Bincang Parenting Fauzil Adhim @mohammadfauziladhim Channel on Telegram

Bincang Parenting Fauzil Adhim

@mohammadfauziladhim


Ikhtiar Mendidik Anak Menurut Panduan Islam

Bincang Parenting Fauzil Adhim (Indonesian)

Selamat datang di Bincang Parenting Fauzil Adhim, sebuah saluran Telegram yang didedikasikan untuk para orang tua yang ingin mendidik anak-anak mereka sesuai dengan panduan Islam. Disini, kita akan membahas berbagai topik seputar cara mendidik anak dengan baik, nilai-nilai Islam yang harus ditanamkan pada anak-anak, serta tips dan trik dalam menghadapi berbagai tantangan dalam membimbing anak-anak menuju ke arah yang benar. nnPemilik saluran ini adalah Mohammad Fauzil Adhim, seorang ahli parenting yang memiliki pengalaman luas dalam bidang ini. Beliau akan membagikan pengetahuannya, pengalaman, dan wawasan yang dapat membantu para orang tua dalam menghadapi berbagai situasi saat mendidik anak-anak mereka. Setiap orang tua pasti menginginkan yang terbaik untuk anak-anaknya, dan dengan bergabung di saluran ini, Anda akan mendapatkan panduan yang dapat membantu Anda menjadi orang tua yang lebih baik dengan pendekatan yang sesuai dengan ajaran Islam. nnApakah Anda sering kali merasa bingung dalam mendidik anak-anak Anda? Apakah Anda ingin memahami lebih dalam bagaimana mendidik anak dengan nilai-nilai Islam yang benar? Jika jawabannya ya, maka Bincang Parenting Fauzil Adhim adalah tempat yang tepat untuk Anda. Bergabunglah sekarang dan jadilah bagian dari komunitas orang tua yang peduli akan pendidikan anak-anak mereka. Bersama-sama, kita dapat memberikan yang terbaik untuk generasi masa depan yang lebih baik. Ayo bergabung sekarang dan mulai perjalanan mendidik anak-anak sesuai dengan panduan Islam bersama Bincang Parenting Fauzil Adhim!

Bincang Parenting Fauzil Adhim

01 Dec, 07:32


Mari kita tengok data yang dirilis oleh Centers for Disease Control (CDC), sebuah lembaga pemerintah Amerika Serikat. Sepanjang tahun 2010, terjadi 1,3 juta kasus perkosaan di Amerika Serikat. Data tersebut menunjukkan bahwa kasus pemerkosaan di Amerika Serikat dari tahun ke tahun tetap sangat tinggi. Jika mengingat data yang dikeluarkan oleh National Violence Against Women Survey (1998), 1 dari 6 perempuan serta 1 dari 33 laki-laki di Amerika Serikat pernah mengalami pemerkosaan sepanjang hidupnya. Secara lebih spesifik, 19% perempuan yang sedang menempuh pendidikan di perguruan tinggi (college women) pernah mengalami pemerkosaan semenjak mendaftar di perguruan tinggi. Ini tidak termasuk pelecehan seksual yang lebih ringan.

Berbeda dengan Amerika, menurut rilis FRA – European Union Agency for Fundamental Rights yang berkedudukan di Austria (2014) menunjukkan, tingkat prevalensi kejahatan seksual yang dialami oleh remaja perempuan di Eropa usia 15 tahun adalah sebesar 22% pada saat mereka terlibat hubungan intim dengan pacar. Sementara sebesar 22% pula, perempuan usia 15 tahun sudah mengalami kejahatan seksual dari orang lain. Ini merupakan perbuatan yang dikategorikan sebagai kejahatan. Belum lagi yang lebih bersifat pelanggaran “lebih ringan”.

Catatan ini hanyalah sekedar gambaran. Saya tidak menyibukkan diri dengan data statistik mengenai tingginya tingkat perkosaan di berbagai negara. Saya sengaja menampilkan data kekerasan seksual yang bersifat cukup ekstrem, yakni perkosaan, dan bukan sekedar pelecehan seksual untuk menunjukkan bahwa berbagai tindakan yang buruk tersebut banyak terjadi. Tetapi tidak fair jika hanya menunjukkan kasus-kasus yang memilukan. Kita perlu menengok data yang ditunjukkan oleh UNODC (United Nations Office on Drugs and Crime), sebuah lembaga PBB yang menangani masalah penyalahgunaan obat terlarang dan kejahatan. Berdasarkan rilis tahun 2013 tentang kejahatan seksual di berbagai negara di seluruh dunia dari tahun 2003 hingga 2010, ada beberapa negara yang paling aman dari kasus kejahatan seksual, di antaranya yang paling aman adalah Oman dan Qatar. Paling menarik adalah Qatar dimana kasus kejahatan seksual dalam rentang waktu tersebut hanya terjadi pada tahun 2003 dan 2004 masing-masing sebanyak 11 dan 13 kasus di seluruh penjuru negeri. Jadi 11 kejadian itu dihitung dari kasus yang ada secara nasional.

