al-Musthafa.

4. Abu Al-Faraj Ibn Al-Jawzi (w. 597 H) – Penulis Al-Wafa bi Ahwal Al-Musthafa dan Al-Muntazham fi Tarikh Al-Muluk wa Al-Umam.

5. Ali bin Burhanuddin Al-Halabi (w. 1044 H) – Penulis As-Sirah Al-Halabiyyah yang dikenal sebagai Insan Al-'Uyun fi Sirah Al-Amin Al-Ma’mun.

6. Muhibbuddin Ath-Thabari (w. 694 H).

7. Ibn Asakir (w. 571 H) – Penulis Tarikh Dimasyq.
8. Al-Khatib Al-Baghdadi (w. 463 H) – Penulis Tarikh Baghdad.

9. Ibn Hajar Al-'Asqalani (w. 852 H) – Penulis Ad-Durar Al-Kaminah fi A'yan Al-Mi'ah Ats-Tsaminah dan Inba’ Al-Ghamr bi Anba’ Al-'Umr.

10. Jamaluddin Al-Mizzi (w. 742 H).

Ahmad Syahrin Thoriq (Official)

18 Jan, 03:38


11. Abu Al-Qasim As-Suhaili (w. 581 H) – Penulis Ar-Raudh Al-Unuf.

12. Syihabuddin Al-Qasthalani (lahir 923 H) – Penulis Al-Mawahib Al-Laduniyyah bi Al-Manah Al-Muhammadiyyah.

13. Muhammad bin Yusuf As-Shalihi Ad-Dimasyqi (w. 942 H) – Murid Imam As-Suyuthi, penulis Subul Al-Huda wa Ar-Rasyad fi Sirah Khair Al-'Ibad.

14. Taqiyuddin Al-Maqrizi (w. 845 H).

15. Jalaluddin As-Suyuthi (w. 911 H).

16. Ibnu Al-Atsir (lahir 630 H) – Penulis Al-Kamil fi At-Tarikh dan Asad Al-Ghabah fi Ma’rifah As-Sahabah.

17. Ibnu Khaldun (w. 808 H) – Penulis Sejarah Ibnu Khaldun.

18. Ahmad Al-Maqri At-Tilimsani (w. 1041 H) – Penulis Nafh At-Thib min Ghushn Al-Andalus Ar-Rathib.

19. Al-Yafi'i (w. 768 H) – Penulis Mir'at Al-Jinan wa Ibrahim Al-Yaqzan.

20. Shalahuddin Ash-Shafadi (lahir 764 H) – Penulis Al-Wafi bi Al-Wafayat dan A'yan Al-'Ashr.

21. Syamsuddin Ibnu Khallikan (w. 681 H) – Penulis Wafayat Al-A’yan wa Anba’ Abna’ Az-Zaman.

22. Tajuddin As-Subki (w. 771 H) – Penulis Thabaqat Asy-Syafi’iyyah Al-Kubra.

23. Ibnu Abi Usaibah (w. 668 H) – Penulis ‘Uyun Al-Anba’ fi Tabaqat Al-Atibba’.

24. Syamsuddin As-Sakhawi (w. 902 H) – Penulis Adh-Dhau’ Al-Lami’ li Ahl Al-Qarn At-Tasi’.

25. Al-Muhibbi (w. 1111 H) – Penulis Khulasat Al-Athar fi A'yan Al-Qarn Al-Hadi 'Asyar.

26. Saudara Ibnu Al-Jawzi (w. 654 H) – Penulis Mir'at Az-Zaman fi Tarikh Al-A'yan.

27. Najmuddin Al-Ghazzi (w. 1061 H) – Penulis Al-Kawakib As-Sa’irah bi A’yan Al-Mi’ah Al-’Asyirah.

28. Taqiyuddin Al-Ghazzi (w. 1010 H) – Penulis At-Thabaqat As-Sunniyyah fi Tarajim Al-Hanafiyyah.

29. Khalil Al-Muradi (lahir 597 H) – Penulis Suluk Ad-Durar fi A’yan Al-Qarn Ats-Tsani’ Asyar.

30. Ali Al-Bakharzi (lahir 597 H) – Penulis Dumiah Al-Qasr.

31. Ibnu Syakir Al-Kutubi (w. 597 H) – Penulis Fawat Al-Wafayat.

𝗦𝗮𝘀𝘁𝗿𝗮, 𝗱𝗮𝗻 𝗡𝗮𝗵𝘄𝘂

1. Abu Al-Hasan Al-Jurjani (w. 392 H).

2. Abdul Qahir Al-Jurjani (w. 471 H) – Pendiri ilmu balaghah.

3. Al-Khatib Al-Qazwini (w. 739 H) – Penulis Al-Idhah dalam Ulum Al-Balaghah.

4. Ibnu Al-Anbari (w. 328 H).

5. Ibnu Sidah (w. 458 H).

6. Jalaluddin As-Suyuthi (w. 911 H).

7. Majduddin Al-Fairuzabadi (w. 817 H) – Penulis Al-Qamus Al-Muhit.

8. Murtadha Az-Zabidi (w. 1205 H) – Penulis Taj Al-Arus.

9. Yaqut Al-Hamawi (w. 626 H).

10. Abu Hayyan Al-Andalusi (w. 745 H).

11. Ibnu Al-Hajib (w. 646 H).

12. Ibnu Al-Atsir (w. 630 H).

13. Ibnu Mandhur (w. 711 H) – Penulis Lisan Al-Arab.

14. Ibnu Faris (w. 395 H).

15. Ibnu Ajurrum (w. 723 H).

16. Al-Haththab (w. 954 H).

17. Abu Mansur Al-Azhari (w. 370 H).

18. Ibnu Malik (b. 672 H) – Penulis Alfiyyah yang terkenal dalam ilmu nahwu.

19. Ibnu Aqil (w. 769 H).

20. Ibnu Hisham Al-Anshari (w. 761 H).

𝗣𝗮𝗿𝗮

1. Alp Arslan (w. 465 H).

2. Nizam Al-Mulk (w. 485 H) – Dijuluki Qawam Ad-Din.

3. Yusuf bin Tasyfin (w. 500 H).

4. Ibnu Tumart (w. 524 H).-Khilaf : ada yang menyebutnya Mu'tazilah.

5. Nuruddin Zanki (lahir 569 H).

6. Shalahuddin Al-Ayyubi (w. 589 H).

7. Abu Bakar bin Ayyub (w. 615 H) – Al-Malik Al-Adil: Saifuddin Muhammad Abu Bakar bin Ayyub.

8. Al-Malik Al-Kamil (w. 635 H).

9. Al-Malik Al-Asyraf (lahir 635 H).

10. Saifuddin Qutuz (lahir 658 H).

11. Muhammad bin Qalawun (w. 741 H).

12. Muhammad Al-Fatih (w. 886 H) – Penakluk Konstantinopel.

13. Aurangzeb Alamgir (w. 1118 H) – Dianggap oleh banyak ulama sebagai bagian dari khalifah rasyidin.

14. Abdul Qadir Al-Jazairi (w. 1300 H).

15. Muhammad Ad-Daghbaji (w. 1342 H).

16. Umar Al-Mukhtar (w. 1350 H).

17. Izzuddin Al-Qassam (w. 1354 H).

18. Badiuzzaman Said An-Nursi (wafat 1379 H).

19. Muhammad bin Abdul Karim Al-Khattabi (w. 1382 H)

Banyak sekali orang yang ingin tetap tinggal di tanah air dan berdoa memohon pertolongan kepada Allah, insyaallah…

Ahmad Syahrin Thoriq (Official)

16 Jan, 09:09


https://youtu.be/dvZ0YcqE_mc?si=jdSy4FjzvKwTB60O

Ahmad Syahrin Thoriq (Official)

15 Jan, 05:52


𝗕𝗘𝗥𝗔𝗠𝗔𝗟 𝗠𝗔𝗞𝗦𝗜𝗠𝗔𝗟 𝗦𝗘𝗦𝗨𝗔𝗜 𝗕𝗜𝗗𝗔𝗡𝗚𝗡𝗬𝗔

Oleh : Ahmad Syahrin Thoriq

Seorang sufi ahli ibadah pernah mengirimkan surat kepada imam Malik rahimahullah, mengajak beliau untuk memperbanyak menyendiri dalam ibadah dengan dzikir, shalat dan yang semisalnya.

Maka sang imam menulis surat jawaban yang isinya sebagai berikut :

إن الله قسم الأعمال كما قسم الأرزاق، فرب رجل فتح له في الصلاة، ولم يفتح له في الصوم، وآخر فتح له في الصدقة، ولم يفتح له في الصوم، وآخر فتح له في الجهاد.

“Sesungguhnya Allah telah membagi amal sebagaimana dia membagi rezeki. Maka bisa jadi seseorang diberi kemudahan dalam shalat, tetapi tidak diberi kemudahan dalam puasa. Orang lain diberi kemudahan dalam sedekah, tetapi tidak diberi kemudahan dalam puasa. Orang lainnya lagi diberi kemudahan dalam jihad.

فنشر العلم من أفضل أعمال البر، وقد رضيت بما فتح لي فيه، وما أظن ما أنا فيه بدون ما أنت فيه، وأرجو أن يكون كلانا على خير وبر.

Menyebarkan ilmu adalah salah satu amal shalih yang paling utama. Aku ridha dengan apa yang telah Allah bukakan untukku. Dan aku tidak menganggap bahwa apa yang aku lakukan lebih rendah daripada apa yang engkau lakukan. Aku berharap kita berdua berada dalam kebaikan dan kebajikan.”

📜Siyar A'lam Nubala (8/114)
•┈┈•••○○❁༺ⒶⓈⓉ༻❁○○•••┈┈•
⤵️https://t.me/subulana
🌐 www.konsultasislam.id
📱facebook.com/AhmadSyahrinThoriq

Ahmad Syahrin Thoriq (Official)

15 Jan, 04:19


https://youtu.be/4giwOE29mxc?si=vp59H2QvvO2XNpGg

Ahmad Syahrin Thoriq (Official)

15 Jan, 03:15


𝗕𝗘𝗥𝗔𝗠𝗔𝗟 𝗠𝗔𝗞𝗦𝗜𝗠𝗔𝗟 𝗦𝗘𝗦𝗨𝗔𝗜 𝗕𝗜𝗗𝗔𝗡𝗚𝗡𝗬𝗔

Oleh : Ahmad Syahrin Thoriq

Seorang sufi ahli ibadah pernah mengirimkan surat kepada imam Malik rahimahullah, mengajak beliau untuk memperbanyak menyendiri dalam ibadah dengan dzikir, shalat dan yang semisalnya.

Maka sang imam menulis surat jawaban yang isinya sebagai berikut :

إن الله قسم الأعمال كما قسم الأرزاق، فرب رجل فتح له في الصلاة، ولم يفتح له في الصوم، وآخر فتح له في الصدقة، ولم يفتح له في الصوم، وآخر فتح له في الجهاد.

“Sesungguhnya Allah telah membagi amal sebagaimana Dia membagi rezeki. Maka bisa jadi seseorang diberi kemudahan dalam shalat, tetapi tidak diberi kemudahan dalam puasa. Orang lain diberi kemudahan dalam sedekah, tetapi tidak diberi kemudahan dalam puasa. Orang lainnya lagi diberi kemudahan dalam jihad.

فنشر العلم من أفضل أعمال البر، وقد رضيت بما فتح لي فيه، وما أظن ما أنا فيه بدون ما أنت فيه، وأرجو أن يكون كلانا على خير وبر.

Menyebarkan ilmu adalah salah satu amal shalih yang paling utama. Aku ridha dengan apa yang telah Allah bukakan untukku. Dan aku tidak menganggap bahwa apa yang aku lakukan lebih rendah daripada apa yang engkau lakukan. Aku berharap kita berdua berada dalam kebaikan dan kebajikan.”

📜Siyar A'lam Nubala (8/114)

Ahmad Syahrin Thoriq (Official)

13 Jan, 09:06


https://youtu.be/nJNnbnZhU1I?si=cBBbkp8Etqlsc3X9

Ahmad Syahrin Thoriq (Official)

12 Jan, 01:41


"Sungguh, inilah agama kalian, agama yang satu, dan hanyalah Aku Tuhan kalian, maka sembahlah Aku." (QS. Al Anbiya': 92)

Ahmad Syahrin Thoriq (Official)

27 Dec, 06:39


https://youtu.be/_nCewqAaHbI?si=4gJTilzs30L86EUA

Ahmad Syahrin Thoriq (Official)

26 Dec, 12:33


Banyak sekali yang bertanya ini bayar ya ?

Jawab : Ilmu itu mahal, tapi kelas ini gratis. Teman² admin menerapkan biaya pendaftaran itupun dalam bentuk infaq seikhlasnya. Untuk mereka gunakan mengurus keperluan kelas belajar, uang jalan dll.

Bisa dipaahami ya ?

Ahmad Syahrin Thoriq (Official)

26 Dec, 01:48


Itulah diantara makna peringatan dalam hadits :

مَا ضَلَّ قَوْمٌ بَعْدَ هُدًى كَانُوْا عَلَيْهِ إِلاَّ أُوْتُوْا الْجَدَلَ، ثُمَّ قَرَأَ : مَا ضَرَبُوْهُ لَكَ إِلاَّ جَدَلاً

"Tidaklah suatu kaum yang tadinya mendapatkan petunjuk menjadi sesat, kecuali karena gemar mendebat." (HR. Tirmidzi)

Wallahu a'lam.

Ahmad Syahrin Thoriq (Official)

26 Dec, 01:48


𝗞𝗘𝗦𝗜𝗠𝗣𝗨𝗟𝗔𝗡 𝗛𝗨𝗞𝗨𝗠 𝗧𝗔𝗛𝗡𝗜𝗔𝗛 𝗣𝗘𝗥𝗔𝗬𝗔𝗔𝗡 𝗔𝗚𝗔𝗠𝗔 𝗟𝗔𝗜𝗡

Oleh : Ahmad Syahrin Thoriq

1. Mayoritas ulama madzhab terdahulu hingga beberapa generasi setelahnya, berpendapat bahwa hukum mengucapkan selamat hari raya untuk agama lain, termasuk hari natal adalah diharamkan.

Diantara alasannya bahwa mengucapkan selamat, berarti menyetujui dan mengakui kebenaran agama tersebut. Sedangkan dalam masalah keyakinan, hal yang fundamental bahwa setiap muslim yakin hanya agama Islam yang diterima di sisi Allah.

2. Sedangkan mayoritas lembaga fatwa dunia seperti Darr Ifta Mishriyah dan ulama kontemporer hari ini berpendapat sebaliknya, bahwa mengucapkan selamat hari raya kepada agama lain hukumnya mubah alias boleh-boleh saja.

Karena illat (sebab) yang menjadi pengharaman pada masa lalu dipandang sudah tidak ada. Ucapan selamat hari raya dinilai hanya sebagai bentuk mujamalah (basa-basi) dan sikap saling menghormati dalam muamalah.

Sedangkan beberapa lembaga lainnya seperti Lajnah Daimah Arab Saudi tetap mengharamkan.

3. Di Indonesia MUI berfatwa bahwa ucapan selamat Natal hukumnya secara asal adalah haram. Sedangkan beberapa lembaga fatwa seperti tarjih Muhamdiyah tidak melarang.

4. Maka yang membolehkan jelas ada dasarnya dari fatwa ulama dunia dan juga lokal. Selama dalam batasan yang normal, tak selayaknya yang mengikuti pendapat ini dituduh liberal apalagi murtad keluar dari Islam.

Sebaliknya juga demikian, yang berpendapat bahwa mengucapkannya hukumnya haram, merupakan pendapat yang tak kalah kokohnya, karena mengikuti pendapat ulama empat madzhab dan juga fatwa institusi yang resmi diikuti di negeri ini.

Tak sepatutnya juga dituduh radikal, dicap tidak bisa bertoleransi atau menghargai keragaman.

AST memilih pendapat yang mana ? Point ini tidak penting, tapi karena terus berulang ditanyakan izinkan saya untuk menjawabnya : Saya lebih cenderung memilih pendapat mayoritas ulama khususnya dari empat madzhab yang mengharamkan dengan tetap menghargai pilihan kalangan yang membolehkan.


Pilihan ini lebih kepada pendapat yang menurut saya lebih tepat, cermat dan selamat. Karena masalahnya adalah pada kalimat "selamat"nya.

Kata selamat itu sangat lekat dengan Islam. Di dalamnya terkandung semacam do'a dan penekanan yang sangat berbeda dengan kata sa'id (gembira) dari versi ucapan natal di Arab seperti sa'id milad. Atau merry (gembira) critsmas dalam versi inggris.

6. Seandainya kalimat yang di ucapkan "bahagia natal" atau sekedar "senang ya natal", tentu akan berbeda dengan ucapan yang kita gunakan selama ini yakni "selamat natal". Dan ini lebih serupa dengan sa'id milad, atau I'd milad yang difatwakan kebolehannya di negeri arab seperti Mesir.

Seandainya ucapan natal dalam bahasa Arabnya bunyinya "Assalam fil Milad" atau yang semisalnya, kira-kira ulama di sana berubah tidak ya fatwanya ?

Karena ucapan selamat natal di arab itu dari susunan kalimatnya ya memang benar-benar cuma basa basi dan berbeda dengan disini...

7. Akan sangat bermanfaat seandainya diadakan diskusi atau debat ilmiah tentang masalah ini. Diskusi yang bertujuan menguatkan keyakinan sekaligus menumbuhkan sikap saling menghargai bukan hal yang tercela. Selama masih dalam ranah ilmiyah, tidak perlu ada yang baper. Seperti komentar nyinyir : "Mereka yang merayakan, kenapa kita yang ribut."

Karena ini bukan hanya masalah saat natal saja, namun jika kita lihat setiap saat terulang juga perdebatan yang sama saat maulid, isra mi'raj, Valentine, tahun baru dll.

8. Hal ini tidak selalu bisa diartikan bahwa umat Islam tidak dewasa, kurang kerjaan dan tuduhan negatif lainnya. Tapi jika perlu dilihat dari sisi positifnya, ini bukti bahwa Islam adalah agama ilmiah. Awam dan alimnya sangat biasa dengan dalil dan hujjah pendapat. Tidak asal menelan dogma.

9. Berbeda halnya jika semangatnya untuk saling menghina dan menjatuhkan satu sama lain. Itu tentu tidak akan menghasilkan apa-apa kecuali permusuhan dan juga justru menumbuhkan keraguan dalam beragama.

Ahmad Syahrin Thoriq (Official)

25 Dec, 06:06


- QS Al-Mumtahanah 60:8
لَا يَنْهٰىكُمُ اللّٰهُ عَنِ الَّذِيْنَ لَمْ يُقَاتِلُوْكُمْ فِى الدِّيْنِ وَلَمْ يُخْرِجُوْكُمْ مِّنْ دِيَارِكُمْ اَنْ تَبَرُّوْهُمْ وَتُقْسِطُوْٓا اِلَيْهِمْۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِيْنَ

"Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil."

- QS Al-Baqarah 2:83
... وَقُوْلُوْا لِلنَّاسِ حُسْنًا

...Serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia"

- QS An-Nahl 16:90:
- اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْاِحْسَانِ

"Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan..."

- QS An-Nisa' 4:86
وَإِذَا حُيِّيْتُمْ بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوْا بِاَحْسَنَ مِنْهَآ اَوْ رُدُّوْهَاۗ

"Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa)."

Dalil lainnya adalah keumuman kaidah : Bahwa bab muamalah hukumnya boleh sampai ada dalil yang melarangnya. Kalangan ini memandang bahwa tahniyah hari raya agama lain tidaklah berkaitan dengan masalah ibadah apalagi aqidah. Ketika sesesorang mengucapkannya, bukan serta merta bisa diartikan bahwa dia menyetujui dan mengakui kebenaran ajaran agama mereka.

Bersambung kebagian 3 : 𝗗𝗮𝗹𝗶𝗹 𝗱𝗮𝗻 𝗯𝗮𝗻𝘁𝗮𝗵𝗮𝗻 𝗱𝗮𝗿𝗶 𝗸𝗲𝗹𝗼𝗺𝗽𝗼𝗸 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗺𝗲𝗻𝗴𝗵𝗮𝗿𝗮𝗺𝗸𝗮𝗻.

𝘞𝘢𝘭𝘭𝘢𝘩𝘶 𝘢’𝘭𝘢𝘮.
__
[1] Dikutip dari htt*://www.shariaa.n*t.
[2] htt*://archive.islamonline.net/?p=542.
[3] L*nk: htt*://goo.gl/fDgYXB.
[4] ww*. binbayyah.n*t/portal/fatawa/1393.

Ahmad Syahrin Thoriq (Official)

25 Dec, 06:06


𝗛𝗨𝗞𝗨𝗠 𝗠𝗘𝗡𝗚𝗨𝗖𝗔𝗣𝗞𝗔𝗡 𝗦𝗘𝗟𝗔𝗠𝗔𝗧 𝗡𝗔𝗧𝗔𝗟 (𝟮)

Oleh : Ahmad Syahrin Thoriq

𝗕. 𝗞𝗮𝗹𝗮𝗻𝗴𝗮𝗻 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗺𝗲𝗺𝗯𝗼𝗹𝗲𝗵𝗸𝗮𝗻

Ulama kontemporer dan lembaga fatwa dunia hari ini umumnya membolehkan mengucapkan selamat pada perayaan umat non Muslim termasuk Natal. Sebut seperti syaikh Dr. Yusuf Al-Qaradawi, syaikh Ali Jum’ah ,syaikh Wahbah Zuhayli , Habib Umar bin Hafidz, syaikh Mustafa Ahmad Zarqa, syaikh Abdullah bin Bayyah, syaikh Syaraf Qudhat , Dr. Abdul Latif Al-Banna, Majelis Ulama Mesir, Majelis Ulama Eropa dan lainnya.

Syaikh Wahbah Zuhaili berkata :

لا مانع من مجاملة النصارى في رأي بعض الفقهاء في مناسباتهم على ألا يكون من العبارات ما يدل على إقرارهم على معتقداتهم.
“Tidak ada halangan dalam bersopan santun (mujamalah) dengan orang Nasrani menurut pendapat sebagian ahli fiqh berkenaan hari raya mereka asalkan tidak bermaksud sebagai pengakuan atas (kebenaran) ideologi mereka.”[1]

Syaikh Dr. Musthafa Zarqa berkata :

إنّ تهنئةَ الشّخص المُسلِم لمعارِفه النّصارَى بعيدِ ميلاد المَسيح ـ عليه الصّلاة والسلام ـ هي في نظري من قَبيل المُجاملة لهم والمحاسَنة في معاشرتهم. وإن الإسلام لا ينهانا عن مثل هذه المجاملة أو المحاسَنة لهم، ولا سيّما أنّ السيد المَسيح هو في عقيدتنا الإسلاميّة من رسل الله العِظام أولي العزم، فهو مُعظَّم عندنا أيضًا، لكنهم يُغالُون فيه فيعتقدونَه إلهًا، تعالى الله عما يقولون عُلُوًّا كبيرًا.

“Ucapan selamat natal seorang muslim pada temannya yang Nasrani menurut pendapat saya termasuk dalam kategori mujamalah (sopan santun) pada mereka dan muhasanah (berbaikan) dalam pergaulan. Islam tidak melarang kita untuk bermujamalah dan muhasanah dengan mereka.

Apalagi Nabi Isa dalam akidah Islam termasuk Rasul Allah yang agung dan ulul azmi. Nabi Isa diagungkan juga dalam Islam. Hanya saja mereka, Nasrani, berlebihan pada Nabi Islam dan menganggapnya tuhan. Maha Luhur Allah dari apa perkataan mereka yang melampaui batas.”[2]

𝗙𝗮𝘁𝘄𝗮 𝗗𝗮𝗿𝘂𝗹 𝗜𝗳𝘁𝗮 𝗠𝗶𝘀𝗵𝗿𝗶𝘆𝗮𝗵 :

إن هذا الفعل يندرج تحت باب الإحسان الذي أمرنا الله عز وجل به مع الناس جميعا دون تفريق، مذكرة بقوله تعالى: ﴿وَقُولُوا لِلنَّاسِ حُسْنًا﴾، وقوله تعالى:﴿إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ﴾.

“Perbuatan (ucapan selamat untuk hari raya agama lain) ini termasuk dalam berbuat baik yang diperintahkan Allah kepada seluruh manusia tanpa perbedaan. Sebagaimana firman Allah, "Katakan kebaikan pada manusia" dan "Allah memerintahkan berbuat adil dan berbuat baik."[3]

𝗙𝗮𝘁𝘄𝗮 𝗠𝗮𝗷𝗲𝗹𝗶𝘀 𝗨𝗹𝗮𝗺𝗮 𝗘𝗿𝗼𝗽𝗮 :

فلا مانع إذن أن يهنئهم الفرد المسلم، أو المركز الإسلامي بهذه المناسبة، مشافهة أو بالبطاقات التي لا تشتمل على شعار أو عبارات دينية تتعارض مع مبادئ الإسلام. والكلمات المعتادة للتهنئة في مثل هذه المناسبات لا تشتمل على أي إقرار لهم على دينهم، أو رضا بذلك، إنما هي كلمات مجاملة تعارفها الناس. ولا مانع من قبول الهدايا منهم، ومكافأتهم عليها، فقد قبل النبي –صلى الله عليه وسلم - هدايا غير المسلمين مثل المقوقس عظيم القبط بمصر وغيره، بشرط ألا تكون هذه الهدايا مما يحرم على المسلم كالخمر ولحم الخنزير.

“Tidak ada larangan bagi individu muslim atau organisasi Islam untuk mengucapkan selamat atas peringatan (natal) ini secara lisan atau dengan kartu yang tidak mengandung syiar atau ucapan keagamaan yang berlawanan dengan prinsip Islam.

Hendaknya kalimat yang digunakan untuk ucapan selamat natal tidak mengandung pengakuan apapun pada agama mereka atau rela atasnya. Ia hendaknya berupa kalimat mujamalah (courtesy) yang umum dikenal.

Tidak ada larangan menerima hadiah dari mereka dan memberi hadiah pada mereka. Karena, Nabi pernah menerima hadiah dari non-muslim seperti Muqauqis pembesar Kristen Koptik Mesir dan lainnya dengan syarat hadiah tersebut tidak haram bagi muslim seperti minuman alkohol dan daging babi.”[4]

𝗗𝗮𝗹𝗶𝗹 – 𝗱𝗮𝗹𝗶𝗹 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗱𝗶𝗴𝘂𝗻𝗮𝗸𝗮𝗻 𝗸𝗮𝗹𝗮𝗻𝗴𝗮𝗻 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗺𝗲𝗺𝗯𝗼𝗹𝗲𝗵𝗸𝗮𝗻

Dalil-dalil yang digunakan oleh para ulama ulama dalam membolehkan mengucapkan selamat hari raya untuk agama lain diantaranya adalah :

Ahmad Syahrin Thoriq (Official)

25 Dec, 04:30


Beberapa pihak meremehkan beliau, padahal punya banyak karya dan jabatan penting keagamaan. Mohon doanya dr antum.

Ahmad Syahrin Thoriq (Official)

23 Dec, 23:17


𝗛𝗨𝗞𝗨𝗠 𝗠𝗘𝗡𝗚𝗨𝗖𝗔𝗣𝗞𝗔𝗡 𝗦𝗘𝗟𝗔𝗠𝗔𝗧 𝗡𝗔𝗧𝗔𝗟 𝗯𝗮𝗴𝗶𝗮𝗻 𝗜

Ustadz, sebenarnya bagaimanakah hukum mengucapkan selamat natal kepada teman/tetangga yang Nasrani ?

