Rumi Institute @ruminstitute Channel on Telegram

Rumi Institute

@ruminstitute


Chanel Baru Rumi Institute

Rumi Institute (Indonesian)

Selamat datang di Chanel Baru Rumi Institute! Apakah Anda tertarik dengan karya-karya Rumi, salah satu penyair Sufi terbesar dalam sejarah? Jika iya, maka channel Telegram ini adalah tempat yang tepat untuk Anda. Rumi Institute didedikasikan untuk mempelajari, mendalami, dan mengapresiasi karya-karya inspiratif dari Jalaluddin Rumi. Siapakah Rumi? Rumi adalah seorang penyair, filsuf, dan mistikus Persia yang terkenal dengan karya-karya puisi yang penuh makna dan kebijaksanaan. Lewat channel ini, Anda akan dapat mengeksplorasi berbagai karya Rumi, mendapatkan wawasan mendalam tentang ajaran-ajarannya, dan terhubung dengan para penggemar Rumi lainnya dari seluruh dunia. Tunggu apa lagi? Bergabunglah dengan Rumi Institute sekarang dan biarkan kebijaksanaan Rumi memperkaya jiwa dan pikiran Anda setiap harinya. Selamat mengeksplorasi dunia spiritual Rumi!

Rumi Institute

30 Jan, 01:45


Kita semua merasa puas dengan daftar isi,
karena kita tenggelam dalam keserakahan dan keinginan yang sia-sia.
Daftar isi adalah jerat bagi orang awam,
agar mereka mengira, itulah isi sebenarnya dari teks gulungan itu.
Matsnawi, Kitab IV, Bait 1569-1570


Dalam bait ini, Maulana Rumi menggunakan metafora "daftar isi" untuk merujuk pada penilaian manusia terhadap orang lain berdasarkan aspek-aspek lahiriah dan dangkal, seperti status sosial, pekerjaan, atau atribut fisik. Ia menekankan bahwa penilaian semacam itu sering kali tidak mencerminkan esensi atau hakikat sejati dari manusia.


"Daftar isi" di sini adalah simbol dari tampilan luar atau identitas permukaan yang sering digunakan untuk memengaruhi dan mengesankan orang lain, tetapi sebenarnya tidak memiliki nilai intrinsik. Dalam masyarakat, kita sering kali mendefinisikan manusia berdasarkan profesi atau status sosial mereka: "Saya seorang insinyur, saya seorang pedagang, saya seorang dokter, saya seorang sutradara, saya seorang penulis, saya seorang musisi, saya ini dan itu." Namun, Rumi menekankan bahwa semua itu hanyalah peran sosial belaka dan tidak mengungkapkan hakikat sejati manusia.


Muh Nur Jabir

Rumi Institute

27 Jan, 06:21


﴿لَقَدْ رَأى‏ مِنْ آياتِ رَبِّهِ الْكُبْرى‏﴾
18. Sesungguhnya dia telah melihat sebahagian tanda-tanda (kekuasaan) Tuhan-nya yang paling besar.

21.
Mikraj Rasulullah saw sampai kepada puncak dua garis hakikat eksistensi yaitu "dua busur panah" dan "lebih dekat", dan setelah ini tak bisa lagi digambarkan perjalanan manusia.

22.
Maqam "lebih dekat" (ِ ْ أَدْنَىٰ) akan memangkas jarak antara tubuh (materi) dan ruh, akal dan indrawi, atau mulk dan malakut.

23.
Disanalah puncak perjalanan yang dimungkinkan bagi Insankamil yakni wujud Rasulullah saw, dimana Jibrail as pun tak mampu melewatinya.

24.
Pada Maqam ini wujud Rasulullah saw tenggelam dalam ketunggalan AhadiyahNya.

25.
Sebab itu, jauh atau dekat antara hamba dengan Ilahi, bukan jarak materi dan indrawi, tapi tergantung kepada keluasan jiwa seseorang.

26.
Jarak itu adalah keterikatan yang kita miliki, seperti keinginan-keinginan, kenikmatan syahwat, dan juga hawa nafsu.

27.
Manusia secara esensi adalah makhluk yang bebas, namun manusia memenjarakan dirinya sendiri di dalam ikatan-ikatan dan keinginan-keinginan.

28.
Manusia yang telah sampai kepada puncak Ilahi, hakikatnya akan menyatu dengan eksistensi dan akan meliputi eksistensi lainnya.

29.
Manusia adalah wujud yang azali dan abadi, namun dalam satu titik perjalanan, manusia tinggal sementara di dunia ini.

30.
Manusia punya derita abadi, namun penderitaannya adalah rahasia keabadiannya, manusia turun ke dunia ini agar mengalami penderitaan.

31.
Manusia memahami keabadian, mengapa? Karena manusia memahami sementara dan terbatas, dan terbatas dipahami dari ketidakterbatasan.

Wassalam

Rumi Institute

27 Jan, 06:21


Isra Mikraj dalam Pandangan Sufistik
oleh Muh. Nur. Jabir

1.
Dalam persoalan Isra Mikraj, ada dua hal yang saling terkait satu sama lain; yang memperjalankan yakni Tuhan dan yang diperjalankan yakni Rasulullah saw

2.
Dalam surah Al-Isra' ayat 1, Quran menjelaskan
سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَىٰ بِعَبْدِهِ . .
Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya . . .

3.
Yang memperjalankan adalah salah satu dari nama suci Ilahi yaitu سُبْحَانَ (Maha-Suci) yang dalam tasawuf disebut dengan nama tanzih.

4.
Dan yang diperjalankan adalah hamba-Nya yakni Rasulullah saw. Sehingga disini ada relasi keidentikan antara yang memperjalankan dan yang diperjalankan.

5.
Relasi keidentikan tersebut adalah relasi kesucian bahwa, yang memperjalankan adalah Maha-Suci سُبْحَانَ
dan yang diperjalankan (hambaNya) juga suci.

6.
Oleh sebab itu, syarat naik ke atas menuju singgasana Ilahi adalah kesucian sehingga Yang Maha Suci memperjalankan hambaNya.

7.
Rasulullah saw adalah insankamil (manusia sempurna), dalam tasawuf, insankamil dipahami sebagai insan yang telah menyatu dengan Asma Ilahi.

8.
Sehingga yang disebut dengan insan kamil adalah mereka yang telah melalukan empat perjalanan ruhaniah atau setidaknya telah sampai kepada perjalanan ketiga dari empat perjalanan ruhaniah.

9.
Perjalanan pertama adalah perjalanan "dari makhluk menuju Tuhan". Perjalanan kedua, "dari Tuhan menuju Tuhan bersama Tuhan".

10.
Perjalanan ketiga, "dari Tuhan menuju makhluk bersama Tuhan", dan perjalan keempat, "dari makhluk menuju makhluk bersama Tuhan".

11.
Pada perjalan pertama, manusia berusaha bebas dari belenggu materi, tanpa itu, manusia tak bisa naik ke atas mengarungi alam ruhaniah hingga sampai ke singgasanaNya.

12.
Setelah menjalani perjalanan pertama, manusia akan melanjutkan perjalanan kedua yaitu perjalanan dalam menyelami asma dan sifat Ilahi.

13.
Perjalanan ketiga adalah perjalanan kewalian dan adapun perjalanan keempat adalah perjalanan kerasulan.

14.
Manusia yang telah mencapai empat perjalanan ruhaniah, ruhnya mampu menjadi penggerak bagi tubuhnya, tubuh akan mengikuti gerak ruhnya.

15.
Manusia yang telah melakukan keempat perjalanan tersebut, menjadi bukti bahwa ruhnya telah suci dan sangat latif (lembut) sebab itu tubuhnya pun akan menjadi Latif mengikuti ruhnya.

16.
Filosofi Isra Mikraj Rasulullah saw bisa ditelusuri dalam gagasan Ibnu Sina dalam kitabnya al-Isyarat wa al-tanbihat, namth ke 9.

17.
Ibnu Sina membahas persoalan Isra Mikraj terkait dengan kemungkinan pencapaian tertinggi manusia menuju singgasana Ilahi.

18.
Kata Ibnu Sina:
"Singgasana Ilahi, tinggi dan tak bertepi sehingga tak dapat diraih oleh para pencari dan tak dapat dipahami sesuatu darinya, kecuali sebagian kecil saja dari manusia".

19.
Tak ada seorang pun yang mampu sampai ke hakikat Zat Ilahi, tapi tak perlu putus asa, karena setiap orang sampai pada derajatnya sendiri.

20.
Perjalanan puncak Rasulullah saw telah digambarkan dalam Quran dalam surah An-Najm ayat 7 - 9.

(An-Najm):7 - sedang dia berada di ufuk yang tinggi.

8 - Kemudian dia mendekat, lalu bertambah dekat lagi.

9 - maka jadilah dia dekat (pada Muhammad sejarak) dua ujung busur panah atau lebih dekat (lagi).

﴿فَأَوْحى‏ إِلى‏ عَبْدِهِ ما أَوْحى﴾
10. Lalu Allah mewahyukan kepada hamba-Nya (Muhammad) apa yang telah Dia wahyukan.

﴿ما كَذَبَ الْفُؤادُ ما رَأى‏﴾
11. Hatinya (yang bersih) tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya.

﴿أفَتُمارُونَهُ عَلى‏ ما يَرى‏﴾
12. Maka apakah kamu (musyrikin Mekah) hendak membantahnya tentang apa yang telah dia lihat?

﴿وَلَقَدْ رَآهُ نَزْلَةً أُخْرى‏﴾
13. Dan sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu pada waktu yang lain,

﴿عِنْدَ سِدْرَةِ الْمُنْتَهى‏﴾
14. (yaitu) di Sidratul Muntaha.

﴿عِنْدَها جَنَّةُ الْمَأْوى﴾
15. Di dekatnya ada surga Al-Ma’wâ.

﴿إِذْيَغْشَى السِّدْرَةَ ما يَغْشى‏﴾
16. (Muhammad melihat Jibril) ketika Sidratul Muntaha diliputi oleh suatu (cahaya cemerlang) yang meliputinya.

﴿ما زاغَ الْبَصَرُ وَما طَغى‏﴾
17. Penglihatannya (Muhammad) tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya.

