*🍽️ HUTANG PUASA UNTUK ORANG TUA YANG MENINGGAL🪦*
Kwajiban anak kepada kedua orang tua yang sudah meninggal dunia adalah mendo'akan nya , menyambung silaturahim kepada saudara - saudara , kerabat dan sahabat - sahabatnya dahulu ketika semasa hidupnya , menunaikan wasiatnya.
Bagaimana jika orang tua meninggal dunia dan masih memiliki tanggungan puasa yang belum di tunaikannya,,??
Jawabannya adalah sebagai berikut ;
Alhamdulillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du,
"WARISAN PARA NABI itu ILMU bukan HARTA ( DINAR dan DIRHAM )"
Beliau Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ الْأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلَا دِرْهَمًا إِنَّمَا وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَ بِهِ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ
“Sesungguhnya PARA NABI TIDAK MEWARISKAN DINAR dan DIRHAM, sesungguhnya MEREKA hanyalah MEWARISKAN ILMU, maka barangsiapa yang telah mengambilnya, maka ia telah mengambil bagian yang banyak.”
(HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi).
Dari A’isyah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
من مات وعليه صيام صام عنه وليُّه
“Siapa yang meninggal dan dia masih memiliki tanggungan puasa maka walinya wajib mempuasakannya.”
(HR. Bukhari 1952 dan Muslim 1147)
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau menceritakan,
أنّ امرأة ركبَت البحر فنذَرت، إِنِ الله -تبارك وتعالى- أَنْجاها أنْ تصوم شهراً، فأنجاها الله عز وجل، فلم تصم حتى ماتت. فجاءت قرابة لها إِلى النّبيّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -، فذكرت ذلك له، فقال: أرأيتك لو كان عليها دَيْن كُنتِ تقضينه؟ قالت: نعم، قال: فَدَيْن الله أحق أن يُقضى، فاقضِ عن أمّك
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau mengatakan,
Ada wanita yang naik perahu di tengah laut, kemudian dia bernazar, jika Allah menyelamatkan dirinya maka dia akan puasa sebulan. Dan Allah menyelamatkan dirinya, namun dia belum sempat puasa sampai mati. Hingga datang putri wanita itu menghadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan dia menyebutkan kejadian yang dialami ibunya. Lantas beliau bertanya: ‘Apa pendapatmu jika ibumu memiliki utang, apakah engkau akan melunasinya?’ ‘Ya.’ Jawab wanita itu. Kemudian beliau bersabda, ‘Hutang kepada Allah lebih layak untuk dilunasi. Lakukan qadha untuk membayar hutang puasa ibumu.’
(HR. Ahmad 1861, Abu Daud 3308, Ibnu Khuzaimah 2054, dan sanadnya dishahihkan Al-A’dzami).
Juga dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma,
أنّ سعد بن عبادة -رضي الله عنه- استفتى رسول الله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فقال: إِنّ أمّي ماتت وعليها نذر فقال: اقضه عنها
Bahwa Sa’d bin Ubadah radhiyallahu ‘anhu bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Sesungguhnya ibuku mati dan beliau memiliki utang puasa nadzar.’ Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Lunasi hutang puasa ibumu.’
(HR. Bukhari 2761, An-Nasai 3657 dan lainnya).
Ketiga hadis di atas menunjukkan bahwa ketika ada seorang muslim yang memiliki hutang puasa dan belum dia qadha hingga meninggal maka pihak keluarga (wali) orang ini berkewajiban mempuasakannya.
Kemudian, dari ketiga hadis di atas, hadis pertama bersifat umum. Dimana qadha puasa atas nama mayit, berlaku untuk semua utang puasa wajib. Baik utang puasa ramadhan maupun utang puasa nadzar. Sedangkan dua hadis berikutnya menegaskan bahwa wali berkewajiban mengqadha utang puasa nadzar yang menjadi tanggungan mayit.
Berangkat dari sini, ulama berbeda pendapat, apakah kewajiban mengqadha utang puasa mayit, berlaku untuk semua puasa wajib ataukah hanya puasa nadzar saja.
Pendapat pertama menyatakan bahwa kewajiban mengqadha utang puasa mayit berlaku untuk semua puasa wajib. Baik puasa ramadhan, puasa nadzar, maupun puasa kaffarah. Ini adalah pendapat syafiiyah dan pendapat yang dipilih Ibnu Hazm. Dalil pendapat ini adalah hadis A’isyah di atas, yang maknanya umum untuk semua utang puasa.