Kritik Syaikh Hasanain Muhammad Makhluf atas Maulid Simthud Durar.
Sekitar tahun 1950-an, Syaikh Hasanain Muhammad Makhluf, mantan Mufti Mesir, mengoreksi naskah Maulid Simthud Durar karya lmam Ali bin Muhammad Al-Habsyi. Dalam proses koreksinya, beliau melakukan beberapa perubahan, termasuk menghapus huruf nun pada kataيدخلان dan يتروحان karena dianggap tidak sesuai dengan kaidah bahasa Arab ( Nahwu). Menurutnya, huruf nun tersebut seharusnya dihilangkan untuk menyesuaikan i'rab nashab yang dipengaruhi oleh huruf fa sababiyah, sebagai jawab dari لعل.
Teks lengkpanya :
لعل الله ينفع به المتكلم والسامع .. فيدخلان في شفاعة هذا النبي الشافع .. ويتروحان بروح ذلك النعيم.
Namun, Imam Al-Habsy mempertahankan huruf nun tersebut. Cucu Imam, Al-Habib Ahmad bin Alwi bin Ali Al-Habsyi, menjelaskan bahwa Imam Al-Habsyi tidak memfungsikan huruf fa' sebagai sababiyah, melainkan sebagai huruf 'athaf, yang mengharuskan kata tersebut tetap dibaca rafa' dengan menet apkan huruf nun.
Ini berdasarkan pandangan mayoritas ulama nahwu, termasuk Ibnu Hisyam, dan diperkuat oleh pembacaan mayoritas qira-ah dalam surat Ghafir, ayat 37, di mana sebagian besar ulama membaca فأطلع dengan rafa' kecuali Imam Hafsh yang membacanya dengan nashab.
Perbedaan pendapat ini kemudian ditanggapi ole Syaikh
Abdurrahman bin Abdullah Bukair dalam kitabnya " Likaila Naqau Fi ‘Irdhi Uslub al-Imam al-Habsyi, yang memberikan dukungan kepada pandangan Imam Al-Habsyi. Beliau menegaskan bahwa setiap orang yang memahami tujuannya akan mengambil jalan yang paling mudah dan jelas, dan mencela ilmu orang lain hanya karena tidak memahami sepenuhnya bukanlah hal yang bijak.
Ket. Terjemehan bebas dari teks lengkapnya dengan beberapa editing tanpa mengubah makna substansi.
ولما طبعه مفتي الديار المصرية الأسبق الشيخ حسنين محمد مخلوف (ت 1990م)، في الخمسينيات الميلادية قام ببعض الحذف ظنا منه أنه خطأ نحوي، فمن ذلك قام بحذف النون من فعلي فيدخلان ويتروحان في قوله ( ولعل اللهَ ينفع به المتكلم والسامع فيدخلان في شفاعة هذا النبي الشافع ويتروحان بروح ذلك النعيم) ، ولكن الإمام الحبشي أثبتهما لأنه لايريد إعمال الفاء على مذهب الكثير من النحويين ومنهم ابن هشام، وإنما هي عاطفة والمعطوف على المرفوع مرفوع، وكذلك قراءة جمهور القراء لقوله تعالى (وَقَالَ فِرْعَوْنُ يَا هَامَانُ ابْنِ لِي صَرْحًا لَعَلِّي أَبْلُغُ الْأَسْبَابَ (36) أَسْبَابَ السَّمَاوَاتِ فَأَطَّلِعَ إِلَى إِلَهِ مُوسَى) سورة غافر، قرأ جمهور القراء فأطلع بالرفع ما عدا حفص فنصبها، وهذا الدليل من أقوى الأدلة التي أفحم بها حفيده العلامة أحمد بن علوي بن علي الحبشي الشيخ المذكور عندما قابله في مكة المكرمة
***
Karena itu, Ba'alawi dikenal sebagai salah satu kabilah yang memiliki warisan keilmuan dan karya yang sangat luas dalam dunia Islam. Mereka bukan hanya terkenal karena keturnannya, tetapi juga karena dedikasinya dalam menyebarkan ilmu syariat dan adab. Sejak generasi awal, para ulama dari keluarga Ba 'alawi telah menorehkan berbagai karya yang meliputi tafsir, hadits, figh, sastra dan adab serta ilmu tasawuf yang sampai hari ini mash dijadikan rujukan.
Karya-karya mereka bukan sekadar tulisan, tetapi hasil dari pengembaraan intelektual dan spiritual yang mendalam, yang dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Dari Imam Al - Habsyi dengan maulidnya, Imam Al- Haddad dengan berbagai kitab nya hingga Sayyid Abdullah bin Alwi Al-Haddad yang menjadi tonggak dalam dunia tasawuf, menunjukkan betapa seriusnya mereka dalam mendalami ilmu agama dan menyebarkannya ke seluruh penjuru dunia. Banyak dari mereka yang menulis kitab-kitab monumental yang dipelajari di berbagai belahan dunia Islam, bahkan hingga ke pusat-pusat keilmuan besar seperti Al-Azhar dan Haramain.
Mereka tidak sekadar mengisahkan karomah dan keajaiban para wali, tetapi lebih menekankan pentingnya menuntut ilmu, memperbaiki akhlak, dan beramal shalih. Ole karena itu, mengenal Bani ‘Alawi bukanlah mengenal dongeng atau kisah takhayul, melainkan memahami jejak keilmuan yang nyata dan kontribusi mereka dalam membentuk peradaban Islam.