𝘑𝘢𝘸𝘢𝘣𝘢𝘯

Oleh : Ahmad Syahrin Thoriq

Permasalahan di saat hari raya agama lain, termasuk hari Natal sebenarnya secara umum terbagi menjadi dua : 1. Hukum turut serta merayakan 2. Hukum sekedar memberikan ucapan selamat (Tahniah).

Untuk permasalahan pertama, yaitu hukum turut serta merayakan syiar dan hari raya agama lain telah disepakati keharamannya oleh para ulama tanpa adanya perbedaan pendapat. Karena ini termasuk bentuk Tasyabbuh dan loyal terhadap kekafiran.[1]

Adapun tentang bertahniah, yakni mengucapkan selamat kepada agama lain yang sedang berhari raya, ulamaberbeda pendapat. Mayoritas ulama 4 mazhab melarang, sedangkan sebagian ulama kontemporer membolehkan.

𝟭. 𝗞𝗮𝗹𝗮𝗻𝗴𝗮𝗻 𝗬𝗮𝗻𝗴 𝗠𝗲𝗹𝗮𝗿𝗮𝗻𝗴.

Mayoritas ulama empat mazhab mengharamkan mengucapkan selamat atau bertahniah kepada orang kafir yang sedang berhari raya, berikut sebagian penjelasan masing-masing mazhab :

𝗠𝗮𝘇𝗵𝗮𝗯 𝗛𝗮𝗻𝗮𝗳𝗶𝘆𝘆𝗮𝗵

Ibnu Najim dalam Al-Bahr Al-Raiq Syarah Kanz Al-Daqaiq, (8/555) :

قال أبو حفص الكبير رحمه الله : لو أن رجلا عبد الله تعالى خمسين سنة ثم جاء يوم النيروز وأهدى إلى بعض المشركين بيضة يريد تعظيم ذلك اليوم فقد كفر وحبط عمله وقال صاحب الجامع الأصغر إذا أهدى يوم النيروز إلى مسلم آخر ولم يرد به تعظيم اليوم ولكن على ما اعتاده بعض الناس لا يكفر ولكن ينبغي له أن لا يفعل ذلك في ذلك اليوم خاصة ويفعله قبله أو بعده لكي لا يكون تشبيها بأولئك القوم , وقد قال صلى الله عليه وسلم { من تشبه بقوم فهو منهم } وقال في الجامع الأصغر رجل اشترى يوم النيروز شيئا يشتريه الكفرة منه وهو لم يكن يشتريه قبل ذلك إن أراد به تعظيم ذلك اليوم كما تعظمه المشركون كفر , وإن أراد الأكل والشرب والتنعم لا يكفر

Hafs Al-Kabir berkata: Apabila seorang muslim yang menyembah Allah selama 50 tahun lalu datang pada Hari Niruz (tahun baru kaum Parsi dan Kurdi pra Islam - red) dan memberi hadiah telur pada sebagian orang musyrik dengan tujuan untuk mengagungkan hari itu, maka dia kafir dan terhapus amalnya. Berkata penulis kitab Al-Jamik Al-Asghar:

Apabila memberi hadiah kepada sesama muslim dan tidak bermaksud mengagungkan hari itu tetapi karena menjadi tradisi sebagian manusia maka tidak kafir akan tetapi sebaiknya tidak melakukan itu pada hari itu secara khusus dan melakukannya sebelum atau setelahnya supaya tidak menyerupai dengan kaum tersebut.

Nabi ﷺ bersabda: "Barangsiapa menyerupai suatu kaum maka ia bagian dari mereka." Penulis kitab al Jami' ash Shagir berkata: Seorang lelaki yang membeli sesuatu yang dibeli orang kafir pada hari Niruz dia tidak membelinya sebelum itu maka apabila ia melakukan itu ingin mengagungkan hari itu sebagaimana orang kafir maka ia kafir. Apabila berniat untuk makan minum dan bersenang-senang saja tidak kafir."

𝗠𝗮𝗱𝘇𝗮𝗯 𝗠𝗮𝗹𝗶𝗸𝗶𝘆𝘆𝗮𝗵.

Ibnul Haj Al-Maliki dalam Al-Madkhal, (2/46-48) menyatakan:

ومن مختصر الواضحة سئل ابن القاسم عن الركوب في السفن التي يركب فيها النصارى لأعيادهم فكره ذلك مخافة نزول السخط عليهم لكفرهم الذي اجتمعوا له . قال وكره ابن القاسم للمسلم أن يهدي إلى النصراني في عيده مكافأة له . ورآه من تعظيم عيده وعونا له على مصلحة كفره . ألا ترى أنه لا يحل للمسلمين أن يبيعوا للنصارى شيئا من مصلحة عيدهم لا لحما ولا إداما ولا ثوبا ولا يعارون دابة ولا يعانون على شيء من دينهم ; لأن ذلك من التعظيم لشركهم وعونهم على كفرهم وينبغي للسلاطين أن ينهوا المسلمين عن ذلك , وهو قول مالك وغيره لم أعلم أحدا اختلف في ذلك

"Ibnu Qasim ditanya soal menaiki perahu yang dinaiki kaum Nasrani pada hari raya mereka. Ibnu Qasim tidak menyukai (memakruhkan) hal itu karena takut turunnya kebencian pada mereka karena mereka berkumpul karena kekufuran mereka. Ibnu Qasim juga tidak menyukai seorang muslim memberi hadiah pada Nasrani pada hari rayanya sebagai hadiah. Ia melihat hal itu termasuk mengagungkan hari rayanya dan menolong kemaslahatan kufurnya.

Ahmad Syahrin Thoriq (Official)

23 Dec, 23:17


Tidakkah engkau tahu bahwa tidak halal bagi muslim membelikan sesuatu untuk kaum Nasrani untuk kemaslahatan hari raya mereka baik berupa daging, baju; tidak meminjamkan kendaraan dan tidak menolong apapun dari agama mereka karena hal itu termasuk mengagungkan kesyirikan mereka dan menolong kekafiran mereka. Dan hendaknya penguasa melarang umat Islam melakukan hal itu. Ini pendapat Malik dan lainnya. Saya tidak tahu pendapat yang berbeda."

𝗠𝗮𝘇𝗵𝗮𝗯 𝗦𝘆𝗮𝗳𝗶’𝗶𝘆𝘆𝗮𝗵.

Ibnu Hajar Al-Haitami dalam Al-Fatawa Al-Fiqhiyah (4/238-239), menyatakan:

ثم رأيت بعض أئمتنا المتأخرين ذكر ما يوافق ما ذكرته فقال : ومن أقبح البدع موافقة المسلمين النصارى في أعيادهم بالتشبه بأكلهم والهدية لهم وقبول هديتهم فيه وأكثر الناس اعتناء بذلك المصريون وقد قال صلى الله عليه وسلم { من تشبه بقوم فهو منهم } بل قال ابن الحاج لا يحل لمسلم أن يبيع نصرانيا شيئا من مصلحة عيده لا لحما ولا أدما ولا ثوبا ولا يعارون شيئا ولو دابة إذ هو معاونة لهم على كفرهم وعلى ولاة الأمر منع المسلمين من ذلك ومنها اهتمامهم في النيروز... ويجب منعهم من التظاهر بأعيادهم

“Aku melihat sebagian ulama muta'akhirin menuturkan pendapat yang sama denganku, lalu ia berkata: Termasuk dari bid'ah terburuk adalah persetujuan muslim pada Nasrani pada hari raya mereka dengan menyerupai dengan makanan dan hadiah dan menerima hadiah pada hari itu. Kebanyakan orang yang melakukan itu adalah kalangan orang Mesir.

Nabi ﷺ bersabda "Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum maka ia bagian dari mereka". Ibnu al Haj berkata: Tidak halal bagi muslim menjual sesuatu pada orang Nasrani untuk kemasalahan hari rayanya baik berupa daging, kulit atau baju.

Hendaknya tidak meminjamkan sesuatu walupun berupa kendaraan karena itu menolong kekufuran mereka. Dan bagi pemerintah hendaknya mencegah umat Islam atas hal itu. Salah satunya adalah perayaan Niruz (Hari Baru)... dan wajib melarang umat Islam menampakkan diri pada hari raya non-muslim.

Damiri dalam al Najm al Wahhaj fi Syarh al Minhaj, (9/244), dan Khatib Syarbini dalam Mughnil Muhtaj ila Makrifati Ma'ani Alfadzil Minhaj, ( 4/191) menyatakan:

تتمة : يُعزّر من وافق الكفار في أعيادهم ، ومن يمسك الحية ، ومن يدخل النار ، ومن قال لذمي : يا حاج ، ومَـنْ هَـنّـأه بِـعِـيـدٍ ، ومن سمى زائر قبور الصالحين حاجاً ، والساعي بالنميمة لكثرة إفسادها بين الناس ، قال يحيى بن أبي كثير : يفسد النمام في ساعة ما لا يفسده الساحر في سنة

Dihukum orang yang sepakat dengan orang kafir pada hari raya mereka, orang yang memegang ular, yang masuk api, orang yang berkata pada kafir dzimmi "Hai Haji", orang yang mengucapkan selamat pada hari raya (agama lain).

Demikian juga orang yang menyebut peziarah kubur orang saleh dengan sebutan haji, dan pelaku adu domba karena banyaknya menimbulkan kerusakan antara manusia. Berkata Yahya bin Abu Katsir: Pengadu domba dalam satu jam dapat membuat kerusakan yang baru bisa dilakukan tukang sihir dalam setahun.

𝗠𝗮𝘇𝗵𝗮𝗯 𝗛𝗮𝗻𝗮𝗯𝗶𝗹𝗮𝗵

Al imam Buhuti dalam Kasyful Qina' (3/131) menyatakan:

ويحرم تهنئتهم وتعزيتهم وعيادتهم ; لأنه تعظيم لهم أشبه السلام .( وعنه تجوز العيادة ) أي : عيادة الذمي ( إن رجي إسلامه فيعرضه عليه واختاره الشيخ وغيره ) لما روى أنس أن النبي صلى الله عليه وسلم عاد يهوديا , وعرض عليه الإسلام فأسلم فخرج وهو يقول : الحمد لله الذي أنقذه بي من النار رواه البخاري ولأنه من مكارم الأخلاق .( وقال ) الشيخ ( ويحرم شهود عيد اليهود والنصارى ) وغيرهم من الكفار ( وبيعه لهم فيه ) . وفي المنتهى : لا بيعنا لهم فيه ( ومهاداتهم لعيدهم ) لما في ذلك من تعظيمهم فيشبه بداءتهم بالسلام .

“Haram mengucapkan selamat, takziyah (ziarah orang mati), iyadah (ziarah orang sakit) kepada non-muslim karena itu berarti mengagungkan mereka menyerupai (mengucapkan) salam. Boleh menjenguk kafir dzimmi apabila diharapkan Islamnya dan hendaknya mengajak masuk Islam.

Karena, dalam sebuah hadits riwayat Bukhari, Nabi ﷺ pernah menjenguk orang Yahudi dan mengajaknya masuk Islam lalu si Yahudi masuk Islam lalu berkata, "Alhamdulillah Allah telah menyelamatkan aku dari neraka." Dan karena iyadah termasuk akhak mulia.

Ahmad Syahrin Thoriq (Official)

23 Dec, 23:17


Haram menghadiri perayaan Yahudi dan Nasrani dan kafir lain dan membeli untuk mereka pada hari itu. Dalam kitab al Muntaha dikatakan: Tidak ada jual beli kita pada mereka pada hari itu dan memberi hadiah mereka karena hari raya mereka karna hal itu termasuk mengagungkan mereka sehingga hal ini menyerupai memulai ucapan salam.

Di masa sekarang, pendapat ini juga diketahui sebagai pendapat resmi Lajnah Daimah (lembaga Fatwa Arab Saudi), fatwa MUI dan beberapa ulama kontemporer lainnya.

📚Bersambung…
___
[1] Al Mausu’ah al Fiqhiyyah al Kuwaitiyyah ( 7/128-130)

Ahmad Syahrin Thoriq (Official)

23 Dec, 03:06


REFERENSI DISKUSI : TUDUHAN DUSTA TERHADAP ABU HURAIRAH

Oleh : Ahmad Syahrin Thoriq

Dalam setiap debat, saya akan mensyaratkan lawan untuk mengirimkan referensi bacaannya, dan saya juga akan mengirimkan referensi yang akan kami gunakan dalam diskusi tersebut.

Berikut ini kitab-kitab maraji' dalam debat yang dilaksanakan tanggal 25 Desember 2024. Silahkan antum turut membaca, mengamati dan syukur nanti bisa mengoreksi keterbatasan kami.

IBNU UBAIDILLAH SHIHAB

1. أبو هريرة وأحاديثه في الميزان - المؤلف: نور الدين أبو لحية
2. أبو هريرة وخمسون عامًا بعد وفاة الرسول - المؤلف: منير عرفة
3. أبو هريرة الصحابي المفتَرى عليه - المؤلف: محمد عبد الله محمد حوى
4. الأضواء على السنة المحمدية - المؤلف: محمود أبو رية
5. أبو هريرة شيخ المضيرة - المؤلف: محمود أبو رية
6. تدريب الراوي في شرح تقريب النواوي - المؤلف: الإمام جلال الدين السيوطي
7. دفاع عن أبي هريرة - المؤلف: صالح علي العزي
8. معاوية بن أبي سفيان بالأسانيد الصحيحة - المؤلف: حسن بن فرحان المالكي

AHMAD SYAHRIN THORIQ

1. الإصابة في تمييز الصحابة - المؤلف: ابن حجر العسقلاني
2. تاريخ دمشق - المؤلف: الإمام ابن عساكر
3. سير أعلام النبلاء - المؤلف: الذهبي
4. تهذيب الكمال في أسماء الرجال - المؤلف: المزي
5. أبو هريرة: راوية الإسلام - المؤلف: محمود شاكر
6. الإظهار لما تدفق فيه أبو هريرة من المفاخر والأخبار - المؤلف: صالح أحمد الشامي
7. دفاع عن أبي هريرة - المؤلف: عبد المنعم شفيق
8. أبو هريرة: راوية الإسلام الأكبر - المؤلف: محمد عبد الرحيم
9. منهج النقد عند المحدثين ودفع الشبهات عن أبي هريرة - المؤلف: محمد خليفة التميمي
10. رفع الملام عن أبي هريرة: دراسة وتحقيق - المؤلف: الشيخ محمد شاكر
11. نصرة أبي هريرة ورد المفتريات - المؤلف: الذهبي
12. السنة ومكانتها في التشريع الإسلامي - المؤلف: مصطفى السباعي
13. ظلمات أبي رية - المؤلف: الشيخ عبد الرزاق حمزة
14. الأنوار الكاشفة - المؤلف: الشيخ عبد الرحمن بن يحيى المعلمي
15. دفاع عن أبي هريرة - المؤلف: محمود الطحان

•┈┈•••○○❁🌻ⒶⓈⓉ🌻❁○○•••┈┈•

💳 Dukung dakwah kami, salurkan infaq ke BSI 0847077213 an Ahmad Syahrin T QQ Subulana, konfirmasi donasi : 08115351966

Ahmad Syahrin Thoriq (Official)

23 Dec, 01:58


𝗞𝗘𝗗𝗨𝗗𝗨𝗞𝗔𝗡 𝗔𝗚𝗨𝗡𝗚 𝗔𝗕𝗨 𝗛𝗨𝗥𝗔𝗜𝗥𝗔𝗛

Oleh : Ahmad Syahrin Thoriq

Berikut ini adalah risalah singkat tentang perkataan sebagian imam kaum muslimin yang menyebutkan bagaimana kedudukan agung dari shahabat yang mulia Abu Hurairah radhiyallahu’anhu.

Ibnu Umar radhiyallahu’anhuma berkata :

أبو هريرة خير مني وأعلم بما يحدث

“Abu Hurairah lebih baik dariku dan lebih mengetahui tentang apa yang dia sampaikan.”[1]

Beliau juga berkata :

والله إنا لنعرف ما يقول أبو هريرة، ولكن نجبن ويجترئ

“Demi Allah, sesungguhnya kami juga sebenarnya mengetahui apa yang dikatakan Abu Hurairah, tetapi kami merasa takut sedangkan dia berani menyampaikan.”[2]

Beliau juga berkata :

صدقت يا أبا هريرة كنت ألزمنا لرسول الله صلى الله عليه وسلم وأعلمنا بحديثه

“Engkau benar wahai abu Hurairah. Engkau adalah orang yang paling sering menyertai Rasulullah ﷺ di antara kami dan paling mengetahui haditsnya.”[3]

Zaid bin Tsabit radhiyallahu’anhu berkata :

عليك بأبي هريرة، فإنه بينا أنا وهو وفلان في المسجد ندعو، خرج علينا رسول الله صلى الله عليه وسلم فجلس، وقال: عودوا إلى ما كنتم

"Hendaklah kamu melazimi kepada Abu Hurairah, karena sesungguhnya ketika aku, dia, dan si Fulan sedang berada di masjid berdoa, Rasulullah ﷺ keluar menemui kami, lalu beliau duduk dan bersabda: 'Kembalilah kepada apa yang kalian lakukan sebelumnya.'"[4]

Thalhah bin Ubaidillah radhiyallahu’anhu berkata :

والله ما أشك أن أبا هريرة سمع من رسول الله صلى الله عليه وسلم ما لم نسمع. كنا نحن قوم لنا عناء وبيوتات، وكنا إنما نأتي سول الله صلى الله عليه وسلم طرفي النهار، وكان مسكينا لا أهل له ولا مال، وإنما يده مع رسول الله صلى الله عليه وسلم، يأكل معه حيث كان، فوالله ما نشك أنه سمع منه ما لم نسمع

“Demi Allah, aku sama sekali tidak ragu bahwa Abu Hurairah telah mendengar dari Rasulullah ﷺ hal-hal yang tidak kami dengar. Kami adalah kaum yang memiliki banyak kesibukan dan keluarga, sehingga kami hanya mendatangi Rasulullah ﷺ pada waktu pagi dan sore saja.

Sedangkan dia (Abu Hurairah) adalah seorang miskin yang tidak memiliki keluarga maupun harta, tangannya selalu bersama Rasulullah ﷺ, makan bersamanya di mana pun beliau berada. Maka demi Allah, kami tidak ragu bahwa dia mendengar darinya (Rasulullah ﷺ) hal-hal yang tidak kami dengar.”[5]

Al imam Syafi’I rahimahullah berkata :

أبو هريرة أحفظ من روى الحديث في دهره

“Abu Hurairah adalah orang yang paling hafal terhadap riwayat hadits di masanya.”[6]

Al imam Abu Shalih rahimahullah berkata :

‌كان ‌أبو ‌هريرة ‌من ‌أحفظ ‌أصحاب ‌محمد

“Abu Hurairah adalah salah satu sahabat Nabi Muhammad ﷺ yang paling hafal (hadits).”[7]

Beliau juga berkata :

ما أزعم أن أبا هريرة كان أفضلهم ولكنه كان أحفظهم

“Aku tidak mengklaim bahwa Abu Hurairah adalah yang paling utama di antara para shahabat, tetapi ia adalah yang paling banyak hafalannya.”[8]

Al imam Bukhari rahimahullah berkata :

روى عنه ثمان مائة نفس أو أكثر

“Telah meriwayatkan hadits darinya 800 orang atau bahkan lebih.”[9]

Al imam Ibnu Hajar al Asqalani rahimahullah berkata :

هذا الإمام قد روى عنه ‌ثمانمائة ‌من ‌أهل ‌العلم كما قال البخاريّ

“Telah mengambil riwayat dari sang imam (Abu Hurairah) ini 800 ulama sebagaimana yang telah disebutkan oleh al imam Bukhari.”[10]

Al imam adz Dzahabi rahimahullah berkata :

وكان ‌حفظ ‌أبي ‌هريرة ‌الخارق ‌من ‌معجزات ‌النبوة.

"Hafalan Abu Hurairah yang luar biasa adalah salah satu mukjizat kenabian." [11]

Wallahu a’lam
___
[1] Al Ishabah fi Tamyiz Shahabah (1/72)
[2] Mustadrak al Hakim (3/510)
[3] Musnad imam Ahmad (6/216)
[4] Siyar A’lam Nubala (2/600)
[5] Jami’ at Tirmidzi (6/626)
[6] Ma’rifah as Sunan (2/58)
[7] Al Ilal wa Ma’rifah ar Rijal (3/43)
[8] Tarikh ad Dimasyq (67/340)
[9] Tahdzib al Kamal (1/1655)
[10] Al Ishabah fi Tamyiz ash Shahabah (1/72)
[11] Siyar A'lam Nubala (2/594)

Ahmad Syahrin Thoriq (Official)

18 Dec, 03:52


Menjawab fitnah : Bani Umayyah membunuh bayi-bayi yang bernama Ali

Ahmad Syahrin Thoriq (Official)

17 Dec, 22:50


Menjawab tuduhan : Ada hadits palsu dalam shahih Bukhari

Ahmad Syahrin Thoriq (Official)

17 Dec, 21:52


MEMBUNGKAM PEMBENCI ULAMA HADITS

Oleh : Ahmad Syahrin Thoriq

Diantara yang paling dibenci oleh musuh-musuh Islam dari kaum kuffar dan munafikin adalah para ulama dari kalangan ahli hadits. Karena yang mereka bawa dan pertahankan adalah bendera sunnah Nabi ﷺ. Sejarah mencatat berbagai upaya telah mereka lakukan untuk menyerang dan menjatuhkan para ahli hadits.

Diantara tuduhan mereka misalnya mengatakan bahwa ulama hadits itu kurang kerjaan karena mencantumkan dalam kitab hadits riwayat yang mereka anggap minim faidah dan tidak bermanfaat.

Contoh yang mereka katakan sebagai sesuatu yang tidak bermanfaat adalah sebuah riwayat yang disebut dengan istilah hadits Abu Umair berikut ini :

Anas bin Malik ia berkata, “Suatu kali Rasulullah ﷺ mendatangi kepada kami, sementara kami mempunyai adik kecil yang diberi kunyah Abu Umair.

Burung kecil miliknya yang biasa ia jadikan permainan mati. Lalu suatu hari Nabi masuk dan menemuinya sedang bersedih, beliau bertanya, “Apa yang sedang terjadi dengannya ?”

Orang-orang menjawab, “Burung kecilnya mati.” Beliau lantas bersabda, “Wahai Abu Umair, apa yang sedang dilakukan oleh burung kecilmu ?”

Para pembenci itu mengatakan dalam tuduhannya : "Apa pentingnya coba mencantumkan riwayat dalam kitab tentang anak kecil yang bersedih hanya karena kehilangan mainannya ?"

Maka untuk menjawab pernyataan ngawur ini, bangkitlah para ulama untuk memberikan jawaban. Diantaranya adalah al imam Ahmad bin Abi Ahmad ath Thabari rahimahullah yang akrab disebut Ibnul Qash menulis sebuah kitab yang diberi judul :

جزء فيه فوائد حديث ابي عمير

Yang mana di dalam kitab tersebut beliau menyebutkan 60 butir pelajaran penting yang bisa diambil dari hadits Abu Umar terkait hukum, adab, faedah dan hikmah yang terkandung di dalamnya !

Dalam mudimahnya Ibnul Qash berkata : "Berikut ini adalah faidah-faidah dari hadits tersebut untuk membungkam para pencela hadits dan supaya mereka mengetahui kedudukan agung para ahli hadits."

•┈┈•••○○❁🌻 𝐀𝐒𝐓🌻❁○○•••┈┈•
⤵️https://t.me/subulana
📱facebook.com/AhmadSyahrinThoriq

Ahmad Syahrin Thoriq (Official)

17 Dec, 00:49


Neraka tidak ada, dia hanya ada dalam pikiran kita ?

Ahmad Syahrin Thoriq (Official)

13 Dec, 02:09


𝗞𝗘𝗨𝗧𝗔𝗠𝗔𝗔𝗡 𝗡𝗘𝗚𝗘𝗥𝗜 𝗦𝗬𝗔𝗠

Oleh : Ahmad Syahrin Thoriq

Syam secara umum adalah kawasan yang sekarang meliputi empat negara yaitu Palestina, Yordania, Libanon dan Suriah. Dan wilayah ini memiliki fadhilah khusus baik secara tersirat maupun tersurat di dalam al Quran dan juga Hadits Nabawi. Berikut diantaranya :

𝟭. 𝗡𝗲𝗴𝗲𝗿𝗶 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗱𝗶𝗯𝗲𝗿𝗸𝗮𝗵𝗶

وَنَجَّيْنَاهُ وَلُوطًا إِلَى الْأَرْضِ الَّتِي بَارَكْنَا فِيهَا لِلْعَالَمِينَ

“Dan Kami selamatkan Ibrahim dan Luth ke sebuah negeri yang Kami telah memberkahinya untuk sekalian manusia." (QS. al Anbiya :71)

اللهم بارك لنا في شامنا وبارك لنا في يمننا قالوا وفي نجدنا قال اللهم بارك لنا في شامنا وبارك لنا في يمننا قالوا وفي نجدنا قال هناك الزلازل والفتن وبها أو قال منها يخرج قرن الشيطان

“Ya Allah, berilah kami barakah pada negeri Syam, ya Allah berilah kami barakah pada negeri Yaman. Para sahabat bertanya: termasuk Nejed ? Rasulullah berdoa: Ya Allah berilah kami barakah pada negeri Syam, ya Allah berilah kami barakah pada negeri Yaman.