Lalu, mengapa Qatar bisa sedemikian aman? Inilah yang jauh lebih penting daripada data statistik. Bukan berarti data tidak penting, tetapi mengetahui apa yang menjadi sebab jauh lebih penting agar kita dapat mengambil pelajaran.

Bincang Parenting Fauzil Adhim

02 Sep, 00:13


Parenting is a journey. Mengasuh mendidik anak merupakan perjalanan tiada henti, perjalanan yang meminta kesediaan untuk terus belajar dan berbenah. Jika kemudian saya harus berbicara di forum terhormat seperti ini, bukan berarti saya telah menjadi orangtua yang baik. Saya hanyalah seorang ayah yang ingin berubah, sedang berusaha berubah dan terus berupaya untuk menjadi lebih baik. Berusaha berubah dari cara mendidik yang keras dikarenakan temperamen awal serta kurangnya ilmu ke arah yang lebih baik lebih lembut tanpa kehilangan prinsip dan ketegasan.

Anak-anak harus belajar memegangi prinsip truth over harmony. Kebenaran itu melampaui harmoni. Rukun itu penting, bertengkar itu jelek. Tetapi anak harus siap ditinggalkan kawannya ketika ia tegas memegangi idealisme dan tidak mau ikut-ikutan arus yang salah. Kita yakinkan bahwa berdiri tegak memegangi kebenaran pasti akan barakah; pasti ada pengganti dengan teman yang lebih baik lagi.

Apakah ini yang akan saya perbincangkan? Bukan. Ini hanyalah cetusan sekilas tatkala saya menerima brosur ini dari panitia kegiatan di USU Medan, Oktober yang akan datang, insya Allah.

Bincang Parenting Fauzil Adhim

05 Aug, 23:48


Tapi kembali pada pembahasan tentang penanganan masalah, baik masih bersifat gejala maupun sudah menjadi persoalan serius di lembaga. Kapan sekolah dapat melibatkan orangtua dalam menangani masalah? Pada saat awal muncul gejala masalah, sekolah dapat meminta informasi yang bersifat pribadi (personal information) berkaitan dengan diri anak, yakni hal-hal yang berkenaan dengan keunikan pribadi anak, termasuk peristiwa khusus yang pernah dialami anak. Ini merupakan bahan pertimbangan sekolah dalam mengambil kebijakan. Sampai di sini, penanganan masih dilakukan murni oleh sekolah berasrama, tetapi sebagian pertimbangannya menggunakan informasi dari orangtua. Meskipun demikian, bisa saja sekolah meminta masukan dan pendapat orangtua. Selanjutnya, sekolah melakukan perkembangan hasil penanganan kepada orangtua sebatas yang perlu diketahui orangtua.

Bincang Parenting Fauzil Adhim

05 Aug, 23:47


Boarding school hendaknya memantau perkembangan anak didik sehingga dapat menangani dengan segera jika sewaktu-waktu menjumpai masalah ataupun gejala masalah. Ini penting agar gejala tersebut tidak berkembang menjadi masalah yang serius, dan jika masalah sudah terjadi tidak semakin parah. Begitu mendapati masalah, sekolah berasrama harus segera melakukan koordinasi antara guru, wali kelas, wali asrama dan pendamping kamar. Langkah ini diperlukan untuk memastikan akar masalah dan penanganannya. Wali asrama merupakan pengganti orangtua selama di boarding school.

Masing-masing pihak di sekolah berasrama mencari pemecahan masalah yang tepat. Langkah yang telah dirumuskan, kemudian dijalankan sesuai tugasnya. Selanjutnya, masih tetap perlu dipantau dan dievaluasi bersama. Evaluasi diperlukan untuk melakukan perbaikan jika hasil penanganan siswa belum sesuai yang diharapkan. Karena itulah, evaluasi perlu dilakukan dengan sangat cermat.

