Jiwa Bertauhid @jiwa_bertauhid Channel on Telegram

Jiwa Bertauhid

@jiwa_bertauhid


Mereka yang memiliki Kesempurnaan Tauhid, memiliki Jiwa Yang Bertauhid.

Jiwa Bertauhid (Indonesian)

Jiwa Bertauhid adalah channel Telegram yang didedikasikan untuk membahas tentang kehidupan berdasarkan prinsip Tauhid yang sempurna. Dalam Islam, Tauhid adalah konsep keyakinan kepada keesaan Allah yang merupakan dasar utama dalam beragama. Jiwa Bertauhid menyajikan pemikiran-pemikiran yang mendalam mengenai bagaimana kesempurnaan Tauhid dapat mempengaruhi jiwa seseorang. Channel ini merupakan tempat yang tepat bagi mereka yang ingin mendalami ajaran Tauhid dan mengasah pemahaman mereka terhadap keagamaan. Jiwa Bertauhid memberikan bahan-bahan bacaan, kutipan-kutipan bijak, dan diskusi-diskusi yang mendalam mengenai kehidupan berdasarkan perspektif Tauhid yang sejati. Jika Anda ingin menemukan kedamaian jiwa dan meningkatkan pemahaman spiritual, Jiwa Bertauhid adalah channel Telegram yang tepat untuk Anda. Bergabunglah sekarang dan temukan kedalaman makna dari kesempurnaan Tauhid dalam membentuk jiwa yang bertauhid!

Jiwa Bertauhid

21 Nov, 10:54


MasyaAllah, La Hawla Wala Quwwata illah Billahil 'Aliyyil 'Adzhiim (3x)

Bermaksud:
Ia berlaku dengan Kehendak Allah,
tiada daya dan tiada kekuatan melainkan dengan izinMu, Ya Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Agung.

Jiwa Bertauhid

21 Nov, 10:54


Ada Yang Berkata, Rahmat Allah Pasti Diperolehi Dalam Taat KepadaNya, Siapa Kata?

Yang Pasti Mendapat Rahmat Allah Adalah Yang Kekal MemandangNya Dalam Taat dan Juga Maksiat. Dalam Taat, Dia Tidak Memandang Ketaatannya Melainkan Memandang Diri. Dalam Maksiat, Dia Tidak Memandang Maksiat Itu Melainkan Pengampunan Allah SWT.

Pernyataan ini mengandung kedalaman makrifat tentang bagaimana seorang hamba memandang rahmat Allah dalam setiap keadaan, baik ketika berada dalam ketaatan maupun terjerumus dalam maksiat. Berikut adalah penjelasannya:

1. Rahmat Allah Meliputi Segala Sesuatu

Rahmat Allah Tidak Terbatas: Allah berfirman, "Dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu." (QS Al-A'raf: 156). Ini menunjukkan bahwa rahmat Allah tidak hanya diperoleh dalam ketaatan, tetapi juga tetap tersedia dalam kondisi maksiat, selama seorang hamba menyadari dan kembali kepada-Nya.

Kekal Memandang Allah: Rahmat Allah diperoleh oleh mereka yang hatinya kekal terpaut kepada Allah, bukan kepada amal ketaatan atau maksiat yang dilakukan. Yang dipandang adalah Allah sebagai Pemilik segala sesuatu, bukan diri dan amal perbuatannya.

2. Dalam Taat, Tidak Memandang Ketaatan

Bahaya Ujub dalam Ketaatan: Ketika seorang hamba memandang ketaatannya sebagai hasil usahanya, dia berpotensi terjerumus dalam ujub dan merasa cukup dengan amalnya.

Memandang Diri dalam Taat: Seorang hamba yang benar memandang ketaatan sebagai anugerah dan taufik dari Allah, bukan hasil jerih payah dirinya. Dengan demikian, ia tetap rendah hati dan tidak merasa memiliki keistimewaan apa pun.