Para sahabat masih bertanya: termasuk Nejed ? Rasulullah menjawab: Di sana terjadi gempa dan huru-hara, dan di sana muncul dua tanduk syetan.” (HR. Bukhari)

𝟮. 𝗣𝗲𝗺𝗯𝗲𝗹𝗮 𝗸𝗲𝗯𝗲𝗻𝗮𝗿𝗮𝗻 𝗮𝗱𝗮 𝗱𝗶 𝗦𝘆𝗮𝗺

لا تزال طائفة من أمتي ظاهرين على الحق، لا يضرهم من خالفهم ولا من خذلهم حتى تقوم الساعة قال معاذ: هم أهل الشام

“Sebagian umatku ada yang selalu melaksanakan perintah Allah, tak terpengaruh orang yang menggembosi dan tidak pula orang yang berseberangan hingga datang keputusan Allah, dan mereka senantiasa dalam keadaan demikian. Mu’adz berkata: dan mereka adalah penduduk Syam.“ (HR. Bukhari)

𝟯. 𝗡𝗲𝗴𝗲𝗿𝗶 𝗦𝘆𝗮𝗺 𝗱𝗶𝗻𝗮𝘂𝗻𝗴𝗶 𝘀𝗮𝘆𝗮𝗽 𝗺𝗮𝗹𝗮𝗶𝗸𝗮𝘁 𝗿𝗮𝗵𝗺𝗮𝘁

طُوبَى لِلشَّامِ. فَقُلْنَا : لأَيٍّ ذَلِكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ ؟ قَالَ : لأَنَّ مَلَائِكَةَ الرَّحْمَنِ بَاسِطَةٌ أَجْنِحَتَهَا عَلَيْهَا

“Kebaikan pada negeri Syam.' Kami bertanya, 'Mengapa wahai Rasulullah?' Beliau bersabda: 'Karena Malaikat rahmat mengembangkan sayap di atasnya.” (HR. Tirmidzi)

𝟰. 𝗦𝘆𝗮𝗺 𝗮𝗱𝗮𝗹𝗮𝗵 𝗻𝗲𝗴𝗲𝗿𝗶 𝗯𝗲𝗲𝗸𝘂𝗺𝗽𝘂𝗹𝗻𝘆𝗮 𝗽𝗮𝗿𝗮 𝗺𝘂𝗷𝗮𝗵𝗶𝗱

إنكم تحشرون رجالا و ركبانا و تجرون على وجوهكم هاهنا - و أومأ بيده نحو الشام

“Kalian akan dikumpulkan di sana – tangan beliau menunjuk ke Syam – jalan kaki atau naik kendaraan maupun berjalan dengan terbalik (kepala di bawah) … " ( HR. Ahmad)

𝟱. 𝗦𝘆𝗮𝗺 𝗮𝗱𝗮𝗹𝗮𝗵 𝗻𝗲𝗴𝗲𝗿𝗶 𝗶𝗺𝗮𝗻 𝗱𝗶𝗸𝗮𝗹𝗮 𝗳𝗶𝘁𝗻𝗮𝗵 𝗺𝗲𝗹𝗮𝗻𝗱𝗮

إني رأيت كأن عمود الكتاب انتزع من تحت وسادتي فأتبعته بصري فإذا هو نور ساطع عمد به إلى الشام ألا وإن الإيمان إذا وقعت الفتن بالشام

“Aku bermimpi melihat tiang kitab ditarik dari bawah bantalku, aku ikuti pandanganku, ternyata ia adalah cahaya sangat terang hingga aku mengira akan mencabut penglihatanku, lalu diarahkan tiang cahaya itu ke Syam, dan aku lihat bahwa bila fitnah terjadi maka iman terletak di negeri Syam.” (HR. Hakim)

𝟲. 𝗦𝘆𝗮𝗺 𝗺𝗲𝗿𝘂𝗽𝗮𝗸𝗮𝗻 𝗽𝘂𝘀𝗮𝘁 𝗻𝗲𝗴𝗲𝗿𝗶 𝗜𝘀𝗹𝗮𝗺 𝗱𝗶 𝗮𝗸𝗵𝗶𝗿 𝘇𝗮𝗺𝗮𝗻

وعقر دار المؤمنين الشام

“Ketahuilah, pusat negeri Islam adalah Syam.” (HR. Nasa'i)

𝟳. 𝗕𝗲𝗻𝘁𝗲𝗻𝗴 𝗜𝘀𝗹𝗮𝗺 𝘀𝗮𝗮𝘁 𝘁𝗲𝗿𝗷𝗮𝗱𝗶𝗻𝘆𝗮 𝗽𝗲𝗿𝗮𝗻𝗴 𝗮𝗸𝗵𝗶𝗿 𝘇𝗮𝗺𝗮𝗻

تحت كل راية اثنا عشر ألفا ، فسطاط المسلمين يومئذ في أرض يقال لها: الغوطة ، فيها مدينة و يقال لها: دمشق

“Pada tiap panji terdiri dari 12.000 prajurit. Benteng umat Islam saat itu di wilayah yang disebut Ghouthah, daerah sekitar kota Damaskus.” (HR. Ahmad)

𝟴. 𝗣𝗮𝘀𝘂𝗸𝗮𝗻 𝘁𝗲𝗿𝗯𝗮𝗶𝗸 𝗮𝗸𝗵𝗶𝗿 𝘇𝗮𝗺𝗮𝗻 𝗮𝗱𝗮 𝗱𝗶 𝗦𝘆𝗮𝗺

سيصير الأمر إلى أن تكونوا جنودا مجندة ، جند بالشام وجند باليمن وجند بالعراق قال ابن حوالة: خر لي يارسول الله إن أدركت ذلك ، فقال: عليك بالشام فإنها خيرة الله من أرضه ، يجتبى إليها خيرته من عباده ، فأما إن أبيتم فعليكم بيمنكم ، واسقوا من غُدُركم، فإن الله توكل لي بالشام وأهله

“Pada akhirnya umat Islam akan menjadi pasukan perang : satu pasukan di Syam, satu pasukan di Yaman, dan satu pasukan lagi di Iraq. Ibnu Hawalah bertanya: Wahai Rasulullah, pilihkan untukku jika aku mengalaminya.

Ahmad Syahrin Thoriq (Official)

13 Dec, 02:09


Nabi bersabda : Hendaklah kalian memilih Syam, karena ia adalah negeri pilihan Allah, yang Allah kumpulkan di sana hamba-hamba pilihan-Nya, jika tak bisa hendaklah kalian memilih Yaman dan berilah minum dari mata air yang ada di lembahnya, karena Allah menjamin untukku negeri Syam dan penduduknya.” (HR. Abu Dawud)

𝟵. 𝗧𝗲𝗺𝗽𝗮𝘁 𝘁𝘂𝗿𝘂𝗻𝗻𝘆𝗮 𝗻𝗮𝗯𝗶 𝗜𝘀𝗮

وإن عيسى نازل فإذا رأيتموه فاعرفوه رجل مربوع على الحمرة والبياض ينزل بين ممصرتين كأن رأسه يقطر وإن لم يصبه بلل

“Nabi Isa alaihissalam akan turun berdekatan dengan menara putih di timur Damsyik, dengan memakai pakaian kuning. Dua telapak tangannya terletak di atas sayap dua malaikat. Apabila dia menundukkan kepalanya meneteslah air. Dan ketika dia mengangkat kepalanya lagi, turunlah daripadanya air seperti untaian mutiara.” (HR. Muslim)

𝟭𝟬. 𝗧𝗲𝗺𝗽𝗮𝘁 𝗞𝗲𝗺𝗮𝘁𝗶𝗮𝗻 𝗗𝗮𝗷𝗷𝗮𝗹

يأتي المسيح الدجال من قبل المشرق وهمته المدينة حتى ينزل دائر أحد - يعني: قريباً من جبل أحد - ثم تصرف الملائكة وجهه قبل الشام وهناك يهلك

“Al Masih Dajjal akan datang dari arah timur, ia menuju Madinah, hingga berada di balik Uhud, ia disambut oleh malaikat, maka malaikat membelokkan arahnya ke Syam, di sana ia dibinasakan.” (HR. Ahmad)

Semoga bermanfaat

Ahmad Syahrin Thoriq (Official)

03 Dec, 02:14


Sedang sibuk mencari signal jaringan intrernet, malah dapatnya signal malaikat maut.

Ahmad Syahrin Thoriq (Official)

28 Nov, 04:06


𝗠𝗘𝗡𝗚𝗜𝗞𝗨𝗧𝗜 𝗠𝗔𝗦𝗬𝗔𝗥𝗔𝗞𝗔𝗧 𝗦𝗘𝗟𝗔𝗠𝗔 𝗜𝗧𝗨 𝗕𝗨𝗞𝗔𝗡 𝗠𝗔𝗞𝗦𝗜𝗔𝗧

Oleh : Ahmad Syahrin Thoriq

Diantara bentuk adab bergaul dengan orang banyak atau hidup bermasyarakat adalah bersikap luwes dan longgar dalam urusan apapun baik kaitannya ibadah maupun masalah muamalah.

Sayidina Ali bin Abi Thalib radhiyallahu'anhu pernah ditanya tentang bentuk etika yang baik dalam kehidupan bermasyarakat, maka beliau pun menjawab :

موافقة الناس في كل شيئ ما عدا المعاصي

“Yaitu menyesuaikan diri dengan masyarakat setempat dalam segala hal kecuali jika itu adalah kemaksiatan.” [1]

Al imam Ghazali rahimahullah juga berkata :

وحسن الخلق مع الناس ألا تحمل الناس على مراد نفسك، بل تحمل نفسك على مرادهم ما لم يخالفوا الشرع

“Diantara bentuk etika yang baik dalam pergaulan adalah engkau tidak menuntut orang lain untuk mengikuti kehendakmu, namun hendaknya engkau lah yang harus menyesuaikan dirimu sesuai kehendak mereka selama itu tidak bertentangan dengan syariat.”[2]

Al imam Ibnu Muflih rahimahullah juga berkata :

لا ينبغي الخروج من عادات الناس إلا في الحرام

“Tidak sepantasnya seseorang keluar dari tradisi orang banyak kecuali itu dalam perkara yang diharamkan.” [3]

Maka bila ada yang justru kegemarannya memaksakan pendapatnya sendiri kepada orang banyak dengan dalih menghidupkan sunnah, padahal urusannya hanya masalah kebiasaan dan perkara khilafiyah semata, maka jelas ini tidak ada sangkut pautnya dengan sunnah Nabi, tapi justru itu perbuatan bid'ah tercela yang harus dijauhi.

Wallahu a'lam.
___
1. Syarh Sulam Taufiq hlm. 6
2. Ayuhal Walad hlm. 12
3. Al Adab al Syar’iyyah (2/114)

Ahmad Syahrin Thoriq (Official)

26 Nov, 08:21


GURU DI MASA ITU

Oleh : Ahmad Syahrin Thoriq

Sejarah mencatat bahwa pada masa kekhalifahan Islam, para guru hidup terhormat dan mendapatkan penghasilan yang sangat layak, sebanding dengan jasa mereka yang memang sangat besar untuk umat.

1. Masa Khalafur Rasyidin.

Amirul Mukminin Umar bin Khattab radhiyallahu'anhu menetapkan kebijakan :

كان بالمدينة ثلاثة معلمين يعلمون صبيان فكان عمر يرزق كل واحد منهم خمسة عشر كل شهر.

"Di Madinah ada tiga orang yang ditugaskan untuk mengajar anak-anak, dan Khalifah Umar memberikan kepada setiap orangnya 15 dinar setiap bulan." (HR. Ibnu Abi Syaibah)

Jika 1 dinar kita hitung kasar bernilai 2 juta saja, berarti gaji saat itu 30.000.000 perbulan

2. Masa Umayyah.

Khalifah Umar bin Abdul Aziz mengirimkan surat instruksi kepada para gubernurnya :

انظروا إلى القوم الذين نصبوا أنفسهم للفقه ، وحبسوها في المسجد عن طلب الدنيا ، فأعط كل رجل منهم مائة دينار يستعينون بها على ما هم عليه من بيت مال المسلمين.

"Buatlah pendataan orang-orang yang berprofesi sebagai pengajar ilmu Fikih, serta lebih sibuk untuk mengajar ketimbang urusan dunia. Setelah itu, serahkan kepada mereka masing-masing uang sebanyak 100 Dinar dari kas negara."

3. Masa Abasiyah.

Harun ar Rasyid mengeluarkan kebijakan untuk menimbang dengan emas setiap karya ilmiah para guru dan ulama kala itu, baik karangan mereka sendiri ataupun hasil terjemahan.

4. Masa Ayubiyah.

Shalahuddin menetapkan gaji yang berbeda-beda untuk para guru kala itu, mulai dari yang terendah 10 Dinar, sampai 40 Dinar perbulannya.

📝 Maraji : Min Rawai Khadaratina karya M. As siba'i.

~︎~︎~︎~

Mengkisahkan kembali gilang gemilangnya muslimin dalam membangun peradaban dimasa lalu tentu bukan bertujuan sekedar menyanyikan lagu kenangan indah yang hanya akan menambah kepiluan hari kini.

Tapi agar kita bisa mengambil ibrah, hikmah dan pelajaran yang agung dari para pendahulu kita.

•┈┈•••○○❁༺ⒶⓈⓉ༻❁○○•••┈┈•
⤵️https://t.me/subulana
🌐 www.konsultasislam.id
📱facebook.com/AhmadSyahrinThoriq

Ahmad Syahrin Thoriq (Official)

26 Nov, 02:58


𝗕𝗘𝗡𝗔𝗥𝗞𝗔𝗛 𝗚𝗨𝗥𝗨 𝗧𝗜𝗗𝗔𝗞 𝗕𝗢𝗟𝗘𝗛 𝗠𝗘𝗡𝗘𝗥𝗜𝗠𝗔 𝗛𝗔𝗗𝗜𝗔𝗛 ?

Oleh : Ahmad Syahrin Thoriq

Dalam bahasan fiqih klasik tidak akan kita temukan adanya seorang ulama pun dari madzhab manapun yang mengharamkan seorang guru dari menerima hadiah. Justru kalau masalah menerima gaji ada perselisihan pendapat, antara yang membolehkan dan yang mengharamkan.

Tapi kalau urusan hadiah ulama tidak ada yang mempermasalahkan. Bahkan umumnya mereka mengatakan di antara bentuk amal harta terbaik adalah memberikan hadiah kepada para guru dan ulama.

Imam Suyuthi rahimahullah misalnya sampai menyatakan bahwa hadiah kepada para ulama atau guru akan dibalas dengan balasan paling tinggi bahkan di atas balasan sedekah kepada siapapun termasuk kepada fakir miskin.[1]

Lalu bagaimana kalau seorang guru telah menerima gaji rutin seperti hari ini, bolehkah ia menerima hadiah ? Jawabannya mungkin bisa dipilah, jika gajinya itu mencukupi bahkan cenderung berlebih, maka boleh para guru dilarang dari menerima hadiah dan pemberian apapun.

Tapi kalau mereka selama ini hanya sekedar dapat gaji yang layaknya disebut "bisyarah" atau penggembira, gembiranya hanya satu hari sakit perut plus peningnya sebulanan, maka itu kembali ke hukum asal kebolehan menerima hadiah.

Nah kalau sebuah lembaga merasa telah memberi gaji yang mencukupi, bisa saja membuat aturan yang melarang dengan pertimbangan kemaslahatan tertentu. Jika ada aturan ini, maka wajib bagi para guru tersebut untuk mematuhinya, bukan karena keharaman hadiah, tapi karena hukum mematuhi kesepakatan adalah wajib adanya.

Namun jika tidak ada larangannya, maka boleh saja para guru menerima hadiah dari siapapun termasuk dari para muridnya, meskipun ia telah menerima gaji yang lebih dari cukup.

Pertanyaannya, jika guru yang digaji tetap boleh menerima hadiah, lalu bagaimana memaknai hadits berikut ini ?

مَنِ اسْتَعْمَلْنَاهُ عَلَى عَمَلٍ فَرَزَقْنَاهُ رِزْقًا، فَمَا أَخَذَ بَعْدَ ذَلِكَ فَهُوَ غُلُولٌ

"Siapa saja yang telah kami pekerjakan dan telah kami beri upah tetap, maka semua harta yang dia dapatkan di luar hal itu adalah harta ghulul (khianat)." (HR. Abu Daud)

Jika ingin paham maksud hadits tersebut lihat dengan seksama penjelasan ulama tentang maksud sebenarnya dari hadits ini. Seperti penjelasan imam Shan'ani dalam At Tanwir (11/19), Syarah Sunan Abu Daud li Ibn Ruslan (12/554 - 556), al Hawi al Kabir (16/285) karya imam Mawardi dan yang lainnya.

Hadits tersebut lebih tepatnya dialamatkan kepada para aparatur negara, yakni mereka yang memiliki jabatan tinggi, gaji dan juga tunjangan yang besar, tapi masih berlagak mau mengemis "hadiah" dari berbagai pihak. Maka mereka diancam dengan hadits tersebut.

Al imam Mardawi rahimahullah berkata :

لا يجوز ‌إعطاء ‌الهدية لمن يشفع عند السلطان

"Tidak boleh memberikan hadiah kepada siapapun yang bisa memberi bantuan di sisi penguasa (yakni para pejabat negara)."[2]

Maksimal jika mau diperluas, ya hanya untuk para guru yang telah diangkat resmi oleh negara dan mendapatkan jaminan kehidupan yang layak, bukan untuk para ustadz, atau pengajar yang hanya diberi upah ala kadarnya.

Lagian kalau makna "pegawai" dalam hadits di atas dimaknai pegawai secara umum, maka bisa jadi hari ini tidak ada orang yang boleh menerima hadiah sama sekali, karena hampir sebagian besarnya kita berprofesi sebagai pegawai atau karyawan atau buruh yang menerima upah. Kalau sudah demikian, matilah sunnah untuk saling memberi hadiah.

Maka kepada para guru dan ulama dari zaman dulu hingga hari ini, hukum asal memberi hadiah kepada mereka adalah mustahab (dianjurkan), sebagaimana keumuman perintah hadits :

تَهَادُوا تَحَابُّوا

"Salinglah kalian memberi hadiah, maka kalian akan saling mencintai." (HR. Baihaqi)

Wallahu a'lam.
___
1. Bughyah al Mustarsyidin hlm. 221
2. Al Inshaf (28/359)

Ahmad Syahrin Thoriq (Official)

24 Nov, 08:44


APA ITU KUTTAB ?

Oleh : Ahmad Syahrin Thoriq

Kuttab adalah nama lembaga pendidikan yang pernah eksis sekian lama dalam sejarah peradaban Islam. Bahkan ia disebut sebagai lembaga pembelajaran atau pendidikan pertama sebelum munculnya sistem pendidikan lainnya seperti Madrasah, perguruan tinggi dan lainnya. Ia merupakan wadah bagi anak-anak usia dini hingga beranjak baligh untuk belajar dasar-dasar ilmu dan berbagai tuntunan ibadah dalam Islam.

Di Kuttab anak-anak belajar kepada ahlinya tentang pondasi keimanan dan keilmuan seperti mempelajari aqidah akhlaq, membaca, menulis hingga menghafal al Qur’an, juga mempelajari fiqih dasar seperti tata cara bersuci yang benar, kaifayatnya shalat dan hal yang semisalnya, termasuk juga belajar basic keilmuan lainnya seperti berhitung, membaca dan yang tak boleh dikesampingkan sama sekali adalah adab-adab Islami.

Sebagaimana dalam pendidikan hari ini, ada yang disebut sekolah dasar, maka kurang lebih seperti itu peran dan fungsi kuttab dalam pendidikan Islam. Hanya dalam sistem Kuttab, yang disebut membangun dasar-dasar itu bukan hanya kaitannya dengan persiapan mengisi otak atau ilmu pengetahuan, yang tak kalah penting dari itu adalah memberikan dasar dan pijakan yang kuat kaitannya dengan kecerdasan spritual dan emosional. Bahkan inilah yang harus diperioritaskan dari sekedar menjejali akal dengan ilmu.

Di Kuttab anak mengenal adab sebelum ilmu agama, belajar iman sebelum bergelut dengan al Qur’an, apalagi ilmu-ilmu lainnya. Ibarat mendirikan bangunan pondasi mereka dibina terlebih dahulu dengan kokoh, sebelum memancangkan tiang, membuat dinding, memasang atap dan komponen lainnya.

Karena pondasi ini akan menentukan bagaimana kedepannya nasib dari bangunan tersebut. Di fase membangun pondasi, focus utamanya pada menanam dan menghujamkan, dari pada pada yang tumbuh apalagi yang sekedar enak dipandang.

Sehingga dalam sejarah kita lihat, meski antara kuttab di negeri satu dengan negeri lainnya ada yang saling berbeda dalam muatan ilmu dan pengajarannya, tapi semua seragam dalam memberikan didikan akhlaq, adab dan nilai-nilai keimanan.

Kuttab adalah rahasia dari kesuksesan para ulama dan ilmuwan muslim dibawa lalu. Karena kemanapun anak-anak kaum muslimin mengepakkan sayapnya dalam memburu ilmu, mereka telah dibekali asas dan modal yang lebih dari cukup. Imam kokoh menghujam dalam hatinya, Qur’an lengkap bersemayam di dalam dada, tingkah lakunya mulia berbalut adab dan akhlaq.

Sehingga ilmu apapun yang mereka lahap menghasilkan manfaat untuk diri, bangsa dan umat ini. Jauh dari sekedar belajar tujuannya supaya nanti bisa kaya dan hidup enak.

Maka mulainya bermunculan Kuttab hari ini, semoga menjadi harapan baik bagi masa depan umat dan bangsa. Agar dari pondasi yang dibina, lahir para generasi yang hidup bukan hanya hendak memikirkan dirinya saja, karena mereka sadar bahwa dilahirkan untuk menebar manfaat kepada sesama.

Adanya Kuttab juga menjadi alternatif terbaik untuk menjembatani keinginan para orang tua yang berharap anak-anaknya memiliki pondasi ilmu agama yang baik tapi masih belum tega untuk memondokkan mereka karena pertimbangan usia.

Dan memang di usia dini, sebisa mungkin seorang anak tetap harus mendapatkan perhatian dan kasih sayang yang cukup dari para orang tuanya. Sehingga memang bukan tanpa alasan misalnya bila ada sebagian ahli ilmu tidak merekomendasikan anak dipondokkan sebelum usia SMP atau SMA.

Semoga dengan turut hadirnya Kuttab Subulana al Islamiy ini bisa semakin besar peran kami dalam memberikan kontribusi yang akan mendatangkan kebaikan dan keberkahan bagi putra putri kaum muslimin dan menjadi salah satu batu bata yang menyusun bangunan peradaban umat Islam di masa depan yang tinggi menjulang. Amin.

•┈┈•••○○❁༺ⒶⓈⓉ༻❁○○•••┈┈•
⤵️https://t.me/subulana
🌐 www.konsultasislam.id
📱facebook.com/AhmadSyahrinThoriq

Ahmad Syahrin Thoriq (Official)

24 Nov, 04:46


𝗜𝗟𝗠𝗨 𝗔𝗞𝗨 𝗧𝗜𝗗𝗔𝗞 𝗧𝗔𝗛𝗨

Oleh : Ahmad Syahrin Thoriq

Diantara buruknya adab penanya di zaman ini adalah ketika ia bertanya kepada seorang ahli ilmu seperti memaksa untuk pasti mendapatkan jawabannya. Bahkan ketika sekedar telat dari mendapatkan jawaban, ia seperti tidak terima, tanyanya sekarang ya jangan sampai di jawabnya bulan depan.

Mungkin orang seperti ini mengira bahwa seorang ulama atau mufti itu harus secanggih google, secerdas ChatGPT, yang selalu sigap menjawab meskipun jawabannya harus ngasal dan sedikit ngawur.

Apa ia tidak tahu bahwa ulama-ulama besar dahulu saja, sudah biasa membuat orang yang jauh-jauh datang untuk meminta fatwa ke rumahnya dibuat pulang dengan tangan hampa ? Entah itu karena tidak ketemu, atau memang dengan si ulama tidak dibukakan pintu, atau karena memang diberi jawaban dengan : “aku tidak tahu.”

Diriwayatkan bahwa Imam Asy Sya’bi rahimahullah berkata :

‌لا ‌أدري ‌نصف ‌العلم

“Ucapan aku tidak tahu adalah separuh ilmu.”[1]

Dalam sebuah riwayat Imam Malik rahimahullah pernah didatangi oleh beberapa orang dari negeri yang sangat jauh untuk menanyakan beberapa fatwa agama.

Dan semua jawaban dari beliau adalah : Aku tidak tahu. Sehingga sebagian mereka mengatakan : “Apa yang harus kami sampaikan kepada penduduk negeri kami sedangkan yang kami tanyai adalah orang seperti engkau dan jawabannya : Aku tidak tahu ?”

Imam Malik dengan tegas mengatakan : “ Ya katakan saja, bahwa Malik tidak mengetahui jawabannya.”

Dalam satu kesempatan yang lain beliau Imam Malik ditanya tentang satu permasalahan dan kala itu beliau menjawab ‘saya tidak tahu’. Kemudian si penanya berkata, “ini kan hanya masalah sepele ?”

Mendengar ucapan ini sang imam marah seraya berkata :

مسألة خفيفة سهلة؟ ‌ليس ‌في ‌العلم ‌شيء ‌خفيف

“Apa katamu ? Tidak ada hal sepele dalam masalah ilmu !”[2]

Diriwayatkan pula dari imam asy Syafi’i rahimahullah bahwasanya beliau ditanya tentang suatu masalah, lalu beliau terdiam dalam waktu yang sangat lama. Hingga ada yang berkata : “Semoga Allah merahmati anda, sebenarnya anda mau jawab atau tidak ?”

Imam Syafi'i menjawab:

حتى أدري الفضل في سكوتي أو في الجواب

"Saya harus memastikan dulu apakah lebih baik pertanyaan ini saya diamkan atau saya jawab."[3]

Al imam Qasim bin Muhammad bin Abi Bakr as Siddiq pernah ditanya tentang suatu masalah, dan beliau hanya menjawab, "Saya tidak menguasai masalah ini.”

Orang yang bertanya tersebut berkata, "Saya datang kepadamu karena saya tidak tahu tempat bertanya lainnya.” Mendengat itu al imam Qasim menjawab,

لا تنظر إلى طول لحيتي، وكثرة الناس حولي، والله ما أحسنه لأن يقطع لساني أحب إلي من أن أتكلم بما لا علم لي

"Engkau jangan tertipu oleh penampilanku atau karena banyaknya orang yang ada di sekitarku. Demi Allah saya tidak bisa menjawabnya, dan lebih baik lidahku dipotong daripada aku harus memberi jawaban atas masalah yang aku tidak menguasainya !”[4]

Imam Sya’bi rahimahullah pernah ditanya tentang suatu masalah dan beliau menjawab, "Aku tidak tahu." Maka ada yang berkata kepadanya, "Tidakkah anda merasa malu mengatakan 'tidak tahu', padahal anda dikenal sebagai ahli fiqihnya penduduk Iraq ?"

Mendemgar itu sang imam hanya menjawab, “Mengapa harus malu ? sedangkan para malaikat tidak malu ketika mereka mengatakan, 'Tidak ada ilmu bagi kami kecuali apa yang Engkau ajarkan kepada kami.'"[5]

Semoga bermanfaat
___
[1] Musnad ad Darimi (1/276)
[2] Tartib al Madarik (1/184)
[3] Fatawa Ibnu Shalah (1/13)
[4] Adabul Mufti hal. 38
[5] Jami’ Bayanul Ilmi no. 1558

Ahmad Syahrin Thoriq (Official)

24 Nov, 02:19


SEPERTI DI NEGERI DONGENG

Alhamdulillah telah hadir untuk Anda buku "Seperti di Negeri Dongeng" karya KH. Ahmad Syahrin Thoriq. Sebuah karya Islami yang menyentuh hati, mengangkat nilai-nilai iman dan hikmah yang begitu mendalam.

📦 Stok Buku Terbatas, dapatkan buku & Ebooknya : 📞08115351966

https://wa.me/8115351966


©Admin

Ahmad Syahrin Thoriq (Official)

24 Nov, 00:05


𝗦𝗨𝗝𝗨𝗗 𝗦𝗔𝗛𝗪𝗜

Afwan kiyai mohon penjelasan tentang sujud sahwi, jika imam di raka’at yang ketiga duduk untuk tasyahud dan diingatkan makmum dan imam langsung berdiri, apakah tetap sujud sahwi ?

𝗝𝗮𝘄𝗮𝗯𝗮𝗻

𝘖𝘭𝘦𝘩 : 𝘈𝘩𝘮𝘢𝘥 𝘚𝘺𝘢𝘩𝘳𝘪𝘯 𝘛𝘩𝘰𝘳𝘪𝘲


Sebelum menjawab ke inti persoalan yang ditanyakan, perlu kiranya kita untuk mengetahui hal-hal pokok berikut ini terlebih dahulu kaitannya dengan masalah sujud sahwi.