Dari evaluasi itu juga dapat diketahui langkah mana yang paling efektif dari serangkaian langkah yang diambil. Ini perlu dicatat dengan baik. Apa manfaat pencatatan tersebut? Sekolah mempunyai rujukan jika menghadapi kasus serupa di kemudian hari. Jadi pencatatannya harus "hidup". Bagaimana jika penanganan yang dilakukan sudah membuahkan hasil sesuai yang diharapkan? Evaluasi tetap penting untuk memperkokoh hasil. Tetap penting juga untuk memahami langkah mana yang paling efektif serta apa saja yang berperan besar terhadap keberhasilan penanganan.

Ingat! Begitu anak masuk boarding school, pengaruh orangtua hampir hilang. 24 jam sehari ia berada lingkungan terkendali bernama sekolah. Disebut lingkungan terkendali (controlled environment) karena sekolah & asrama membatasi pengaruh luar dan merencanakan kegiatan 24 jam penuh.

Bagaimana jika tidak ada program yang matang untuk pembinaan, pengendalian dan pengawasan siswa selama di asrama? Itu bukan boarding school. Berasrama tapi tanpa program yang jelas, berarti hanya sekolah yang dilengkapi rumah sewa (school with home stay). Anak-anak berada di asrama, tetapi tak memperoleh perlakuan edukatif yang mengubah sikap maupun perilaku mereka. Tak terbimbing. Auto pilot.

Saya pernah mengunjungi boarding school yang tidak wali asramanya sangat jarang menunggui asrama. Padahal ini tanggung-jawabnya. Akibatnya, program yang di atas kertas agak bagus, sama sekali tidak berjalan. Parahnya, di asrama tersebut disediakan TV non stop. Lebih ironis lagi, tidak ada pendamping asrama yang bertanggung-jawab memantau dan mengarahkan tiap-tiap anak didik anggota kamar. Jika keadaan seperti ini dibiarkan, sangat mungkin asrama justru menjadi penyebab kemerosotan akhlak maupun etos belajar anak.

Bincang Parenting Fauzil Adhim

05 Aug, 23:47


Ini Tugas Boarding School!
Oleh: Mohammad Fauzil Adhim


Apa sebabnya orangtua memasukkan anak ke sekolah berasrama? Banyak hal, tetapi ada dua alasan yang hampir dapat dipastikan menjadi pertimbangan orangtua. Pertama, orangtua menginginkan lingkungan yang kondusif untuk tumbuh kembang anak sehingga menjadi pribadi matang, berakhlak mulia dan bertanggung-jawab. Ini berarti aspek pembentukan karakter merupakan salah satu alasan penting orangtua memasukkan anak ke sekolah berasrama. Kedua, orangtua mengharapkan pendidikan yang sepenuh waktu dari pagi hingga Subuh, setiap hari, memberi kesempatan kepada anak untuk mematangkan ilmu dalam soal agama dan menghayatinya dalam kehidupan sehari-hari. Ini pun berkait dengan akhlak, tetapi menekankan perlunya anak memahami ilmunya. Tidak terkecuali orangtua yang memasukkan anaknya ke sekolah berasrama karena mengharapkan anaknya agar dapat menjadi penghafal Al-Qur’an sekaligus pengemban amanah Al-Qur’an.

Memasukkan anak ke sekolah berasrama berarti mempercayakan penuh kepada pengelola sekolah sekaligus pendamping asrama untuk mendidik anak sehingga menjadi pribadi seperti yang diharapkan. Bahkan bukan sekedar percaya. Orangtua memiliki harapan yang sangat tinggi karena menganggap bahwa Ustadz/Ustadzah maupun pendamping asrama merupakan sosok pilihan yang memiliki perhatian, kepedulian, tanggung-jawab, kemauan mendidik sekaligus bekal ilmu yang memadai. Jika hanya menginginkan anak agar cemerlang secara akademik, untuk apa "membuang" anak jauh-jauh, mengorban rasa rindu dan menghilangkan kesempatan untuk bercanda dengan anak? Ada sakit yang harus ditahan, ada rindu yang harus dikekang sejenak demi kebaikan anak kelak di kemudian hari. Sekali lagi, dari segi akhlak, agama maupun kemampuan akademiknya, tetapi terutama pada dua aspek yang pertama itu.

