@ Cahyadi Takariawan
Menurut Imam Al-Ghazali, manusia mudah berpanjang angan-angan. Mereka berangan-angan tentang kesenangan dunia, seakan bakal hidup selamanya.
Mereka berangan tentang popularitas, pujian, puncak karier, kesuksesan, kekayaan, jabatan tertinggi, fasilitas mewah, dan lain sebagainya.
Mengapa bisa panjang angan-angan? Menurut Imam Al-Ghazali, sebab utama adalah karena cinta dunia.
Apabila seseorang sudah dimasuki rasa cinta dunia, maka hatinya akan merasa berat untuk berpisah darinya.
Hatinya tidak bisa berpikir tentang kematian yang merupakan sebab perpisahannya dengan dunia. Setiap orang yang membenci sesuatu, pasti menolaknya.
Sementara itu manusia sangat terobsesi dengan angan-angan palsu. Ia membayangkan dirinya menjadi seseorang sesuai dengan obsesinya. Seakan mereka akan hidup kekal di dunia.
Mereka mengangankan berbagai hal yang diperlukan untuk hidup selamanya di dunia, seperti harta kekayaan, rumah mewah, kendaraan bergengsi, pakaian dan asesoris branded, dan semua kesenangan dunia. Hatinya hanya terkonsentrasi dan tertambat pada pikiran seperti ini, tidak lagi mengingat kematian.
Jika kadang-kadang terlintas ingatan kematian, mereka akan berkata kepada diri sendiri, “Masih banyak waktu, nanti saja bertaubat kalau sudah tua”.
Bila sudah tua, mereka berkata, “Nanti saja bertaubat, kalau sudah renta”. Begitu seterusnya, tanpa ada habisnya.
Demikianlah ia terus menunda-nunda dan tidak melakukan persiapan untuk kehidupan akhirat. Mereka menunda hari demi hari, kesibukan demi kesibukan, hingga akhirnya direnggut kematian pada saat yang tidak terduga.
Orang yang suka menunda-nunda kebaikan, tidak mengetahui bahwa sesuatu yang membuatnya menunda pada hari ini, akan menyertainya pula esok hari. Bahkan semakin lama semakin kuat dan kokoh.
Mereka mengira bahwa orang-orang yang tenggelam dalam kesenangan dunia, akan punya kesempatan untuk melepaskannya di akhir usia. Padahal tak ada yang mengetahui, kapan alkhir usia.
Pangkal panjang angan-angan ini adalah karena terlalu cinta dunia. Akhirat dilupakan dan tak dipedulikan.
Waspadalah.
Sumber: Said Hawwa, Mensucikan Jiwa, Robbani Press, Jakarta, 2003, halaman 128 - 129.
@oaseiman