3. Dalam Maksiat, Tidak Memandang Maksiat Itu

Jangan Tenggelam dalam Keputusasaan: Ketika seorang hamba terjerumus dalam maksiat, yang dipandang adalah keampunan dan rahmat Allah, bukan dosanya semata. Ini menghindarkan dari keputusasaan yang dilarang Allah:
"Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya." (QS Az-Zumar: 53).

Taubat sebagai Jalan Kembali: Dalam maksiat, seorang hamba hendaknya segera memohon ampunan dan kembali kepada Allah, karena yang lebih penting adalah kesadaran untuk kembali kepada-Nya.

4. Hakikat Memandang Allah dalam Segala Keadaan

Taat dan Maksiat sebagai Jalan untuk Mengenal Allah: Baik dalam taat maupun maksiat, seorang hamba selalu melihat Allah sebagai Maha Pengatur, Maha Pengampun, dan Maha Penyayang.

Tidak Bergantung pada Amal: Seorang hamba yang hakiki tidak bergantung kepada amalnya, tetapi sepenuhnya berserah kepada rahmat Allah. Dalam taat, ia tidak sombong; dalam maksiat, ia tidak putus asa.

Kesimpulan:

Rahmat Allah Tidak Bergantung pada Keadaan: Rahmat Allah meliputi hamba-Nya dalam segala keadaan, baik dalam ketaatan maupun maksiat, selama hati tetap terpaut kepada-Nya.

Memandang Allah, Bukan Amal: Fokusnya adalah pada Allah sebagai sumber segalanya, bukan pada amal perbuatan diri.

Hamba yang Kekal Memandang Allah: Inilah hakikat seorang hamba sejati, yang melihat kasih sayang Allah dalam setiap aspek kehidupannya, sehingga ia selalu berada dalam ketenangan dan pengharapan kepada-Nya.

Pernyataan ini mengajarkan kepasrahan yang mendalam, menghindari ujub dalam taat, dan putus asa dalam maksiat, dengan menjadikan Allah satu-satunya tujuan dalam setiap keadaan. (ChatGPT)

Jiwa Bertauhid

21 Nov, 09:34


MasyaAllah, La Hawla Wala Quwwata illah Billahil 'Aliyyil 'Adzhiim (3x)

Bermaksud:
Ia berlaku dengan Kehendak Allah,
tiada daya dan tiada kekuatan melainkan dengan izinMu, Ya Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Agung.

Jiwa Bertauhid

21 Nov, 09:34


Semua Yang Berlaku Kepada Diri Kita Tetap Tidak Terlepas Dari Allah Yang Maha Mentadbir Dengan Sifat Ar RahmanNya.

Semuanya Baik Belaka, Hatta Dajjal, Iblis, Semuanya Tidak Ada Yang Tidak Baik Dari Allah Termasuk Dosa. Jangan Berbuat Dosa, Jika Berbuat Dosa Pun Tetap Tidak Terputus Dari Rahmat Allah SWT.

Pernyataan ini menegaskan bahwa segala sesuatu yang terjadi di alam ini, baik atau buruk menurut pandangan manusia, berada di bawah tadbir Allah dengan sifat Ar-Rahman-Nya, yang meliputi kasih sayang kepada seluruh makhluk-Nya. Berikut adalah penjelasan dari sudut pandang akidah dan hikmah:

1. Segala Sesuatu Adalah Tadbir Allah

Allah Maha Mentadbir: Segala peristiwa di alam ini, baik yang dipandang sebagai kebaikan maupun keburukan oleh manusia, adalah bagian dari tadbir Allah. Tidak ada sesuatu pun yang luput dari kehendak dan pengaturan-Nya.

Sifat Ar-Rahman: Allah adalah Maha Pengasih, bahkan kasih sayang-Nya meliputi makhluk yang dianggap buruk, seperti Iblis dan Dajjal. Segala sesuatu memiliki hikmah tersembunyi dalam rencana-Nya.