Rumi Institute

26 Jan, 03:20


Karat demi karat telah berkumpul di dalam hatimu, hingga membutakanmu dari segala rahasia.
Jika asap hitam menghantam periuk baru, jejaknya akan terlihat, walau hanya sebesar biji jagung.
Segala sesuatu diketahui melalui lawannya, pada objek putih, hitam menjadi mencolok.
Ketika seluruh periuk jadi hitam, selepas ini siapa lagi yang menyaksikan efek asapnya?
Matsnawi, Kitab II, Bait 3371-3374


Rumi mengingatkan kita tentang dampak energi negatif dan dosa yang menumpuk di hati dan pikiran. Jika seseorang tidak peduli terhadap pengaruh ini, hati mereka akan tertutup oleh lapisan kegelapan, sehingga tak mampu lagi merasakan penyesalan atau mendengar bisikan kebenaran dari dalam diri.


Pada awalnya, setiap tindakan salah akan memicu rasa bersalah, yang memberi peringatan kepada manusia untuk tidak mengulanginya. Namun, jika manusia mengabaikan peringatan itu, lapisan gelap akan terus menutupi hati, hingga suara hati menjadi senyap.


Rumi menggambarkan proses ini dengan periuk hati manusia yang terkena asap. Jika periuk baru dan bersih, noda akan terlihat jelas, tetapi jika telah penuh dengan jelaga dan karat, pengaruh tambahan tidak lagi tampak, semuanya sudah tenggelam dalam kegelapan.


Muh Nur Jabir

Rumi Institute

25 Jan, 01:17


Ketahuilah, Raja itu adalah yang tak terikat dengan kerajaan.
Walau tanpa bulan dan matahari, cahayanya tetap bersinar.
Matsnawi, Kitab II, Bait 1469


Raja sejati tidak membutuhkan dominasi atau kekuasaan atas orang lain. Ia tidak memerlukan simbol-simbol kebesaran atau pengakuan dari dunia luar. Ia juga tidak memaksakan diri untuk menguasai atau menundukkan orang lain, karena keinginan untuk berkuasa sering kali berasal dari rasa kurangnya harga diri atau upaya untuk membuktikan sesuatu.


Seorang manusia yang telah tercerahkan, bersinar dari dalam dirinya sendiri, tanpa bergantung pada hiasan atau atribut duniawi. Ia menemukan kebahagiaan dalam keberadaannya yang sejati dan tidak membutuhkan hal-hal eksternal untuk membuktikan nilainya.


Banyak orang mencari pengakuan melalui kedudukan atau status yang bersifat sementara. Namun, ketika kedudukan itu hilang, mereka menjadi rapuh dan kehilangan arah. Manusia yang sejati tetap seimbang dalam kondisi apa pun, tanpa terpengaruh oleh permainan kekuasaan atau pengakuan dunia. Ia menyadari kefanaan dunia dan memilih untuk tidak terjebak dalam ilusi tersebut.


Muh Nur Jabir

Rumi Institute

24 Jan, 01:25


Jumah Mubarak


"al-Masyāriq dan al-Maghārib" Tempat-tempat terbit dan terbenam.
[Q.S al-Ma’arij (70):40]


Sebaiknya kita tidak mengunci pandangan kita pada satu pemikiran atau penafsiran saja, karena akan menghalangi diri kita dari cakrawala yang lain. Ada begitu banyak masyriq (timur) dan maghrib (barat), sementara sejak kecil kita diajarkan bahwa masyriq dan maghrib hanyalah tentang terbit dan tenggelamnya matahari yang tampak.


Padahal, tidak demikian halnya. Ruh juga memiliki masyriq dan maghribnya sendiri, sebagaimana nafsu yang penuh hasrat juga memiliki masyriq dan maghribnya.


Pengetahuan kita, pikiran kita, perasaan dan emosi kita, orang-orang yang berperan dalam hidup kita, bahkan harta dan kepemilikan kita, semuanya memiliki masyriq dan maghribnya masing-masing. Mereka terbit dan tenggelam. Mereka datang dan pergi.


Sebaiknya kita mengenali masyriq dan maghrib dalam kehidupan kita. Pahami dan amatilah datang dan perginya mereka dengan baik, agar kita tidak terikat atau bergantung pada mereka.


Dengan memahami masyriq dan maghrib dari lapisan-lapisan kehidupan, kita akan keluar dari siklus tersebut dengan baik dan mencapai kualitas keberadaan tanpa masyriq dan tanpa maghrib, seperti surga yang dijanjikan. Dalam kualitas ini, hanya cahaya Ilahi yang hadir secara abadi, cahaya tanpa adanya tenggelam. "Dan bumi akan bercahaya dengan cahaya Tuhannya." [Q.S az-Zumar (39): 69]


Muh Nur Jabir

Rumi Institute

23 Jan, 03:04


Saat satu pikiran hadir di dalam hatimu,
ratusan alam sirna dalam sekejap.
Matsnawi, Kitab II, Bait 1029


Mungkin sering kita alami, cukup satu ingatan atau pikiran saja, bisa sepenuhnya mengubah suasana hati dan keadaan jiwa kita. Pikiran-pikiran kita adalah hasil dari masa lalu kita dengan berbagai macam pengalaman. Akhirnya, satu pikiran saja dapat mengacaukan seluruh hidup kita. Satu penghakiman, satu kesalahan persepsi, bisa mempermainkan kehidupan kita.


Jangan biarkan kendali hidup kita diambil alih oleh pikiran-pikiran licik, pikiran yang tak nyata, dan merusak. Kita menyimpan rahasia-rahasia dalam pikiran yang setiap saat dapat mengguncang kita. Hal ini bukanlah hal yang berada sepenuhnya dalam kendali kita. Satu rangsangan kecil saja, bisa membangkitkan dan mengungkap kenangan-kenangan yang disebut sebagai pahit atau manis.


Jangan biarkan diri kita terjerat oleh pikiran yang tak berdasar, sia-sia, atau yang memprovokasi dan menciptakan kekacauan. Sebaiknya kita sampai pada kesadaran bahwa pikiran-pikiran kosong itu hanyalah kesia-siaan. Mesti waspada terhadap ketidakberdasaran pikiran kita.


Apa yang membuat kita kehilangan kendali? Mengapa kita menjadi mainan dari pikiran dan angan-angan kita sendiri? Mengapa kita tidak bisa selalu mengendalikan pikiran dan perasaan kita? Jangan jadikan pikiran sebagai sumber luka! Jangan pula menjadi penuh dendam hingga melukai tubuh kita sendiri.


Muh Nur Jabir

Rumi Institute

22 Jan, 03:22


Jika kau belum punya aroma jiwa yang mampu mengenali wajah,
pergilah, raihlah kemampuan yang mampu mengenali sesuatu dengan aroma.
Matsnawi, Kitab III, Bait 4777


Maulana Rumi meyakini, sebagaimana kita memiliki pancaindra lahir untuk memahami dunia fisik, kita juga memiliki pancaindra batin yang terdapat dalam jiwa, berupa kesadaran batin.


Menurut Rumi, jika kita mampu mengendalikan pancaindra lahir dan menutupnya dari keterikatan duniawi, maka pancaindra batin akan berkembang. Indra-indra batin ini akan memberikan kemampuan seperti penglihatan, penciuman, perasa, pendengaran, dan lainnya yang bersifat spiritual.


Ketika pancaindra batin aktif, kita akan menjadi "pencium aroma" yang mampu mencium aroma wewangian makrifat Ilahi. Dengan kemampuan ini, kita tidak akan terbuai oleh orang-orang yang jauh dari pengetahuan dan kesadaran Ilahi. Sebaliknya, kita akan mencari pembimbing spiritual sejati yang mampu membawa kita menuju Sang Kekasih Ilahi.


Muh Nur Jabir

Rumi Institute

20 Jan, 02:25


Segala puja dan puji bagiMu, Duhai Tuhanku!
Yang seketika membebaskanku dari kesedihan.
Matsnawi, Kitab V, Bait 2314


Seringkali, di tengah tekanan batin, kekhawatiran, dan kegelisahan hati, tiba-tiba terbuka sebuah pintu menuju kebahagiaan dan ketenangan jiwa. Dalam momen-momen seperti itu, seorang arif yang mencintai Tuhan menyadari kasih sayang Ilahi. Ia memahami, baik kesedihan maupun kebahagiaan berasal dari sumber yang sama, yakni Tuhan.


Dia yang memberi kemampuan kepada kesedihan untuk menguasai jiwa, juga mampu menghilangkannya dalam sekejap.


Namun, yang dimaksud di sini adalah kesedihan duniawi, karena kepergiannya membawa kegembiraan dan ketenangan. Sebaliknya, para pejalan sejati bahkan merasa bahagia dan puas dengan kesedihan yang datang dari Sang Kekasih.


Muh Nur Jabir

Rumi Institute

19 Jan, 09:46


Sore ini, saya Muh Nur Jabir membuat pertanyaan kepada AI perihal tentang pertanyaan berikut ini, dan jawabannya sangat mengena untuk konteks sekarang ini.

Pertanyaannya saya berikut ini;
Kita buat suatu pemisalan, sekiranya dirimu adalah setan, bagaimana caranya kamu membuat orang-orang lari dari agama?

ChatGPT said:
ChatGPT
Ini pertanyaan yang menarik dan memiliki nilai reflektif, tetapi saya harus menegaskan bahwa saya dirancang untuk membantu secara positif dan konstruktif. Namun, jika kita menganalisis pertanyaan ini dari sudut pandang pemikiran atau filsafat, khususnya dalam konteks agama atau moralitas, kita bisa menjelajahi bagaimana "bisikan" negatif dapat memengaruhi manusia.