𝗣𝗲𝗻𝗴𝗲𝗿𝘁𝗶𝗮𝗻𝗻𝘆𝗮

Secara bahasa, as-sahw berarti lupa terhadap sesuatu dan lalai darinya.
Adapun sujud sahwi menurut para fuqaha' adalah sujud yang dilakukan di akhir shalat atau setelahnya untuk menutupi kekurangan (memperbaiki kekeliruan) yang terjadi akibat meninggalkan sesuatu yang diperintahkan dalam shalat atau melakukan sesuatu yang dilarang di dalamnya tanpa disengaja.[1]

𝗣𝗲𝗻𝘀𝘆𝗮𝗿𝗶𝗮𝘁𝗮𝗻𝗻𝘆𝗮

Sujud sahwi disyariatkan berdasarkan beberapa riwayat hadits yang disepakati keshahihannya, diantaranya adalah :

إِذَا شَكَّ أَحَدُكُمْ فِي صَلَاتِهِ فَلَمْ يَدْرِ كَمْ صَلَّى، أَثَلَاثًا أَمْ أَرْبَعًا؟ فَلْيَطْرَحِ الشَّكَّ وَلْيَبْنِ عَلَى مَا اسْتَيْقَنَ، ثُمَّ يَسْجُدُ سَجْدَتَيْنِ قَبْل أَنْ يُسَلِّمَ

"Jika salah seorang dari kalian ragu dalam shalatnya dan tidak tahu berapa rakaat yang telah ia lakukan, tiga atau empat, maka hendaklah ia membuang keraguannya dan membangun keyakinannya (pada jumlah yang pasti). Kemudian hendaklah ia sujud dua kali sebelum salam.” (HR. Muslim)

Dalam hadits yang lainnya riwayat dari Abdullâh bin Buhainah radhiyallahu anhu, beliau berkata :

صَلَّى بِنَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَامَ فِي الرَّكْعَتَيْنِ الأُولَيَيْنِ قَبْلَ أَنْ يَجْلِسَ، فَمَضَى فِي صَلاَتِهِ، فَلَمَّا قَضَى صَلاَتَهُ انْتَظَرَ النَّاسُ تَسْلِيمَهُ، فَكَبَّرَ وَسَجَدَ قَبْلَ أَنْ يُسَلِّمَ، ثُمَّ رَفَعَ رَأْسَهُ، ثُمَّ كَبَّرَ وَسَجَدَ، ثُمَّ رَفَعَ رَأْسَهُ وَسَلَّمَ

“Nabi ﷺ mengimami shalat kami, lalu bangkit pada raka’at kedua sebelum duduk. Lalu terus dalam shalatnya. Ketika akan selesai shalat Beliau, orang-orang menunggu salam Beliau, lalu Beliau bertakbir dan sujud sebelum salam kemudian mengangkat kepalanya kemudian bertakbir dan sujud kemudian mengangkat kepalanya dan salam.” (Muttafaqun ‘Alaih)

𝗛𝘂𝗸𝘂𝗺𝗻𝘆𝗮

Ulama madzhab berbeda pendapat tentang hukum melakukan sujud sahwi, menurut kalangan Hanafiyah dan Hanabilah hukumnya wajib, sedangkan kalangan ulama Syafi’iyyah dan Malikiyyah berpendapat hukumnya hanya disunnahkan, tidak sampai derajat wajib.[2]

𝗣𝗲𝗻𝘆𝗲𝗯𝗮𝗯 𝘀𝘂𝗷𝘂𝗱 𝗦𝗮𝗵𝘄𝗶

Tentu tidak semua hal yang terlupa dalam bacaan atau gerakan shalat diperintahkan untuk digantikan dengan sujud sahwi, ada yang memang masuk dalam perintah dan ada yang tidak. Dalam hal ini ada perkara yang disepakati dan ada yang diperbeda pendapatkan oleh para ulama madzhab. Dan perincian dalam bab ini cukup rumit dan pelik, karena dalam ruang lingkup satu madzhab saja ada sekian pendapat dan penjabaran yang lumayan berat.

Karena itu untuk meringankan bahasan, kami hanya akan membahas penyebab sujud sahwi dalam pandangan madzhab Syafi’i, sedangkan untuk pendapat ulama dari madzhab lainnya insyaallah di lain waktu dan bahasan yang berbeda.

𝗣𝗮𝗻𝗱𝗮𝗻𝗴𝗮𝗻 𝗠𝗮𝗱𝘇𝗵𝗮𝗯 𝗦𝘆𝗮𝗳𝗶’𝗶

Sujud sahwi menurut madzhab syafi’i disunnahkan untuk dikerjakan oleh orang yang melakukan beberapa hal berikut ini :

1. Mengerjakan sesuatu dalam shalat yang apabila disengaja batal shalatnya

Maksudnya adalah apabila dalam shalat seseorang terlupa dari mengerjakan kewajiban shalat seperti ruku’, sujud, berdiri, dan semisalnya maka ia disunnahkan mengerjakan sujud sahwi. Karena kalau misalnya ada orang yang shalat, lalu dengan sengaja mengurangi sujudnya, tidak mau berdiri di saat harus berdiri, tidak mau ruku di waktu rukuk maka tentu batal shalatnya.

Demikian juga misalnya aktivitas menelan sesuatu di mulutnya, berbicara sedikit, tertawa atau apapun yang dilarang dalam shalat namun ia melakukannya karena lupa, maka ia diperintahkan untuk sujud sahwi.[3]

2. Terlewat dari mengerjakan sunnah Ab’ah dalam shalat

Ahmad Syahrin Thoriq (Official)

24 Nov, 00:05


Yang kedua adalah meninggalkan sunnah shalat yang masuk kategori sunnah ab’ah. Diantara sunnah ab’ah adalah : Membaca tahiyat awal dan duduknya, shalawat kepada Nabi ﷺ dalam tahiyat awal, shalawat kepada keluarga Nabi ﷺ dalam tahiyat akhir, doa qunut yang dianjurkan seperti dalam shalat Subuh dan shalat Witir di akhir bulan Ramadan.[4]

Sunnah Ab’ah ketika ditinggalkan meskipun dengan sengaja memang tidak membatalkan shalat, namun dalam pandangan madzhab ini disunnahkan untuk diganti dengan sujud sahwi.

3. Ragu dalam shalat

Jika seseorang ragu apakah dia telah shalat tiga rakaat atau empat rakaat, maka dia harus menambahkan satu rakaat dan melakukan sujud sahwi. Pendapat yang lebih kuat adalah bahwa dia tetap harus sujud sahwi meskipun keraguannya hilang sebelum memberikan salam. Begitu juga, jika seseorang ragu dalam shalat apakah dia telah melakukan suatu gerakan lebih (seperti rakaat atau sujud), dia harus melakukan sujud sahwi jika ragu apakah itu penambahan.[5]

4. Mengikuti imam yang banyak meninggalkan kesunnahan shalat

Dalam madzhab Syafi’i disunnahkan untuk tetap melakukan sujud sahwi jika bermakmum kepada imam yang meninggalkan kesunnahan-kesunnahan dalam shalat seperti contohnya tidak membaca surah dan qunut Shubuh. Syaikh Abu Ali al Marwarudzi Asy Syafi’i rahimahullah berkata :

يوجب سجود السهو على المأموم أن يسجد وإن تركه الإمام، وإنما ذلك، لأن المأموم يبني الأمر على اعتقاد نفسه دون اعتقاد إمامه

“Makmum dianggap tetap diperintahkan sujud sahwi jika imamnya meninggalkan sesuatu yang harus dilakukan yang mengharuskan sujud sahwi, meskipun imam tersebut tidak melakukannya. Ini karena makmum membangun tindakan shalatnya berdasarkan keyakinan dirinya sendiri, bukan berdasarkan keyakinan imamnya.”[6]

𝗕𝗮𝗰𝗮𝗮𝗻 𝘀𝘂𝗷𝘂𝗱 𝘀𝗮𝗵𝘄𝗶

Disunnahkan dalam sujud sahwi untuk membaca dzikir dengan membaca tasbih. Al imam Rafi’i rahimahullah berkata :

وسمعت بعض الأئمة يحكي أنه يستحب أن يقول فيهما: ‌سبحان ‌من لا ينام ولا يسهو

"Dan saya telah mendengar beberapa imam mengatakan disunnahkan untuk mengucapkan dalam kedua sujud sahwi: 'Subhanaman la yanaamu wa la yas'hû' (Maha Suci Allah yang tidak tidur dan tidak lupa)."[7]

Sebagian ulama lainnya berpendapat bahwa yang disunnahkan adalah membaca seperti bacaan sujud pada umumnya.

𝗧𝗲𝗺𝗽𝗮𝘁 𝗺𝗲𝗹𝗮𝗸𝘂𝗸𝗮𝗻 𝘀𝘂𝗷𝘂𝗱 𝘀𝗮𝗵𝘄𝗶

1. Hanafi

Kalangan Hanafiyah berpendapat bahwa tempat untuk melakukan sujud sahwi adalah setelah salamnya shalat.[8] Dalil pendapat ini adalah Hadits dari al Mughirah yang menyebutkan bahwa ketika beliau selesai dari shalat, ia mengucapkan salam, kemudian sujud dua kali, lalu mengucapkan salam kembali, sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah ﷺ, dan juga hadits dari Ibn Mas'ud yang menyebutkan: "Nabi ﷺ shalat Dzhuhur lima rakaat, kemudian dikatakan kepadanya: 'Apakah ada tambahan dalam shalat?' Beliau bertanya: 'Apa itu?' Mereka menjawab: 'Engkau shalat lima rakaat.' Maka beliau sujud dua kali setelah mengucapkan salam"

2. Maliki

Sedangkan kalangan Maliki memerinci, bila lupanya itu berupa kelebihan maka sujud sahwinya setelah salam, namun jika yang terjadi adalah kekurangan gerakan atau bacaan salam maka sujud dilakukan sebelum salam.[9]

3. Syafi’i

Kalangan Syafi’iyyah berpendapat bahwa tempatnya sujud sahwi adalah sebelum salam, tepatnya antara bacaan akhir tasyahud dengan salam. Berkata Syaikhul Islam Zakariya al Anshari rahimahullah :

فالظاهر المشهور من المذهب أنه يسجد قبل السلام إذا فرغ من التشهد

"Yang tampak dan terkenal dari madzhab adalah bahwa seseorang harus sujud sebelum salam setelah selesai dari tasyahud."[10]

Hal ini didasarkan kepada hadits Abu Sa’id al Khudri yang telah disebutkan sebelumnya di dalam Shahih Muslim dan Ahmad :

‌ثُمَّ ‌يَسْجُدْ ‌سَجْدَتَيْنِ ‌قَبْلَ ‌أَنْ ‌يُسَلِّمَ

"Kemudian ia sujud dua kali sebelum salam."

Dan juga hadits Ibn Buhaynah yang juga telah disebutkan sebelumnya di dalam Sunan an-Nasa'i : "Ketika ia selesai dari shalatnya, ia sujud dua kali, kemudian mengucapkan salam."

4. Hanbali

Ahmad Syahrin Thoriq (Official)

24 Nov, 00:05


Sedangkan dalam madzhab Hanbali sujud sahwi boleh dilakukan sebelum dan setelah salam. Tidak ada perbedaan kecuali dari sisi keutamaan saja dalam kasus penyebab lupanya dia di dalam shalat.[11]

𝗞𝗮𝘀𝘂𝘀 𝗱𝗶𝘁𝗮𝗻𝘆𝗮𝗸𝗮𝗻

Adapun untuk pertanyaan di atas jelas tetap disunnahkan sujud sahwi, hal ini sebagaimana yang juga langsung diterangkan oleh Syaikh Wahbah Zuhaili rahimahullah :

من قام إلى ركعة زائدة في الفريضة، رجع متى ذكر، وسجد بعد السلام

“Jika seseorang bangkit menuju rakaat tambahan dalam shalat fardhu dan dia ingat, maka dia harus kembali ke posisi sebelumnya dan sujud sahwi setelah salam.[12]

📚Wallahu a’lam
__
[1] Al Mausu’ah al Fiqhiyah al Kuwaitiyah (24/234)
[2] Al Fatawa al Hindiyah (1/125), Hasyiah ad Dusuqi (1/273), NIhayah al Muhtaj (2/62), al Mughni (2/36)
[3] Fiqh al Islami wa Adillatuhu (2/1114)
[4] Hasyiah al Baijuri (1/167)
[5] Fiqh al Islami wa Adillatuhu (2/1115)
[6] At Ta’liqat li qadhi Husain (2/846)
[7] Kifayah an Nabih (3/495)
[8] Tuhfah al Fuqhaha’ (1/209)
[9] Syarah at Talqin (1/600)
[10] Nihayah al Mathlab (2/238)
[11] Kasyf al Qina (1/479)
[12] Fiqh al Islami wa Adillatuhu (2/1113)

Ahmad Syahrin Thoriq (Official)

13 Nov, 06:15


*Buku: SEPERTI DI NEGERI DONGENG*

Alhamdulillah telah hadir untuk Anda buku "Seperti di Negeri Dongeng" karya KH. Ahmad Syahrin Thoriq – sebuah karya Islami yang menyentuh hati, mengangkat nilai-nilai iman dan hikmah yang begitu mendalam.

Dapatkan buku dan Ebooknya di sini:
➡️ https://store.subulana.com/produk/seperti-di-negeri-dongeng/

Bawa pulang keindahan dan pelajaran berharga dari kisah-kisah inspiratif ini.

Semoga buku ini menjadi penambah ilmu dan iman di setiap langkah kita.

📦 Stok Terbatas – Pesan Sekarang, Jangan Sampai Kehabisan!

Info : 📞08115351966

©Admin

Ahmad Syahrin Thoriq (Official)

12 Nov, 02:48


𝗦𝗔𝗙𝗔𝗥 𝗗𝗔𝗡 𝗔𝗗𝗔𝗕-𝗔𝗗𝗔𝗕𝗡𝗬𝗔 𝗯𝗮𝗴𝗶𝗮𝗻 𝗜𝗜

Oleh : Ahmad Syahrin Thoriq

𝟰. 𝗠𝗲𝗻𝗷𝗮𝗴𝗮 𝗱𝗼𝗮 𝗱𝗮𝗻 𝗱𝘇𝗶𝗸𝗶𝗿 𝘀𝗮𝗳𝗮𝗿

Disunnahkan bagi musafir untuk memperbanyak doa dan dzikir selama safarnya, karena doa seorang musafir termasuk yang mustajabah, sebagaimana disebutkan dalam hadits :

ثَلَاثُ دَعَوَاتٍ مُسْتَجَابَاتٌ: دَعْوَةُ الْمَظْلُومِ، وَدَعْوَةُ الْمُسَافِرِ، وَدَعْوَةُ الْوَالِدِ عَلَى وَلَدِهِ

"Tiga doa yang mustajab (diterima) yaitu doa orang yang dizalimi, doa orang yang sedang bepergian, dan doa orang tua terhadap anaknya.” HR. Tirmidzi)

Diantara doa-doa atau dzikir yang bisa diamalkan adalah meliputi doa ketika keluar rumah, naik kendaraan, ketika jalan menanjak atau menurun, dan termasuk bacaan dzikir saat melihat hal yang baik ataupun buruk selama di perjalanan.

𝗗𝗼𝗮 𝗸𝗲𝗹𝘂𝗮𝗿 𝗿𝘂𝗺𝗮𝗵

بِسْمِ اللَّهِ تَوَكَّلْتُ عَلَى اللَّهِ لاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللَّهِ

“Dengan nama Allah, aku bertawakal kepada-Nya; tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan-Nya.” (HR. Tirmidzi)

𝗗𝗼𝗮 𝗻𝗮𝗶𝗸 𝗸𝗲𝗻𝗱𝗮𝗿𝗮𝗮𝗻

Diantara doa yang bisa kita baca saat mulai menaiki kendaraan adalah :

سُبْحَانَ الَّذِيْ سَخَّرَ لَنَا هَذَا وَمَا كُنَّا لَهُ مُقْرِنِيْنَ، وَإِنَّا إِلَى رَبِّنَا لَمُنْقَلِبُوْنَ

“Mahasuci Dzat yang telah menundukkan kendaraan ini untuk kami, sedangkan sebelumnya kami tidak mampu. Dan sesungguhnya kami akan kembali kepada Rabb kami (di hari Kiamat).” (HR. Muslim)

Atau jika ingin menambahkan, membaca doa :

الَلَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ فِي سَفَرِنَا هَذَا الْبِرَّ وَالتَّقْوَى، وَمِنَ الْعَمَلِ مَا تَرْضَى الَلَّهُمَّ هَوِّنْ عَلَيْنَا سَفَرَنَا هَذَا وَاطْوِ عَنَّا بُعْدَهُ، الَلَّهُمَّ أَنْتَ الصَّاحِبُ فِي السَّفَرِ وَالْخَلِيْفَةُ فِيْ اْلأَهْلِ، الَلَّهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُبِكَ مِنْ وَعْثَاءِ السَّفَرِ وَكَآبَةِ الْمَنْظَرِ وَسُوْءِ الْمُنْقَلَبِ فِي الْمَالِ وَاْلأَهْلِ

“Ya Allah, sesungguhnya kami memohon kebaikan dan taqwa dalam perjalanan ini, kami memohon perbuatan yang membuat-Mu ridha. Ya Allah, mudahkanlah perjalanan kami ini, dan dekatkanlah jaraknya bagi kami. Ya Allah, Engkaulah teman dalam perjalanan dan yang mengurus keluarga(ku).

Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kelelahan dalam bepergian, pemandangan yang menyedihkan dan perubahan yang jelek dalam harta dan keluarga.” (HR. Muslim)

Atau dengan menambahkan lafadz doa :

اللَّهُمَّ أَعُوذُ بِكَ أَنْ أَضِلَّ أَوْ أُضَلَّ أَوْ أَزِلَّ أَوْ أُزَلَّ أَوْ أَظْلِمَ أَوْ أُظْلَمَ أَوْ أَجْهَلَ أَوْ يُجْهَلَ عَلَيَّ

“Ya Allah aku berlindung kepada-Mu dari ketersesatan atau disesatkan, tergelincir atau digelincirkan, mendzalimi atau didzalimi dan membodohi atau dibodohi.” (HR. Abu Daud)

Doa di atas bisa untuk kendaraan darat, udara dan juga laut. Namun untuk kendaraan laut bisa dengan mengkhususkan doa sebagai berikut :

بِسْمِ اللهِ مَجْرَهَا وَمُرْسَهَآاِنَّ رَبِّىْ لَغَفُوْرٌرَّحِيْمٌ

"Dengan nama Allah yang menjalankan kendaraan ini berlayar dan berlabuh. Sesungguhnya Tuhanku benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."[1]

𝗠𝗲𝗻𝗱𝗼𝗮𝗸𝗮𝗻 𝗸𝗲𝗹𝘂𝗮𝗿𝗴𝗮 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗱𝗶𝘁𝗶𝗻𝗴𝗴𝗮𝗹𝗸𝗮𝗻

Disunnahkan saat safar untuk berpamitan dan saling mendoakan. Diantara doa yang bisa dibaca adalah :

أَسْتَوْدِعُ اللَّهَ دِينَكَ وَأَمَانَتَكَ وَخَوَاتِيمَ عَمَلِكَ

“Aku menitipkan kepadamu agama, amanah, dan akhir amalmu kepada Allah.” (HR. Abu Daud)

𝗗𝗼𝗮 𝘀𝗮𝗮𝘁 𝗷𝗮𝗹𝗮𝗻 𝗺𝗲𝗻𝗮𝗻𝗷𝗮𝗸 𝗱𝗮𝗻 𝗺𝗲𝗻𝘂𝗿𝘂𝗻

Termasuk dzikir yang bisa dibaca dalam perjalanan adalah ketika melalui bukit yang mendaki dan ketika menurun. Disunnahkan untuk berdzikir dengan membaca takbir saat melalui jalan mendaki dan membaca tasbih saat jalan menurun.[2]

Sebagaimana ini didasarkan kepada sebuah hadits riwayat Ibnu Umar radhiyallahu’anhuma beliau berkata :

وَكَانَ النَّبِيُّ ﷺ وَجُيُوشُهُ إذَا عَلَوا الثَّنَايَا كَبَّرُوا، وَإذَا هَبَطُوا سَبَّحُوا.

“Bahwa Nabi ﷺ dan tentaranya, apabila menapaki jalan bukit maka mereka bertakbir, dan bila turun, mereka bertasbih.” (HR. Abu Daud)

𝗗𝗼𝗮 𝗸𝗲𝘁𝗶𝗸𝗮 𝘀𝗶𝗻𝗴𝗴𝗮𝗵 𝗱𝗶 𝘀𝘂𝗮𝘁𝘂 𝘁𝗲𝗺𝗽𝗮𝘁

Ahmad Syahrin Thoriq (Official)

12 Nov, 02:48


__
[1] Hadits riwayat Ibnu Sunni menyebutkan bahwa Rasulullah bersabda : “Akan aman dari tenggelam bagi umatku bila mereka membaca doa ketika menggunakan kendaraan laut, ‘Bismillâhi majrêha wa mursâhâ, inna rabbî la ghafûrur rahîm, (Hud ayat 41).
[2] Al Mausu’ah al Fiqhiyah al Kuwaitiyah (25/43)
[3] Al Mausu’ah al Fiqhiyyah al Kuwaitiyah (25/41)

Ahmad Syahrin Thoriq (Official)

12 Nov, 02:48


Disunnahkan ketika singgah di suatu tempat untuk membaca lafadz dzikir :

أَعُوْذُ بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّاتِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ

“Aku berlindung dengan kalimat Allah yang sempurna dari kejahatan mahluk-Nya.”

Disebutkan dalam hadits riwayat imam Muslim bahwa siapa yang ketika singgah di suatu tempat kemudian membaca doa di atas, maka ia tidak akan tertimpa keburukan dan gangguan apapun hingga ia meninggalkan tempat itu.

𝗗𝗼𝗮 𝗸𝗲𝘁𝗶𝗸𝗮 𝗺𝗲𝗺𝗮𝘀𝘂𝗸𝗶 𝘀𝘂𝗮𝘁𝘂 𝗸𝗼𝘁𝗮 𝗮𝘁𝗮𝘂 𝗱𝗲𝘀𝗮

Disunnahkan membaca doa berikut ini :

اللَّهُمَّ ‌إِنِّي ‌أَسْأَلُكَ ‌خَيْرَهَا ‌وَخَيْرَ ‌أَهْلِهَا ‌وَخَيْرَ ‌مَا ‌فِيهَا، ‌وَأَعُوذُ ‌بِكَ ‌مِنْ ‌شَرِّهَا ‌وَشَرِّ ‌أَهْلِهَا ‌وَشَرِّ ‌مَا ‌فِيهَا

“Ya Allah, aku memohon kebaikan desa/kota ini, kebaikan penduduknya, dan kebaikan yang ada di dalamnya. Dan aku berlindung kepada-Mu dari keburukannya, keburukan penduduknya, dan keburukan yang ada di dalamnya”. (HR. Ibnu Hibban)

𝗗𝗼𝗮 𝗸𝗲𝘁𝗶𝗸𝗮 𝗺𝗲𝗹𝗶𝗵𝗮𝘁 𝗵𝗮𝗹 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗯𝗮𝗶𝗸 𝗱𝗮𝗻 𝗯𝘂𝗿𝘂𝗸

Dalam perjalanan safar dimungkinkan seorang musafir bertemu dengan hal-hal baik dan menyenangkan, atau sebaliknya melihat hal-hal buruk. Dan seorang muslim ketika melihat hal baik, disunnahkan untuk membaca doa :

الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي بِنِعْمَتِهِ تَتِمُّ الصَّالِحَاتُ

“Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya semua kebaikan akan menjadi sempurna.”(HR. Ibnu Majah)

Dan ketika melihat hal buruk membaca doa :

الْحَمْدُ لِلَّهِ عَلَى كُلِّ حَالٍ

“Segala puji bagi Allah dalam keadaan bagaimanapun.” (HR Tirmidzi)

𝗗𝗼𝗮 𝗺𝗮𝘀𝘂𝗸 𝗿𝘂𝗺𝗮𝗵

Ketika Kembali dari safar, hendaknya mengucapkan salam kepada keluarga atau orang yang ada di dalam rumah. Dan setelahnya bisa membaca doa :

اللَّهُمَّ إِنِّى أَسْأَلُكَ خَيْرَ الْمَوْلِجِ وَخَيْرَ الْمَخْرَجِ بِسْمِ اللَّهِ وَلَجْنَا وَبِسْمِ اللَّهِ خَرَجْنَا وَعَلَى اللَّهِ رَبِّنَا تَوَكَّلْنَا

“Ya Allah, aku memohon pada-Mu kebaikan ketika masuk dan keluar dari rumah. Dengan nama Allah, kami masuk dan dengan nama Allah kami keluar dan hanya kepada Allah Rabb kami, kami bertawakkal.” (HR. Abu Daud)

𝟱. 𝗦𝗲𝗴𝗲𝗿𝗮 𝗞𝗲𝗺𝗯𝗮𝗹𝗶 𝗷𝗶𝗸𝗮 𝘂𝗿𝘂𝘀𝗮𝗻 𝘁𝗲𝗹𝗮𝗵 𝘀𝗲𝗹𝗲𝘀𝗮𝗶

Jika urusan dalam safar telah selesai, dianjurkan untuk segera kembali dan tidak menunda-nunda kepulangan tanpa ada kepentingan. Dalam hadits disebutkan :

Apa yang harus dilakukan musafir bila maksudnya telah terlaksana.

السَّفَرُ قِطْعَةٌ مِنَ العَذَابِ، يَمْنَعُ أَحَدَكُمْ نَومَهُ وَطَعَامَهُ وَشَرَابَهُ، فَإذَا قَضَى أَحَدُكُمْ نَهْمَتَهُ فَلْيُعَجِّلْ إلَى أَهْلِهِ

“Safar adalah bagian dari adzab, dimana salah seorang kalian jadi menahan makan, minum dan tidur (karenanya), maka apabila dia telah menyelesaikan tujuannya perjalanannya maka segeralah kembali kepada keluarganya.” (Mutafaqqun ‘alaih)

𝟲. 𝗠𝗲𝗺𝗶𝗹𝗶𝗵 𝗵𝗮𝗿𝗶 𝗸𝗮𝗺𝗶𝘀 𝗮𝘁𝗮𝘂 𝘀𝗲𝗻𝗶𝗻 𝘂𝗻𝘁𝘂𝗸 𝗺𝗲𝗺𝘂𝗹𝗮𝗶 𝘀𝗮𝗳𝗮𝗿

Dalam sebuah hadits riwayat sayyidina Ka’ab bin Malik radhiyallahu’anhu beliau berkata :

أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ خَرَجَ يَومَ الخَمِيسِ فِي غَزْوَةِ تَبُوكَ، وَكَانَ يُحِبُّ أَنْ يَخْرُجَ يَومَ الخَمِيسِ، وَفي لفظٍ: لَقَلَّمَا كَانَ رَسُولُ الله ﷺ يَخْرُجُ إذَا خَرَجَ فِي سَفَرٍ إلَّا يَومَ الخَمِيسِ

Dari Ka’ab bin Malik Radhiyallahu anhu berkata: Nabi ﷺ berangkat perang ke Tabuk pada hari kamis dan beliau sangat suka bepergian pada hari kamis. Dalam riwayat lain : “Amat sedikit Rasulullah keluar untuk bepergian apabila ingin pergi safar kecuali pada hari Kamis.” (HR. Bukhari)

Dalam al Mausu’ah dikatakan jika tidak bisa memilih hari kamis, maka hendaknya memilih hari senin dengan dalil bahwa Nabi ﷺ saat beliau berhijrah keluar dari rumahnya adalah pada hari senin.[3]

Memilih hari ini bila memang memiliki keluangan waktu untuk memilih. Tentu tidak bisa diterapkan dalam kasus yang khusus, semisal kita janjian dengan seseorang untuk bertemu di suatu kota di hari Rabu, lalu kita sengaja pergi di hari kamis yang menyebakan kita terlambat dari janji, lalu berdalil kalau sunnahnya safar itu pada hari kamis. Ini namanya bukan berdalil, tapi melakukan "kekerasan" terhadap dalil.