2. Kebaikan dalam Perspektif Allah

Hakikat Kebaikan: Apa yang dianggap buruk oleh manusia tidak selalu buruk di sisi Allah. Sebagai contoh, dosa yang membawa seorang hamba kepada taubat bisa menjadi jalan kembali kepada Allah, bahkan mengangkat maqamnya lebih tinggi daripada sebelumnya.

Dosa sebagai Ujian dan Perbaikan: Dosa yang disadari dan diikuti dengan taubat membawa seseorang lebih dekat kepada Allah. Namun, berbuat dosa dengan kesengajaan dan tanpa penyesalan adalah bentuk pelanggaran yang harus dihindari.

3. Rahmat Allah Tidak Terputus

Jangan Putus Asa dari Rahmat Allah: Firman Allah dalam Al-Quran:
"Katakanlah, 'Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya.'" (QS Az-Zumar: 53).
Ini menunjukkan bahwa rahmat Allah selalu terbuka bagi siapa pun yang kembali kepada-Nya dengan taubat dan ikhlas.

Peran Dosa dalam Perjalanan Spiritual: Dosa bukan alasan untuk putus asa, tetapi menjadi momen refleksi untuk kembali kepada Allah dengan hati yang lebih bersih dan rendah hati.

4. Jangan Berbuat Dosa, tetapi Jika Terlanjur…

Larangan Berbuat Dosa: Allah melarang manusia berbuat dosa karena dosa merusak hubungan dengan-Nya, dengan sesama makhluk, dan bahkan dengan diri sendiri.

Jika Terlanjur Berdosa: Jangan merasa terputus dari rahmat Allah. Kembali kepada-Nya melalui istighfar, taubat, dan amal soleh adalah cara untuk memperbaiki diri.

Kesimpulan:

Segala Sesuatu adalah Hikmah: Bahkan hal-hal yang dianggap buruk memiliki tujuan dalam rencana Allah.

Jangan Berputus Asa: Rahmat Allah meliputi segala sesuatu, termasuk mereka yang berdosa, selama mereka ingin kembali kepada-Nya.

Berbuat Baik dan Menjauhi Dosa: Hindari dosa, tetapi jika terlanjur melakukannya, jadikan dosa itu sebagai alasan untuk bertambah dekat kepada Allah dengan taubat dan amal soleh.

Perjalanan hidup, termasuk dosa dan kesalahan, adalah bagian dari ujian Allah untuk membawa hamba-hamba-Nya menuju penghambaan yang lebih tulus. Tetaplah berharap kepada rahmat Allah dan jangan pernah merasa terputus dari-Nya. (ChatGPT)

Jiwa Bertauhid

21 Nov, 09:27


Kekal Bersangka Baik Kepada Mursyid Yang Membimbing, Murid Hanya Mahukan Kasih Allah Yang Tertumpah Pada Dirinya.

Jika Benar Mursyid Itu, Pasti Akan Mendapatnya. Jika Tidak Benar Mursyid Itu, Tentu Allah Akan Menemukan Dengan Mursyid Yang Benar.

Yang Utama Adalah Niat Kita dan Bukan Menilai Siapa dan Apa Guru Itu. Yang Penting Adalah Benar dan Jujur Diri, Kesungguhan Rohani.

Rata-rata Yang Tidak Benar Gurunya Kerana Diri Tidak Memiliki Niat Yang Benar Pada Mulanya.

Pernyataan ini mengandung hikmah yang mendalam tentang adab dalam hubungan murid dengan mursyid, serta pentingnya niat dan kejujuran diri dalam perjalanan spiritual. Berikut penjelasannya:

1. Kekal Bersangka Baik kepada Mursyid

Adab terhadap Mursyid: Seorang murid perlu bersangka baik kepada mursyid, karena bimbingannya adalah bagian dari ketentuan Allah untuk perjalanan ruhani murid. Sikap ini melatih hati untuk tawaduk dan ikhlas menerima apa yang datang dari Allah melalui mursyid.