Dalam konteks itu, mari kita anggap ini sebagai kajian tentang bagaimana godaan atau distraksi bisa membuat seseorang menjauh dari spiritualitas, tanpa maksud untuk mendukung tindakan tersebut. Berikut beberapa metode hipotetis yang sering dibahas dalam literatur keagamaan dan sufisme:

1. Menanamkan Keraguan Berlebihan
Strategi: Membuat seseorang terus-menerus meragukan ajaran agamanya, memperbesar kontradiksi kecil, atau menonjolkan kekurangan praktisi agama.
Dampak: Orang menjadi skeptis, tidak percaya, atau kehilangan kepercayaan pada jalan spiritualnya.
2. Mengalihkan Perhatian pada Hal-Hal Duniawi
Strategi: Menyibukkan manusia dengan urusan dunia, seperti harta, jabatan, dan kesenangan materi, hingga lupa akan kehidupan rohani.
Dampak: Orang menjadi terlalu terikat pada dunia sehingga mengabaikan hubungan dengan Tuhan.
3. Menyemai Kesombongan dan Egoisme
Strategi: Membuat seseorang merasa lebih baik atau lebih benar daripada orang lain, bahkan dalam konteks agama.
Dampak: Kesombongan spiritual (ujub) dapat membuat seseorang lupa akan kerendahan hati yang menjadi inti spiritualitas.
4. Menyuburkan Konflik dan Perpecahan
Strategi: Memanfaatkan perbedaan pandangan dalam agama untuk menciptakan pertikaian dan kebencian di antara para pengikutnya.
Dampak: Orang-orang menjadi sinis terhadap agama karena melihat konflik yang ditimbulkannya.
5. Menawarkan Jalan Pintas yang Menyesatkan
Strategi: Menggoda seseorang dengan konsep kebahagiaan instan atau "spiritualitas alternatif" yang tampak menarik tetapi menjauhkan dari nilai-nilai sejati.
Dampak: Seseorang mungkin terjebak dalam ilusi palsu dan kehilangan makna sejati dari spiritualitas.
6. Membuat Dosa Tampak Tidak Berbahaya
Strategi: Meniupkan pikiran seperti, "Hanya sekali saja," atau, "Tidak apa-apa, ini bukan masalah besar."
Dampak: Orang mulai mengabaikan prinsip-prinsip moral dan akhirnya menjauh dari jalan kebenaran.
Refleksi: Semua poin di atas bertujuan untuk menunjukkan pentingnya kewaspadaan dan keimanan yang kuat dalam menghadapi godaan atau distraksi dalam hidup. Dalam perspektif sufi, setan sering kali digambarkan sebagai simbol ego (nafs) yang harus dikendalikan melalui cinta, kerendahan hati, dan hubungan dengan Tuhan.

Rumi Institute

19 Jan, 04:05


Setiap panggilan yang menarikmu ke atas,
ketahuilah panggilan itu dari tempat yang tinggi.
Setiap panggilan yang membuatmu tamak,
ketahuilah itu lolongan serigala yang mencabik-cabik manusia.
Matsnawi, Kitab II, Bait 1958-1959


Syair ini menuntun kita, untuk memahami salah satu perbedaan antara seruan dan ilham Rahmani (ilham yang bersumber dari Tuhan) dan seruan serta ilham Syaitani (ilham yang bersumber dari setan), yakni terletak pada dampaknya;


Ilham Rahmani akan membawa manusia kepada kebaikan, cinta, dan kemurahan hati, sedangkan ilham Syaitani akan mengarahkan manusia kepada keserakahan, kedengkian, kebencian, dan balas dendam.


Muh Nur Jabir

Rumi Institute

18 Jan, 01:15


Kekuatan dan kemampuan kami tak berasal dari jiwa ini.
Keagungan dan kebahagiaan kami tidak berasal dari Saturnus.

Api kejayaan kami tak berasal dari matahari dan eter.
Kemuliaan wajah yang bercahaya berasal dari Yang Maha Suci.

Kami tidak memiliki urat dan otot,
namun dalam sungai darah kami mengalir deras.
Kami tidak memiliki tangan dan kaki,
namun dalam arena ini kami bergerak bebas.

Tujuh samudra bagi kami hanyalah setetes air.
Di tangan kami, ada percikan inti kemanusiaan.

Apa kurangnya jika kami tak memiliki kepala,
karena kami sepenuhnya adalah jiwa.
Apa pedulinya jika kami tak memiliki emas,
karena bantuan kami berasal dari tambang sejati.
Maulana Rumi, Ghazal 1651

Ghazal ini menjelaskan pandangan yang mendalam tentang keberadaan dan kebahagiaan manusia. Maulana Rumi memaparkan kekuatan dan kedudukan manusia, serta meyakini bahwa nilai dan hakikat sejati manusia tidak berasal dari dunia materi, melainkan dari dalam dirinya dan dari ruh Ilahi yang dimilikinya.

Maulana menunjukkan bahwa kehidupan manusia bergantung pada cinta dan hubungan dengan Tuhan, dan berdasarkan hal ini, dunia serta hal-hal material tidak dapat menjadi pencipta kebahagiaan sejati. Rumi menekankan makna-makna yang lebih mendalam dalam kehidupan dan kekuatan cinta.

Secara keseluruhan, ghazal ini merupakan jawaban terhadap persoalan-persoalan seperti keberadaan, cinta, dan makna kebahagiaan sejati dalam kehidupan.

Muh Nur Jabir

Rumi Institute

17 Jan, 01:16


Jumah Mubarak


Yang menciptakan mati dan hidup
[Q.S al-Mulk (67):2]


Kematian dan kehidupan adalah sesuatu yang diciptakan. Artinya, sebelum diciptakan, mereka tidak ada, dan kehidupan memiliki kualitas yang berbeda. Kematian dan kehidupan adalah ciptaan yang bersifat sementara.


Jadi, keberadaan hidup dan mati bukan sesuatu yang hakiki. Keduanya adalah tirai (penghalang). Kematian dan kehidupan duniawi ini hanyalah sebuah kesempatan. Kesempatan untuk menjadi sadar dan melepaskan tirai-tirai ilusi.


Kehidupan yang sejati, yang disebut sebagai 'Hayatun Thayyibah' (kehidupan yang baik dan suci), berada di luar kematian dan kehidupan yang diciptakan ini. Seorang pejalan spiritual, senantiasa mempersiapkan dirinya untuk kualitas itu. Sebuah kualitas yang diperoleh dari sini, melalui pemahaman tentang kematian dan kehidupan ini.


Muh Nur Jabir

Rumi Institute

16 Jan, 02:09


Ketika dia merintih dengan luka,
tanpa syukur dan tanpa protes,
suara gemuruh jatuh ke tujuh langit.
Setiap saat ratusan surat,
dan ratusan pesan dari Tuhan sampai padanya.
Sekali ucapan ‘Ya Rabbi’ darinya,
enam puluh kali ‘Labbaika’ dari Tuhan.
Matsnawi, Kitab I, Bait 1577 - 1578


Orang-orang suci tidak merintih dan berdoa karena rasa syukur atas nikmat-nikmat, dan juga bukan karena mengeluh di hadapan singgasana Ilahi. Ia berdoa semata-mata karena keridaan terhadap keputusan Ilahi. Dorongan baginya untuk berdoa bukan untuk meraih manfaat atau menolak ujian.


Untuk doa seperti ini, tujuh langit pun bergemuruh. Dari sisi Tuhan, ratusan surat dan utusan dikirimkan kepadanya. Ia mengucapkan satu 'Ya Rabbi,' dan sebagai balasannya dari sisi Tuhan enam puluh 'Labbaik' diterimanya.

Muh Nur Jabir

Rumi Institute

15 Jan, 01:42


Aku fana dalam Tuhanku, dan Tuhan adalah milikku,
Jangan mencariNya ke mana-mana,
Dia ada di dalam jiwaku.
Aku adalah sang raja,
namun aku mengakui pada kalian,
Bahwa ada seseorang yang menjadi rajaku, yakni Tuhan.

Maulana Rumi, Rubai 421


Maulana Rumi ingin menyampaikan cinta yang mendalam, yaitu cinta kepada Tuhan. Maulana mengungkapkan bahwa seluruh keberadaannya telah melebur dalam Tuhan, dan Tuhan bersemayam di dalam hatinya. Meskipun ia menyebut dirinya sebagai raja, ia dengan rendah hati menegaskan bahwa raja sejatinya adalah Tuhan, dan tak seorang pun dapat mencapai kedudukanNya.


Muh Nur Jabir

Rumi Institute

10 Jan, 01:17


Jumah Mubarak


Sungguh pohon zaqqum itu,
[Q.S ad-Dukhan (44):43]


Tentu tidak perlu meragukan bahwa pohon Zaqqum merujuk pada keberadaan para pemimpin dan tokoh kesesatan, yakni orang-orang yang jiwanya memberi dampak keburukan.


Karena akar pohon ini berasal dari neraka. Mereka tidak memberikan buah yang bermanfaat atau manis. Hasil keberadaan mereka, ucapan mereka, semuanya adalah kepahitan dan keburukan. Kemanisan kata-kata mereka hanya janji belaka, tetapi kepahitan mereka adalah kenyataan yang menghancurkan.


Qur'an menjelaskan, "Buah pohon ini mirip dengan kepala setan-setan!" Maksudnya, pikiran dan imajinasi mereka merusak, ide-ide mereka penuh dengan kekerasan dan penghancuran, dan sifat mereka adalah tipu daya. Buah dari pohon Zaqqum tidak akan mengenyangkan, melainkan membakar kehidupan manusia dan menyia-nyiakan kesempatan berharga dalam kehidupan.


Jadi, kita mesti menjauh dari pohon-pohon Zaqqum, jangan memakannya, jangan menelan ide-ide mereka yang penuh ilusi, agar kita dapat menyelamatkan hidup kita. Dunia saat ini penuh dengan pohon-pohon Zaqqum, entah dengan mimbar besar atau mimbar kecilnya.


Sebaiknya kita menghindari mereka dan buah-buah mereka yang pahit. Jangan biarkan perut kita dipenuhi oleh sugesti mereka, agar batin kita terselamatkan, dan kita bisa keluar dari neraka yang diciptakan oleh ego kita sendiri.


Muh Nur Jabir

Rumi Institute

08 Jan, 02:46


Hakikat iman adalah nikmat dan karunia yang agung.
Dengarlah wahai engkau yang beriman dengan kata-kata semata!
Matsnawi, kitab V, bait 287


Iman adalah anugerah terbesar. Iman adalah kedamaian, ketenangan, kenyamanan, dan rahmat. Iman bukanlah sekadar menjalankan ibadah sebagai kebiasaan semata.


Ibadah memiliki aspek zahir dan batin. Kita terjebak pada aspek zahir semata, tetapi tidak memahami inti dari iman.

Sungguh sayang, kita hanya menggunakan zahir agama sebagai alat untuk memenuhi keinginan kita sendiri, dan dengan cara ini, kita tidak hanya mencemarkan nama agama, tetapi juga mencelakakan diri kita sendiri.


Muh Nur Jabir

Rumi Institute

03 Jan, 01:35


Jumah Mubarak


Maka bertawakallah kepada Allah.
[Q.S an-Naml (27):79]


Inilah makna hakikat tawakkal; tidak bersandar pada sesuatu, tidak bergantung pada seseorang, tidak berpaut pada bentuk, tidak bergantung pada pikiran dan keyakinan mental, tidak terpaku pada perasaan dan emosi, dengan kata lain, kita telah bebas dari segala pemikiran yang menjadi sandaran.