Ini berarti, sekolah berasrama (boarding school) memiliki tanggung-jawab besar untuk membentuk pribadi anak. Begitu masuk sekolah berasrama, pengaruh orangtua hampir tidak ada lagi. 24 jam sehari semalam, 7 hari seminggu dan 12 bulan setahun anak di bawah pengaruh dan didikan sekolah berasrama. Pada saat masuk asrama --yang itu biasanya sudah melalui seleksi dan terkadang sangat ketat-- anak memang beragam keadaannya. Tetapi begitu masuk sekolah berasrama, boleh dikata baik buruknya anak ditentukan oleh proses pengasuhan, pendidikan dan pembimbingan anak oleh sekolah. Secara keseluruhan, ini merupakan proses ta’dib (pendidikan adab) yang berkelanjutan. Ini merupakan pilar penting sekolah berasrama. Salah satu ukuran keberhasilan sekolah berasrama ialah apabila anak-anak berubah menjadi lebih baik setelah masuk asrama. Bukan sebaliknya.

Nah, agar tidak terjadi hal yang kontra-produktif, sekolah berasrama perlu melakukan pengawasan terencana terhadap anak didik. Akhlak memang harus dibentuk, karakter memang perlu dibangun. Tetapi bukan berarti itu saja sudah cukup. Anak-anak itu juga perlu dipantau perkembangannya agar cepat terdeteksi manakala ada gejala yang tidak beres. Bahkan sesungguhnya, pemantauan anak ini merupakan bagian sangat penting dari proses pendidikan akhlak.

Bincang Parenting Fauzil Adhim

28 Jun, 08:40


Sebelum memasukkan anak ke sebuah sekolah, ingatlah nasehat Muhammad bin Sirin rahimahullah. Beliau berkata, "إِنَّ هَذَا الْعِلْمَ دِيْنٌ فَانْظُرُوا عَمَّنْ تَأْخُذُونَ دِيْنَكُمْ Sesungguhnya imu ini adalah agama, maka perhatikanlah dari siapa kalian mengambil agama kalian."

Bincang Parenting Fauzil Adhim

20 Jun, 08:42


menghormati) dan _takrim_ (memuliakan, menghormati) yang biasa dipakai dalam konteks sikap kepada tamu maupun tetangga. Nah, sikap _hurmat_ melahirkan keduanya.

Nah, bagaimana agar memiliki sikap kepada kita? Berusahalah memahami perasaan dan pikiran anak, mendengarkannya dan memberikan umpan balik kepada anak. Kita tidak akan tahu dalam dan luasnya sungai kecuali apabila kita telah menyeberanginya. Cara untuk menyeberangi itu adalah berdialog. Bukan menjadi orangtua yang sok tahu.

Bincang Parenting Fauzil Adhim

20 Jun, 08:41


*Ajaklah Anak Berdialog*
Oleh: *Mohammad Fauzil Adhim*


*"Iyyapa nari isseng lamunna salo'e na loanna, rekko purai ri atengngai"*
_Luas dan kedalaman sungai itu bisa diketahui ketika telah menyeberanginya._

Hanya sepintas melihat raut muka anak atau sikap yang ditunjukkan tidak serta merta menjadikan kita mengerti apa yang sungguh-sungguh dirasakan dan dipikirkan oleh anak. Kita bisa langsung berbicara kepada mereka, tetapi kita tidak mampu luas dan dalamnya apa yang dirasakan, dipikirkan dan diinginkan oleh anak. Kenapa? Ibarat sungai, kita belum menyeberangi. Kalau ingin mengetahui luas dan dalamnya, kita perlu menyeberanginya.

Kata _Pappaseng to Ogie_ (Petuah Bugis), _"Iyyapa nari isseng lamunna salo'e na loanna, rekko purai ri atengngai._ Luas dan kedalaman sungai itu bisa diketahui ketika telah menyeberanginya."

Lalu bagaimana cara kita menyeberangi perasaan dan pikiran anak kita? Berdialog. Kita ajak berbicara dari hati ke hati, pikiran terbuka dan perasaan lapang. Kita dengarkan pembicaraan anak, memberikan umpan balik kepadanya, dan bila diperlukan kita pun dapat menyampaikan apa yang kita pikirkan tentang dia. Melalui dialog itu kita lebih mengetahui perasaan anak sesungguhnya dan pada saat yang sama anak merasa lebih diterima.