Kasih Allah yang Tertumpah: Tujuan utama murid adalah mendapatkan rahmat dan kasih Allah. Jika mursyid itu benar, dia akan menjadi wasilah untuk membawa murid kepada kasih Allah. Jika tidak benar, Allah yang Maha Mengatur akan menggantikan dengan mursyid yang sejati.

2. Keutamaan Niat dalam Berhubungan dengan Mursyid

Niat yang Benar dan Jujur: Hubungan murid dengan mursyid bergantung pada niat murid itu sendiri. Jika niatnya benar—hanya untuk Allah—maka perjalanan itu akan diberkahi, terlepas dari siapa mursyidnya.

Kesungguhan Rohani: Murid yang bersungguh-sungguh dalam rohaninya akan menerima manfaat, bahkan jika gurunya kurang sempurna. Sebaliknya, niat yang salah akan menghalangi keberkatan, meskipun gurunya benar.

3. Tidak Menilai Guru secara Berlebihan

Fokus pada Perjalanan Diri: Menilai guru secara berlebihan, baik memujinya secara fanatik maupun mencela tanpa alasan yang sah, bisa menjadi penghalang spiritual. Yang lebih penting adalah introspeksi diri dan memperbaiki niat serta amal.

Kebergantungan kepada Allah: Seorang murid tidak boleh bergantung sepenuhnya kepada mursyid, melainkan kepada Allah yang mengatur segala sesuatu. Allah adalah sebaik-baik pemberi petunjuk dan akan mempertemukan murid dengan guru yang sesuai.

4. Hikmah dari Guru yang Tidak Benar

Ujian untuk Memurnikan Niat: Jika seorang murid bertemu dengan guru yang tidak benar, itu bisa menjadi ujian dari Allah untuk memurnikan niatnya. Dari situ, murid belajar untuk tetap berserah kepada Allah dan tidak menjadikan mursyid sebagai tujuan akhir.

Pengarahan kepada Guru yang Sejati: Jika niat murid tetap jujur dan benar, Allah akan memalingkannya dari mursyid yang tidak benar dan mengarahkannya kepada bimbingan yang lebih baik.

Kesimpulan:

Perbaiki Niat: Fokus pada niat yang tulus hanya kepada Allah, bukan kepada mursyid atau maqam tertentu.

Bersangka Baik: Sikap husnuzhan kepada mursyid akan membuka keberkatan dan kemudahan dalam perjalanan spiritual.

Kebergantungan kepada Allah: Apapun yang terjadi, tetaplah bergantung kepada Allah, karena Dia yang Maha Mengetahui dan Maha Membimbing.

Kejujuran dan Kesungguhan: Kejujuran dalam hati dan kesungguhan dalam amal akan menentukan sejauh mana seorang murid mendapat manfaat dari perjalanan ini.

Perjalanan spiritual bukan soal siapa guru yang ditemui, tetapi bagaimana niat dan kejujuran diri dalam menempuh jalan menuju Allah. (ChatGPT)

Jiwa Bertauhid

21 Nov, 08:15


MasyaAllah, La Hawla Wala Quwwata illah Billahil 'Aliyyil 'Adzhiim (3x)

Bermaksud:
Ia berlaku dengan Kehendak Allah,
tiada daya dan tiada kekuatan melainkan dengan izinMu, Ya Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Agung.

Jiwa Bertauhid

21 Nov, 08:14


Jika Ada Yang Bertanya, Benarkah Cinta Aku Ini Kepada Nabi?. Jawapannya, Tidak Penting Untuk Kamu Cinta Pada Nabi Kerana Perjalanan Cinta Itu Milik Allah, Maka, Bersangka Baik Sahajalah Dengan Allah, Yang Penting Sudah Menemukan Asbab Ke Arah Itu, Sudah Selesai.