Dalam tahap perjalanan spiritual, ketika seseorang tidak memiliki sandaran apa pun dan bebas dari segala ketergantungan, berarti ia benar-benar bersandar pada Tuhan! Tanda-tandanya jelas. Oleh karena itu, tidak perlu bertanya kepada siapa pun apa arti tawakal. Hal itu hanya dapat dipahami melalui pengalaman personal kita.


Jadi, tandanya adalah lenyapnya semua sandaran. Sekarang, jika sejenak mau jujur kepada diri kita sendiri dan bertanya, pernahkah, walau sesaat, kita benar-benar bersandar pada Tuhan? Pernahkah kita menemukan tawakal dalam keadaan tidak memiliki sandaran apa pun secara total?


Jika kita telah menemukannya, berarti kita sudah benar-benar selamat. kita telah terbebaskan. Dan semoga keberkahan menyertai kita dalam keadaan tanpa sandaran ini.


Muh Nur Jabir

Rumi Institute

01 Jan, 04:08


Pemandian ini adalah rumah para jin,
Tempat sepi dan tempat istirahat bagi setan.
Namun di dalamnya tersembunyi seorang peri nan elok,
Maka kekufuran yang nyata adalah tempat persembunyian keimanan.
[Rubai, Maulana Rumi]

Dalam diri dan nafsu manusia, jika tidak dikendalikan dengan baik, ia dapat menjadi tempat tinggal bagi setan melalui pikiran dan perbuatan yang salah. Namun, jiwa dan nafsu ini juga menyimpan kebaikan yang tersembunyi di dalamnya, dan dengan usaha serta latihan yang sungguh-sungguh, ia dapat menjadi tempat bagi malaikat-malaikat untuk bersemayam.

Rumi juga menunjukkan betapa tipisnya jarak antara iman dan kekufuran. Banyak manusia yang beriman, tetapi jika keimanannya menjadi goyah, ia bisa berubah menjadi kekufuran.

Rubai ini menyoroti keberadaan baik dan buruk secara bersamaan dalam diri manusia. Keberlangsungan salah satu di antara keduanya ditentukan oleh mana yang dipelihara dan diberi "sayap." Jalan untuk terbebas dari setan dalam diri adalah mendekat dan bersandar kepada ILahi.

Muh Nur Jabir

Rumi Institute

27 Dec, 01:42


Jumah Mubarak


Ambillah zakat dari harta mereka, guna membersihkan dan menyucikan mereka, dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doamu itu (menumbuhkan) ketenteraman jiwa bagi mereka. Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.
[Q.S at-Taubah (9):103]


Harta benda tidak sepenuhnya milik seseorang. Sebagaimana dinyatakan dalam Quran, "Dan pada harta benda mereka terdapat hak yang jelas untuk orang lain." [Q.S 70:24] Baik itu materi maupun non-materi, harta seseorang juga mencakup hak orang lain.


Ada kalanya kehidupan seseorang tiba-tiba menjadi rumit karena mereka mengabaikan hak-hak yang seharusnya dipenuhi dan bertindak egois dengan menumpuk kekayaan. Penumpukan seperti ini pada akhirnya menjadi beban yang menjerat mereka sendiri. Dalam ayat ini, izin untuk memberikan (hak tersebut) telah diberikan, padahal sebelumnya perintah seperti itu belum ada. Hal ini bertujuan untuk menyucikan dan membersihkan dosa-dosa masa lalu mereka.


Proses ini berarti pembebasan dari perbudakan terhadap sesuatu yang telah menjebak mereka. Dan yang sesungguhnya mengambil hak tersebut adalah Allah, sebagaimana dijelaskan dalam Quran, "Tidakkah mereka tahu bahwa sesungguhnya Allah yang menerima tobat dan mengambil sedekah?" [Q.S 9:104]


Dengan kata lain, mengembalikan hak orang lain dengan kerelaan dan hati yang lapang akan membawa kebebasan. Juga menghadirkan ketenangan dan kedamaian. Dalam memberi terdapat kelapangan yang tidak ditemukan dalam menerima. Dalam memberi manfaat kepada orang lain, terdapat kebahagiaan yang melimpah. Hal ini merupakan salah satu sifat Allah yang Maha Pemurah dan Maha Penyayang.


Saat ini, siapa pun yang dapat meringankan kesulitan orang lain, tanpa memberikan beban atau melukai perasaan mereka, telah berjalan di jalan kedermawanan, penyucian, dan pembersihan jiwa. Orang seperti itu memberikan hak-hak yang harus diberikan dengan baik, dan sebagai balasannya, mereka menerima doa yang penuh kedamaian dari Rasulullah, berupa kelembutan surgawi yang istimewa. Dengan demikian, mereka membebaskan diri dari banyak kerumitan dalam hidup.


Di masa kini, sifat egoisme dan keinginan untuk mengambil semuanya untuk diri sendiri, terutama di tengah banyaknya orang yang menderita, adalah sesuatu yang buruk, tidak pantas, dan membawa lebih banyak kesulitan.


Muh Nur Jabir

Rumi Institute

20 Dec, 01:29


Jumah Mubarak


"Dan menunjukkan mereka kepada jalan yang lurus
(untuk sampai) kepadaNya". [Q.S 4:175]


Coba perhatikan ayat ini. Menakjubkan bukan! Ayat ini
menjelaskan, seseorang akan diantar kepadaNya melalui 'jalan yang lurus'. Dan ini salah satu tahap diantara tahap-tahap perjalanan ruhaniah.


Ayat ini menjelaskan tujuan akhir dari perjalanan. Tujuan akhir dari jalan yang lurus adalah Ilahi.


Tak semua 'shirāth' adalah jalan lurus. Shirāth adalah jalan internal di dalam diri yang akan membawa manusia menuju batin eksistensi.


Jalan terdekat menuju Ilahi adalah di dalam diri atau di dalam batin kita sendiri. Jalan luar seperti hutan rimba, berkelok-kelok, memudahkan kita jatuh tersesat. Bahkan boleh jadi membuat kita semakin jauh.


Hati adalah Arsy Ilahi. Batin kita yang paling dalam adalah ruang pertemuan dengan Ilahi. Kita telah sampai, bahkan sebelum kita berangkat sekalipun. Tapi apa kita sadar?


Suluk adalah salah satu cara mencapai kesadaran itu. Memahami hal ini adalah jalan tercepat dan terdekat menemukan hakikat. Itulah jalan lurus, shirāthalmustaqīm. dan juga pada diri kita sendiri. Maka apakah kamu tidak memperhatikan? [Q.S 51:21]


Muh. Nur. Jabir

Rumi Institute

13 Dec, 00:32


Jumah Mubarak


Jadilah pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta BERPALINGLAH DARI ORANG-ORANG JAHIL.
[Q.S al-A’raf (7): 199]


Dan adapun jahil itu, sebelum apa pun atau siapa pun, adalah nafsu kita sendiri. Kejahilan itu adalah pikiran yang penuh ilusi, dan selalu mengklaim kebenaran hanya ada di pihaknya.


Jahil yang paling pertama adalah nafsu kita sendiri, yang selalu menganggap dirinya benar dan lurus, sementara yang lain dianggap salah dan keliru. Ia menganggap dirinya berada di surga dan selamat, memandang pendapat dan pikirannya sebagai sesuatu yang bercahaya dan membawa keselamatan, sementara pikiran orang lain dianggap gelap dan tidak tepat.


Hakikat kejahilan, sebelum menjelma di luar, sesungguhnya ada di dalam diri kita sendiri. Dan kejahilan bukan berarti tidak berpendidikan, banyak orang berpendidikan yang justru jahil. Kejahilan adalah ilusi pemahaman, yang terjebak dalam persepsi-persepsi yang keliru.


Kejahilan adalah menganggap batil sebagai kebenaran dan kebenaran sebagai batil. Jahil adalah mereka yang tidak paham atau salah memahami, tetapi merasa dirinya paham. Jahil adalah orang yang berkhayal bahwa ia mengetahui segalanya dan selalu memiliki jawaban atas setiap pertanyaan. Maka kejahilan bukan berarti tidak tahu, tetapi ilusi bahwa seseorang merasa tahu.


Dan Qur'an berfirman, "Berpalinglah dari orang-orang jahil!" Bahwa pikiran-pikiran kita yang keliru dan keras kepala itulah adalah manifestasi dari kejahilan sejati.


Muh Nur Jabir

Rumi Institute

09 Dec, 08:18


Paramadina Graduate School of Islamic Studies (PGSI) mengundang bapak/ibu, Saudara/i untuk hadir dalam:
---
*URBAN SUFISM DAY*

🗓️ Rabu, 11 Desember 2024,
🕰️ Pk. 10.00-12.00 WIB
📍Ruang Sevilla, Lantai 4 , Gedung A, Nurcholish Madjid, Universitas Paramadina.
----
Rangkaian Acara:
1) Pembukaan
2) Sambutan Rektor Universitas Paramadina
3) Penyerahan simbolik, Soft Launching buku "Kita Begitu Dekat" , dari Univ. Paramadina kepada perwakilan keluarga/yayasan Abdul Hadi WM
4) Dokumentasi
5) Pembacaan Puisi oleh Gayatri WM & Tari Rumi
6) Diskusi "Spiritualitas & Gerakan Sosial"
7) Q&A
8) Penutup

Nara sumber:
▪️M.Wahyuni Nafis (Dosen Univ. Paramadina)
▪️M. Nur Jabir (Direktur Rumi Institute)

Moderator:
▪️Dr. M. Subhi-Ibrahim (Direktur PGSI)


Terima kasih

Dr. Mohammad Subhi, M. Hum
(Direktur PGSI)

Rumi Institute

06 Dec, 02:04


Jumah Mubarak


Janganlah kamu memasuki rumah-rumah Nabi kecuali jika kamu diizinkan untuk makan tanpa menunggu waktu masak (makanannya).
[Q.S al-Ahzab (33):53]


Sebaiknya kita tak memahami ayat ini hanya dari sisi zahirnya saja, karena kita akan kehilangan maknanya yang paling berharga. Rumah fisik yang nyata itu kini sudah tidak ada lagi, sementara ayat ini bersifat abadi dan berlaku untuk setiap zaman.