Inilah yang patut dilakukan jika menginginkan anak memiliki sikap hormat (respek) kepada orangtua. Merasa didengarkan dan dihargai justru menjadikan anak lebih tumbuh dorongan untuk respek dan dekat hatinya dengan orangtua.

Sebaliknya, cara-cara yang menjatuhkan harga diri justru membuat anak kehilangan rasa hormat kepada orangtua. Bahkan dapat terjadi, anak mengembangkan pemberontakan dalam berbagai bentuknya. Boleh jadi ia menunjukkan ketaatan di depan orangtua, tetapi memberontak meledak-ledak di luar rumah. Ini ketika anak takut kepada orangtua. Dan sangat berbeda antara takut dan respek. Yang kedua ini mendorong anak tetap melakukan hal yang baik, meskipun orangtua tidak melihatnya.

Ibarat pemimpin, orangtua dituntut untuk _"Nasiri’i alena, nasiri toi padanna rupatau._ Menjaga harkat dan martabat dirinya, serta menghormati harkat martabat orang lain."

Jadi, agar harkat dan martabat orangtua terjaga, anak menghargainya, maka kita sebagai orangtua harus menjaga harkat martabat anak. Tidak menjatuhkan di depan teman-temannya.

Kata _siri'_ sebenarnya memiliki makna malu. Sedangkan kata _nasiri'i_ bermakna membuat diri sendiri malu memperbuat sesuatu yang jelek, hina, tercela. Dari makna dasar ini dapat diambil pengertian bahwa orangtua seharusnya _nasiri_ (menjaga martabat) anaknya dengan tidak mempermalukannya dan menjatuhkan harga dirinya. Jika anak sampai merasa dipermalukan atau jatuh harga dirinya, ia bisa kehilangan orientasi hidup yang baik. Bukankah _siri' na pesse_? Malu itu luka.

Lawrence E. Tyson, Ph.D., dari University of Alabama at Birmingham menunjukkan 4 sebab kenakalan anak di kelas. Salah satunya adalah dendam. Ia terluka karena merasa dipermalukan oleh orangtua atau karena merasa orangtua tidak adil. Ketika anak mendendam kepada orangtua sehingga tidak peduli lagi dengan prestasi. Ia hanya berpikir dan berusaha untuk membayar lunas dendamnya.

Boleh jadi ketika kita selaku orangtua menjatuhkan harga diri anak, ia tidak memiliki keberanian untuk menyuarakan perasaannya kepada kita. Atau ia sebenarnya cukup terbuka untuk mengungkapkan gagasannya. Tetapi ketika orangtua menanggapinya dengan mengedepankan kuasa, anak tidak punya pilihan selain taat. Dan ini bukanlah ketaatan yang baik. Di saat kecil merunduk kepada orangtua karena takut, tetapi ketika mulai beranjak besar anak mulai unjuk keberanian. Tak ada lagi perkataan orangtua yang ditaati.

Sebagian ulama mengatakan, _"Al-hurmat khairum minath tha'ah." Respect is much more better than obedience._ Respek itu lebih baik daripada taat, sebab dari respek akan lahir ketaatan yang tulus. Saya lebih suka memaknai al-hurmat dengan respek daripada hormat karena kata-kata yang diserap dari hurmat ini sudah banyak mengalami pendangkalan makna. Di luar itu, kita juga mengenal istilah _takzim_ (mengagungkan, memuliakan,

Bincang Parenting Fauzil Adhim

01 Jun, 01:27


Apa yang dapat kita pelajari dari kisah Jose Mourinho, Sir Alex Ferguson, Arsene Wenger "The Professor", La Masia dan semacamnya? Saya bukan penggemar bola. Tetapi saya suka mempelajari bagaimana seseorang meraih sukses dan sebuah lembaga maupun sekolah (termasuk sekolah bola semacam La Masia) meraih keunggulan. Di antara hal penting yang ada pada mereka adalah disiplin tinggi, kegigihan belajar dan semangat berbenah yang terus menyala. Pembicaraan kita kali ini bukanlah tentang bola. Bukan. Kita sedang berbicara tentang perlunya ilmu dan disiplin dalam meraihnya.

Itu sebabnya saya sangat risau ketika sebagian sekolah memandang tidak perlu membangun basis akademik pada murid-muridnya dengan alasan bahwa potensi anak akan melejit secara optimal jika hanya fokus pada bakat anak. Bahkan alih-alih mengoptimalkan kecerdasan majemuk, agama pun seolah soal bakat sehingga anak tidak harus menyukainya. Padahal belajar agama secara umum merupakan fardhu 'ain yang setiap muslim harus menguasainya.