Wallahu a'lam.

Ahmad Syahrin Thoriq (Official)

11 Nov, 02:55


𝗞𝗜𝗧𝗔 𝗟𝗔𝗛 𝗬𝗔𝗡𝗚 𝗛𝗔𝗥𝗨𝗦 𝗕𝗘𝗥𝗕𝗘𝗡𝗔𝗛

Oleh : Ahmad Syahrin Thoriq

Pro kontra atau like and dislike itu sebenarnya biasa saja dalam kehidupan ini, termasuk kaitannya dengan dunia ilmu dan dakwah. Jujur bagi saya ini bukan masalah penting dan genting. Apa lagi dibawa baper atau menganalisa ini ada aroma konspirasi.

Tapi tentu di satu sisi saya bisa memaklumi posisi beliau sebagai tuan rumah yang pasti merasa sedih dan bersalah.

Jujur saya sudah biasa mengalami hal yang begituan. Dan apa yang saya rasakan tentu tidak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan yang dialami para da'i illah yang tulen.

Jadwal yang diganti tanpa komfirmasi, pembatalan ceramah ketika telah tiba di hari H. Dan itu saya tanggapi dengan woles saja selama tidak menimbulkan fitnah yang lebih besar. Semisal yang berani membatalkan adalah preman yang memusuhi pengajian.

Begitu saja distop saat sedang berceramah juga pernah, atau diulti minimal diwanti-wanti agar tidak menyampaikan sebuah materi juga terjadi bukan sekali. Dan saya bisa menerima itu, tentunya cara menerimanya dengan cara saya sendiri.

Sebisa mungkin saya menghindari konflik di tengah-tengah umat. Saya selalu sampaikan kepada panitia, jika ada usaha pembatalan jadwal tak perlu heboh atau ribut-ribut. Cukup WA saya dan semua akan berakhir dengan baik.

Saya tidak pernah mengartikan menolak dakwah yang hendak atau telah saya sampaikan berarti itu menolak dakwah. Memusuhi saya berarti menjadi musuh dakwah. Dakwah tetap bisa berjalan dengan atau tanpa kita, maka tak penting banget keberadaan orang seperti saya.

Dahulu para ulama dan imam kaum muslimin juga mengalami tekanan dakwah dan persekusi, dari berbagai pihak, mulai orang awamnya yang terhasud, penguasa yang merasa terusik, hingga sesama ulama yang terjangkit penyakit hasad.

Jika mereka yang begitu murni dan mumpuni saja bisa dibegitukan, apa lagi kita khususnya saya yang nyatanya bukan siapa-siapa. Orang yang hanya dipaksa menjadi rotan karena ketiadaan tali, dijadikan kiyai padahal bisanya baru ikiyae (ini saja).

Maka diterima atau ditolaknya dakwah tak menunjukkan apapun bagi orang seperti saya, selain diri kita lah yang harus terus berbenah. Karena masih banyak salah, niatnya belum lilah, dakwahnya belum hikmah.

Tapi sebagai tanggung jawab ilmiah saya selalu menyampaikan akan siap diskusi dengan siapapun terkait perkara yang mungkin selama ini kita berbeda pendapat dengan tajam.

Diskusi dan debat ilmiah itu tradisi mulia untuk menjaga kemuliaan ilmu. Bukan untuk mencari menang kalah. Maka jika yang saya sampaikan ternyata benar, saya tinggal melanjutkan. Sebaliknya jika ternyata saya terbukti salah, ya tinggal diralat kesalahannya dan rujuk kembali kepada kebenaran.

Ke panitia saya sampaikan insyaallah kami akan tetap berangkat, kalau ternyata semua jadwal dibatalkan, ya tinggal diubah saja agendanya, dari pengajian menjadi jalan-jalan, sekaligus kulineran....

Ahmad Syahrin Thoriq (Official)

09 Nov, 11:02


𝗛𝗢𝗧𝗘𝗟 𝗗𝗜 𝗠𝗔𝗦𝗔 𝗦𝗘𝗝𝗔𝗥𝗔𝗛 𝗜𝗦𝗟𝗔𝗠

Oleh : Ahmad Syahrin Thoriq

Tahukah anda di masa keemasan Islam juga telah dibangun hotel-hotel yang bukan hanya ada di kota-kota besar namun di sepanjang perjalanan yang biasa dilintasi oleh Masyarakat. Sebagaimana hotel hari ini yang menyediakan fasilitas mulai dari makanan dan pelayanan, demikian pula hotel yang ada saat itu.

Namun tahukah anda perbedaannya ? Satu-satunya perbedaan adalah hotel saat itu gratis karena disediakan oleh negara sebagai bentuk pelayanan kepada rakyatnya.

Hal ini terjadi karena para ulama telah memaknai sebuah ayat dengan sangat unik, yakni firman Allah ta’ala :

لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ اَنْ تَدْخُلُوْا بُيُوْتًا غَيْرَ مَسْكُوْنَةٍ فِيْهَا مَتَاعٌ لَّكُمْ

“Tidak ada dosa atasmu memasuki sebuah rumah yang tidak dihuni (sebagai tempat umum) yang di dalamnya ada kepentingan kamu..” (QS. An Nur : 29)

Sehingga diantara mereka seperti Al imam ath Thabari menjelaskan :

فقال بعضهم عني بها الخانات والبيوت المبنية بالطرق ... وإنما بنيت لمارة الطريق والسابلة ليأووا إلؤها ويؤووا إليها أمتعهم

“Sebagian ulama berpendapat bahwa yang dimaksud oleh ayat tersebut adalah hotel-hotel dan rumah penginapan di perjalanan. Yang ia dibangun untuk para pelancong dan musafir lainnya agar mereka bisa menginap dan menyimpan barang-barang bawaannya.”

Maka karena inilah pemerintah dan juga orang-orang kaya membangun hotel-hotel untuk melayani keperluan para musafir dan orang-orang asing, yang mana selain karena sebab ibnu sabil berhak menerima zakat, juga karena lembaga-lembaga keumatan dan khususnya negara wajib menyediakan pelayanan kepada masyarakat yang merupakan hak mereka.

Negara memandang bahwa keberadaan hotel adalah bagian dari maslahat mursalah yang harus diadakan sebagai bentuk pelaksanaan dari syariat islam.

Maka demikianlah hotel saat itu, dibangun dengan megah dan indah, disediakan berbagai makanan dan fasilitas gratis untuk siapapun yang menyinggahinya. Hotel dan bangunan tempat singgah tersebar di sepanjang jalur-jalur bisnis yang menghubungkan kota-kota Islam saat itu. Dan yang mendominasi penggunaannya adalah para pedagang dan penuntut ilmu.

Keberadaan hotel-hotel inilah yang mendorong para penuntut ilmu kala itu untuk keliling negeri tanpa khawatir akan bekal perjalanan mereka. Dan sudah barang tentu juga menjadi sebab lancarnya perdagangan dan bisnis kala itu, karena pedagang tidak perlu lagi repot-repot memikirkan gudang barang jualan mereka.

Hotel-hotel ini bukan hanya dibangun di kota-kota besar, namun juga dibangun di kota-kota kecil, desa dan daerah terpencil. Seorang pelukis asal perancis yang bernama Simon didapati lukisannya berupa sebuah hotel di daerah Asfahan dan ia mengatakan di wilayah tersebut saja ada sekitar 1600 hotel !

Dan disebutkan dalam riwayat bahwa sebagian hotel bahkan disebut dengan julukan Dar ad Dhiyahfa (rumah perjamuan tamu) karena hotelnya lebih mirip tempat makan-makan dari pada penginapan. Orang-orang khususnya dari fakir miskin mendatanginya sekedar untuk mendapatkan jamuan makan yang bukan hanya menunya empat sehat lima sempurna, tapi juga dengan hidangan ala sultan.

Hotel-hotel tersebut juga dimanfaatkan oleh para ulama dan penuntut ilmu untuk bertemu dan berdiskusi dalam perjumpaan mereka di perjalanan, sebagaimana yang dituturkan oleh al imam Ibnu Asakir dalam kitab tarikhnya.

Uniknya sejarah juga mencatat bahwa yang membangun hotel-hotel itu bukan hanya negara dan orang-orang kaya dari kalangan kaum laki-laki saja, namun kaum Muslimah tidak mau ketinggalan turut serta mewaqafkan harta mereka untuk pengadaan hotel-hotel ini.

Diantara nama wanita yang terkenal turut membangun hotel di masa Islam adalah istri pemimpin agung Shalahuddin al Ayyubi rahimahullah yang bernama Ismatuddin binti Muinuddin rahimahallah. Bahkan ibnu Atsir juga menyebutkan adanya seorang perempuan yang membangun hotel di kota Damaskus dan namanya tidak mau disebut hingga tidak diketahui siapa orangnya.

Ref : Buku seperti di negeri dongeng AST

Ahmad Syahrin Thoriq (Official)

09 Nov, 02:27


BUKU : FIQIH IMAM SHALAT

Bismillah, berikut adalah form pemesanan untuk buku versi cetak Fiqih Imam shalat tulisan KH. Ahmad Syahrin Thoriq

https://store.subulana.com/produk/fiqih-imam-shalat/

Silahkan segera dimanfaatkan, sebelum kehabisan.

Admin.

Ahmad Syahrin Thoriq (Official)

08 Nov, 00:04


BUKU SEPERTI DI NEGERI DONGENG

Oleh : Ahmad Syahrin Thoriq

1. Kota-kota Islam yang menakjubkan

Dalam bukunya Lavis dan Rambau mengatakan bahwa hingga abad ke 11 Eropa masih gelap dengan keterbelakangannya, jangankan bicara tata kota, bahkan rumah-rumah dan bangunan lainnya berdiri dengan tidak teratur. Jalanan penuh lumpur, tidak ada saluran air, bau busuk kotoran tercium hampir di setiap gang dan jalan yang dilalui, dan mereka hidup bahkan satu atap dengan hewan peliharaan mereka.

Sedangkan di kota-kota Islam berdiri bangunan dengan sangat megah dan indah. Di malam hari kota-kota itu diterangi oleh lampu-lampu jalanan sepanjang sepuluh mil tanpa putus. Jalan-jalan juga telah dikeraskan dengan dilapisi ubin. Dan di jarak tertentu dibangun taman-taman indah yang dipenuhi bunga dan buah-buahan.

Sebagai gambaran saja bagaimana besarnya kota-kota Islam di masa itu, Baghdad misalnya populasi yang tinggal di kota tersebut telah melebihi 1 juta penduduk. Sedangkan kota yang paling besar di Eropa penduduknya hanya sekitar 25.000 orang.[1]

2. Robot pertama

Al Jaziri telah membuat robot di zamannya yang melayani beberapa pekerjaan rumah. Pernah khalifah memintanya untuk mmebuat robot yang bisa menggantikan pelayannya membantunya dalam berwudhu. Maka ia membuat sebuah robot dalam bentuk manusia yang tangan kanannya membawa teko air dan tangan kirinya membawa handuk.

Di kepalanya ada semacam burung yang akan bersiul jika waktu shalat telah tiba. Robot ini akan berjalan mendatangi tuannya, lalu menuangkan air di teko sesuai dengan kadar tertentu, dan setelahnya ia akan menyerahkan handuk kepada tuannya dan setelah selesai ia bergegas kembali ke tempat semula.[2]

Kaum muslimin telah menggapai kemajuan, kemakmuran dan kejayaan yang sangat gemilang dalam peradabannya, satu pencapaian yang ketika diceritakan hari ini mungkin sebagian orang akan mengatakan : "Ah ini cuma dongeng."

Insyaallah akan terbit bukunya dalam 2 - 3 hari lagi.
_
1. Madzha Qadamal Muslimun hlm 7.
2. Turats al Ilmi al Islami hlm. 35

Ahmad Syahrin Thoriq (Official)

06 Nov, 05:29


Demikian permasalahan tentang sir dan tidaknya sebagian bacaan Qunut. Silahkan diamalkan sesuai keyakinan dan kesanggupan masing-masing.

Wallahu a’lam.
__
[1] Fath al Wahhaab (1/78), Busyr al kariim (1/ 80).
[2] Mughni al Muhtaaj ( I/167), Fiqhul Islami Wa adillatuhu (1/814).
[3] Al Majmu’ asy Syarh al Muhadzab (2/483).
[4] Nihayatul Muhtaj (1/507).

Ahmad Syahrin Thoriq (Official)

06 Nov, 05:29


𝗠𝗔𝗦𝗔𝗟𝗔𝗛 𝗦𝗘𝗕𝗔𝗚𝗜𝗔𝗡 𝗗𝗢𝗔 𝗤𝗨𝗡𝗨𝗧 𝗬𝗔𝗡𝗚 𝗗𝗜𝗕𝗔𝗖𝗔 𝗣𝗘𝗟𝗔𝗡

Ustadz, kenapa doa qunut ketika sampai dilafadz “Fa innaka Taqdi…” sampai dengan lafadz “Astaghfiruka” imam memelankan suaranya ? Dan apa yang dilakukan makmum dalam kondisi tersebut ? Tolong diberikan penjelasan.

𝗝𝗮𝘄𝗮𝗯𝗮𝗻 :

Oleh : Ahmad Syahrin Thoriq

Sebagaimana yang kita telah ketahui membaca Qunut dalam shalat Shubuh menurut mazhab Asy Syafi’iyyah adalah disunnahkan. Adapun lafadz Qunut yang masyhur dibaca adalah :

اللّهم اهدِنا فيمَن هَديْت و عافِنا فيمَن عافيْت و تَوَلَّنا فيمَن تَوَلَّيْت و بارِك لَنا فيما أَعْطَيْت
و قِنا واصْرِف عَنَّا شَرَّ ما قَضَيت فإنك تَقضي ولا يُقضى عَليك فإنَّهُ لا يَذِّلُّ مَن والَيت وَلا يَعِزُّ من عادَيت تَبارَكْتَ رَبَّنا وَتَعا ليتْ َفلكَ الحَمدُ عَلى ما قَضَيْت نَستَغفِرُكَ ونَتوبُ اليك
وصلي الله علي سيدنا محمد النبي الأمي وعلي أله وصحبه وسلم

“Ya Allah, berilah aku petunjuk seperti orang-orang yang telah Engkau beri petunjuk. BErilah aku kesehatan seperti orang yang telah Engkau beri kesehatan. Pimpinlah aku bersama-sama orang-orang yang telah Engkau pimpin. Berilah berkah pada segala apa yang telah Engkau pimpin.

Berilah berkah pda segala apa yang telah Engkau berikan kepadaku. Dan peliharalah aku dari kejahatan yang Engkau pastikan. Karena, sesungguhnya Engkaulah yang menentukan dan tidak ada yang menghukum (menentukan) atas Engkau.

Sesungguhnya tidaklah akan hina orang-orang yang telah Engaku beri kekuasaan. Dan tidaklah akan mulia orang yang Engkau musuhi. Maha berkahlah Engkau dan Maha Luhurl`h Engkau. Segala puji bagi-Mu atas yang telah engkau pastikan. Aku mohon ampun dan kembalilah (taubat) kepada Engkau. Semoga Allah memberi rahmat, berkah dan salam atas nabi Muhammad beserta seluruh keluarganya dan sahabatnya.”

Dan biasanya pada pertengahan bacaan Qunut, yakni dilafadz, ‘ Fainnaka Taqdi…” imam-imam shalat di Indonesia membacanya dengan sirr (pelan). Kenapa demikian ?

Ternyata dalam mazhab syafi’iyyah sendiri hal ini diperselisihkan. Sebagian ulama syafi’iyyah tetap menganjurkan bagi imam untuk membacanya dengan keras, sedangkan menurut sebagian ulama yang lain cara membacanya adalah dengan pelan. Berikut penjelasan masing-masing pendapat.

𝟭. 𝗣𝗲𝗻𝗱𝗮𝗽𝗮𝘁 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗺𝗲𝗻𝗴𝗮𝘁𝗮𝗸𝗮𝗻 𝘁𝗲𝘁𝗮𝗽 𝗱𝗶𝗯𝗮𝗰𝗮 𝗝𝗮𝗵𝗿

Sebagaian ulama syafi’iyya berpendapat bahwa bacaan Qunut dibaca Jahr (keras) dari awal sampai akhir kalimat. Hal ini karena semua lafadz Qunut adalah bacaan yang sudah selayaknya dibaca dari awal sampai akhir.[1] Dalil pendapat ini adalah riwayat yang berbunyi : “Sesungguhnya Rasulullah shalallahu‘alaihi wassalam ketika hendak mendoakan keburukan atas seseorang atau mendoakan kebaikan beliau berdoa setelah ruku’.

Terkadang ketika beliau mengucapkan sami’allah liman hamidah beliau berdoa ‘Ya Allah Tuhan kami, bagiMu segala puji. Ya Allah selamatkanlah al-Walid ibnu al-Walid, salamah bin hisyam, ‘iyasy bin abi robi’ah. Ya Allah kuatkanlah siksaanMu atas Mudlar. Jadikanlah balasanMu itu bertahun-tahun seperti tahun-tahun Yusuf.’ Dan beliau mengeraskan bacaan tersebut.” (HR. Bukhari)

Menurut pendapat ini, ketika bacaan imam sampai dilafadz ‘ Fainnaka Taqdi…” makmum boleh : (1) Turut membaca bersama imam, atau (2) mengaminkan, atau (3) membaca asyhadu, atau (4) membaca Shodaqta wabararta.[2]

Pendapat pertama ini yang dirajihkan oleh imam an Nawawi rahimahullah.[3]

𝟮. 𝗣𝗲𝗻𝗱𝗮𝗽𝗮𝘁 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗺𝗲𝗻𝗴𝗮𝘁𝗮𝗸𝗮𝗻 𝗱𝗶𝗯𝗮𝗰𝗮 𝗦𝗶𝗿𝗿

Sedangkan sebagian ulama Syafi’iyyah lainnya, diantaranya imam Ramli dan al Ghazali berpendapat pada lafadz yang telah disebutkan bacaan imam hendaknya disirrkan. Hal ini karena lafadz yang dipelankan tersebut bukanlah doa tapi berupa dzikir, pujian dan sanjungan kepada Allah.[4]

Adapun bagi makmum, maka dalam kondisi sirr tersebut, dia boleh membaca dengan suara sirr pula lanjutan doa qunutnya atau boleh juga membaca dengan doa-doa yang lain yang ia kehendaki.

Ahmad Syahrin Thoriq (Official)

05 Nov, 08:14


SEJARAHNYA ADALAH BUKTI KENABIANNYA

Al imam Ibnu Hazm al Andulisi rahimahullah berkata :

فإن سيرة محمد رسول الله صلى الله عليه وسلم لمن تدبرها تقتضي تصديقه ضرورة، وتشهد أنه رسول الله، ‌فلو ‌لم ‌تكن ‌له ‌معجزة ‌غير ‌سيرته لكفى

فَإِن سيرة مُحَمَّد صلى الله عَلَيْهِ وَسلم لمن تدبرها تَقْتَضِي تَصْدِيقه ضَرُورَة وَتشهد لَهُ بِأَنَّهُ رَسُول الله صلى الله عَلَيْهِ وَسلم حَقًا فَلَو لم تكن لَهُ معْجزَة غير سيرته صلى الله عَلَيْهِ وَسلم لكفى

“Sesungguhnya sirah (perjalanan hidup) Muhammad ﷺ bagi siapa pun yang menelaah dan menghayatinya dengan baik, akan mengharuskannya untuk membenarkan Nabi dan bersaksi bahwa beliau adalah benar-benar utusan Allah.

Seandainya tidak ada mukjizat Nabi ﷺ selain sirah beliau maka, itu sudah cukup menjadi bukti kebenaran kenabiannya.”

_
Al Fishal fi al Milal (2/73)

Ahmad Syahrin Thoriq (Official)

04 Nov, 21:59


Ebook Fiqih imam shalat hanya Rp  37 K.

75 % dari penjualan buku akan dialokasikan ke pembangunan Subulana III kota Samarinda dan operasinal dakwah kajian Fiqih Madzhab.

Jika bapak/ibu berminat untuk membelinya, silahkan melakukan transfer pembelian ke rekening BSI 0847077213 AN Ahmad Syahrin T QQ Subulana

Lalu kirimkan bukti transfernya ke kami :📞 08115351966

https://wa.wizard.id/2a2a84

Nanti kami kirimkan Ebooknya. Yuk dukung dakwah Subulana, Jazakumullah ahsanal jaza.

©️Admin

Ahmad Syahrin Thoriq (Official)

03 Nov, 08:43


𝗦𝗔𝗡𝗚 𝗣𝗔𝗞𝗔𝗥 𝗧𝗔𝗞𝗪𝗜𝗟 𝗠𝗜𝗠𝗣𝗜

Oleh : Ahmad Syahrin Thoriq

Al imam Ibnu Sirin rahimahullah adalah satu dari sedikit ulama yang memiliki kepakaran dalam masalah takwil atau menafsirkan sebuah mimpi. bahkan dalam bidang ilmu ini beliau memiliki sebuah karya yang populer, yakni kitab yang berjudul Tafsirul ahlam (tafsir mimpi).[1]

Disebutkan dalam sebuah riwayat datang kepada beliau dua orang yang meminta untuk ditakwilkan mimpinya, di mana dua orang ini memiliki kesamaan mimpi, yakni dalam tidur mereka bermimpi seakan-akan mengumandangkan adzan. Sang imam kemudian meminta waktu beberapa hari kepada kedua penanya tersebut. Dan nanti mereka boleh kembali lagi untuk mendapatkan jawaban atas takwil mimpi mereka.

Nah ternyata tempo waktu yang tersebut oleh sang imam digunakan untuk mengetahui keadaan dua orang yang bertanya tentang mimpi mereka itu. Karena dalam ilmu takwil mimpi, arti mimpi itu sangat berkaitan erat dengan kehidupan orang yang diberikan mimpi. Jadi bisa saja mimpi itu sama, tapi bermakna berbeda ketika kepribadian orangnya juga berbeda.

Dan ternyata lewat penyelidikan tersebut beliau bisa mengetahui bahwa orang pertama adalah orang yang shalih lagi baik, sedangkan orang kedua memiliki perilaku sebaliknya, ia kerap menipu dan mengambil harta yang bukan haknya.

Setelah tiba waktu yang dijanjikan tiba, datanglah kedua orang yamg pernah bertanya tentang mimpi kepada sang imam. Dan Beliau rahimahullah berkata kepada orang pertama : “Engkau akan segera berangkat haji.” Sedangkan kepada orang kedua, beliau berkata : “Tanganmu akan dipotong (karena mencuri).”

Dan ketika penanya itu telah pulang, salah seorang dari yang hadir di majelisnya bertanya kepada imam Ibnu Sirin : “Wahai imam, mengapa anda memberikan jawaban yang berbeda padahal mimpi kedua orang yang bertanya sama ?

Beliau menjawab, kepada orang pertama karena dia orang baik, maka aku mengambil takwil mimpi adzannya dari firman Allah ta’ala :

وَأَذِّنْ فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ

“Dan serulah manusia untuk mengerjakan haji...” (QS. Al Hajj : 27)

Sedangkan untuk orang yang kedua karena ia bukan orang baik, aku memgambil takwil atas mimpinya dari firman Allah ta’ala :

ثُمَّ أَذَّنَ مُؤَذِّنٌ أَيَّتُهَا الْعِيرُ إِنَّكُمْ لَسَارِقُونَ

“…Kemudian berteriaklah seseorang yang menyerukan: "Hai kafilah, sesungguhnya kamu adalah orang-orang yang mencuri". (QS.Yusuf : 70)[2]

Semoga bermanfaat.
____
[1] Tabaqat al Fuqaha hlm. 92
[2] Tafsir al Akhlam (1/86)

Ahmad Syahrin Thoriq (Official)

02 Nov, 22:27


BUKU FIQIH IMAM SHALAT

Shalat adalah pilar agama, dan berjamaah dalam menunaikannya adalah salah satu sarana untuk memperkuat ikatan umat dan menghadirkan keberkahan dalam ibadah. Dan dalam shalat berjamaah, peran seorang imam sangatlah penting.

Imam adalah pemimpin yang mengarahkan dan membimbing jamaah dalam melaksanakan shalat dengan khusyuk dan tertib. Oleh karena itu, pemahaman yang mendalam tentang tugas dan tanggung jawab seorang imam, serta panduan yang sesuai dengan tuntunan syariat, menjadi hal yang tidak dapat diabaikan.

Buku ini hadir dengan harapan dapat memberikan panduan yang lengkap tentang fiqih imam shalat sesuai dengan tuntunan empat mazhab besar dalam Islam: Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali.

Setiap mazhab memiliki pandangannya masing-masing yang didasarkan pada dalil-dalil syar'i yang diambil dari al Qur'an, sunnah, serta pendapat para ulama terdahulu yang terpercaya.

Dengan menyajikan pandangan dari keempat madzhab, diharapkan pembaca dapat memahami berbagai perbedaan yang ada dan mengambil hikmah serta kemudahan dalam menjalankan ibadah, khususnya dalam posisi sebagai imam shalat.

Persoalan seperti syarat sah menjadi imam shalat, siapa yang lebih utama atau sebaliknya makruh untuk dijadikan imam shalat, bagaimana tatacara pergantian imam yang batal di tengah shalat, bagaimana menegur kesalahan imam dan permasalahan lainnya yang semisal, kami bahas di buku ini.

Bagi yang berminat memiliki ebooknya silahkan menghubungi admin : 08115351966

Ahmad Syahrin Thoriq (Official)

02 Nov, 12:32


𝗣𝗘𝗡𝗬𝗘𝗕𝗨𝗧𝗔𝗡 𝗔𝗟𝗠𝗔𝗥𝗛𝗨𝗠 𝗧𝗜𝗗𝗔𝗞 𝗕𝗢𝗟𝗘𝗛 ?

Afwan kyai, ana membaca di sebuah artikel bahwa menyebut orang yang sudah meninggal dunia dengan sebutan ‘almarhum’ itu tidak dibolehkan.

Alasannya karena penyebutan itu memastikan orang yang mati tersebut telah mendapat rahmat kasih sayang Allah, padahal bisa saja dia pelaku maksiat dan fajir semasa hidupnya.

Kepastian ampunan atau rahmat Allah kepada seseorang yang meninggal dunia itu merupakan perkara ghaib. Di mana yang tahu hanyalah Allah dan makhluq yang di beritahu oleh Allah, seperti Malaikat dan para Nabi-Nya.

Mohon penjelasan dari kyai.
𝗝𝗮𝘄𝗮𝗯𝗮𝗻

Oleh : Ahmad Syahrin Thoriq

Kata almarhum (المرحوم) adalah bentuk objek (maf’ul) dari kata kerja rahima-yarhamu (رحم – يرحم) yang artinya merahmati atau memberikan rahmat. Jadi almarhum (المرحوم) secara bahasa maknanya adalah orang yang dirahmati, yakni dirahmati atau disayangi oleh Allah ta’ala.

𝗣𝗲𝗻𝗴𝗴𝘂𝗻𝗮𝗮𝗻 𝗱𝗮𝗹𝗮𝗺 𝗯𝗮𝗵𝗮𝘀𝗮 𝗜𝗻𝗱𝗼𝗻𝗲𝘀𝗶𝗮

Di Indonesia atau masyarakat rumpun melayu pada umumnya kata almarhum itu sudah menjadi semacam ‘gelar khusus’ bagi orang yang sudah meninggal dunia. Jadi kata almarhum atau almarhumah yang mengiringi sebuah nama, bisa dipastikan bahwa itu adalah orang yang sudah meninggal dunia.