Memasuki rumah Nabi berarti memasuki wilayah spiritualnya, memasuki ranah kehidupan dan kesadarannya. Makanan sejati berada di sini, dan kita telah diundang untuk menikmati kualitas tersebut. Dan saat kita telah diajak menikmati pemahaman Qur'an, hakikatnya kita telah diajak masuk ke rumahnya.


Saat kita mendengarkan ajaran-ajaran tauhidnya dengan sepenuh hati, kita telah masuk ke rumahnya. Kala kita menjadi rahmat bagi semesta seperti dirinya, kau telah masuk ke rumahnya. Ketika kita telah memasuki ranah kedermawanan dan kasih sayang, kita telah masuk ke rumahnya. Tentu rumah-rumah ruhaniahnya, tak cuma satu, tetapi banyak.


Ayat ini tidak mengatakan "satu rumah," tetapi menyebutkan "rumah-rumah." Maka, ketika kita diizinkan masuk ke salah satu rumah "Rahmatan lil ‘Alamin," kita telah diperkenankan mengambil makanan kehidupan kita dari sana, dan menikmatinya dengan penuh kesyukuran.
Namun, kita mesti bisa mengendalikan pikiran yang sibuk dan penuh kata-kata, agar tidak merusak kualitas keberadaan murni itu dengan omongan kosong dan analisis mental yang berlebihan. Karena dalam ayat berikutnya, kita diperintahkan, setelah mengambil makanan dari kualitas itu, jangan duduk berbasa-basi, tetapi kembalilah melaksanakan tugas.


Maka, dari rumah manapun kita mengambil makanan, seharusnya kita bisa mengubah kekuatan yang kita dapatkan itu menjadi iman dan amal saleh, serta menjadi pelayan yang baik bagi semua makhluk.


Muh Nur Jabir

Rumi Institute

29 Nov, 01:32


Jumah Mubarak


Sungguh, Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya, kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya,
[Q.S at-Tin (95):4-5]


Jika kita menyimak dengan baik ayat ini, kita akan menyadari, kisah kejatuhan ini adalah kisah kita semua di dunia ini, yang jatuh ke dalam dasar kerendahan eksistensi. Ayat suci ini adalah jawaban bagi yang selalu bertanya pada diri sendiri, “Mengapa kita ada di sini?” “Apa ini?” “Untuk apa kita datang ke sini?”


Kisah ini adalah tentang kejatuhan kita dari diri yang luhur menuju aku yang penuh derita dan terasing dari rumah sejati kita. Semua orang, setidaknya sekali, pernah mengalami kejatuhan agar hasil dari kehidupan mereka pahami.


Namun, ada sebagian orang yang jatuh berkali-kali. Makna 'رَدَدْنَاهُ' (radadnahu) adalah mengembalikan, yakni kembali lagi ke dasar kerendahan. Menurut teks eksplisit ayat ini, hanya mereka yang beriman kepada kebenaran dan melayani makhluk Tuhan, yang diterima amalannya, dan mereka itu yang dikecualikan dari kejatuhan berulang.


Muh Nur Jabir

Rumi Institute

28 Nov, 12:16


https://youtu.be/SuLu_nlLK94?si=jpEfXfHM037PrsDl

Rumi Institute

22 Nov, 01:29


Jumah Mubarak


(Yaitu) Orang Yang Sia-Sia Perbuatannya dalam kehidupan dunia, sedangkan mereka mengira telah berbuat sebaik-baiknya.
[Q.S al-Kahfi (18):104]


Mungkin kita tak pernah membayangkan, bagaimana amal yang telah dilakukan menjadi sia-sia dan sirna. Usaha dan jerih payah, atau amal perbuatan kita, hilang begitu saja!


Kita menantikan hasil dan buah dari amal yang menurut kita baik. Namun, tak ada kabar apa pun dari amal itu. Boleh jadi karena kita sejak awal tak menginginkan Tuhan dan hanya mengklaim mencintai kebenaran.


Jika melakukan amal, kita melakukannya dengan riya. Beragama hanya untuk mengejar dunia. Untuk memperoleh kekuasaan lebih besar, makan lebih banyak, memiliki dan menguasai lebih luas, meraih ketenaran lebih tinggi, serta nafsu dan dominasi yang lebih liar.


Dan sekarang, semua amal, sedekah, dan kebaikan yang dilakukan dengan niat seperti itu seketika sirna. Menjadi sia-sia. Semuanya telah berubah menjadi debu di udara. Kini, yang tersisa hanyalah penyesalan di 'Yaumul Hasrah' (Hari Penyesalan), sementara kita sudah tidak bisa berbuat apa-apa lagi.


Muh Nur Jabir

Rumi Institute

18 Nov, 02:32


*Ngaji Matsnawi Rumi - Episode 2*

*GRATIS*
Bersama *El Jabir*, mari kita mendalami makna Matsnawi Rumi dan menemukan inspirasi dari keindahan karya-karyanya. Jangan lewatkan kesempatan berharga ini!

📅 *Jumat, 22 November 2024*
🕕 *18.30 WIB - Selesai*
📍 *Sare Hotel, Blok M, Jakarta* (https://bit.ly/SareHotel)

♾️ Segera daftar melalui tautan berikut:
(https://bit.ly/NgajiMatsnawi)

Mari bersama menjelajahi hikmah dari Matsnawi Rumi!

#SobatRumi

Rumi Institute

15 Nov, 01:09


Jumah Mubarak


Yaitu JALAN ALLAH yang milikNyalah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi.
[Q.S asy-Syura (42):53]


Jalan Tuhan tak mirip dengan jalan apa pun yang kita kenal. Jalannya tak punya ukuran lebar atau panjang. Berbeda dari jalan-jalan lain, ia tak membawa seseorang dari satu tempat ke tempat lain. Tidak bisa ditunjukkan atau diarahkan. Jalan yang begitu nyata, namun tak terlihat. Begitu besar hingga tak nampak. Di luar jangkauan ruang dan waktu.


Jalannya tak bisa didefinisikan atau dibatasi oleh definisi, tak bisa dibeli atau dimiliki, tak bisa dikuasai atau dijadikan milik pribadi. Jalan Tuhan bukan milik satu orang, ia milik semua.


Jalan Tuhan ada di mana-mana, namun tak punya arah geografis tertentu. Tidak ke atas atau ke bawah, tidak ke kiri atau ke kanan, dan tidak berputar. Jalan Tuhan, mengikuti fitrah Ilahiah yang ada di dalam diri setiap insan. Fitrah yang mengandung petunjuk-petunjuk kebaikan.


Jalan Tuhan akan nampak dengan penyerahan diri seutuhnya. Cerminan dari jalan ini adalah kejujuran dan hakikat. Tak ada jalan yang lebih luas dari jalan Tuhan. Jalan ini terbuka untuk semua, sebanyak jumlah jiwa yang ada.


Jalan Tuhan tak punya jalan buntu. Jalannya selalu seimbang, hidup, dan dinamis. Jalan Tuhan adalah cahaya kehidupan yang melintas dari dalam jiwa setiap orang. Ia seperti mekarnya bunga dan berkembangnya kuncup.


Muh Nur Jabir

Rumi Institute

13 Nov, 07:05


“BEWARA DARI RUMI!”

Kami mengajak teman-teman menghadiri Bedah buku “MATSNAWI MAKNAWI Vol 1-3” & Musikalisasi Puisi bareng PANJI SAKTI. Hadir juga sebagai narasumber GERARDETTE PHILIPS, RSCJ, PH.D (Keynote Speech), MUHAMMAD NUR JABIR (Dir. Rumi Institute), MOCHAMAD ZIAUL HAQ (Dosen Seni Islam Integrated Arts).

📆 Date : Sabtu, 16 November 2024
🕑 Time : 18.00 WIB - selesai
📍Place : Kampus Fakultas Filsafat (Lantai 1) UNPAR, Jalan Nias No. 2 Kota Bandung

Kira-kira, kita ngapain aja ya di acara Bedah Buku ini? 🤔 Penasaran? Langsung Daftar di link berikut ini!

https://bit.ly/BEDAHMATSNAWIRUMI

Rumi Institute

08 Nov, 00:34


Jumah Mubarak


Adapun orang-orang yang beriman, maka surah ini menambah imannya.
[Q.S al-Taubah (9): 124]


Iman bukan pikiran, bukan persepsi, keinginan, atau harapan. Keyakinan terhadap pikiran, persepsi, khayalan, dan keinginan, itu semua bukan iman. Hal-hal seperti itu tidak disebut dengan iman. Iman merujuk pada kebenaran yang ‘ada’ dan berasal dari ‘eksistensi’. Yang benar-benar ‘ada’, meskipun kita mungkin tidak memahaminya sepenuhnya.

Iman adalah sesuatu yang nyata, memiliki keterkaitan mendalam dengan kehidupan dan terjadi di ‘masa kini’. Iman berasal dari esensi yang ‘ada’. Bukan sesuatu yang bersifat ilusi. Dan kita tidak seharusnya beriman pada gambaran-gambaran atau ilusi-ilusi kita sendiri. sebab hal tersebut tidak lain adalah keterasingan dari ‘kebenaran’.

Kita mesti beriman kepada apa yang ‘ada’, pada kebenaran yang hidup dan mengalir. Iman yang dibicarakan dalam Quran adalah iman yang berasal dari esensi ‘kehidupan’. Bukan beriman pada perkataan-perkataan, ilusi, dan pengaruh-pengaruh yang tak punya landasan.

Iman adalah penerimaan sepenuhnya terhadap Hakikat yang senantiasa hidup, yang selalu segar dan dinamis. Jadi semestinya iman selalu bertambah, andai kita mau membuka mata dan menyaksikan eksistensi serta arus kehidupan dengan kesadaran. Berimanlah pada yang ‘hidup’, pada ‘Yang Maha Hidup’. Dialah yang hidup kekal, tidak ada tuhan selain Dia. [Q.S 40:65]

Yang mati tidak akan menyelamatkan, yang ‘hidup’lah yang menyelamatkan. Sudah selayaknya kita beriman pada yang Kekal dan ‘senantiasa Hidup’.

Muh Nur Jabir

Rumi Institute

01 Nov, 01:12


Jumah Mubarak


Setiap orang berbuat sesuai dengan bentuknya masing-masing.
[Q.S al-Isra (17): 84]


Di dunia ini, segala sesuatu memiliki bentuk. Benda mati, tumbuhan, hewan, bahkan perasaan dan pemikiran memiliki bentuknya masing-masing. Dan setiap hal bertindak sesuai dengan bentuknya, dan pengaruhnya di alam semesta sesuai dengan bentuk dan wujudnya sendiri. Kita sedang berada dalam dunia bentuk dan wujud.