Sangat berbeda olahragawan yang hanya melakukan olah fisik dengan olahragawan yang benar-benar menekuni bidang itu dengan gigih berlatih sekaligus mengilmui. Kuatnya dasar keilmuan memudahkan seseorang untuk mengoptimalkan kemampuan dan mengembangkan diri, meramu strategi serta menciptakan kreasi dalam bentuk berbagai formula teknis yang produktif. Dasar keilmuan yang kuat juga memudahkannya mengembangkan diri manakala ia sudah tidak lagi produktif dalam bidang olahraga, baik karena faktor usia maupun faktor lain yang membuatnya tak lagi mampu berkiprah secara aktif dalam kancah olahraga profesional.

Pentingnya memahami lanskap teori secara menyeluruh dan menempatkan secara tepat dalam mendidik anak juga diperlukan agar tidak salah dalam menyikapi perilaku anak maupun menyusun rencana pembelajaran. Saya teringat ketika berbincang dengan guru di sebuah sekolah, mengomentari anak yang begitu bebasnya berkeliaran pada jam pelajaran. Guru menyampaikan bahwa anak tersebut memiliki kecerdasan kinestetik sehingga dibiarkan bebas. Saya kemudian bertanya, "Apa bedanya kinestetik dengan liar?"

Ada hal yang perlu dimaklumi pada anak tertentu. Ada pula yang kita sangat perlu mencermati agar langkah kita menyiapkan pendidikan anak tidak menjadi sebab gagalnya mereka belajar disiplin maupun adab.

Bincang Parenting Fauzil Adhim

18 May, 11:46


Jauhi sikap instant dan tergesa-gesa (isti'jal) ingin menguasai ilmu dengan segera. Penghambat tafaqquh (upaya memahami secara sangat mendalam) adalah sikap tergesa-gesa. Pengetahuan dapat diperoleh dengan cepat, tetapi pemahaman yang matang dan mendalam hanya dapat diraih dengan kesabaran dan kesungguhan. Grabbing informations dapat dicapai dengan speed reading. Tetapi untuk pemahaman mendalam, yang diperlukan adalah deep reading.

Kesediaan mencurahkan perhatian dan menempuh proses yang lama merupakan kunci untuk meraih keutamaan-keutamaan ilmu yang sangat tinggi. Banyak hal yang dapat dipelajari dalam waktu singkat. Tapi untuk menghasilkan penguasaan yang matang kerap memerlukan waktu panjang. Meski demikian, sekedar siap menjalani masa yang panjang tidak banyak bermakna apabila tidak disertai ketekunan. Ada kesabaran, ada ketekunan.

Sebagian ilmu menuntut ketekunan untuk masa yang panjang. Keduanya diperlukan. Ini memerlukan daya tahan yang tinggi. Ada orang yang cerdas sehingga mudah memahami. Tapi ada sebagian ilmu yang menuntut ketekunan, masa yang panjang dan sekaligus kecerdasan. Dalam bidang sains pun sabar, tekun dan cerdas diperlukan secara bersamaan. Semisal untuk bidang yang memerlukan observasi longitudinal.

Jika ada guru yang bertanya, apa bekal penting bagi seorang murid, maka nasehat Imam Syafi'i rahimahullah ini yang seharusnya ditanamkan kuat-kuat. Ditanamkan kuat-kuat hingga membekas. Bukan sekedar menjadi pengetahuan sekilas. Semoga ini dapat membentuk sikap belajar yang kuat dan mantap.

Jika adab tertanam kuat dan sikap belajar mengakar dalam diri murid, maka guru yang monoton pun akan didengar sepenuh perhatian. Lebih-lebih guru yang bagus kemampuannya mengajar. Tetapi sekedar pintar mengajar, tak bermakna jika murid lemah adabnya buruk sikapnya.

Sekian. Meski masih tertatih mengais hikmah, semoga ada yang dapat kita amalkan. Mohon koreksi.

