Kamu, akan selalu abadi dalam kisahku. Di persimpangan remaja dan dewasa, masa depan dan masa sekarang, baik kini ataupun nanti, kau akan abadi, selamanya.
###
Perjalanan yang biasanya terasa menyenangkan itu kini terasa kosong, pilu yang aku rasakan berangsur membesar, sudut mataku kini sudah basah. Air menggenang di pelupuk mata, hampir membuat aliran air deras yang mengalir di pipiku. Dengan sigap aku mengelap genangan air itu dengan lengan baju, tak ingin terlihat lemah oleh sosok yang sedang memboncengku itu.
"Kak? Katanya mau peluk? Kok akunya gak dipeluk?"
Ah, ia melihatku menghapus genangan itu, ya?
Aku hanya menggeleng pelan, berbisik dengan suara parau, "Gak jadi, aku gak mau."
Raut wajah lelaki yang tengah mengendarai motor itu mulai mengeruh, menunjukkan keadaan suasana hatinya yang kini menjadi tidak baik. "Kakak kenapa? Kenapa gak mau?" Suaranya yang ikut bertabrakan dengan hilir angin itu terasa menyesakkan. Padahal ia tak mengatakan hal yang menyakitkan, tapi rasanya mendengar suaranya saja kini menjadi jarum yang menusuk relungku dengan tepat.
Lagi lagi aku menolak, memberikan jawaban atas pertanyaan lelaki yang sangat aku sayangi itu, "Gak apa apa, aku cuma gak mau."
Lelaki di depanku kini diam. Tak berkata apapun lagi setelah penolakanku yang kedua. Perjalanan panjang kali ini sangat sunyi, tak ada canda tawa, tak ada obrolan tidak jelas yang terlontar, tak ada senyuman sedikitpun. Hanya ada aku, dia, dan sakit yang tertinggal.
Beberapa waktu penuh keheningan itu akhirnya berlalu. Kita sampai di tempat tujuan, tempat terakhir aku bisa melihatnya sedekat itu.
Aku mengambil ranselku yang tergantung di motornya, lalu mengambil barang yang sempat ia minta untuk aku bawa sebelum kami pergi.
"Ini toner sama milk cleanser yang tadi kamu minta bawa, kapasnya juga sekalian," Aku berucap seolah tak terjadi apa apa. Seolah kita masih baik baik saja. Aku hanya ingin menikmati sejenak akhir tragis atas hubungan yang selalu ku banggakan ini.
Dia hanya duduk di pinggir teras tempat aku menunggu temanku. Memperhatikan segala gerak gerikku dengan wajah yang tak bisa aku artikan ekspresinya. Khawatir? Sedih? Senang? Entahlah, rasanya ia bukan lagi sosok yang dulu aku kenal.
Setelah aku memberikan barang barang yang ia minta pun, walau ia sibuk dengan membersihkan wajahnya yang kotor akibat seharian beraktivitas, ia tetap menatapku yang hanya diam menatap kosong pada tanah yang ku pijak.
Setalah keheningan yang mencekam, akhirnya aku bersuara, "Aku udah liat semuanya."
Ya, aku melihat hal yang selama ini ia sembunyikan. Hanya sebagian, aku tak sanggup jika melihat secara keseluruhan, dikhianati oleh orang yang paling aku percaya rasanya terlalu berat. Aku tak akan sanggup untuk melihat lebih dari itu.
Dia menghela nafas berat, ia berkata, "Aku minta maaf."
Lucu sekali.
Luka yang ia beri begitu dalam. Bahkan ia tau betapa luka yang dulu pernah ditorehkan orang orang terdekatku sangat luas. Tapi yang ia beri hanya permintaan maaf? Ia bahkan tak menjelaskan sedikitpun. Kenapa? Kenapa aku dilukai sebegininya? Kenapa lagi lagi aku yang terluka? Kenapa dari sekian banyaknya orang, harus ia yang memberikan luka hebat lainnya?
Apa aku layak menerima luka sebegininya?
Rasanya menjawab permintaan maafnya saja aku tak sanggup. Air mata menggenang yang sejak tadi ku tahan terus saja mencoba kabur dari tempatnya.
"Kakak, kalau mau nangis juga gak papa."
Perkataan itu, menyesakkan sekali. Mudah sekali bagi dia melihatku menangis. Aku bahkan tak akan membiarkan siapapun mengusik orang kesayanganku dan melihatnya menangis. Tapi mengapa dengan santainya ia berkata seperti itu? Mengapa mudah sekali baginya membuatku menangis dengan teganya?
Aku tidak mau menangis, tidak boleh.
"Kapan kamu mau pulang? Aku bisa nunggu temenku sendiri disini," Alih alih menjawab ucapannya yang tadi, aku memilih untuk mengalihkan pembicaraan.
Ia menggeleng pelan, "Gak mau, nanti aja. Ini terakhir kalinya aku bisa liat kakak. Ini perpisahan, kan?"