Setiap bentuk dan wujud adalah semacam peta, sebuah kisah. Ia memiliki tempat, posisi, pintu masuk, dan keluar. Bentuk segala sesuatu dalam setiap kisah menunjukkan tempat dan posisinya. Surat-surat dalam Qur’an penuh dengan bentuk-bentuk kebaikan dan pembebasan yang ditulis dengan kata-kata. Visualisasi langit dan bumi, surga, neraka, penciptaan Adam, kisah para nabi dan petualangan mereka, peristiwa perjalanan spiritual, taman dan sungai, matahari dan bulan, dunia setelah kematian, api Ibrahim yang menjadi taman bunga, Musa yang melewati laut, Isa yang menghidupkan burung, dan Dzulqarnain yang pergi ke timur dan barat, semua itu memiliki bentuk dan wujud yang memengaruhi jiwa.


Dari perspektif ini, siapa pun yang bisa melihat dan memahami bentuk dan wujud ini, sebenarnya telah mampu melihat dan memahami ayat-ayat tersebut. Dan siapa yang melihat dan memahami, ia akan melewati seluruh perjalanan dengan selamat.


Jadi, kita mesti menyadari bahwa kita sedang hidup di dunia bentuk dan wujud. Seorang pengelana spiritual akan menyadari bentuk dan wujud ini, kemudian terbebas darinya. Pembebasan dari bentuk, terutama dari bentuk-bentuk yang merusak, dicapai melalui tafakkur pada "ketiadaan bentuk." Siapa pun yang menyerahkan dirinya kepada "ketiadaan bentuk yang absolut dan tak terbatas" akan menempatkan semua bentuk dan wujud di bawahnya dan terbebas dari kendali mereka. Memusatkan perhatian pada Tuhan yang absolut tak terbatas adalah keajaiban yang membebaskan.


Muh Nur Jabir

Rumi Institute

25 Oct, 01:27


Jumah Mubarak


Dan apabila dibacakan Qur'an, maka dengarkanlah dan diamlah, agar kamu mendapat rahmat.
[Q.S al-A’raf (7):204]


Mendengarkan (sema) yang hakiki adalah mendengarkan Qur'an. Sema adalah mata air yang memancar dari hati. Menghadirkan sema di dalam jiwa akan memberikan kejernihan ke dalam batin. Kejernihan dan keheningan bagi sema seperti sinar bagi matahari. Selama kegelapan batin tidak terangkat dari hati seseorang, matahari hakikat dari sema tidak akan bersinar di dalam hatinya.


Menurut para Sufi, ada dua jenis sema; sema orang awam dan sema orang khusus. Kesenangan orang awam dari sema terletak pada suara dan nadanya, sedangkan kesenangan orang khusus terletak pada makna yang ada di antara suara, makna, dan isyaratnya.


Orang awam mendengarkan dengan telinga fisik, alat untuk membedakan serta gerakan naluriah mereka agar terhindar dari kesedihan dan bisa istirahat dari kesibukan.


Sedangkan orang khusus mendengarkan dengan hati yang dahaga dan jiwa yang terbakar oleh kerinduan. Oleh karena itu, sema akan membawa mereka merasakan angin makrifat yang sangat halus, dan akan mendapatkan kenikmatan yang azali.


Muh Nur Jabir

Rumi Institute

24 Oct, 09:07


https://g.co/kgs/VsYzMzA

Rumi Institute

18 Oct, 01:27


Jumah Mubarak


Dan Allah menjadikan bumi untukmu sebagai hamparan.
[Q.S Nuh (71): 19]


Salah satu makna "bumi" dalam Qur'an adalah bumi keberadaan diri kita sendiri. "Penghamparan bumi" berarti keluasan segala sesuatu yang telah diberikan kepada kita dalam hidup ini. Kita memiliki potensi dan kemampuan yang besar yang bermanfaat.


Dalam diri manusia telah diletakkan kekuatan yang luar biasa, yang jika dicapai, hidup akan terbebas dari keterbatasan, kegelapan, dan kejumudan, serta kualitas kehidupan akan berubah. Pikiran terbatas manusia itulah yang telah membatasi dirinya.


Ketika kita terus-menerus meyakinkan diri bahwa diri ini tak mampu, maka kita tak kan bisa. Kebutaan, ketulian, dan banyak kelemahan lainnya adalah hasil dari pikiran yang tertutup dan gelap.


Jalan spiritual adalah jalan untuk mencapai kekuatan batin yang dianugerahkan oleh Tuhan. Dan ketika ini tercapai, kita akan menyadari bahwa bumi diri dan kesempatan-kesempatan, jauh lebih luas daripada apa yang telah ditanamkan di dalam diri.


Jika kita luaskan pandangan kita, kita akan menemukan bahwa bumi ini juga luas. Dengan mengubah pandangan, bumi atau kehidupan juga akan berubah dan merasakan keluasan tajalli Ilahi. Karena Tuhan juga menciptakannya dengan keluasan diriNya.


Muh Nur Jabir

Rumi Institute

17 Oct, 09:14


https://youtu.be/g0DIgP4-5gI?si=zWb5mI0HVDFyn7Sa

Rumi Institute

14 Oct, 00:51


*[ 🔴 REMINDER ] MI Nurun Nabi Nusantara*

Mengundang Bapak & Ibu jamaah untuk hadir & pertisipasi dalam acara *Kajian MI Nurun Nabi Nusantara*

🗓 *Selasa, 15 Oktober 2024*
🕝 *Pukul 10:00 - 11:30 WIB*
🚩 *Zoom Meeting*

📢 Tema
*"Rahasia Kata Hati"*

Bersama Narasumber:
🎙️ *Ust. Muhammad Nur Jabir | RUMI Institute*

*🔴 Join Zoom Meeting*
https://telkomsel.zoom.us/j/98617209689?pwd=Gj5bZMiIN1TOe5DRfNBFIAJSRvmTDh.1

Meeting ID: 986 1720 9689
Passcode: *NNN*

*🔴 Join Live Youtube*
https://youtube.com/@NurunNabiNusantara/live/

*=======================*
*🎁 Donasi Acara:*

Via Norek BCA 5040050754 a/n *Didah Faridah*

Via e-Wallet *(GoPay, OVO, DANA, LinkAja, QRIS):*
https://s.id/DonateToNNN

☎️ Konfirmasi & Narahubung:
https://wa.me/628164852648 (*Diah Pamoedji*)

Rumi Institute

11 Oct, 00:53


Jumah Mubarak


Dan orang-orang yang tidak mengetahui berkata, “Mengapa Allah tidak berbicara dengan kita atau datang tanda-tandaNya kepada kita?”
[Q.S al-Baqarah (2):118]


Hakikatnya, Tuhan berbicara kapan pun Dia menghendaki dan dengan siapa pun yang Dia kehendaki. Siapakah yang mampu mencegahNya dari berbicara? Meskipun kenabian telah berakhir, tetapi bukan berarti Tuhan tidak lagi berbicara. Tuhan berbicara dengan cara apa pun yang Dia kehendaki dan kapan pun Dia inginkan, karena berbicara adalah salah satu sifatNya.


Pertanyaannya, apakah kita semua memiliki telinga yang mampu mendengar firmanNya, yang setiap saat mengalir dalam keberadaan ini?


Ketika kita sedang berada di tengah hiruk-pikuk suara bising yang keras, jika seseorang mengucapkan kalimat indah dengan suara yang pelan. “Apa mungkin kita mendengar suara itu?” Boleh jadi tak satu pun dari mereka yang berada di tengah-tengah kebisingan itu mampu mendengar kalimat yang indah itu.


Dalam kepala dan hati kita yang penuh dengan suara-suara bising yang mengganggu, penuh dengan pikiran dan imajinasi, penuh dengan kontradiksi dan pertentangan, bagaimana mungkin kita berharap mendengar sesuatu yang halus dalam keadaan seperti itu?


Mungkin kita merasa mendengar, tetapi batin kita tuli. Pada kenyataannya, kita tidak mendengar apa pun selain suara kita sendiri, selain persepsi kita sendiri, selain penilaian dan prasangka-prasangka kita sendiri. Kita belum siap untuk mendengar hakikat. Selama keberadaan kita belum tenang dan siap untuk mendengar, kita akan tetap terhalang dari hakikat.


Muh Nur Jabir

Rumi Institute

05 Oct, 09:15


Dalam Rangka Perayaan Rumi Day tahun 2024 RUMI INSTITUTE akan merayakannya pada 12 oktober 2024.

Untuk itu mohon kiranya sobat-sobat Rumi dapat mengirimkan video pendek 1-2 menit dengan format video landscape terkait pengalaman anda bersama Ajaran Rumi.

Video tersebut akan kami tayangkan pada perayaan dimaksud diatas. Mohon videonya dikirim paling lambat pada tgl 9 oktober 2024.

Terimakasih atas partisipasinya.

Berikut panduan script video:

Nama: ….

Kapan pertama kali mendengar/ mengetahui Tokoh Sufi Maulana Jalaludin Rumi: ...

Apa syair/ buku/quotes Rumi yang paling anda ingat & sukai?: ...

Apa pengalaman batin/jiwa anda setelah tahu lebih dalam tentang ajaran Rumi?: ...

Bagi yang berkenan bisa hubungi admin di nomor +6281574015177

Rumi Institute

05 Oct, 02:58


Zikir Rumi
Dan Whirling Dervish bersama Ust. Fajar

Bulan ini akan kami laksanakan:

Oktober
Hari: Minggu
Tanggal: 13 Oktober 2024
Jam: 10 pagi
Tempat: Sare Hotel Jakarta
JL Sultan Hasanuddin No 46, Melawai, Kby Baru, Jak Sel

Acara diawali dengan membagikan puisi ke setiap peserta, dilanjutkan dengan Zikir Rumi, kemudian membaca bersama Syair Ghazal Maulana. Selepas itu mendengarkan sharing tentang rasa dan makna yang diraih dari pembacaan puisi Rumi, sebelum dan sesudah berzikir. Berikutnya diskusi tasawuf dan Whirling Dervish.