Bincang Parenting Fauzil Adhim

18 May, 11:45


Nasehat Imam Syafi'i Kepada Penuntut Ilmu
Oleh: Mohammad Fauzil Adhim


Inilah nasehat Imam Syafi'i rahimahullah kepada para penuntut ilmu. Inilah nasehat yang dulu dipegangi dengan kuat dan mengantarkan banyak orang meraih manfaat menuntut ilmu. Mari sejenak kita perhatikan:


أَخِي لَنْ تَنَالَ العِلْمَ إِلاَّ بِسِتَّةٍ سَأُنْبِيْكَ عَنْ تَفْصِيْلِهَاٍ  بِبَيَانٍ: ذَكَاءٌ وَحِرْصٌ وَاجْتِهَادٌ وَدِرْهَمٌ وَصُحْبَةُ أُسْتَاذٍ وَطُوْلُ زَمَان


"Saudaraku, ilmu tidak akan diperoleh kecuali dengan enam perkara yang akan saya beritahukan rinciannya: (1) kecerdasan, (2) semangat, (3) bersungguh-sungguh, (4) dirham (kesediaan keluarkan uang), (5) bersahabat dengan ustadz, (6) memerlukan waktu yang lama.”



Inilah sikap mental yang seharusnya kita tanamkan kepada anak didik kita. Siap berpayah-payah, semangat bertekun-tekun belajar.


Sesungguhnya yang dimaksud dirham bukanlah banyaknya harta, tetapi terutama kesediaan/kerelaan hati mengeluarkan uang untuk meraih ilmu. Berpijak pada nasehat yang ditanamkan di awal belajar, lapar itu lebih disukai santri asalkan dapat membeli buku. Sikap ini saya pegang saat kuliah. Bukan untuk nyentrik jika kuliah pakai kresek (kantong plastik belanja). Tapi karena buku lebih utama.

Teringat kawan-kawan masa kecil yang cemerlang. Mereka justru akrab dengan rasa lapar. Tetapi mereka amat bersemangat. Lapar kerap jadi pilihan karena mendahulukan ilmu dan mereka justru menjadi cemerlang justru karena itu. Perhatian hanya tertuju pada belajar. Tidak disibukkan oleh urusan makanan. Maka sulit saya memahami penjelasan "sebagian ahli": tidak sarapan sulitkan belajar

Bersahabat dengan Ustadz bukan karena mengharap nilai yang bagus, tapi untuk meraup ilmu yang barakah dan berlimpah. Dulu kesempatan memijat ustadz merupakan kesempatan penuh manfaat. Memijat merupakan kesempatan mendengar limpahan nasehat ustadz. Ini bukanlah soal joyful learning. Justru ini soal kesediaan berpayah-payah demi meraih ilmu yang lebih utama. Ada semangat di sana.

Bersahabat dengan ustadz bahkan tak hanya terkait kesempatan meraup kesempatan lebih banyak untuk memperoleh curahan ilmu darinya. Lebih dari itu adalah ikatan jiwa antara murid dan guru. Teringat, ketika guru sakit, sedih sekali perasaan ini & bersegera mendo'akan. Ikatan semacam ini menjadikan kehadiran guru senantiasa dinanti dan tutur katanya didengarkan sepenuh hati. Inilah bekal amat berharga.

Ketika murid benar-benar memiliki keterikatan hati dengan guru, cara mengajar yang monoton pun tetap membangkitkan antusiasme. Sebaliknya, ketika guru semata hanya mengandalkan metode mengajar, cara yang atraktif pun tak jarang hanya memikat sesaat di kelas. Murid betah mendengarnya karena menarik dan lucu, tapi tak menumbuhkan antusiasme untuk belajar lebih serius di luar kelas. Apalagi jika salah memahami istilah belajar tuntas sehingga seakan tak perlu lagi belajar setiba di rumah, bahkan hingga tertidur pulas di malam hari. Padahal antusiasnya anak belajar sepulang sekolah merupakan salah satu tanda belajar otentik. Jika kita sangat meminati sesuatu, sakit pun tak menghalangi untuk menekuninya.

Maka membekali murid dengan menumbuhkan sikap percaya kepada guru, hormat serta ikatan emosi dengan guru amat mendesak dilakukan. Dalam hal ini, kita dapat membincang dari kacamata efektivitas pembelajaran. Tapi saya lebih suka melihat dari segi kebarakahan belajar. Masalah "barakah" memang terasa makin asing dalam pembicaraan tentang pendidikan, hatta itu sekolah Islam. Padahal ini sangat penting.

Prinsip lain yang dinasehatkan oleh Imam Syafi'i rahimahullah bagi penuntut ilmu adalah طُوْلُ زَمَان (memerlukan waktu lama). Seorang santri (murid) harus menyiapkan diri menghabiskan waktu yang panjang untuk mencapai pemahaman yang mendalam terhadap ilmu.