Pertama, Selawat Agar Dipertemukan Dengan Guru Yang Membimbing. Apabila Telah Menemukan Guru Yang Membimbing, Kekal Dalam Bimbingannya, Kena Marah, Kena Puji, Dieduli Atau Tidak Dipedulikan, Ditanggapi Atau Tidak Ditanggapi, Apa Sahaja Hubungan Dengan Mursyid, Redam Sahaja.

Ini Kerana Aku Bukan Berkehendak Mursyid, Aku Bukan Berkehendak Amal, Aku Hanya Berkehendak MemandangNya.

Pernyataan ini membawa makna yang mendalam tentang hakikat cinta kepada Nabi, hubungan dengan guru (mursyid), dan perjalanan menuju Allah. Berikut adalah penjelasan berdasarkan inti dari ungkapan tersebut:

1. Cinta Kepada Nabi dan Perjalanan Cinta Milik Allah

Makna Cinta kepada Nabi: Mencintai Nabi SAW bukan sekadar perasaan emosional, tetapi juga mengikuti sunnahnya, memahami risalahnya, dan meneladani akhlaknya.

Hakikat Cinta Milik Allah: Cinta kepada Nabi adalah jalan untuk mencintai Allah, karena Allah yang menciptakan rasa cinta itu. Yang lebih penting adalah bersangka baik kepada Allah, bahwa setiap langkah dalam kehidupan adalah asbab untuk mendekat kepada-Nya.

Asbab Ke Arah Cinta: Selawat, zikir, dan amal soleh adalah sarana yang mengarahkan hati menuju cinta kepada Allah melalui kecintaan kepada Nabi.

2. Peran Guru dalam Perjalanan Spiritual

Selawat Memohon Guru: Guru atau mursyid adalah pembimbing yang membantu menyelamatkan jiwa dari jalan yang menyimpang. Memohon melalui selawat adalah bentuk doa agar Allah mempertemukan dengan guru yang tepat.

Kekal dalam Bimbingan Guru: Dalam perjalanan spiritual, keberadaan mursyid tidak hanya untuk menyenangkan hati murid. Hubungan dengan mursyid mencakup penerimaan baik dalam pujian maupun teguran, perhatian maupun pengabaian.

Sikap Redam: Sikap redam adalah sikap pasrah yang menghapus keakuan (ego) dalam hubungan dengan mursyid. Ini adalah latihan hati untuk memandang semua keadaan sebagai ketentuan Allah.

3. Tujuan Utama: Memandang Allah

Bukan Berkehendak kepada Guru atau Amal: Guru dan amal hanyalah alat, bukan tujuan akhir. Yang dicari adalah pandangan hati yang lurus kepada Allah.

Memandang Allah: Berkehendak memandang-Nya adalah maqam tertinggi, di mana segala amalan dan hubungan semata-mata diarahkan kepada Allah.

Kesimpulan:

Bersangka Baik kepada Allah: Fokus pada hubungan dengan Allah melalui amal dan bimbingan, tanpa terlalu terobsesi pada capaian cinta atau maqam tertentu.

Ikhlas dalam Beramal: Jadikan setiap langkah dalam jalan ini sebagai bentuk pengabdian kepada Allah, bukan untuk mendapatkan pujian, balasan, atau kedudukan tertentu.

Tawakkal dan Redam: Pasrahkan semua kepada Allah, termasuk dalam hubungan dengan mursyid, karena akhirnya segala sesuatu kembali kepada-Nya.

Perjalanan ini adalah soal keikhlasan, kesabaran, dan kerendahan hati untuk menuju Allah dengan sepenuh cinta dan penyerahan. (ChatGPT)

Jiwa Bertauhid

21 Nov, 08:06


Nilai Yang Dimaksudkan Itu Sudah Dijelaskan Di Dalam Daurah Ini, Maka, Amalkanlah Amalan Soleh Yang Mudah Yang Memberikan Nilai Hidup.