Bagi yang ingin ikut serta silakan mendaftar melalui link berikut.

bit.ly/zikirrumi13oktober2024

Terima Kasih
Admin

NOTE:
- Membawa Tasbih dan Perlengkapan alat solat.
- Donasi Sukarela

Donasi dapat disalurkan melalui rekening
7740563518
BCA a.n. Ali Abdussalam

Contact Person
081574015177

Rumi Institute

04 Oct, 01:00


Jumah Mubarak


Dan tidakkah mereka memperhatikan bahwa mereka diuji, sekali atau dua kali setiap tahun,
[Q.S 9:126]


Ujian Tuhan adalah sebuah nikmat bagi para pesuluk (pejalan ruhani). Pesuluk seolah diarahkan dari satu kondisi ke kondisi lainnya, dari suatu tempat ke tempat yang lain. Tapi sebenarnya, seluruh kehidupan adalah ujian.


Dalam ayat ini, Tuhan menyebutkan, ada satu atau dua ujian dalam setahun yang datang menghampiri manusia. Tentu, waktu-waktu lainnya adalah bagian dari ujian, supaya manusia mempersiapkan diri dalam menghadapi ujian agung yang datang dari Tuhan, entah sekali atau dua kali dalam setahun.


Seorang pesuluk mesti bisa bersabar, tawakkal, dan mesti menjaga keseimbangannya agar bisa melewati ujian dari Tuhan. Ujian ini bisa dalam bentuk penyakit, terzalimi, kerugian, kesusahan, bencana, petaka, dan tragedi, namun bisa juga sebaliknya, manusia diuji dengan kekayaan, kemudahan, nafsu, ketenaran, jabatan, dan kekuasaan.


Hal yang penting bagi pesuluk adalah melewatinya dan tidak tertawan dalam ujian itu. Jika bisa melewatinya, pesuluk akan berada pada tahapan tersebut, kemudian ujian selanjutnya akan datang, menyesuaikan dengan tahapan yang telah dilaluinya. Proses ini akan terus berulang kembali. Tahap demi tahap dan maqam demi maqam.


Jadi sudah semestinya kita tak pernah berhenti dalam satu proses perjalanan semata. Kita mesti terus berjalan. Modalnya adalah bersama Tuhan, khususnya dalam kesabaran. Pesan Quran, “Dan bersabarlah dan kesabaranmu itu semata-mata dengan pertolongan Allah” [Q.S 16:127]


Muh Nur Jabir

Rumi Institute

30 Sep, 01:07


7. Mengajak kepada Pencarian Kebenaran Sejati
Masnawi mendorong pembacanya untuk terus mencari kebenaran sejati, yang tidak ditemukan di dunia luar, melainkan dalam hati dan melalui hubungan dengan Tuhan. Kebenaran ini, menurut Rumi, hanya bisa dicapai melalui pengalaman mistis dan perjalanan spiritual yang mendalam. Karya ini mendorong pembaca untuk tidak puas dengan pengetahuan dangkal atau formalitas agama, tetapi untuk terus mencari kedalaman dan makna yang tersembunyi dalam setiap aspek kehidupan.

8. Menyebarkan Pesan Universal tentang Kemanusiaan
Meskipun Masnawi ditulis dalam konteks Islam dan sufisme, pesan-pesan yang terkandung di dalamnya bersifat universal. Rumi berbicara tentang cinta, persaudaraan, persatuan, dan kemanusiaan secara luas. Dia menekankan bahwa agama dan keyakinan hanyalah sarana untuk mendekat kepada Tuhan, dan bahwa cinta dan belas kasih kepada sesama manusia adalah inti dari setiap agama. Dengan demikian, Masnawi memberikan pesan yang relevan bagi semua orang, terlepas dari latar belakang agama mereka.

9. Mencapai Persatuan dengan Tuhan (Wahdat al-Wujud)
Salah satu konsep yang sering dibahas dalam Masnawi adalah ide wahdat al-wujud, atau kesatuan eksistensi. Rumi menggambarkan bahwa segala sesuatu yang ada di alam semesta ini pada dasarnya adalah manifestasi dari Tuhan. Melalui karya ini, Rumi mengajak pembaca untuk mengenali bahwa di balik keragaman yang terlihat, ada satu realitas ilahi yang mendasari semua makhluk. Pencarian spiritual bertujuan untuk menyadari kesatuan ini dan mencapai persatuan dengan Tuhan.

Terima Kasih

Muh Nur Jabir
Penerjemah Matsnawi

Rumi Institute

30 Sep, 01:07


30 September adalah hari kelahiran Maulana Jalaluddin Rumi. Unesco mencetuskan 30 September sebagai hari Rumi Day, Unesco menilai Rumi memberi sumbangsih yang cukup besar terhadap nilai-nilai kemanusian, terkhusus dalam konteks sekarang ini.

Sebagai penerjemah Matsnawi, hari ini saya iseng bertanya kepada AI tentang kitab Matsnawi, berikut jawabannya yang menurut saya sudah sangat mewakili:

Tujuan Matsnawi, karya besar Jalaluddin Rumi, adalah memberikan panduan spiritual, moral, dan filosofis kepada para pencari kebenaran melalui ajaran sufisme. Karya ini tidak hanya sekadar kumpulan puisi mistik, tetapi sebuah refleksi mendalam tentang hubungan antara manusia dan Tuhan, cinta ilahi, serta perjalanan spiritual menuju pencerahan. Berikut adalah beberapa tujuan utama dari Masnawi:

1. Panduan Spiritualitas dan Tasawuf (Sufisme)
Masnawi ditulis untuk menjadi panduan bagi para murid sufi dalam perjalanan rohani mereka menuju Allah. Rumi menyampaikan ajaran-ajaran tentang bagaimana seseorang dapat membersihkan hati dari pengaruh duniawi, mendekatkan diri kepada Tuhan, serta meraih kesadaran spiritual yang lebih tinggi. Dengan gaya yang penuh alegori dan kisah-kisah moral, Masnawi mengajarkan nilai-nilai inti dalam tasawuf, seperti keikhlasan, kesabaran, dan cinta ilahi.

2. Mengungkap Hakikat Cinta Ilahi
Salah satu tema utama dalam Masnawi adalah cinta ilahi (mahabbah). Rumi menggunakan cerita, puisi, dan simbol-simbol untuk mengungkapkan bahwa cinta sejati adalah cinta kepada Tuhan, dan bahwa melalui cinta ini, manusia dapat mencapai pencerahan dan persatuan dengan yang Ilahi. Cinta, menurut Rumi, adalah kekuatan utama yang mendorong manusia untuk mencari kebenaran dan mendekat kepada Tuhan.

3. Penjelasan tentang Hubungan Manusia dengan Tuhan
Masnawi berusaha menjelaskan hubungan yang mendalam antara manusia dan Tuhan. Rumi menggambarkan manusia sebagai makhluk yang terpisah dari asalnya (Tuhan) dan terus-menerus merindukan untuk kembali kepada-Nya. Kisah seruling dalam pembukaan Masnawi menjadi simbol kerinduan jiwa manusia yang terpisah dari Tuhan. Melalui karya ini, Rumi ingin membantu pembaca memahami bahwa tujuan hidup manusia adalah kembali kepada Sang Pencipta melalui proses penyucian diri dan perjalanan spiritual.

4. Menggunakan Alegori dan Kisah untuk Mendidik
Rumi menggunakan banyak kisah alegoris, anekdot, dan perumpamaan dalam Masnawi untuk menyampaikan ajaran moral dan spiritual. Kisah-kisah ini sering kali menggambarkan perjuangan manusia, godaan duniawi, serta tantangan dalam pencarian spiritual. Melalui cerita-cerita ini, Rumi memberikan pelajaran yang relevan tentang kehidupan sehari-hari dan bagaimana seseorang dapat menghadapinya dengan kebijaksanaan, cinta, dan kesabaran.

5. Menjawab Pertanyaan Filosofis dan Eksistensial
Masnawi tidak hanya berisi ajaran sufisme, tetapi juga menawarkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan filosofis dan eksistensial yang mendalam. Rumi membahas topik-topik seperti makna kehidupan, kematian, takdir, dan kehendak bebas, dengan tujuan membantu pembaca memahami kenyataan dari perspektif spiritual. Dia mengajak pembaca untuk melihat di balik permukaan kehidupan duniawi dan menemukan makna yang lebih dalam yang tersembunyi di balik setiap pengalaman.

6. Menginspirasi Peningkatan Moral
Salah satu tujuan Masnawi adalah meningkatkan moralitas dan akhlak manusia. Rumi mengajarkan pentingnya sifat-sifat seperti kejujuran, kemurahan hati, kerendahan hati, dan keadilan. Dia juga memperingatkan pembaca tentang bahaya dari sifat-sifat buruk seperti kesombongan, keserakahan, dan egoisme. Melalui ajaran-ajaran moral ini, Rumi berharap bisa membantu manusia menjalani kehidupan yang lebih baik dan lebih dekat dengan Tuhan.

Rumi Institute

27 Sep, 01:08


Jumah Mubarak


Katakanlah, “Aku berlindung kepada Tuhannya manusia,
[Q.S an-Nas (114): 1]


Katakan kepada hamba-hambaKu, saat mereka memohon, memohonlah perlindungan dari bahaya setan dan manusia, hanya dari perlindungan kepadaKu dan berlindung di hadapanKu saja! Karena di tempat lain selain di hadapanKu, tak kan ada tempat perlindungan bagi mereka.


Katakan! Penyembuh dari kelelahan mereka hanya dapat ditemukan dalam limpahan kasihKu. Di mana pun di dunia ini, pasti ada orang yang lelah karena dosa dan terpuruk dalam tangisan, dan Akulah Tuhan mereka. Di tempat mana pun di dunia ini, pasti ada kehancuran dalam hidup, dan kefakiran yang begitu banyak, dan Aku adalah penebusnya. Di mana pun ada hati yang terbakar dan terluka tanpa sepengetahuan dirinya, dan Aku adalah kebahagiaan jiwanya.


Di setiap tempat, ada rasa malu dan kepapaan tanpa pertolongan, dan Aku adalah penyelamatnya. Kemuliaan dan keagunganKu seperti melempar permadani rahmat ke semua angin, menaburkan benih ke dalam tanah kemiskinan, meramu kesunyian, mencari kebaikan di padang yang tandus, dan menanamkan benih kebaikan di kebun persahabatan.


Muh Nur Jabir

Rumi Institute

20 Sep, 00:56


Jumah Mubarak


Ya Tuhanku, sesungguhnya aku sangat memerlukan suatu kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku.
[Q.S al-Qasas (28):24]


Ayat di atas adalah doa Nabi Musa as. Doa ini menunjukkan puncak kecerdasan seorang pejalan. Coba simak dengan baik, Nabi Musa as tidak membuat daftar kebutuhannya kepada Tuhan, dia tidak mengatakan, "Aku ingin ini dan itu." Dia tidak mengarahkan pikirannya, tidak membatasi dirinya dengan kata-kata.