Bincang Parenting Fauzil Adhim

15 May, 12:29


Sejauh-jauh perjalanan, rumah juga yang dirindukan. Inilah tempat untuk melabuhkan rindu, meneduhkan hati dan menyejukkan pikiran. Bukan sekedar tempat untuk mengistirahatkan badan yang letih.

Sejuknya rumah bagi hati bukan karena meja kursi yang tersusun rapi. Bukan pula karena aroma mewangi ruangan yang lembut mengesankan. Aroma mewangi bahkan tak penting adanya. Rumah terasa menyejukkan dan senantiasa membangkitkan kerinduan untuk segera pulang justru oleh keriuhan anak-anak yang sedang tumbuh. Pertanyaan mereka yang polos, sapa mereka yang hangat, dan terlebih ketika anak-anak itu menunjukkan perhatian dan kepedulian.

"Bapak capek? Mau kuinjak-injak?" sapa anak saya yang ketujuh: Sakinah. Masih TK dia. Karena belum bisa memijat, ia biasa menawarkan menginjak-injak punggung saya dengan kaki mungilnya bila ia melihat saya sedang capek. Sebuah hadiah istimewa yang lahir dari empati.

Anak saya nomor 6, Nida, yang sekarang kelas 3 SD biasanya paling ringan hati mengambilkan air putih, apalagi kalau saya sedang sakit. Hal sederhana, tetapi ini menunjukkan perhatian dan empati. Sementara anak nomor 5 yang bersemangat dalam pelajaran Al-Qur'an di sekolahnya, Navies, biasanya antusias menanyakan koran atau majalah. Saat ini, tinggal mereka bertiga yang masih di rumah. Sementara kakak-kakaknya belajar di pesantren.

Umur semakin tua dan anak-anak tumbuh semakin besar. Di perjalanan aku tersentak, betapa cepatnya waktu berlalu. Alangkah sedikit yang sudah kulakukan untuk mereka.

Terdiam di sini. Menempuh perjalanan pulang. Sejauh-jauh kaki melangkah, rumah juga tempat yang paling dirindui. Begitulah seharusnya, kecuali mereka yang tidak menemukan kesejukan hati di rumahnya sendiri. Na'udzubillahi minta dzaalik.

Semoga Allah Ta'ala jadikan anak-anak kita sebagai penyejuk mata di dunia dan akhirat. Qurrata a'yun.

Bincang Parenting Fauzil Adhim

05 May, 23:39


Apa yang membedakan buku dengan guru? Buku menyodorkan ilmu pengetahuan, terserah kepada kita bagaimana mengambilnya, tepat atau salah. Guru memandu kita dengan hikmah, memilihkan menerangkan sesuai keadaan murid, mana yang terbaik tanpa menyelisihi kebenaran. Ia menakar dengan pemahamannya yang mendalam tentang agama serta pengetahuannya yang baik tentang murid-muridnya sehingga dengan itu muridnya dapat menjalani agama ini dengan baik. Tidak berguguran di tengah perjalanan.

Maka adakalanya guru mencegah dari mengejar bilangan hafalan Al-Qur’an terlalu banyak, meminta muridnya mengulang-ulang apa yang telah dihafalnya, bukan karena muridnya tidak memiliki kemampuan menghafalkan dengan baik. Tetapi justru untuk menjaganya agar tidak mudah rontok, hilang hafalan, sesudahnya sangat berat untuk bangkit. Adakalanya guru menyuruh sebagian murid untuk mengambil waktu istirahat, sejenak keluar dari rutinitas belajar, justru untuk menjaga stamina belajarnya, menjaganya pula dari melampaui batas. Beda murid, beda kebijaksanaan yang perlu diambil. Dan ini menunjukkan bahwa untuk menjadi guru, harus memiliki pemahaman yang sangat mendalam atas ilmu yang diajarkannya. Ia menguasai betul ilmu yang diampunya, memahami literatur rujukan yang dipergunakannya, serta mengenali dengan baik murid-murid yang dibimbingnya. Tanpa itu, ia hanya menjadi tutor alias penyampai informasi pengetahuan. Bukan sungguh-sungguh seorang guru.

Jika Anda berkeinginan kuat untuk menjadi guru, betapa pun selama ini telah mengajar setiap hari, sudahkah dua bekal berkenaan dengan ilmu dan penerimanya ini telah Anda siapkan?