[re-upload dari twitter]
“Laksaaaa!” Laksa melihat Hemas melambaikan tangan dari kejauhan. Koper hard case perak Lojel seharga tunjangan ikatan dinas 5 bulan yang Laksa tahu baru Hemas beli kemarin terlihat bersinar dibandingkan koper Pasar Senen bermerk Polo palsu teman-temannya yang lain. Hemas masih tersenyum girang ketika menyapanya, “siniiiii!”
Laksa menghela nafas lelah dan ikut menggeret kopernya lagi—kalau ada yang penasaran, koper Rimowa Laksa malah seharga motor baru, mengingat ia membelinya ketika keluarganya masih kaya—dan menghampiri Hemas dengan muka lesu. Permasalahan umum sekolah kedinasan yang minim programmer; tugas membuat aplikasi, website, server, database, dan tetek bengek lainnya harus dibagi ke 60 orang saja dengan rentang waktu yang sangat tidak masuk akal. Dari 60 orang itu, yang benar-benar mengerti pemrograman hanya sekitar 15 orang.
Laksa, sialnya, adalah salah satunya.
Hemas berdecak, “gue dari tadi liat anak komputasi lewat dan emang mukanya jelek semua, Sa. Tapi muka lo bener-bener kayak mayat hidup.”
“Bacot, homo.” Laksa menggerutu, “lo kenapa nggak bangunin gue, anjing?!”
“Gue udah ketok pintu kamar lo sampe mampus, Su, tapi lo-nya nggak respon!” Hemas menyanggah, “lo nggak tidur berapa abad?”
Mata Laksa berkaca-kaca ketika menjawab, “gue udah lupa definisi tidur itu apa…”
“Adududu, kasian.” Hemas menggelitik dagu Laksa, berpura-pura kasihan, “lo kan satu bus sama Dinda. Minta kelon aja.”
“Matamu.” Laksa menyergah tangan Hemas kasar, “lo bus berapa?”
“5 noh,” Hemas menunjuk salah satu bus yang terparkir di dekat SPBU, “tapi mesinnya belum nyala jadi gue males naik.”
“Oh…”
“Dinda mana?” Hemas celingukan mencari pacar Laksa itu, “lo mau nungguin dia?”
“Udah masuk duluan anaknya,” Laksa mengedikkan kepalanya ke dalam bus, “ngambek kayaknya karena gue nggak bangun pas dia telepon berkali-kali.”
Hemas menahan cibiran untuk dirinya sendiri. Jujur, sangat sulit baginya untuk menyukai sosok Dinda. Orang luar mungkin akan menganggap Dinda sebagai wanita cantik, independent girl boss, dan super cerdas. Tetapi bencong radar ditambah dengan berbagai curhatan Laksa selama mereka pacaran membuat Hemas punya pikiran sebaliknya; self-centered, control freak, sama sekali tidak pengertian, dan selalu merasa dunia hanya berpusat padanya.
Cocok sekali dengan Laksa si paling people pleaser dengan low self-esteem serta mudah disetir.
“Yaudahlah,” Hemas mengangkat bahu, “masuk aja gih.”
“Nanti dulu,” Laksa menduduki kopernya sendiri, “gue nungguin Prabu.”
“Ngapain?”
“Tadi gue nitip Antimo, Tolak Angin, sama kopi,” Laksa memijat tengkuknya sendiri, “gue kayaknya bakal tepar deh ini.”
“Goblok ah lo. Masa tepar pas PKL?!”
“Biar Arion ngerasa bersalah udah nyiksa gue mulu,” Laksa menggerutu, “hobi banget revisi rule validasi mulu emang bangs—“
Seseorang menepuk pundak Laksa ramah, membuat Laksa langsung berbalik kaget. Di belakangnya berdiri The Mighty Arion dengan senyum malaikat dan kerling mata bersinarnya. Satu tangannya mencengkram handle kopernya—Samsonite, kalau ada yang ingin tahu—sementara tangan lainnya masih bertengger di pundak Laksa, membuat pipi Laksa memerah panas.
Kristofel Arion terlihat unreal dari jarak dekat.
“Laksa,” Arion merogoh kantong belanjanya dan mengeluarkan sandwich cepat saji Indomaret sebelum menyerahkan ke Laksa, “buat lo.”
Laksa gelagapan sendiri, “bu-buat gue?”
“Iyaa,” Bibir Arion tertekuk ke bawah sebelum memulai, “gue mau minta maaf soalnya kemaren udah minta tambah rule validasi lagi. Kasian banget, Laksa. Pasti capek ya?”
“Oh,” Laksa langsung blank, “enggak kok, Yon, santai aja. Kan emang tugas lo.”
“But still,” Arion memijat pundak Laksa lembut, “nanti di pesawat tidur aja ya, Sa. Gue denger lo masuk timnya Prabu ‘kan?”
“I-iya.”
“Kalo Prabu mah bakal jagain lo,” Arion mengedipkan sebelah matanya—Laksa tidak paham konteksnya apa, “gue masuk duluan ya, Sa.”
“Iya, Yon.” Iya iya mulu dari tadi lo, goblok.
Arion menoleh hingga matanya bertemu Hemas yang hanya terdiam memperhatikan interaksi mereka.