Nah, karena kata ini begitu akrab dengan bau-bau kematian, orang Indonesia yang masih hidup tidak akan mau disebut almarhum.

𝗣𝗲𝗻𝗴𝗴𝘂𝗻𝗮𝗮𝗻 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗸𝘂𝗿𝗮𝗻𝗴 𝘁𝗲𝗽𝗮𝘁

Penggunaan kata almarhum sebagai kata pengganti orang yang telah mati tentu saja tidak tepat. Karena esensi kata almarhum itu sendiri bukanlah gelar, melainkan sebagai doa dari yang hidup kepada yang meninggal dunia. Sebagaimana kata almarhum itu sendiri artinya orang yang dirahmati. Jadi penyebutan almarhum bermakna : Semoga Allah merahmatinya.

Seperti kalau ada mubaligh yang ceramah kemudian mengatakan : "Para Jama'ah rahimakumullah." Nah itu kan ditujukan kepada hadirin yang masih hidup, bukan kepada yang telah meninggal dunia.

Demikianlah yang lazim ada dalam kitab-kitab para ulama kita temui. Biasanya bila disebutkan nama mereka, diberikan embel-embel gelar. Allahu yarham, al Marhum, atau rahimahullah.

Yang terakhir ini lebih lazim dan popular : rahimahullah. Misalnya kita dapati dalam kitab-kitab kata : al Imam al Ghazali rahimahullah, al Imam Nawawi rahimahullah artinya : al Imam al Ghazali yang semoga Allah merahmatinya, al Imam Nawawi yang semoga Allah merahmatinya.

Tapi almarhum juga digunakan, hanya biasanya ini diperuntukkan untuk ulama-ulama kontemporer Semisal yang kita temui dalam al Mausu’ah al Fiqhiyyah al Kuwaitiyyah (1/38) dan kitab al Fiqh al Islami waadillatuhu ( 1/37) ketika menyebut almarhum Fadhilatussyaikh Muhammad Abu Zuhrah.

𝗛𝘂𝗸𝘂𝗺 𝗽𝗲𝗻𝗴𝘂𝗻𝗮𝗮𝗻𝗻𝘆𝗮

Kata almarhum jika diniatkan sebagai bentuk doa kepada orang yang meninggal doa maka hukumnya boleh. Asalkan yang disebut itu adalah orang islam, terlebih bila semasa hidupnya dia dikenal sebagai orang yang shalih apalagi ulama.[1]

Adapun bila kata almarhum itu digunakan kepada orang kafir maka hukumnya haram, sebagaimana hukum haramnya mendoakan orang kafir yang telah meninggal dunia.
مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوا أُولِي قُرْبَى مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ

"Dan tidaklah layak bagi Nabi dan dan orang-orang beriman memohon ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, sekalipun mereka itu orang-orang itu kerabatnya, setelah jelas bagi mereka bahwa orang-orang musyrik itu penghuni neraka jahanam" (Qs. At-Taubah 113)

Mungkin cukup bagi nonmuslim untuk disebut dengan istilah mendiang atau sebutan yang semisal.

Wallahu a’lam.
__
[1] Demikian sebenarnya juga fatwa dari ulama-ulama yang dinukil oleh kalangan yang mengharamkan penggunaan kata almarhum, lihat Kutub wa Rasail Syaikh Ibnu Utsaimin 82/15-16, Liqa’ Al Bab Al Maftuh 11/28, Majmu’ Fatawa Syaikh Ibnu Utsaimin 3/85).

Ahmad Syahrin Thoriq (Official)

02 Nov, 02:23


Nasehat anak kecil yang membuat ulama jatuh pingsan

Ahmad Syahrin Thoriq (Official)

02 Nov, 02:22


𝗠𝗘𝗡𝗝𝗔𝗚𝗔 𝗞𝗘𝗠𝗨𝗟𝗜𝗔𝗔𝗡 𝗜𝗟𝗠𝗨

Oleh : Ahmad Syahrin Thoriq

Seseorang dari pembesar bani Hasyim datang kepada al imam Abdullah bin Mubarak rahimahullah untuk menyimak pelajaran hadits darinya, namun karena suatu sebab dari perilaku orang tersebut, sang imam tidak mau menemuinya untuk mengajarkan hadits kepadanya.

Setelah menunggu beberapa saat tak juga kunjung mendapatkan apa yang menjadi keinginannya, maka orang tersebut berkata kepada pembantunya : “Ayo kita pulang saja, sepertinya beliau tidak mau mengajarkan hadits kepadaku.”

Manakala orang tersebut mulai berjalan mendekati kendaraannya, imam Abdullah bin mubarak tiba-tiba keluar dari rumahnya lalu menuntun kendaraan tersebut.

Melihat perlakuan sang ulama orang itu bertanya heran : “Engkau tidak mau mengajari aku hadits, tapi malah menuntun kendaraanku ?”

Imam Ibnu Mubarak menjawab singkat :

أذل لك بدني، ولا أذل لك الحديث

“Aku bisa merendahkan diriku ini, tapi aku tidak akan pernah mau merendahkan hadits Nabi.”
__
📜Siyar A’lam an Nubala (7/381- 389 )

Ahmad Syahrin Thoriq (Official)

31 Oct, 09:58


𝗕𝗔𝗛𝗔𝗬𝗔𝗡𝗬𝗔 𝗣𝗘𝗡𝗬𝗔𝗞𝗜𝗧 𝗛𝗔𝗦𝗔𝗗

Oleh : Ahmad Syahrin Thoriq

Berikut ini adalah ayat al Qur’an, hadits Nabawi dan juga perkataan para ulama yang mengingatkan akan bahayanya salah satu penyakit hati yang bernama hasad. Baik bahaya itu ditimbulkan dari orang yang tertimpa hasad dalam hatinya, atau dari orang lain yang hasad kepadanya.

𝟭. 𝗞𝗲𝗯𝘂𝗿𝘂𝗸𝗮𝗻 𝗯𝗲𝘀𝗮𝗿 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗸𝗶𝘁𝗮 𝗱𝗶𝗽𝗲𝗿𝗶𝗻𝘁𝗮𝗵𝗸𝗮𝗻 𝘂𝗻𝘁𝘂𝗸 𝗯𝗲𝗿𝗹𝗶𝗻𝗱𝘂𝗻𝗴 𝗱𝗮𝗿𝗶𝗻𝘆𝗮

Allah ta’ala berfirman :
وَمِنْ شَرِّ حَاسِدٍ إِذَا حَسَدَ

“Dan dari kejahatan pendengki bila ia dengki" (QS. Al Falaq : 5)

Ketika menjelaskan tentang keburukan sifat hasad, al imam Ghazali rahimahullah berkata : “Cukuplah menjadi bukti buruknya hasad itu bahwa Allah memerintahkan kita untuk berlindung dari kejahatan si pendengki jika dia merasa iri."[1]

𝟮. 𝗕𝗲𝗻𝘁𝘂𝗸 𝗸𝗲𝗶𝗻𝗴𝗶𝗻𝗮𝗻 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗱𝗶𝗹𝗮𝗿𝗮𝗻𝗴

Allah ta’ala berfirman :

وَلا تَتَمَنَّوْا مَا فَضَّلَ اللَّهُ بِهِ بَعْضَكُمْ عَلَى بَعْضٍ لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبُوا وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبْنَ وَاسْأَلُوا اللَّهَ مِنْ فَضْلِهِ

“Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi Para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karuniaNya..” (QS. An Nisa’: 32)

𝟯. 𝗣𝗲𝗻𝗴𝗵𝗮𝗻𝗰𝘂𝗿 𝗮𝗺𝗮𝗹 𝗸𝗲𝗯𝗮𝗶𝗸𝗮𝗻

Rasulullah ﷺ bersabda :

اِياَّ كُم وَالحَسَدَ فَاِنَّ الْحَسَدَ يَاْ كُلُ الْحَسَنَاتِ كَمَا تَاْ كُلُ النَّارُ الحَطَبَ

“Jauhkanlah dirimu dari hasad (dengki) karena sesungguhnya hasad itu memakan kebaikan sebagaimana api membakar kayu bakar.” (HR. Abu Dawud)

Al imam Ghazali ketika menjelaskan hadits di atas berkata : "Orang yang hasad telah mengumpulkan pada dirinya dua siksa sekaligus di dunia ini. Yang pertama dia tersiksa dengan penyakit hasadnya (berupa kebencian kepada orang yang ia hasadi) dan yang kedua merasa kurang dengan nikmat yang telah diberikan kepadanya.”[2]

𝟰. 𝗣𝗲𝗿𝘂𝘀𝗮𝗸 𝗽𝗲𝗿𝘀𝗮𝘂𝗱𝗮𝗿𝗮𝗮𝗻

Rasulullah ﷺ bersabda :

‌لَا ‌تَبَاغَضُوا، ‌وَلَا ‌تَحَاسَدُوا، ‌وَلَا ‌تَدَابَرُوا، ‌وَكُونُوا ‌عِبَادَ ‌اللهِ ‌إِخْوَانًا

"Janganlah kalian saling membenci, jangan saling hasad, dan jangan pula saling berpaling ; jadilah kalian hamba Allah yang bersaudara." (HR. Bukhari)

𝟱. 𝗬𝗮𝗻𝗴 𝗺𝗲𝗻𝗴𝗵𝗮𝗻𝗰𝘂𝗿𝗸𝗮𝗻 𝗸𝗲𝗵𝗶𝗱𝘂𝗽𝗮𝗻 𝗺𝗮𝗻𝘂𝘀𝗶𝗮

Sayiduna Abdullah bin Umar radhiyallahu’anhu berkata :

أن إبليس قال لنوح: اثنتان بهما أُهِلكُ بني آدم: الحسَد، وبالحسد لُعِنْتُ وجُعلْتُ شيطانًا رجيمًا والحرص: أبيح آدمَ الجنة كلَّها؛ فأصبت حاجتي منه بالحرص

“Bahwa Iblis berkata kepada Nuh : "Dua hal yang dengan keduanya aku menghancurkan anak-anak Adam: yang pertama dengki. Yang dengan dengki aku dilaknat dan dijadikan sebagai syaitan yang terkutuk.

Dan yang kedua sifat rakus: "Adam telah diizinkan untuk mengakses seluruh surga, namun aku mendapatkan kebutuhanku darinya melalui ketamakan." (HR. Ibnu Abi Dunya)

𝟲. 𝗗𝗼𝘀𝗮 𝗽𝗲𝗿𝘁𝗮𝗺𝗮 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗺𝗲𝗻𝗷𝗮𝗱𝗶 𝗶𝗻𝗱𝘂𝗸 𝗸𝗲𝗿𝘂𝘀𝗮𝗸𝗮𝗻

Al imam ash Shan’ani rahimahullah berkata :

ويقال: كان أول ذنب عصي الله به الحسد، فإنه أمر إبليس بالسجود لآدم فحسده فامتنع عنه فعصى الله تعالى فطرده، وتولد من طرده كل بلاء وفتنة عليه وعلى العباد

“Dikatakan bahwa dosa pertama yang menjauhkan seseorang dari ketaatan kepada Allah adalah sifat hasad, karena ketika Allah memerintahkan Iblis untuk sujud kepada Adam, ia merasa iri dan menolak, sehingga ia melanggar perintah Allah dan diusir. Dari pengusiran Iblis inilah kemudian timbul berbagai mala petaka dan musibah bagi dirinya dan juga makhluk lainnya.”[3]

𝟳. 𝗗𝗼𝘀𝗮 𝗽𝗲𝗿𝘁𝗮𝗺𝗮 𝗱𝗶 𝗹𝗮𝗻𝗴𝗶𝘁 𝗱𝗮𝗻 𝗱𝗶 𝗯𝘂𝗺𝗶

Al Imam Mawardi rahimahullah berkata :

وقال بعض السلف ‌الحسد ‌أول ‌ذنب ‌عصي ‌الله ‌به ‌في ‌السماء، يعني حسد إبليس لآدم عليه السلام وأول ذنب عصي الله به في الأرض، يعني حسد ابن آدم لأخيه حتى قتله

Ahmad Syahrin Thoriq (Official)

31 Oct, 09:58


"Sebagian salaf berkata bahwa hasad adalah dosa pertama untuk mendurhakai Allah yang dilakukan di langit, yaitu hasadnya Iblis terhadap Adam ‘alaihissalam. Dan ia juga dosa pertama untuk mendurhakai Allah yang dilakukan di bumi, yaitu hasadnya anak Adam terhadap saudaranya, yang menyebabkan ia membunuhnya."[4]

𝟴. 𝗗𝘇𝗮𝗹𝗶𝗺 𝘁𝗮𝗽𝗶 𝘀𝗲𝗽𝗲𝗿𝘁𝗶 𝘁𝗲𝗿𝗱𝘇𝗮𝗹𝗶𝗺𝗶

Muawiyah radhiyallahu’anhu berkata :

ليس في خصال الشر أعدل من الحسد، يقتل الحاسد قبل أن يصل إلى المحسود

'Tidak ada sifat buruk yang sepadan dengan hasad ; ia menyiksa si hasad bahkan sebelum ia bisa menyentuh orang yang ia hasad kepadanya.”[5]

Sebagian ulama mengatakan :

إن الحسود الظلوم في كرب يخاله من يراه مظلوما ذا نفس دائم على نفس يظهر منها ما كان مكتوما

“Aku belum pernah melihat seorang yang berbuat dzalim tapi dia lebih mirip dengan orang yang terdzalimi seperti halnya orang yang iri dengki. Jiwanya selalu gelisah dan hatinya selalu melankolis.”[6]

Itu lah diantara bahaya dan buruknya sifat hasad. Adapun tentang apa itu hasad? Mengapa sampai muncul hasad ? Di mana hasad ? Dalam bidang apa hasad terjadi ? Dan bagaimana cara mengatasinya? Insyallah akan kita bahas di tulisan selanjutnya.

📚Wallahu a'lam
_____
[1] Badai’ as Suluk (1/528)
[2] Faidh al Qadir (3/125)
[3] Subulussalam (8/28)
[4] Adab ad Dunia wa ad Din hal. 269
[5] Adab ad Dunia wa ad Din hlm. 270
[6] Adab ad Dunia wa ad Din hal. 269

Ahmad Syahrin Thoriq (Official)

28 Oct, 09:23


𝗛𝗨𝗞𝗨𝗠 𝗧𝗨𝗞𝗔𝗥 𝗧𝗔𝗠𝗕𝗔𝗛 𝗕𝗔𝗥𝗔𝗡𝗚

Jadi saya pernah melihat video seorang ustadz yang menyebutkan hal-hal yang terkait riba dan salah satunya menyebut tentang tukar tambah barang. Tapi karena itu hanya potongan video, tidak ada kejelasan apapun kenapa itu disebut riba. Yang ingin saya tanyakan apakah tukar tambah barang itu benar riba ustadz ?

𝗝𝗮𝘄𝗮𝗯𝗮𝗻

Oleh : Ahmad Syahrin Thoriq

Kita harus sangat berhati-hati dalam urusan ilmu agama terutama bila itu membahas masalah fiqih, apa lagi ketika itu kita dapatkan dari sumber yang kurang kredibel dan juga tidak utuh seperti berupa potongan video.

Di zaman yang arus informasi begitu deras, banyak sekali kita dapati adanya konten agama yang beredar luas namun tidak memiliki landasan yang jelas. Bahkan tak jarang ada yang berani berbicara tentang hukum halal haram padahal ia bukan pakarnya, sehingga kemudian apa yang ia sampaikan menjerumuskan banyak pihak. Padahal para ulama kita telah mengingatkan akan hal ini, diantaranya adalah apa yang disampaikan oleh al imam Sufyan ats Tsauri rahimahullah :

لا ‌يؤخذ ‌الحلال ‌والحرام ‌إلا ‌عن ‌الرؤساء ‌المشهورين ‌بالعلم الذين يعرفون الزيادة والنقصان، ولا بأس بما سوى ذلك من المشايخ

"Hukum halal dan haram tidak boleh diambil kecuali dari para ulama yang terkemuka dan dikenal luas akan ilmunya, yang ia mengetahui tentang perkara yang berlebih-lebihan dan juga perkara yang kurang (dalam agama). Sedangkan untuk ilmu selain itu, tidak mengapa diambil dari setiap guru.”[1]

Tentang keharusan belajar fiqih dari sumber yang terpercaya, yakni hanya dari ilmunya para ulama silahkan dibaca di tulisan kami : Jangan sembarangan mengambil ilmu halal dan haram.

𝗠𝗲𝗻𝗴𝗲𝗻𝗮𝗹 𝗿𝗶𝗯𝗮 𝗙𝗮𝗱𝗵𝗮𝗹

Riba itu terbagi menjadi dua, yakni riba Nasiah dan ada riba yang disebut dengan riba Fadhl. Apa yang ditanyakan oleh penanya berkaitan dengan jenis riba yang kedua ini, yakni riba Fadhl.

Secara pengertian, riba Fadhl adalah aktivitas tukar menukar barang dengan cara dilebihkan pada jenis yang sama dari enam barang komuditi yang disebut sebagai benda ribawi yang mana telah disepakati keharamannya oleh para ulama.[2] Benda ribawi yang dimaksud ada 6, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits berikut ini :

الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلاً بِمِثْلٍ سَوَاءً بِسَوَاءٍ يَدًا بِيَدٍ فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الأْصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ

“ (1) Emas dengan emas, (2) perak dengan perak, (3) gandum dengan gandum, (4) barley dengan barley, (5) kurma dengan kurma, (6) garam dengan garam. Semua harus sama beratnya dan tunai. Jika jenisnya berbeda maka juallah sekehendakmu tetapi harus tunai.” (HR Muslim).

Jadi yang dimaksud riba Fadhl adalah aktivitas tukar menukar ke enam barang riba di atas yang satu jenis, dengan perbedaan ukurannya akibat perbedaan kualitas. Tapi jika tukar menukarnya tidak sejenis, semisal garam dengan gandum, atau kurma dengan gandum dan seterusnya itu tidak termasuk riba alias dibolehkan.

Maka di sini jelas bahwa tukar menukar barang (barter) dengan dilebihkan atau yang biasa disebut sebagai tukar tambah hukumnya boleh selama barang yang ditukar tambah bukan keenam jenis barang ribawi yang telah disebutkan.

Sehingga boleh saja seseorang misalnya melakukan barter motor jadulnya dengan motor keluaran terbaru dengan menambahkan sejumlah uang sebagai tambahan nilai pertukaran tersebut tentunya.

Atau seseorang yang menukarkan HP edisi keluaran awal tahun 90nya dengan HP flagship tahun 2024 dengan tukar tambah. Kalau tidak ada penambahan uang, ya siapa yang mau tukar tambah HP Nokia 1100 dengan Iphone 15 ?

Wallahu a’lam.
___
[1] Al Adab asy Syar’iyah (2/148)
[2] Fiqh al Islami wa Adillatuhu (5/360)

Ahmad Syahrin Thoriq (Official)

27 Oct, 05:58


𝗬𝗔𝗡𝗚 𝗠𝗨𝗗𝗔𝗛 𝗧𝗘𝗥𝗟𝗜𝗛𝗔𝗧

Oleh : Ahmad Syahrin Thoriq

Al imam Ibnu Sirin rahimahullah suatu ketika ditimpa sebuah musibah yang berat, beliau terlilit hutang dan beberapa masalah hingga menyebabkan sang imam dijebloskan ke dalam penjara. Saat itu beliau berkata :

إني لأعرف الذنب الذي حمل به على الدين منذ اربعين سنة

"Sungguh aku mengetahui musibah ini yang bahkan menimpa agamaku adalah disebabkan oleh dosaku yang pernah kulakukan 40 tahun yang lalu."[1]

Subhanallah. Begitulah orang - orang shalih, dosa mereka sangat sedikit, sehingga ketika ditegur lekas tersadar. Mereka itu seperti lembaran kertas yang putih bersih, setitik saja ada noda, akan langsung terlihat dengan jelas.

Bandingkan dengan kita para pendosa ini, tapi yang seringnya merasa sebagai orang suci. Saat ditegur bahkan diadzab olehNya sebab karat dosa yang menumpuk dengan pongahnya berani berkata : "Ya Allah apa dosaku sehingga Engkau uji aku dengan ujian berat ini."

Ujian ? Yang namanya ujian itu untuk orang-orang shalih, sedangkan teguran untuk yang sedang salah atau lengah agar mau berbenah, adapun untuk para pendosa lebih pasnya musibah itu disebut adzab atau hukuman...

Semoga bermanfaat.
_

1. Sifah ash Shafwah (2/145)

Ahmad Syahrin Thoriq (Official)

27 Oct, 05:57


Film pendek Syahidnya Yahya Sinwar

Ahmad Syahrin Thoriq (Official)

25 Oct, 06:03


New York Times mengutip para analis tentang (perang) Zionis:

🔵 Taktik gerilya yang diterapkan Hamas di Gaza utara membuatnya sulit dikalahkan
🔵 Hamas memiliki cukup pejuang serta amunisi untuk melibatkan Israel dalam perang yang lambat tanpa kemenangan
🔵 Taktik Hit & Run memungkinkan Hamas terhindar dari kekalahan dan memberikan kerugian bagi Israel
🔵 Pejuang Hamas kini mengambil keputusan secara lokal, bukan menerima keputusan dari struktur komando pusat

Sourse : At Tadhiyah

Ahmad Syahrin Thoriq (Official)

24 Oct, 11:27


𝗦𝗘𝗟𝗘𝗞𝗧𝗜𝗙 𝗗𝗔𝗟𝗔𝗠 𝗠𝗘𝗡𝗚𝗔𝗠𝗕𝗜𝗟 𝗜𝗟𝗠𝗨 𝗙𝗜𝗤𝗜𝗛

Oleh : Ahmad Syahrin Thoriq

Di antara bentuk kecerobohan beragama yang sering terlihat di masyarakat saat ini adalah kebiasaan mengambil atau menyalin informasi mengenai hukum agama tanpa memperhatikan akurasi dan konteksnya. Ada juga yang merasa cukup percaya diri karena memiliki banyak pengikut atau kemampuan retorika yang baik, lalu langsung berperan sebagai motivator sekaligus mufti.

Padahal, para ulama sepakat bahwa pembahasan fiqih seharusnya disampaikan oleh orang-orang yang berkompeten dalam bidangnya, atau setidaknya mereka yang menukil pendapat para ahli dengan jujur, baik secara lisan maupun tulisan. Begitu pula saat membagikan tulisan yang berkaitan dengan hukum, sebaiknya dilakukan berdasarkan rekomendasi dari pihak yang memahami fiqih dengan baik.

Diantara sebab dari kerusakan ilmu agama hari ini, karena terlalu banyak orang yang kepedean merasa sudah layak bicara hukum halal dan haram, padahal tidak pernah belajar secara benar jalur-jalur fiqih yang seharusnya. Yang lebih parahnya lagi bahkan kemudian ada yang menyalah-nyalahkan para ulama sekelas para imam madzhab.

Padahal urusan fiqih itu bukan hanya karena punya paket data dan rajin browsing internet, tapi terkait banyak hal yang sangat rumit termasuk apakah suatu pendapat yang dishare itu benar atau tidak, manfaat atau mudharat.

Berikut ini adalah nasehat para ulama kaum muslimin agar seseorang berhati-hati dalam mengambil ilmu fiqih, karena ilmu yang berkaitan dengan hukum halal dan haram, boleh dan tidak boleh, itu berbeda dengan ilmu lainnya.

Sayidina Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu berkata :

لا يزال الناس بخير ما أخذوا العلم عن أكابرهم وعن علمائهم وأمنائهم، فإذا أخذوه من أصاغرهم وشرارهم هلكوا

"Selama manusia mengambil ilmu dari para tokoh dan ulama, maka mereka akan dalam keadaan baik. Namun, jika mereka telah mengambil ilmu dari orang-orang kecil dan jahat, maka mereka akan binasa."[1]

Al imam Ibnu Sirin rahimahullah berkata :

‌إن ‌هذا ‌العلم ‌دين فانظروا عن من تأخذونه

“Sesungguhnya ilmu ini adalah bagian dari agama, maka perhatikan dengan baik dari mana engkau mengambilnya.”[2]

Berkata al imam Sufyan ats Tsauri rahimahullah :

لا ‌يؤخذ ‌الحلال ‌والحرام ‌إلا ‌عن ‌الرؤساء ‌المشهورين ‌بالعلم الذين يعرفون الزيادة والنقصان، ولا بأس بما سوى ذلك من المشايخ

"Hukum halal dan haram tidak boleh diambil kecuali dari para ulama yang terkemuka dan dikenal luas akan ilmunya, yang ia mengetahui tentang perkara yang berlebih-lebihan dan juga perkara yang kurang (dalam agama). Sedangkan untuk ilmu selain itu, tidak mengapa diambil dari setiap guru.”[3]

Al imam Musa bin Sulaiman rahimahullah berkata :

كانوا يقولون لا تأخذوا العلم عن الصحفيين.

“Dahulu orang-orang (shalih) mengingatkan : Jangan kalian mengambil ilmu dari lembaran-lembaran ( belajar tanpa guru).”[4]

Al imam Abdurrahman bin Yazid rahimahullah berkata :

لا يؤخذ العلم إلا عمن شهد له بطلب العلم

"Ilmu tidak diambil kecuali dari orang yang telah disaksikan dahulu pernah mencari ilmu."[5]

Wallahu a’lam.
______
[1] Al Adab Asy Syar’iyyah (2/148)
[2] Tabaqat al Kubra (7/144)
[3] Al Adab Asy Syar’iyyah (2/148)
[4] Difa’ an as Sunnah (1/33)
[5] Al Adab Asy Syar’iyyah (2/147)

Ahmad Syahrin Thoriq (Official)

23 Oct, 21:49


كإسراع ‌إمام ‌قراءة ‌تمثيل ‌للعذر.والمراد ‌بالإسراع: الاعتدال، فإطلاق الإسراع عليه لأنه في مقابلة البطء الحاصل للمأموم.وأما لو أسرع الإمام حقيقة بأن لم يدرك معه المأموم زمنا يسع الفاتحة للمعتدل فإنه يجب على المأموم أن يركع مع الإمام ويتركها لتحمل الإمام لها، ولو في جميع الركعات

“Seperti mempercepat imam dalam membaca adalah contoh untuk udzur (yang membolehkan makmum tidak membaca al Fatihah). Yang dimaksud dengan mempercepat di sini adalah keseimbangan (membaca dengan cara yang moderat), maka istilah 'mempercepat' digunakan karena berlawanan dengan kelambatan yang terjadi pada makmum.