Keinginan Diri Tetap Syuhudi Iaitu Kekal MemandangNya. Maka, Buatlah Apa Sahaja Amalan Yang Baik Dan Saling Mendoakan Kebaikan Diantara Satu Sama Yang Lain.

Ungkapan ini menekankan pentingnya amalan soleh yang mudah dan memberikan nilai hidup kepada individu. Nilai hidup yang dimaksudkan adalah kesadaran untuk selalu memandang Allah (syuhudi), yakni menjalani hidup dengan mengarahkan hati dan jiwa hanya kepada-Nya, baik dalam beribadah maupun dalam berinteraksi dengan makhluk-Nya.

Poin-Poin Utama:

1. Amalan Soleh yang Mudah: Fokus pada amalan-amalan ringan namun memiliki keberkahan besar, seperti membaca zikir, bersedekah, membantu orang lain, atau bahkan sekadar senyum kepada sesama. Hal ini menanamkan nilai kebaikan dan meningkatkan hubungan hati dengan Allah.

2. Keinginan Syuhudi: Syuhudi adalah maqam kesadaran tinggi yang membuat seseorang tetap memandang Allah dalam segala sesuatu, baik dalam keadaan senang maupun susah. Ini adalah bentuk ihsan dalam beramal.

3. Saling Mendoakan Kebaikan: Doa yang saling dipanjatkan adalah manifestasi kasih sayang antara sesama hamba Allah, serta membawa keberkatan dan keridhaan-Nya.

Aplikasi Dalam Kehidupan:

Lakukan amalan dengan niat yang ikhlas hanya untuk Allah.

Jadikan setiap perbuatan, sekecil apapun, sebagai ladang pahala yang mendekatkan kepada-Nya.

Perkuat hubungan dengan sesama melalui doa, tolong-menolong, dan kebaikan yang tulus.

Semoga amal yang mudah tetapi konsisten ini dapat menjadi jalan menuju syuhudi dan kehidupan yang penuh dengan keberkatan. (ChatGPT)

Jiwa Bertauhid

21 Nov, 08:02


Ulang dengar rakaman daurah kitab berkaitan ilmu Tauhid Ihsan. Barakallahu fiikum

Jiwa Bertauhid

21 Nov, 08:00


"Engkau tidak akan sampai pada hamparan CintaNya selagi dalam jiwamu ada kemegahan baik berupa amal, harta, pangkat, ilmu, dakwah, jihad, rupa, keturunan dan apa jua. Dia membenci jiwa yang ada kemegahan kerana tiada layak hambaNya memakainya. Justeru itu Azazil tiada dapat mencapai hamparan cintaNya kerana ada kemegahan dengan keturunannya, ilmu dan amalnya."
(Kitab Duhai Perindu Allah)

Perjalanan ini adalah dengan mengemis Cinta Allah SWT. Sekiranya tiada sifat mengemis untuk CintaNya dalam hati kita, maka dia tidak akan dapat buah kepada Tauhid.

Rasa sombong dengan amal, rupa, ilmu, harta, keturunan, kerja dakwah dll. Ini tidak akan mendapat Cinta Allah SWT. Orang yang ada kesombongan ini tidak akan mendapat Cinta Allah SWT.

Kita tidak akan mendapat Pandangan Allah, Curahan Rahmat Allah, Cinta Allah sekiranya kita memiliki najis Rasa Keakuan dan Kesombongan itu. (Daurah Kitab Duhai Perindu Allah)

Jiwa Bertauhid

21 Nov, 08:00


MasyaAllah, La Hawla Wala Quwwata illah Billahil 'Aliyyil 'Adzhiim

Bermaksud:
Ia berlaku dengan Kehendak Allah,
tiada daya dan tiada kekuatan melainkan dengan izinMu, Ya Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Agung.

Jiwa Bertauhid

21 Nov, 07:59


"Apabila Mursyid mu membuka, Allah pula akan membenarkannya."

