MILIADER ๐คฉ
Oleh: Yusran Darmawan
Anggur mahal disiapkan. Satu penthouse mahal juga telah disewa. Hari itu, dua peneliti Stanley dan Dano hendak mewawancarai 10 orang manusia super kaya, dengan pendapatan sekitar 33 miliar rupiah setahun. Orang kaya yang diwawancarai adalah mereka yang memulai karier dari bawah atau self made millionaire.
Pria pertama yang datang adalah Mr Bud. Usianya 61 tahun. Dia datang dengan memakai mantel murah, padahal kekayaannya ditaksir mencapai 10 juta dollar AS.
โMr Bud, apakah Anda mau minum anggur 1970 Bordeaux?โ tanya Stanley.
โTidak. Saya hanya mau minum Wiski Skotch dan bir gratis,โ katanya.
Stanley dan Dano tercengang. Di kultur masyarakat barat, Wiski Skotch adalah minuman kelas menengah bawah, Bir lebih bawah lagi. Mungkin, Mr Bud seorang yang nyentrik dan tidak suka pamer.
Namun 9 orang super kaya lainnya tak jauh berbeda. Mereka rata-rata tidak pakai outfit bermerek. Mereka tampil apa adanya. Tidak menonjolkan status sosial. Ke mana gambaran orang kaya memakai mantel Gucci, Versace, Channel, Dior? Ke mana jam tangan Rolex atau Patek Phillipe mereka?
Saya menemukan kisah ini dalam buku Ngomongin Uang karya Glenn Ardi, yang isinya senada dengan buku Psychology of Money, yang ditulis Morgan Housel.
Setelah melakukan wawancara mendalam, Stanley dan Dako menyimpulkan, para self made millionare atau jutawan yang memulai dari bawah, adalah mereka yang punya gaya hidup jauh di bawah pendapatan serta gaya hidup mereka.
Dari hasil survei pada 500 keluarga kaya, mereka tidak tinggal di kawasan elite. Mereka tinggal di perumahan biasa. Mayoritas percaya, memiliki kemerdekaan finansial adalah hal yang jauh lebih penting daripada mempertontonkan gaya hidup mewah.
Pertanyaannya, buat apa kaya tapi tidak dinikmati?
Orang-orang kaya yang diteliti Stanley dan Dano, berpandangan, memiliki kemerdekaan finansial, jauh lebih penting ketimbang mempertontonkan hidup mewah. Mereka menilai, kesuksesan itu penting, tetapi simbol-simbol kesuksesan itu tidak penting.
Lantas, golongan mana yang selama ini terlihat pamer dengan gaya hidup mewah dan aksesori serba mahal?
Nah, kedua peneliti ini memperkenalkan kategori baru, yakni High Earners, Not Rich Yet (Henryโs). Inilah karakteristik orang kaya baru, yang konsumtif boros, dan punya hasrat belanja impulsif. Mereka punya pendapatan tinggi (high income earners), tetapi tidak berhasil mencapai status miliader.
Yang membedakan dengan miliader beneran adalah kemampuan untuk menahan uang selama mungkin di genggaman. Yang membedakan adalah kemampuan mengontrol pengeluaran.
Bisa menahan pengeluaran 1 juta, saat punya uang 2 juta adalah hal biasa. Tapi bisa menahan 2 juta, saat uang di tangan 20 juta adalah hal luar biasa. Lebih hebat lagi, jika menahan 2 juta saat memiliki uang 10 miliar. Itu keren. Hal-hal sederhana inilah yang menjadi kunci untuk jadi miliader.
Kata Stanley dan Darko, para Henryโs memiliki persepsi mental yang berbeda dengan self made billionaire. Bagi para Henryโs, menjadi kaya adalah soal menampilkan gaya hidup mahal. Jika ada uang, semuanya harus dinikmati untuk konsumsi. Uang itu susah dicari, maka harus dinikmati selagi bisa. Mereka baru akan berhenti mengonsumsi jika uang sudah habis.
Jadi, crazy rich yang selama ini terlihat pamer, pada dasarnya bukan orang kaya banget. Mereka pamer karena ingin dikira kaya. Orang kaya beneran tidak butuh pengakuan orang lain. Saya ingat cerita seorang teman tentang Gunawan Lim, bos Harita Group, yang jika tiba waktu makan, maka minta dipesankan nasi bungkus dari pedagang kaki lima di dekat kantornya.
Sampai di sini, saya hentikan membaca buku ini. Saya menemukan rahasia mengapa hidup begini-begini saja. Saya bukan tipe boros, sebagaimana Henryโs. Saya tipe orang yang uangnya belum ada, tapi rencana belanja sudah tersusun rapi.
Buku ini menjadi panduan dan peta jalan untuk para pemula di dunia literasi keuangan. Tak perlu menjadi milader, tetapi setidaknya punya rencana hendak ke mana.