Namun, jika imam benar-benar mempercepat sehingga makmum tidak mendapatkan waktu yang cukup untuk membaca al Fatihah dengan cara yang moderat, maka wajib bagi makmum untuk ruku’ bersama imam dan meninggalkan bacaan al Fatihah, karena imam menanggungnya, bahkan jika ini terjadi pada semua rakaat."[3]

Al imam Ibnu Hajar al Haitami rahimahullah juga berkata :

ومن ‌ذلك ‌ما ‌يقع ‌لكثير ‌من ‌الأئمة ‌أنهم ‌يسرعون ‌القراءة فلا يمكن المأموم بعد قيامه من السجود قراءة الفاتحة بتمامها قبل ركوع الإمام فيركع معه وتحسب له الركعة ولو وقع له ذلك في جميع الركعات

“Di antara contohnya adalah apa yang terjadi pada banyak imam yang mempercepat bacaan, sehingga makmum tidak sempat membaca al-Fatihah dengan sempurna setelah berdiri dari sujud sebelum imam ruku’. Maka ia harus ruku’ bersama imam dan rakaat tersebut tetap dihitung baginya, meskipun hal itu terjadi di semua rakaat.”[4]

𝟮. 𝗠𝗲𝗻𝘆𝗲𝗹𝗲𝘀𝗮𝗶𝗸𝗮𝗻 𝗱𝘂𝗹𝘂

Sedangkan sebagian Syafi’iyah yang lain menyatakan bahwa makmum tetap diharuskan untuk membaca al Fatihah. Berkata al imam Nawawi rahimahullah :

وإن ‌كان ‌بأن ‌أسرع ‌قراءته ‌وركع ‌قبل ‌إتمام ‌المأموم ‌الفاتحة فقيل يتبعه وتسقط البقية والصحيح يتمها ويسعى خلفه ما لم يسبق بأكثر من ثلاثة أركان مقصودة وهي الطويلة

“Dan jika imam mempercepat bacaannya lalu ruku’ sebelum makmum menyelesaikan al Fatihah, maka ada yang berpendapat bahwa makmum harus mengikutinya dan sisa bacaan al Fatihah telah gugur. Namun pendapat yang shahih (dalam madzhab Syafi’iyyah) adalah makmum harus menyelesaikan terlebih dahulu bacaan al Fatihahnya kemudian menyusul imam, selama ia tidak tertinggal lebih dari tiga rukun yang utama, yaitu rukun-rukun yang panjang.”[5]

𝗞𝗲𝘀𝗶𝗺𝗽𝘂𝗹𝗮𝗻

Ulama Syafi’iyyah berbeda pendapat tentang masalah ini. Sebagian berpendapat langsung ikut rukuk bersama imam, sedangkan yang lain berpendapat harus menyelesaikan bacaan selama ia tidak khawatir terlewat tiga rukun shalat. Pendapat pertengahan tentunya kita membaca al fatihah secapat mungkin lalu menyusul imam. Cepat di sini bisa dengan satu nafas dan cara baca hadr ( yaitu cara baca dengen tempo yang cepat namun dengan tetap memperhatikan hukum bacaan tajwid).

📚Wallahu a’lam.
_____
[1] Hasyiah ad Dusuqi (1/236), Kasyf al Qina (1/386), al Iqna’ fi Masail al Ijma (1/152)
[2] Mughni al Muhtaj (1/156)
[3] I’anah ath Thalibin (2/40)
[4] Tuhfatul Muhtaj (2/348)
[5] Minhaj ath Thalibin hal. 42

Ahmad Syahrin Thoriq (Official)

23 Oct, 21:49


𝗕𝗘𝗟𝗨𝗠 𝗦𝗘𝗟𝗘𝗦𝗔𝗜 𝗔𝗟 𝗙𝗔𝗧𝗜𝗛𝗔𝗛 𝗜𝗠𝗔𝗠 𝗞𝗘𝗕𝗨𝗥𝗨 𝗥𝗨𝗞𝗨𝗞

𝘈𝘧𝘸𝘢𝘯 𝘶𝘴𝘵𝘢𝘥𝘻 𝘪𝘻𝘪𝘯 𝘣𝘦𝘳𝘵𝘢𝘯𝘺𝘢, 𝘬𝘢𝘮𝘪 𝘣𝘦𝘳𝘮𝘢𝘬𝘮𝘶𝘮 𝘬𝘦𝘱𝘢𝘥𝘢 𝘪𝘮𝘢𝘮 𝘵𝘢𝘱𝘪 𝘬𝘦𝘵𝘪𝘬𝘢 𝘬𝘢𝘮𝘪 𝘣𝘦𝘭𝘶𝘮 𝘵𝘶𝘯𝘵𝘢𝘴 𝘮𝘦𝘮𝘣𝘢𝘤𝘢 𝘢𝘭 𝘍𝘢𝘵𝘪𝘩𝘢𝘩 𝘪𝘮𝘢𝘮 𝘴𝘶𝘥𝘢𝘩 𝘬𝘦𝘣𝘶𝘳𝘶 𝘳𝘶𝘬𝘶𝘬. 𝘗𝘦𝘳𝘵𝘢𝘯𝘺𝘢𝘢𝘯𝘯𝘺𝘢 𝘢𝘱𝘢𝘬𝘢𝘩 𝘬𝘢𝘮𝘪 𝘭𝘢𝘯𝘨𝘴𝘶𝘯𝘨 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘪𝘬𝘶𝘵𝘪 𝘪𝘮𝘢𝘮 𝘳𝘶𝘬𝘶𝘬 𝘵𝘢𝘯𝘱𝘢 𝘮𝘦𝘯𝘶𝘯𝘵𝘢𝘴𝘬𝘢𝘯 𝘮𝘦𝘮𝘣𝘢𝘤𝘢 𝘢𝘭 𝘍𝘢𝘵𝘪𝘩𝘢𝘩 𝘢𝘵𝘢𝘶𝘬𝘢𝘩 𝘩𝘢𝘳𝘶𝘴 𝘬𝘢𝘮𝘪 𝘴𝘦𝘭𝘦𝘴𝘢𝘪𝘬𝘢𝘯 𝘥𝘶𝘭𝘶 𝘣𝘢𝘳𝘶 𝘬𝘦𝘮𝘶𝘥𝘪𝘢𝘯 𝘳𝘶𝘬𝘶𝘬 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘪𝘯𝘨𝘢𝘵 𝘢𝘭 𝘍𝘢𝘵𝘪𝘩𝘢𝘩 𝘢𝘥𝘢𝘭𝘢𝘩 𝘴𝘢𝘭𝘢𝘩 𝘴𝘢𝘵𝘶 𝘳𝘶𝘬𝘶𝘯 𝘴𝘩𝘢𝘭𝘢𝘵 ?

𝘒𝘢𝘵𝘢 𝘶𝘴𝘵𝘢𝘥𝘻 𝘬𝘢𝘮𝘪 𝘥𝘪 𝘬𝘢𝘮𝘱𝘶𝘯𝘨 𝘩𝘢𝘳𝘶𝘴 𝘥𝘪𝘴𝘦𝘭𝘦𝘴𝘢𝘪𝘬𝘢𝘯 𝘥𝘶𝘭𝘶 𝘫𝘪𝘬𝘢 𝘵𝘦𝘳𝘭𝘢𝘯𝘫𝘶𝘳 𝘥𝘪𝘣𝘢𝘤𝘢, 𝘬𝘦𝘤𝘶𝘢𝘭𝘪 𝘥𝘢𝘭𝘢𝘮 𝘬𝘰𝘯𝘥𝘪𝘴𝘪 𝘬𝘪𝘵𝘢 𝘵𝘢𝘬𝘣𝘪𝘳𝘢𝘵𝘶𝘭 𝘐𝘩𝘳𝘢𝘮 𝘥𝘢𝘯 𝘮𝘦𝘯𝘥𝘢𝘱𝘢𝘵𝘪 𝘪𝘮𝘢𝘮 𝘳𝘶𝘬𝘶𝘬, 𝘮𝘢𝘬𝘢 𝘣𝘰𝘭𝘦𝘩 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘮𝘦𝘮𝘣𝘢𝘤𝘢 𝘢𝘭 𝘍𝘢𝘵𝘪𝘩𝘢𝘩 𝘬𝘢𝘳𝘦𝘯𝘢 𝘴𝘶𝘥𝘢𝘩 𝘥𝘪𝘵𝘢𝘯𝘨𝘨𝘶𝘯𝘨 𝘪𝘮𝘢𝘮.

𝘉𝘢𝘨𝘢𝘪𝘮𝘢𝘯𝘢 𝘱𝘢𝘯𝘥𝘢𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘱𝘢𝘳𝘢 𝘶𝘭𝘢𝘮𝘢 𝘬𝘩𝘶𝘴𝘶𝘴𝘯𝘺𝘢 𝘬𝘢𝘭𝘢𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘚𝘺𝘢𝘧𝘪’𝘪𝘺𝘺𝘢𝘩 𝘥𝘢𝘭𝘢𝘮 𝘮𝘢𝘴𝘢𝘭𝘢𝘩 𝘪𝘯𝘪 ? 𝘒𝘢𝘳𝘦𝘯𝘢 𝘴𝘢𝘺𝘢 𝘩𝘦𝘯𝘥𝘢𝘬 𝘬𝘰𝘯𝘴𝘦𝘯 𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘴𝘢𝘵𝘶 𝘮𝘢𝘥𝘻𝘩𝘢𝘣 𝘢𝘨𝘢𝘳 𝘤𝘢𝘳𝘢 𝘣𝘦𝘳𝘢𝘨𝘢𝘮𝘢 𝘬𝘢𝘮𝘪 𝘣𝘪𝘴𝘢 𝘵𝘦𝘳𝘵𝘢𝘵𝘢 𝘣𝘢𝘪𝘬. 𝘔𝘢𝘬𝘭𝘶𝘮 𝘬𝘢𝘮𝘪 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘵𝘢𝘩𝘶 𝘥𝘢𝘭𝘪𝘭 𝘥𝘢𝘯 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘣𝘪𝘴𝘢 𝘣𝘢𝘤𝘢 𝘬𝘪𝘵𝘢𝘣. 𝘚𝘺𝘶𝘬𝘰𝘯 𝘫𝘢𝘸𝘢𝘣𝘢𝘯𝘯𝘺𝘢.

𝗝𝗮𝘄𝗮𝗯𝗮𝗻

Oleh : Ahmad Syahrin Thoriq

Sebelum menjawab, saya hendak menyampaikan apresiasi kepada anda yang memiliki pandangan yang baik kaitannya dengan ilmu agama. Keinginan untuk mengikuti satu madzhab dahulu agar tidak campur aduk sehingga terkadang malah membingungkan merupakan pilihan yang baik dan terhormat dalam beragama.

Kadang banyak orang awam, pemula dan tidak tahu cara berdalil tapi belum-belum semangatnya hendak membandingkan pendapat lintas madzhab untuk dipilih yang paling rajih menurut dia dan kelompoknya. Seharusnya yang tepat, jika sadar diri tak pandai baca kitab misalnya, bukan memposisikan diri sebagai “juri” bagi pendapat-pendapat ulama, tapi duduk belajar dari satu madrasah keilmuan secara bertahap, terukur dan teratur.

𝗛𝘂𝗸𝘂𝗺 𝗺𝗲𝗺𝗯𝗮𝗰𝗮 𝗮𝗹 𝗙𝗮𝘁𝗶𝗵𝗮𝗵 𝗯𝗮𝗴𝗶 𝗺𝗮𝗸𝗺𝘂𝗺

Sebelumnya perlu kita ketahui juga bahwa hukum membaca al fatihah bagi makmum tidaklah wajib menurut jumhur ulama, jika imam telah membacanya. Bahkan dalam pandangan yang kuat dari madzhab Hanafiyah, Malikiyah dan Hanabilah termasuk dalam shalat sirriyah makmum tidak diwajibkan untuk membacanya, namun hanya sunnah saja.[1]

Sedangkan kalangan Syafi’iyyah tetap berpendapat wajib baik dalam shalat sirriyah maupun jahriyah.[2] Dan masalah ini telah kami bahas di bab tersendiri, dan tidak akan kita bahas lagi di sini untuk meringankan bahasan agar tidak terlalu panjang.

𝗜𝗺𝗮𝗺 𝗸𝗲𝗯𝘂𝗿𝘂 𝗿𝘂𝗸𝘂𝗸 𝘀𝗲𝗱𝗮𝗻𝗴𝗸𝗮𝗻 𝗺𝗮𝗸𝗺𝘂𝗺 𝗯𝗲𝗹𝘂𝗺 𝘀𝗲𝗹𝗲𝘀𝗮𝗶 𝗺𝗲𝗺𝗯𝗮𝗰𝗮 𝗮𝗹 𝗙𝗮𝘁𝗶𝗵𝗮𝗵

Dalam pandangan Syafi’iyyah, jika makmum belum selesai membaca al Fatihah sedangkan imam telah rukuk, ada dua pendapat, pendapat pertama langsung ikut rukuk dan pendapat yang kedua menyelesaikan dahulu surah al Fatihahnya lalu segera menyusul untuk rukuk.

𝟭. 𝗟𝗮𝗻𝗴𝘀𝘂𝗻𝗴 𝗶𝗸𝘂𝘁 𝗿𝘂𝗸𝘂𝗸

Menurut sebagian ulama Syafi’iyyah jika makmum mendapati imam telah membaca ayat setelah al fatihah dan saat ia bergabung dalam shalat berjama’ah imam tak lama kemudian rukuk yang menyebabkan ia tidak selesai membaca al Fatihah, maka yang tepat adalah ia langsung ikut rukuk. Statusnya adalah sama dengan masbuk yang lain di mana bacaannya menjadi tanggungan imam.

Demikian juga bila yang dimaksud imam keburu rukuk ini adalah imam memang mempercepat bacaannya dari biasanya, menurut kelompok pendapat ini sang makmum tetap disunnahkan untuk ikut rukuk.

Syaikh Abu Bakar Syatha ad Dimyathi rahimahullah berkata :

Ahmad Syahrin Thoriq (Official)

20 Oct, 00:54


𝗛𝗔𝗥𝗨𝗦𝗞𝗔𝗛 𝗧𝗔𝗤𝗟𝗜𝗗 𝗞𝗘𝗣𝗔𝗗𝗔 𝗦𝗔𝗧𝗨 𝗠𝗔𝗗𝗭𝗛𝗔𝗕 ?

Oleh : Ahmad Syahrin Thoriq

Pengertian taqlid kepada madzhab adalah perbuatan orang awam yang berpegang hanya kepada pendapat satu madzhab saja, dalam keadaan ia tidak mengetahui akan dalil-dalilnya.[1] Tentang hal ini para ulama berbeda pendapat, ada yang mewajibkan namun mayoritas ulama tidak mewajibkan.

𝟭. 𝗬𝗮𝗻𝗴 𝗠𝗲𝘄𝗮𝗷𝗶𝗯𝗸𝗮𝗻

Sebagian ulama berpendapat wajib hukumnya untuk bertaqlid kepada madzhab fiqih yang ada bagi orang awam, dan tidak boleh baginya untuk memilah dan memilih pendapat yang ada.[2]

Al imam Nawawi rahimahullah berkata :

والثاني ‌يلزمه وبه قطع أبو الحسن إلكيا وهو جار في كل من لم يبلغ رتبة الاجتهاد من الفقهاء وأصحاب سائر العلوم: ووجهه أنه لو جاز اتباع أي مذهب شاء لا فضى إلى أن يلتقط رخص ‌المذاهب متبعا هواه ويتخير بين التحليل والتحريم والوجوب والجواز وذلك يؤدي إلى انحلال ربقة التكليف

"Pendapat lainnya menyatakan bahwa orang awam wajib memilih satu madzhab, dan ini adalah pendapat yang dipastikan dipegang oleh Abu Hasan al Kiya. Pendapat ini berlaku untuk semua orang yang belum mencapai tingkat ijtihad, baik dalam ilmu fiqih maupun ilmu-ilmu lainnya.

Pendapat ini didasarkan pada argumen bahwa jika seseorang diperbolehkan mengikuti madzhab mana pun yang ia kehendaki, maka hal itu akan menyebabkan ia memilih keringanan dari berbagai madzhab sesuai dengan hawa nafsunya. Ia bisa memilih antara halal dan haram, wajib dan mubah, dan hal ini akan mengakibatkan hilangnya tanggung jawab dalam menjalankan kewajiban agama.

بخلاف العصر الأول فإنه لم تكن ‌المذاهب الوافية بأحكام الحوادث مهذبة وعرفت: فعلى هذا ‌يلزمه أن يجتهد في اختيار مذهب يقلده على التعيين

Hal ini tentu berbeda dengan zaman dahulu, di mana madzhab-madzhab yang mencakup hukum-hukum belum terstruktur dan juga belum dikenal dengan baik. Oleh karena itu, (menurut pendapat pertama ini) wajib bagi orang awam untuk memilih salah satu madzhab yang akan ia ikuti secara pasti.”[3]

Syaikh al Bujairami rahimahullah berkata :

‌كل ‌من ‌الأئمة ‌الأربعة ‌على ‌الصواب ‌ويجب ‌تقليد ‌واحد ‌منهم، ومن قلد واحدا منهم خرج عن عهدة التكليف، وعلى المقلد اعتقاد أرجحية مذهبه أو مساواته، ولا يجوز تقليد غيرهم في إفتاء أو قضاء.

“Semua imam dari empat madzhab berada di atas kebenaran, dan wajib bertaqlid kepada salah satu dari mereka. Barangsiapa yang bertaqlid kepada salah satu dari mereka, maka ia telah memenuhi kewajiban dalam tanggung jawab agama. Orang yang bertaqlid harus meyakini keunggulan madzhabnya atau kesetaraannya dengan madzhab lainnya, dan tidak boleh bertaqlid kepada selain mereka dalam fatwa atau hukum.”[4]

𝟮. 𝗬𝗮𝗻𝗴 𝗧𝗶𝗱𝗮𝗸 𝗺𝗲𝘄𝗮𝗷𝗶𝗯𝗸𝗮𝗻

Sedangkan sebagian ulama yang lain berpendapat tidak ada kewajiban untuk bertaqlid dengan madzhab yang ada. Bagi orang awam boleh mengikuti pendapat yang ada dari setiap madzhab atau di luar madzhab dengan syarat (1) tidak menyelisihi ijma’ ulama, bukan untuk mencari-cari yang mudah dari setiap pendapat madzhab, dan (3) jika itu bukan pendapat dari madzhab, meyakini keulamaan orang yang ditaqlidi.

Al imam Ibnu Hajar al Haitami rahimahullah berkata :

فامتنع أن يشترط عليه التزام مذهب من ‌المذاهب ‌الأربعة لأن فيه منعا له مما يجوز تقليده ولم يمتنع أن يشترط عليه التزام الراجح من مذهبه

“Maka tidak diperbolehkan mewajibkan seseorang untuk mengikuti salah satu madzhab tertentu dari empat madzhab, karena hal itu akan menghalanginya dari sesuatu yang boleh untuk ia ikuti (bertaqlid kepadanya). Namun, tidak dilarang untuk mensyaratkan kepadanya untuk mengikuti pendapat yang lebih kuat dari madzhabnya sendiri, karena tidak diperbolehkan untuk bertaqlid kepada pendapat yang lemah dalam madzhabnya.”[5]

Al imam al Qarafi rahimahullah berkata :

يجوز ‌تقليد ‌المذاهب في النوازل والانتقال من مذهب الى مذهب بثلاثة شروط ألا يجمع بينها على وجه يخالف الإجماع ...وأن يعتقد فيمن يقلده الفضل بوصول أخباره إليه ولا يقلده رميا في عماية وألا يتتبع رخص المذاهب

Ahmad Syahrin Thoriq (Official)

20 Oct, 00:54


"Diperbolehkan bertaqlid kepada madzhab dalam masalah-masalah baru (nawazil) dan berpindah dari satu madzhab ke madzhab lain dengan tiga syarat: Pertama, tidak boleh menggabungkan antara pendapat-pendapat tersebut dengan cara yang bertentangan dengan ijma'.

Kedua, harus meyakini keutamaan ulama yang ia taqlidi dengan sampai kepadanya berita-berita yang sahih, serta tidak bertaklid secara membabi buta. Ketiga, tidak boleh mengikuti keringanan-keringanan dari berbagai madzhab."[6]

Pendapat kedua ini yang cenderung dipilih oleh mayoritas ulama termasuk yang dirajihkan oleh al imam Nawawi rahimahullah.[7]

Namun juga harus diingat, meskipun mengikuti satu madzhab itu bukan perkara yang diwajibkan, akan tetapi taqlid kepada pendapat madzhab adalah perkara yang lebih baik dibandingkan taqlid kepada selainnya. Berkata Syaikh Hammad bin Nashir al Hanbali rahimahullah :

تقليد ‌المذاهب ‌الأربعة ‌أولى ‌من ‌غيرها، ولا يجب

“Taqlid terhadap madzhab yang empat itu lebih utama dari mengikuti pendapat selain empat madzhab, namun tidak sampai wajib.”[8]

Dan tentang masalah ini kami telah membahasnya di bab tersendiri. Wallahu a’lam.

𝗞𝗲𝘀𝗶𝗺𝗽𝘂𝗹𝗮𝗻

Tidak wajib taqlid hanya kepada satu madzhab menurut jumhur ulama, terlebih jika itu membuat berat dalam mengamalkan agama. Namun dalam banyak keadaan, tentu mengikuti dan mengamalkan satu madzhab adalah sebuah kemudahan dan itu yang lebih utama untuk dilakukan.

📚Wallahu a'lam
___
[1] Raudhah ath Thalibin (11/117)
[2] Irsyad al Fukhul hlm. 272
[3] Majmu’ Syarh al Muhadzdzab (1/55)
[4] Hasyiah al Bujairami ala al Khatib (1/58)
[5] Al Fatawa al Fiqhiyah al Kubra (2/212)
[6] Adz Dzakhirah (1/140)
[7] Al Mausu’ah al Fiqhiyah al Kuwaitiyah (13/164)
[8] Hukmu at Taqlid hlm. 82

Ahmad Syahrin Thoriq (Official)

18 Oct, 06:42


Yahya Sinwar terus bertempur hingga saat-saat terakhir dengan penuh keberanian. Meskipun terluka, beliau mengikat lengannya dengan kabel atau tali untuk menghentikan pendarahan agar dapat terus berjuang. Pasukan penjajah tidak mengetahui siapa yang sedang mereka hadapi.

Mereka mengirimkan drone untuk memantau situasi, kemudian menghancurkan bangunan tempat beliau bertahan dengan tembakan artileri sebelum sempat memasuki gedung tersebut. Namun, ketika mereka akhirnya mendekat, terungkaplah kejutan besar bahwa yang mereka lawan adalah Yahya Sinwar, mantan tahanan dan pemimpin politik Hamas.

Meskipun terkena tembakan dari tank, Sinwar tetap memberikan perlawanan dengan melemparkan granat ke arah tentara musuh.

#PemimpinTaufan
#SyahidYahyaSinwar
#PejuangQassam
#TimMujahidin

Ahmad Syahrin Thoriq (Official)

18 Oct, 06:39


Pemilik rumah tempat Abu Ibrahim Yahya Sinwar menjemput syahid menulis: "Kami merasa semakin terhormat karena engkau syahid di rumah kami. Rumah kami, jiwa kami, dan segala yang kami miliki adalah sebagai tebusan untukmu."

Ahmad Syahrin Thoriq (Official)

18 Oct, 06:17


Sedikit catatan atas Syahidnya Abu Ibrahim, Yahya Mizwar rahimahullah.

Oleh : Ahmad Syahrin Thoriq

Catatan Pertama : Saat serangan terjadi, Abu Ibrahim Yahya Sinwar masih menutupi wajahnya dengan sorban, yang menandakan bahwa pasukan Zionis belum mengenali identitasnya. Jika mereka mengetahui siapa beliau, kemungkinan besar mereka akan lebih memilih menangkapnya hidup-hidup untuk memperoleh keuntungan strategis.

Catatan Kedua: Zionis merilis video yang memperlihatkan detik-detik gugurnya Abu Ibrahim di medan tempur. Dalam video tersebut, beliau masih bersenjata dan sempat memberikan perlawanan. Ini menjadi bukti nyata bagi para pejuang bahwa para pemimpin Hamas berjuang hingga akhir, sekaligus membungkam tuduhan miring dari pihak-pihak yang selama ini menuduhnya hanya mengorbankan prajuritnya.

Catatan Ketiga: Abu Ibrahim tetap mempertahankan anonimitasnya dengan menutupi wajah hingga saat serangan datang. Hal ini menunjukkan bahwa musuh belum mengenali peran strategis beliau. Seandainya mereka tahu, penangkapan hidup-hidup mungkin akan lebih diutamakan daripada serangan mematikan.

Catatan Keempat : Tayangan yang dirilis Zionis menunjukkan Abu Ibrahim masih berada di garis depan, bertempur hingga titik darah penghabisan. Ini akan menjadi bara penyemangat para pejuang dan sekaligus membantah tuduhan dari para pengecam bahwa beliau hanya menumbalkan orang lain tanpa turut bertarung sendiri.

Ya Allah terimalah Syuhada kami, dan berikan kami ganti yang lebih baik..

Ahmad Syahrin Thoriq (Official)

18 Oct, 00:00


𝟳. 𝗜𝗻𝗶 𝗽𝗲𝗻𝗱𝗮𝗽𝗮𝘁 𝗝𝘂𝗺𝗵𝘂𝗿 𝗯𝗮𝗵𝗸𝗮𝗻 𝗮𝗱𝗮 𝗸𝗹𝗮𝗶𝗺 𝗜𝗷𝗺𝗮’

Melakukan taqlid dalam masalah furu’ ini kebolehannya telah dinyatakan oleh banyak ulama, bahkan ada yang mengklaim sebagai Ijma’. Mari kita simak diantaranya :

Al imam Ibnu Abdil Barr rahimahullah berkata :

ولم تختلف العلماء ‌أن ‌العامة ‌عليها ‌تقليد ‌علمائها وأنهم المرادون بقول الله عز وجل فاسألوا أهل الذكر إن كنتم لا تعلمون

“Para ulama tidak berselisih bahwa orang awam harus bertaqlid kepada ulama mereka, dan mereka adalah yang dimaksud dalam firman Allah Ta'ala: "Maka bertanyalah kepada orang yang berilmu jika kalian tidak mengetahui" (QS. An-Nahl: 43)

Al Imam Qurthubi rahimahullah berkta :

فكذلك من لا علم له ولا بصر بمعنى ما يدين به لا بد له من تقليد عالمه، وكذلك لم يختلف العلماء أن العامة لا يجوز لها الفتيا، لجهلها بالمعاني التي منها يجوز التحليل والتحريم

“Demikian pula orang yang tidak memiliki ilmu dan pemahaman tentang agamanya, ia harus bertaqlid kepada ulama yang ia percayai. Para ulama juga sepakat bahwa orang awam tidak boleh memberikan fatwa, karena ketidaktahuannya terhadap makna-makna yang menjadi dasar dalam menetapkan halal dan haram.”[14]

Al imam Abu Yusuf rahimahullah berkata :

لأن على ‌العامي ‌الاقتداء ‌بالفقهاء لعدم الاهتداء في حقه إلى معرفة الأحاديث

“Karena orang awam wajib mengikuti para ahli fiqih, sebab ia tidak memiliki kemampuan untuk memahami hadis-hadis dengan benar.”[15]

Syaikh Muafaquddin al Hanbali rahimahullah berkata :

‌وأما ‌التقليد ‌في ‌الفرو: فهو ‌جائز ‌إجماعًا

“Adapu taqlid dalam masalah furu’ maka hal tersebut dibolehkan berdasarkan ijma’.[16]

𝟴. 𝗛𝘂𝗸𝘂𝗺 𝗯𝘂𝗸𝗮𝗻 𝗽𝗮𝗱𝗮 𝗻𝗮𝗺𝗮, 𝘁𝗮𝗽𝗶 𝗽𝗮𝗱𝗮 𝗲𝘀𝗲𝗻𝘀𝗶𝗻𝘆𝗮

Maka hari ini ada dua kubu yang terus berseteru, antara yang mengaku tidak bertaklid atau pun bertaklid, sebaiknya tidak usah terus menerus membuang waktu dengan terus terlibat perdebatan yang tidak produktif seperti itu. Jika ada yang merasa mampu untuk berijtihad, ya tidak perlu kita suruh untuk taklid. Sebagaimana juga jangan memaksa orang awam yag nggak ngerti apa-apa untuk berijtihad, memiih mengikuti “kebodohannya” dalam mengggali hukum dengan meninggalkan pendapat dari para ulama madzhab, itu aneh bin Ajaib.