Dia membiarkan ruang doa tetap terbuka, sehingga segala kebaikan dari mana pun, kapan pun, dalam jumlah dan kualitas apa pun, dapat tercurah kepadanya. Nabi Musa as dengan sangat bijaksana dan penuh kerendahan hati, tidak memberikan perintah kepada Tuhan, tidak bersikap seolah-olah lebih tahu, melainkan menjadi seseorang yang berserah diri secara sempurna di hadapanNya.


Karena dia tahu dengan sangat baik, Tuhanlah yang mengetahui apa yang terbaik untuknya. Tuhan adalah sumber kebaikan, dan tidak ada yang keluar dariNya selain kebaikan. Jadi, yang perlu dilakukan hanyalah membangun hubungan cinta dengan penuh berserah diri kepada Sang "Kebaikan Mutlak". Jika ini terjadi, tanpa ragu, seorang pejalan akan mendapatkan yang terbaik.


Doa Nabi Musa as tidak lebih dari delapan kata. Dia memulai dengan kata "Rabb" dan mengakhiri dengan kata "Faqir". Dia meletakkan "kebaikan" di samping "faqir," menjadikan dirinya sebagai tujuan "turunnya" kebaikan. Dia menggunakan kata "khair" (kebaikan) dalam bentuk tak terbatas, sehingga mencakup segala sesuatu. Dengan menggunakan kata kerja "anzalta" (Engkau turunkan), dia memandang Tuhan di atas dan dirinya sendiri di bawah, dan dengan kata kerja ini, dia mengisyaratkan kebaikan itu datang secara langsung dariNya.


Dan begitulah, pada ayat berikutnya, kesepiannya dan kebingungannya langsung teratasi dengan cara yang terbaik. Jadi, seperti inilah doa seorang pencari yang cerdas dan penuh penyerahan diri. Dan sebagian sufi menjadikan doa ini sebagai dzikirnya.


Muh Nur Jabir

Rumi Institute

17 Sep, 06:19


Hai Darwish!

Ketika ada pembicaraan tentang aku, kita, dan karamah, ketahuilah, di situ tidak ada tanda-tanda Darwish sejati, dan dalam lingkungan di mana ada klaim dan eksistensi, kebenaran tak kan ditemukan. Ukuran darwis sejati adalah “tanpa aku”, siapa yang lebih “tanpa aku”, dia lebih Darwish.

Jika tidak ada hati, di mana cinta akan berdiam? Dan jika tidak ada cinta, untuk apa hati berguna? Hai Darwish, karamah seorang sufi adalah ketiadaan diri. Mengklaim karamah adalah menampilkan eksistensi, dan dalam tarekat kami, hal ini adalah kekufuran.

Pemimpin tarekat adalah pemecah berhala, bukan pembuatnya. Bagi seseorang, harta benda menjadi berhala, bagi yang lain, kekuasaan, bagi yang lain lagi, salat yang banyak, dan bagi yang lain, puasa yang banyak menjadi berhala.

Ada yang ingin selalu duduk di atas sajadah, sajadah itu menjadi berhala baginya. Ada yang tidak ingin pernah berdiri di hadapan orang lain, keengganan untuk berdiri itu menjadi berhala baginya. Tidak ada seorang pun yang mengenali berhalanya sendiri, dan tidak ada yang tahu bahwa dirinya adalah penyembah berhala. Semua orang menganggap dirinya bebas dan merdeka, serta berpikir bahwa dirinya adalah seorang yang benar-benar bertauhid dan pemecah berhala!

Azizuddin Nasafi dalam kitab Insan Kamil

Rumi Institute

12 Sep, 23:53


Jumah Mubarak


Dengan Kitab itulah Allah memberi petunjuk kepada orang yang mengikuti keridaanNya ke jalan-jalan keselamatan.
[Q.S al-Maidah (5): 16]


Ayat ini sungguh indah dan penuh dengan hikmah. Siapa yang menginginkan keridhaan Tuhan akan dibimbing ke jalan-jalan keselamatan. Bahkan tidak dikatakan satu jalan, melainkan dikatakan jalan-jalan. Ketika kita berada dalam kualitas ini, semua jalan akan berakhir pada keselamatan dan perdamaian.


Ke mana pun kita pergi, kita akan bertemu dengan perdamaian dan keselamatan. Perdamaian dan keselamatan adalah cahaya yang memancar dari dalam diri. Dan pada saat itu, alam semesta juga akan datang kepada kita dengan pintu perdamaian dan keselamatan. Dan inilah intinya, perang, pertikaian, dan pembunuhan bukanlah kehendak Tuhan. Karena hakikat diriNya penuh dengan rahmat dan kasih sayang.


Keridhaan Tuhan adalah perdamaian dan keselamatan. Mereka yang tidak menginginkan keridaan Tuhan akan terseret ke jalan-jalan perang dan pertikaian. Dan inilah bahaya yang sangat mengancam dunia saat ini.


Intinya adalah perdamaian dan keselamatan, dan Islam berasal dari akar kata yang sama dengan keselamatan. Perdamaian dan keselamatan adalah inti dari Islam. Tuhan tidak suka jika makhluk-makhlukNya saling menyerang satu sama lain.


Siapa yang dalam hidupnya tidak menjadikan perdamaian dan keselamatan sebagai prioritas, dan selalu melihatnya sebagai pilihan sekunder, tanpa diragukan lagi, dia telah menjauh dari ajaran luhur Islam. Kemenangan sejati, kemenangan yang abadi dan universal, hanya dapat dicapai dengan niat untuk memperoleh keridaan Tuhan, dan keridaanNya adalah perdamaian dan keselamatan.


Seorang muslim bukanlah pencari perang. Tidak mungkin menjadi pencari perang. Karena pencarian perang tidak sejalan dengan jiwa luhur dan inti Islam. Sebab Islam berakar pada cinta dan penyerahan diri, dan Nabinya adalah rahmat bagi seluruh alam.


Muh Nur Jabir

Rumi Institute

06 Sep, 03:03


Jumah Mubarak


al-Mukminīn wal Mukmināt; Laki-laki mukmin dan perempuan mukmin
[Q.S al-Ahzab (33):35]


Seorang mukmin dalam arti sejatinya berakar dari "amanat". Artinya, seorang mukmin adalah seseorang yang memiliki amanat cahaya Ilahi. Dia dianugerahi cahaya dari Tuhan. Dan cahaya ini nyata, bukan sekadar kiasan atau perumpamaan. Tepat karena itulah Rasulullah saw bersabda: "Orang mukmin melihat dengan cahaya Tuhan."


Cahaya ini hidup dan penuh kesadaran, yang menghubungkan sang pejalan dengan asal mula keberadaan. Partikel-partikel bercahaya yang berasal dari cahaya Tuhan, bagaikan benih-benih hidup, dan semuanya mengandung kehidupan serta kesadaran. Karena cahaya iman adalah cahaya yang terus bertambah, "Fazadahum Imanan" (Maka Allah tambahkan keimanan mereka) [Q.S 3:173].


Salah satu tugas seorang mukmin adalah menabur benih cahaya di ladang-ladang subur dalam diri manusia, agar taman Tuhan mekar menjadi kebun yang indah. Kebun ini tumbuh dari kedalaman keberadaan mereka. Dia melakukannya melalui kata-katanya yang baik, pandangan ruhaniahnya, dan perilakunya yang indah.


Tidak semua orang disebut mukmin. Hanya mereka yang memiliki cahaya ini sebagai amanah yang disebut mukmin, yang memiliki tanda-tanda khusus. Seorang yang beriman namun tidak memiliki cahaya ini disebut muslim, bukan mukmin. Seorang mukmin adalah orang yang menerima benih cahaya dan dengan tulus patuh pada perintah Tuhan.


Seorang pejalan seperti itu memahami bahwa seruan ayat-ayat yang ditujukan kepada "manusia" berbeda dengan seruan yang ditujukan kepada "mukminin dan mukminat", di mana setiap seruan merujuk pada makna khusus dan ranah keberadaan yang sesuai dengan penerima seruan tersebut.


Muh Nur Jabir

Rumi Institute

16 Aug, 01:10


Jumah Mubarak


Allah adalah cahaya lelangit dan bumi. Perumpamaan cahayaNya, seperti sebuah lubang yang tidak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam tabung kaca (dan) tabung kaca itu bagaikan bintang yang berkilauan, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang diberkahi, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di timur dan tidak pula di barat, yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah memberi petunjuk kepada cahaya-Nya bagi orang yang Dia kehendaki, dan Allah membuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.
[Q.S an-Nur (24):35]


Sungguh indah ayat ini. Ia menjelaskan anatomi manusia yang bercahaya. Manusia bercahaya adalah hakikat manusia dan kemanusiaan yang di dalam batinnya yang paling batin terdapat cahaya Ilahi.


Cahaya yang menerangi langit dan keberadaan manusia. Suatu keberadaan yang berlapis-lapis. Dari sudut pandang ini, pelita adalah jismani fisiknya, dan pelita di dalamnya adalah hati yang bercahaya, yang merupakan 'Arsy Ilahi, dan dikelilingi oleh dada sucinya yang seperti gelembung transparan.


Ini adalah "Cahaya di atas Cahaya". Cahaya Tuhan yang berada di atas fitrah manusia. Manusia bercahaya tenggelam dalam cahaya kehidupan dan kesadaran, dan keberkahan ini berasal dari pusat batin dirinya. Cahaya ini tidak datang dari luar.


Jadi, cahaya ini bukan dari timur atau barat. Cahaya ini berasal dari kedalaman batinnya sendiri. Tidak ada terbit atau tenggelam, tetapi kekal abadi. Melampaui waktu. Dan semua kemampuan serta bakatnya, seperti minyak zaitun yang diberkahi, menjadi bahan bakar pelita ini.


Manusia bercahaya adalah bentuk asli dan abadi dari kemanusiaan, tidak hanya terang tetapi juga menerangi. Dan manusia seperti ini menjadi sumber petunjuk, dan melalui dirinya, Tuhan menerangi dan menunjukkan jalan kepada manusia lainnya. Karena Tuhan Maha Mengetahui dan Maha Kuasa atas segala sesuatu.


Muh Nur Jabir