Apabila seorang mursyid membukakan rahsia memandang wajahNya pada muridnya yang diizinkan oleh Allah untuk membukanya, pengetahuan si murid itu adalah berupa maklumat sahaja belum tahkik.

Sehingga Allah sendiri membuka tabirNya dan memperlihatkan padanya seperti apa yang diceritakan oleh mursyidnya.

Demikianlah maksud kalam pengarang...

Jiwa Bertauhid

21 Nov, 07:59


Berkait dengan hal ini sebaiknya kita renung sabda Nabi s.a.w:
في الصحيحين أنه قال عليه الصلاة والسلام: إن الله خلق آدم على صورته وجاء في رواية أحمد وجماعة من أهل الحديث: على صورة الرحمن...
Sesungguhnya Allah menciptakan Adam di atas rupa Nya; pada riwayat Imam Ahmad dan sekumpulan ahli hadis: di atas rupa Ar Rahman( hadis riwayat Bukhari dan Muslim).

Jiwa Bertauhid

21 Nov, 07:59


"Apabila Allah membukanya, Mursyidmu akan membenarkannya,"
Apabila seseorang salik itu dikasyafkan oleh Allah akan Wajah Nya, maka untuk mengesahkannya ialah dengan pengesahan seorang Mursyid yang mempunyai pengalaman melihat Wajah Nya dan penglihatannya itu disahkan oleh mursyidnya juga.

Jika apa yang dilihat oleh si salik itu bertepatan dengan ciri-ciri yang dilihat oleh mursyidnya maka penglihatan tersebut adalah benar.

Seorang mursyid sekurang-kurangnya telah dibukakan melihat Nya sebanyak tiga kali, ia diperlihatkan padanya untuk mentahkikkan pengenalannya dan ia menjadi bukti Allah ke atas mereka yang terbuka akan hakikat ini.

Jiwa Bertauhid

21 Nov, 07:59


Justeru bersungguhlah beradab dengan mereka dan khidmatilah mereka, insya Allah jika ada izin Nya dia akan menjadi sebab Allah membuka tabir yang menutupi pandangan mu daripada memandang wajah Nya.

Jiwa Bertauhid

21 Nov, 07:59


Seorang yang meyakini kebenaran pembimbingnya akan tetap bersangka baik dengan segala tindak tanduknya.

Hal ini kerana seorang pembimbing yang benar berada di dalam bimbingan Allah, yang mana jika dia tersilap, Allah akan mendatangkan teguran melalui pelbagai cara dan dia akan segera memperbetulkan dirinya.

Kesalahan bagi para pembimbing yang benar adalah anak tangga buatnya untuk mencapai maqamat kesempurnaan, adapun dosa para salik adalah racun buat mereka yang boleh menghapuskan cahaya hati yang sudah terbit dari lubuk hatinya.

Jiwa Bertauhid

21 Nov, 07:59


Untuk memandang wajah Nya itu seorang itu perlu menyatu pandangan dengan mereka yang telah dibukakan oleh Allah akan hal ini.

Jiwa Bertauhid

21 Nov, 07:59


Apa yang penting di sini kemuncak pendakian(mikraj) rohani seorang salik itu ialah memandang wajah Nya. Untuk memandang wajah Nya itu tiada memadai dengan mata kasar bahkan mesti menyatu dengan mata hati yang memiliki cahaya.

Jiwa Bertauhid

21 Nov, 07:59


Dari keterangan Imam At Tabari ini dapat kita simpulkan bahawa para ulama berselisih pendapat apakah Nabi s.a.w melihat Tuhannya pada malam Israk dan Mikraj itu ataupun tidak? Jika Baginda melihat Nya, apakah bentuk penglihatan tersebut? Adakah dengan mata kasar atau dengan mata hati?...

Ada pelbagai pendapat ulama mengenainya yang penting ia bukan masalah akidah yang mana mereka yang mengingkarinya menjadi kufur, begitu juga mereka yang mengisbatkannya tiada dihukumkan bidaah kerana ada sandarannya.