Ada sebagian orang yang dengan ketawadhua’annya mengaku sebagai muqallid padahal ia mampu untuk berijthad, sebagaimana ada yang ngaku mujtahid atau bahasa lainnya ittiba’ padahal dia juga taklid kepada guru-gurunya. Dia menamai orang-orang yang mengikuti madzhab yang empat sebagai tukang taklid, lalu menamai dirinya dan kelompoknya yang mengikuti guru-guru masa kini sebagai muttabi’ (mengikuti dengan tahu dail). Padahal hukum itu bukan pada penamaannya, tapi pada esensinya.

Tapi ya begitulah hidup di zaman ini, selama ada yang bisa dibuat alasan untuk rebut, untuk apa damai ? Duh…

📚Wallahu a’lam.
_______
[1] Al Muhith (1/329)
[2] Al A’lam (6/109)
[3] Raudhah an Nadzir (2/450), Syarah Muslim (2/400), Syarh ath Thufi (3/652)
[4] Al Mausu’ah al Fiqhiyah al Kuwaitiyah (13/160)
[5] I’lam al Muwaqi’in (4/187), Irsyad al Fukhul hlm. 266
[6] Iqhadz Himam hlm. 175
[7] Mukhtashar al Muzani hlm. 75
[8] Subulussalam (1/29)
[9] Kasyf al Qina (6/306), Ulin Nuha (6/441)
[10] At Tamhid (4/398)
[11] Al Mausu’ah al Fiqhiyah al Kuwaitiyah (13/160)
[12] Shifah ash Shafwah (1/159)
[13] Raudhah an Nadzir (2/451), Irsyad al Fukhul hal. 266
[14] Tafsir al Qurthubi (11/272)
[15] Hasyiah Ibnu Abidin (2/411)
[16] Raudhah an Nadzir (2/382)

Ahmad Syahrin Thoriq (Official)

18 Oct, 00:00


𝗧𝗔𝗤𝗟𝗜𝗗 𝗔𝗣𝗔𝗞𝗔𝗛 𝗕𝗢𝗟𝗘𝗛 ?

Oleh : Ahmad Syahrin Thoriq

Berikut ini uraian singkat kami tentang masalah taqlid kepada para ulama khususnya kepada pendapat ulama yang bersandar kepada fiqih madzhab yang empat.

𝟭. 𝗣𝗲𝗻𝗴𝗲𝗿𝘁𝗶𝗮𝗻𝗻𝘆𝗮

Secara bahasa taqlid diartikan dengan :

وضع الشيء في العنق مع الإحاطة به ويسمى ذلك قلادة، والجمع قلائد

“Meletakkan sesuatu di leher dengan mengitarinya (mengalungkannya). Dan hal itu disebut sebagai "kalung" (قلادة), bentuk jamaknya adalah "kalung-kalung" (قلائد).”[1]

Dari kata ini kemudian dimaknai bahwa orang yang bertaqlid itu seperti orang yang mengikuti pihak yang telah mengikat lehernya dengan tali.[2]

Taqlid artinya menerima pendapat orang lain tanpa mengetahui dalil dari pendapat tersebut. Seperti orang awam yang mengikuti pendapat seorang mujtahid dari ulama kaum muslimin. Adapun mengikuti perkataan Nabi Muhammad ﷺ tidak dianggap sebagai taqlid, begitu juga mengikuti ijma' tidak dianggap sebagai taqlid, karena keduanya merupakan sumber dalil yang pasti.[3]’

𝟮. 𝗛𝘂𝗸𝘂𝗺𝗻𝘆𝗮

Dan tentang hukum melakukan taqlid kepada ahli ilmu, para ulama berbeda pendapat, sebagian ulama ada yang mutlak melarang, sedangkan jumhur ulama memilah masalah taqlid, ada yang boleh ada yang tidak boleh. Yang disepakati keharamannya adalah taqlid kepada yang bukan ahli ilmu.[4]

𝟯. 𝗦𝗲𝗯𝗮𝗴𝗶𝗮𝗻 𝘂𝗹𝗮𝗺𝗮 𝗺𝗲𝗹𝗮𝗿𝗮𝗻𝗴 𝘁𝗮𝗾𝗹𝗶𝗱 𝘀𝗲𝗰𝗮𝗿𝗮 𝗺𝘂𝘁𝗹𝗮𝗸

Yang mutlak melarang taqlid adalah deretan nama seperti al imam asy Syaukani, Ibnu Qayyim dan beberapa ulama lainnya.[5] Dalam pandangan para ulama ini, wajib hukumnya bagi setiap orang berusaha sesuai batas kemampuannya untuk mengetahui dalil dari setiap pendapat dalam masalah agama yang ia ikuti.

Mereka berdalil bahwa Allah Ta'ala mencela taqlid dalam firman-Nya: "Mereka menjadikan orang-orang alim dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah" (QS. At-Taubah: 31) dan firman-Nya:

وَقَالُوا رَبَّنَا إِنَّا أَطَعْنَا سَادَتَنَا وَكُبَرَاءَنَا فَأَضَلُّونَا السَّبِيلَا

"Dan mereka berkata: 'Wahai Tuhan kami, sesungguhnya kami telah menaati para pemimpin dan pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan yang benar.'" (QS. Al-Ahzab: 67). Ayat-ayat semacam ini juga menunjukkan celaan terhadap taqlid.

Selain itu, para imam kaum muslimin juga melarang orang untuk bertaqlid buta kepada mereka. Abu Hanifah dan Abu Yusuf berkata:

لا يحل لأحد أن يقول بقولنا حتى يعلم من أين قلناه

"Tidak halal bagi seseorang untuk mengatakan pendapat kami hingga ia mengetahui dari mana kami mengambilnya."[6]

Al imam Muzani rahimahullah juga berkata :

اختصرت هذا من علم الشافعي، ومن معنى قوله مع إعلامه نهيه عن تقليده وتقليد غيره لينظر فيه لدينه ويحتاط لنفسه

"Saya meringkas kitab ini (mukhtashar al Muzani) dari ilmu Imam Syafi'i, dan berdasarkan makna dari perkataannya, di mana ia memperingatkan agar tidak taqlid buta kepadanya atau kepada orang lain, supaya setiap orang memperhatikan agamanya dan berhati-hati untuk dirinya sendiri."[7]

Imam Ahmad juga berkata:

لا تقلدني، ولا تقلد مالكا

"Jangan bertaqlid kepadaku, dan jangan pula bertaqlid kepada Malik."[8]

𝟰. 𝗠𝗮𝘆𝗼𝗿𝗶𝘁𝗮𝘀 𝘂𝗹𝗮𝗺𝗮 𝗺𝗲𝗺𝗲𝗿𝗶𝗻𝗰𝗶 𝗧𝗮𝗾𝗹𝗶𝗱

Sedangkan mayoritas ulama memerinci, untuk masalah Aqidah dan perkara ushul agama tidak boleh untuk melakukan takqlid. Dalam masalah Aqidah seperti keyakinan tentang keberadaan Allah Ta'ala, keesaan-Nya, kewajiban mengesakan-Nya dalam ibadah, dan mengetahui kebenaran Rasul-Nya ﷺ. Dalam perkara ini seseorang harus menggunakan dalil dan nalar yang benar, guna merenungi dan berpikir secara mendalam yang mengarah pada pengetahuan dan ketenangan hati dalam mengimani perkara-perkara tersebut.

Diantara dalil yang digunakan oleh jumhur ulama adalah bahwa Allah Ta'ala mencela taqlid dalam masalah aqidah, sebagaimana firman-Nya: "Bahkan mereka berkata, 'Sesungguhnya kami mendapati nenek moyang kami berada pada suatu ajaran, dan sesungguhnya kami mengikuti jejak mereka.'" (QS. Az-Zukhruf: 22).

Dan ketika turun firman Allah Ta'ala:

Ahmad Syahrin Thoriq (Official)

18 Oct, 00:00


إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَوَاتِ وَالأَْرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْل وَالنَّهَارِ لآَيَاتٍ لأُولِي الأَلْبَابِ

"Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, serta pergantian malam dan siang, terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal" (QS. Ali Imran: 190)

Nabi ﷺ bersabda:

لَقَدْ نَزَلَتْ عَلَيَّ اللَّيْلَةَ آيَةٌ. وَيْلٌ لِمَنْ قَرَأَهَا وَلَمْ يَتَفَكَّرْ فِيهَا

"Tadi malam telah diturunkan kepadaku sebuah ayat. Celaka bagi orang yang membacanya namun tidak merenungkannya." (HR. Ibnu Hibban)

Maka tidak boleh dalam masalah pokok-pokok keimanan seperti ini hanya mengikuti dogma, mengandalkan ketenangan hati, atau kata orang . Karena jika demikian, apa bedanya cara beragama yang seperti ini orang-orang Nasrani, Yahudi, dan musyrikin yang mengikuti nenek moyang mereka. Di mana hati mereka konon sudah merasa tenang terhadap apa yang diwariskan oleh nenek moyang mereka. Dan jelas Allah ta’ala telah mencela perilaku yang seperti itu.[9]

وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنزَلَ اللَّهُ قَالُوا بَلْ نَتَّبِعُ مَا أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا ۚ أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ شَيْئًا وَلَا يَهْتَدُونَ
"Dan apabila dikatakan kepada mereka, 'Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,' mereka menjawab, 'Tidak! Kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari nenek moyang kami.' Apakah mereka akan tetap mengikuti walaupun nenek moyang mereka tidak menggunakan akalnya dan tidak mendapat petunjuk?"(QS. Al Baqarah : 170)

Al Imam Khattabi rahimahullah berkata :

ولا يجوز التقليد في أركان الإسلام الخمس ونحوها، مما اشتهر، ونقل نقلًا متواترًا؛ لأن العامة شاركوا العلماء في ذلك، فلا وجه للتقليد"

"Tidak boleh bertaqlid dalam masalah rukun Islam yang lima dan perkara yang semisalnya, yang sudah masyhur dan diriwayatkan secara mutawatir, karena orang awam turut serta bersama para ulama dalam pengetahuan tentang hal tersebut, sehingga tidak ada alasan untuk bertaqlid."[10]

𝟱. 𝗧𝗮𝗸𝗹𝗶𝗱 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗱𝗶𝗵𝗮𝗿𝗮𝗺𝗸𝗮𝗻 𝗺𝗲𝗻𝘂𝗿𝘂𝘁 𝗷𝘂𝗺𝗵𝘂𝗿

Demikian juga tidak dibenarkan melakukan taqlid dalam hal yang sudah diketahui secara pasti sebagai bagian dari agama (ma'lum min ad-din bi ad-darurah), karena pengetahuan tentang hal tersebut diperoleh melalui tawatur (riwayat yang mutawatir) dan ijma' (kesepakatan ulama). Contohnya adalah mengikuti rukun Islam yang lima, kewajiban shalat lima waktu, puasa Ramadhan, haji, keharaman judi, khamar, zina dan semisalnya.[11]

Taqlid seperti inilah yang dimaksudkan oleh para imam dan ulama ketika mereka mencelanya. Seperti apa yang dikatakan oleh sayidina Abdullah bin Mas’ud radhiayllahu’anhu :

ألا لا يقلدن أحدكم دينه رجلا إن آمن آمن وإن كفر كفر فإنه أسوة في الشر

"Janganlah salah seorang dari kalian menjadikan agamanya taqlid kepada seseorang. Jika orang itu beriman, dia beriman, dan jika orang itu kafir, dia ikut kafir. Karena hal itu adalah contoh dalam keburukan."[12]

𝟲. 𝗗𝗮𝗹𝗮𝗺 𝗺𝗮𝘀𝗮𝗹𝗮𝗵 𝗳𝘂𝗿𝘂 (𝗰𝗮𝗯𝗮𝗻𝗴 𝗮𝗴𝗮𝗺𝗮) 𝗯𝗼𝗹𝗲𝗵 𝗺𝗲𝗹𝗮𝗸𝘂𝗸𝗮𝗻 𝘁𝗮𝗾𝗹𝗶𝗱

Sedangkan dalam masalah furu’ atau cabang agama, terlebih bila itu masalah pelik yang susah untuk dipelajari oleh orang-orang awam, maka mayoritas ulama madzhab membolehkan untuk bertaqlid.[13]

Mayoritas ulama membolehkan karena Orang awam itu tetap dibebani kewajiban untuk melaksanakan hukum-hukum syariat, tetapi dalam banyak kasus, dalil-dalil yang mendasarinya mungkin tidak mereka ketahui secara pasti karena memerlukan penelaahan dan ijtihad. Sedangkan yang bisa melakukan itu tentu hanyalah kalangan orang-orang yang berilmu.

Membebankan kepada orang awam harus mengetahui dalil dari setiap masalah tersebut maka akan menyebabkan terhentinya aktivitas mereka dari kerja mencari nafkah, dan ini bisa menimbulkan kekacauan dalam tatanan Masyarakat. Sedangkan mereka tidaklah mungkin dibebani sesuatu yang diluar batas kemampuan, karenanya Allah Ta'ala juga memerintahkan mereka untuk bertanya kepada para ulama, sebagaimana firman-Nya:

فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

"Maka tanyakanlah kepada orang yang berilmu jika kamu tidak mengetahui." (QS. An-Nahl: 43)

Ahmad Syahrin Thoriq (Official)

16 Oct, 11:47


𝗞𝗘𝗨𝗧𝗔𝗠𝗔𝗔𝗡 𝗠𝗘𝗠𝗔𝗔𝗙𝗞𝗔𝗡

Oleh : Ahmad Syahrin Thoriq

Berikut ini adalah nasehat singkat dari ayat, hadits dan sebagian qaul ulama tentang keutamaan memaafkan dan berlapang dada terhadap gangguan atau kesalahan orang lain.

Allah ta’ala berfirman :

خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَاَعْرِضْ عَنِ الْجٰهِلِيْنَ

“𝘑𝘢𝘥𝘪𝘭𝘢𝘩 𝘱𝘦𝘮𝘢𝘢𝘧 𝘥𝘢𝘯 𝘴𝘶𝘳𝘶𝘩𝘭𝘢𝘩 𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘦𝘳𝘫𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘮𝘢'𝘳𝘶𝘧, 𝘴𝘦𝘳𝘵𝘢 𝘫𝘢𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘱𝘦𝘥𝘶𝘭𝘪𝘬𝘢𝘯 𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨-𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘣𝘰𝘥𝘰𝘩.”(𝘘𝘚. 𝘈𝘭 𝘈’𝘳𝘢𝘧 : 199)

Nabi ﷺ bersabda :

‌وَمَا ‌زَادَ ‌اللَّهُ ‌عَبْدًا ‌بِعَفْوٍ ‌إِلَّا ‌عِزًّا، وَمَا تَوَاضَعَ عَبْدٌ إِلَّا رَفَعَهُ اللَّهُ

"Tidaklah seseorang memberi maaf kepada orang lain, melainkan Allah akan menambah kemuliaannya. Dan tidaklah seseorang rendah hati karena Allah kecuali Allah akan mengangkat derajatnya." (HR. Ahmad)

📖 Sayyidina Umar bin Abdul Aziz rahimahullah berkata :

أحب الأمور إلى الله ثلاثة: العفو عند المقدرة، والقصد في الجدة، والرفق بالعبدة

"Tiga hal yang paling dicintai Allah: memaafkan saat mampu untuk membalas, bersikap sederhana ketika kaya, dan berlemah lembut kepada hamba sahaya."[1]

📖 Al imam Fudhail bin Iyadh rahimahullah berkata :

احتمل لأخيك إلى سبعين زلة قيل له وكيف ذلك يا أبا علي قال لأن الأخ الذي آخيته في الله ليس يزل سبعين زلة

“Sabarlah dalam menanggung kesalahan saudaramu hingga tujuh puluh kesalahan." Dikatakan kepadanya: "Kenapa harus begitu ?" Beliau menjawab: "Karena seseorang yang engkau jadikan sebagai saudara karena Allah, ia akan senantiasa berbuat salah hingga tujuh puluh kali."[2]

📖 Al Imam Syafi’i rahimahullah berkata :

لما عفوت ولم أحقد على أحد أرحت نفسي من ظلم العداوات

"Ketika aku memaafkan dan tidak menyimpan dendam terhadap siapapun, Aku pun mengistirahatkan diriku dari buruknya permusuhan."[3]

📖 Al imam Ibnu Hibban rahimahullah berkata :

توطين نفسه على لزوم العفو عن الناس كافة، وترك الخروج لمجازاة الإساءة؛ إذ لا سبب لتسكين الإساءة أحسن من الإحسان، ولا سبب لنماء الإساءة وتهييجها أشد من الاستعمال بمثلها

"Selayaknya orang yang berakal untuk menanamkan dalam dirinya sifat senantiasa memaafkan kesalahan orang lain dan meninggalkan pembalasan atas keburukan yang diterimanya. Karena tidak ada cara yang lebih baik untuk meredam kejahatan daripada berbuat baik, dan tidak ada yang lebih memperparah kejahatan daripada membalas dengan kejahatan yang serupa."[4]

📖 Al imam Ayyub as Sikhtiyani rahimahullah berkata :

لا ينبل الرجل حتى يكون فيه خصلتان: العفة عما في أيدي الناس والتجاوز عنهم

"Seseorang tidak akan mencapai kemuliaan sejati sampai ia memiliki dua sifat : Menjaga diri dari berharap apa yang ada di tangan manusia, dan berlapang dada terhadap sikap mereka.”[5]

Semoga bermanfaat
📚_____
[1] Raudhah al Uqala’ hlm. 131
[2] Raudhah al Uqala hlm. 168
[3] Diwan asy Syafi’i hlm. 111
[4] Raudhah al Uqala’ hlm. 131
[5] Ittihaf al Maharah (18/456)

Ahmad Syahrin Thoriq (Official)

16 Oct, 01:22


خِيَارُ أَئِمَّتِكُمُ الَّذِينَ تُحِبُّونَهُمْ وَيُحِبُّونَكُمْ وَيُصَلُّونَ عَلَيْكُمْ وَتُصَلُّونَ عَلَيْهِمْ وَشِرَارُ أَئِمَّتِكُمُ الَّذِينَ تُبْغِضُونَهُمْ وَيُبْغِضُونَكُمْ وَتَلْعَنُونَهُمْ وَيَلْعَنُونَكُمْ ». قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَلاَ نُنَابِذُهُمْ بِالسَّيْفِ فَقَالَ « لاَ مَا أَقَامُوا فِيكُمُ الصَّلاَةَ وَإِذَا رَأَيْتُمْ مِنْ وُلاَتِكُمْ شَيْئًا تَكْرَهُونَهُ فَاكْرَهُوا عَمَلَهُ وَلاَ تَنْزِعُوا يَدًا مِنْ طَاعَةٍ

“Sebaik-baik pemimpin kalian adalah yang kalian mencintai mereka dan mereka pun mencintai kalian. Mereka mendo’akan kalian dan kalian pun mendo’akan mereka. Sejelek-jelek pemimpin kalian adalah yang kalian membenci mereka dan mereka pun membenci kalian, juga kalian melaknat mereka dan mereka pun melaknat kalian.”

Kemudian ada yang berkata, ”Wahai Rasulullah, tidakkah kita menentang mereka dengan pedang?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak, selama mereka masih mendirikan shalat di tengah-tengah kalian. Jika kalian melihat dari pemimpin kalian sesuatu yang kalian benci, maka bencilah amalannya dan janganlah melepas ketaatan kepadanya.” (HR. Muslim)

4. Menyamakan dengan demonstrasi yang dianggap mendatangkan kerusakan

Sebagian kalangan ini juga menyamakan nasihat terbuka itu dengan demonstrasi yang sering dianggap mendatangkan kerusakan dan keresahan di tengah masyarakat. Mereka menilai bahwa demonstrasi dan kritik terbuka tidak sejalan dengan etika syariat, karena dapat memicu kebencian, memecah belah persatuan umat, dan mengakibatkan kerusakan yang lebih besar.

Bahkan, mereka menyebutkan bahwa demonstrasi yang dilakukan dengan tujuan menasihati penguasa sering kali berakhir dengan bentrokan, kerusuhan, dan ketidakamanan, sehingga hasilnya jauh lebih buruk dibandingkan dengan tujuan awal yang ingin dicapai.

5. Mengikuti Prinsip yang Diajarkan oleh Ulama Salaf

Yang menjadi alasan selanjutnya adalah bahwa para ulama salaf dan imam-imam kaum muslimin seperti Imam Ahmad bin Hanbal, Sufyan ats Tsauri dan deretan nama lainnya lebih memilih menasihati penguasa secara tertutup.

Hal ini karena mereka sangat berhati-hati terhadap dampak buruk yang dapat timbul dari tindakan tersebut, khususnya pada masa-masa sensitif di mana perpecahan dan fitnah sangat mudah menyebar. Dalam pandangan mereka, tindakan menasihati secara terbuka yang dapat memicu keresahan tidak sesuai dengan metode yang dianut oleh para ulama salaf, yang lebih mengutamakan keamanan dan kestabilan.

𝗝𝗮𝘄𝗮𝗯𝗮𝗻 𝘁𝗲𝗿𝗵𝗮𝗱𝗮𝗽 𝗮𝗿𝗴𝘂𝗺𝗲𝗻 𝘁𝗲𝗿𝘀𝗲𝗯𝘂𝘁

Apa yang telah dijabarkan di atas yang menjadi argument kalangan yang melarang mengkritik atau menasehati penguasa secara terbuka, telah dibantah oleh para ulama dan telah ditunjukkan beberapa sisi kelemahan pendalilan yang mereka gunakan....

Ingin menyimak bahasan ini secara lengkap dari A sampai Z ? Segera terbit buku tulisan kami yang berjudul : BERDIRI TEGAK DI HADAPAN PENGUASA - ketika nasehat harus terbuka.

Ahmad Syahrin Thoriq (Official)

16 Oct, 01:22


𝗞𝗥𝗜𝗧𝗜𝗞 𝗞𝗘 𝗣𝗘𝗡𝗚𝗨𝗔𝗦𝗔 𝗧𝗔𝗞 𝗕𝗢𝗟𝗘𝗛 𝗧𝗘𝗘𝗕𝗨𝗞𝗔 ?

Oleh : Ahmad Syahrin Thoriq

Ada sebagian kelompok yang memiliki pandangan bahwa nasihat kepada penguasa secara terbuka dianggap sebagai tindakan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip syariat dan berpotensi menimbulkan kerusakan lebih besar dibandingkan dengan manfaatnya. Sehingga mereka menyatakan hal itu sebagai tindakan yang hukumnya haram.

Berikut beberapa argumen utama yang diajukan oleh kalangan ini.

1. Hadits yang Memerintahkannya secara Sembunyi-sembunyi

Mereka berpegang pada hadis-hadis yang memerintahkan untuk menasihati penguasa secara tertutup. Salah satunya adalah hadis dari Nabi Muhammad ﷺ:

مَنْ ‌أَرَادَ ‌أَنْ ‌يَنْصَحَ لِسُلْطَانٍ بِأَمْرٍ، فَلَا يُبْدِ لَهُ عَلَانِيَةً، وَلَكِنْ لِيَأْخُذْ بِيَدِهِ، فَيَخْلُوَ بِهِ، فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ، وَإِلَّا كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ لَهُ

"Barangsiapa ingin menasihati penguasa, maka janganlah ia menampakkannya secara terang-terangan. Akan tetapi, hendaklah ia mengambil tangannya dan menyendiri bersamanya.

Jika penguasa itu menerima nasihatnya, maka itu adalah (kebaikan). Jika tidak, maka ia telah melaksanakan kewajibannya." (HR. Ahmad).

2. Kisah Musa dan Fir’aun

Kisah Nabi Musa 'alaihis salam yang diutus oleh Allah ta’ala untuk memberikan peringatan kepada Fir'aun juga menjadi dalil selanjutnya agar menyampaikan nasehat secara baik dan tertutup.

Dalam Surah Taha ayat 43-44, Allah ta’ala berfirman kepada Musa dan Harun untuk mendatangi Fir'aun dan berbicara kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut.

اذْهَبَا إِلَى فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَى فَقُولَا لَهُ قَوْلًا لَيِّنًا لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى

“Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun, Sesungguhnya Dia telah melampaui batas; Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, Mudah-mudahan ia ingat atau takut”.

Kalangan ini berpendapat bahwa bahkan dalam berhadapan dengan seorang penguasa yang sangat dzalim seperti Fir’aun sekali pun, Allah tetap memerintahkan kedua nabiNya untuk berbicara dengan cara yang lembut, apalagi dalam konteks seorang penguasa Muslim yang masih memiliki kebaikan. Hal ini menunjukkan bahwa pendekatan secara tertutup dan penuh kelembutan adalah lebih sesuai dengan adab syariat.

3. Nasihat Terbuka Dianggap sebagai Bentuk Khuruj (Pemberontakan)

Salah satu argumen yang kuat dari kalangan ini adalah bahwa nasihat secara terbuka bisa dianggap sebagai bentuk pemberontakan (khuruj) terhadap penguasa yang sah. Mereka berpendapat bahwa ketika kritik disampaikan secara terbuka, terutama di depan masyarakat awam, hal ini dapat memicu ketidakpercayaan kepada penguasa dan berujung pada ketidakstabilan politik.

Pandangan ini didasarkan pada sejarah pemberontakan yang terjadi dalam Islam, di mana nasihat yang tidak dilakukan dengan cara yang benar sering kali mengarah kepada perpecahan dan fitnah yang besar.

Sedangkan seorang muslim dituntut untuk tetap bersabar dalam menghadapi kedzaliman penguasa mereka. Dalam hadits, dari sahabat Hudzaifah al Yamani radhiyallahu’anhu beliau berkata, Rasulullah ﷺ bersabda :

يَكُونُ بَعْدِي أَئِمَّةٌ لَا يَهْتَدُونَ بِهَدْيِي، وَلَا يَسْتَنُّونَ بِسُنَّتِي، وَسَيَقُومُ فِيهِمْ رِجَالٌ قُلُوبُهُمْ قُلُوبُ الشَّيَاطِينِ فِي جُثْمَانِ إِنْسٍ». قلتُ: كيف أصنعُ يا رسولَ الله إنْ أدركتُ ذلك؟ قال: «تَسْمَعُ وَتُطِيعُ لِلْأَمِيرِ، وَإِنْ ضُرِبَ ظَهْرُكَ وَأُخِذَ مَالُكَ، فَاسْمَعْ وَأَطِعْ

"Akan ada setelahku para pemimpin yang tidak mengikuti petunjukku dan tidak mengikuti sunnahku, dan akan ada di antara mereka orang-orang yang berhati seperti hati setan dalam tubuh manusia."

Aku bertanya: "Apa yang harus aku lakukan jika aku menemui keadaan seperti itu, wahai Rasulullah?" Beliau bersabda: "Engkau dengarkan dan taatilah pemimpin, meskipun punggungmu dipukul dan hartamu diambil, dengarkan dan taatilah." (HR. Muslim)

Dalam hadits yang lain :

Ahmad Syahrin Thoriq (Official)

16 Oct, 00:59


بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

Kepada Bapak /ibu, ikhwah sekalian disampaikan bahwa nomor admin 0812-5889-791 sedang bermasalah.

Untuk selanjutnya informasi dan konfirmasi ke nomor ini 0821-5267-3583

©Admin