penempatan @aupenempatan Channel on Telegram

penempatan

@aupenempatan


- wadah nyampah soal au (esp. penempatan)
- cek pinned buat baca dari atas atau klik https://t.me/c/1899741804/18
- arsip #whatif https://t.me/whatifpenempatan

penempatan (Indonesian)

Selamat datang di kanal telegram penempatan! Apakah Anda sedang mencari informasi terbaru tentang lowongan pekerjaan di berbagai sektor? Jika iya, maka kanal ini adalah tempat yang tepat untuk Anda! Kanal penempatan menyediakan informasi terkini mengenai berbagai lowongan pekerjaan mulai dari perusahaan swasta hingga lembaga pemerintah. Dengan bergabung di kanal ini, Anda akan mendapatkan akses langsung ke informasi terbaru seputar penempatan kerja di berbagai bidang di seluruh Indonesia. Tidak hanya itu, kanal ini juga memberikan tips berguna tentang bagaimana cara sukses dalam mencari dan mendapatkan pekerjaan impian Anda. Jadi, tunggu apalagi? Segera bergabung di kanal penempatan dan jadilah bagian dari komunitas yang selalu mendukung satu sama lain dalam mencapai kesuksesan karir! Mari bersama-sama mencari peluang penempatan terbaik untuk masa depan yang cerah.

penempatan

08 Jan, 13:28


Live stream finished (1 hour)

penempatan

08 Jan, 12:24


https://t.me/aespunq

penempatan

08 Jan, 12:19


Live stream started

penempatan

07 Jan, 13:01


Live stream finished (12 minutes)

penempatan

07 Jan, 12:48


Live stream started

penempatan

06 Jan, 02:24


Memberi kabar

penempatan

06 Jan, 01:59


[Karena gue ga yakin semua orang di sini baca UKM, gue mau kenalin tokoh baru]

Kannon Frey Agustaf Wardoyo. Panggilannya Kannon. Semester 3 di jurusan manajemen bisnis salah satu kampus negeri (kelas internasional, of course).

Tingginya 179. Badannya gede bongsor karena gizinya terlalu bagus dan dia rajin olahraga (terutama muay thai). Tapi lumayan manja ke orangtuanya karena dia anak bungsu yang sangat privileged.

Punya narkolepsi tingkat I.

penempatan

06 Jan, 01:46


Jadi manteman, Laksa sekarang punya bayi baru yang harus diurus. Datang dari Jakarta tanpa diundang dengan alasan mau cari tempat magang.

MANA ADA ANAK BARELY SEMESTER TIGA CARI TEMPAT MAGANG?!

Mendadak datang ke kantor Laksa bawa mobil Eropa yang disetir sopir, dengan koper besar, dan memperkenalkan diri dengan bangga di depan temen-temen kantornya Laksa; “Nama saya Kannon Wardoyo. Saya sepupunya Bang Laksa.“

Satu ruangan noleh ke Laksa—shock karena ada teman mereka yang punya sepupu dengan nama belakang itu.

Laksa cuma bisa pijat pelipis.

penempatan

05 Jan, 14:04


Kalau boleh jujur, Arion benci sama Regina sekarang—sepupunya yang bikin anak sembarangan itu. Tapi Regina cuma nangis di pelukannya di kamar kos sempit yang berantakan robekan foto-foto dia sama… pacarnya? Bapak dari anaknya yang malah ngilang?

Arion benci sama Regina yang berniat menghilangkan janin itu. Dosa. Dosa. Arion juga pendosa tapi ini dosa.

Tapi ketika nggak jadi, Arion jadi benci sama Regina karena ini artinya keluarganya harus menerima bayi itu.

Arion juga pendosa.

Dan benci sama sesama pendosa rasanya kok…

Jadi meskipun benci, Arion tetap peluk sepupunya yang gemetar itu. Arion bahkan nggak mampu kasih kata-kata penyemangat karena you did great is soooo wrong in this situation.

Nggak ada yang great dari keegoisan Regina sekarang. Nggak ada yang great dari pernyataannya “aku benci dia” tapi “aku takut dosa”. Nggak ada yang great dari ngebiarin seorang bayi harus bertahan hidup di rahim perempuan yang membesarkannya dalam ketakutan sama dosa.

Arion bener-bener ngerasa butuh temen. Dia nggak mungkin dengerin semua nonsense ini sendirian.

Tapi dia udah usir satu-satunya teman dia di sini alias Hemas cuma karena idealisme yang beda.

Arion juga pendosa. Dia takut sama dosanya. Dan jadi saksi juga dosa. Semuanya dosa.

Regina benci bayi itu. Arion juga sejujurnya… sama.

Ponsel Arion bergetar di sakunya. Dering pertama, dia abaikan. Dering kedua, dia abaikan. Tapi siapapun yang telepon rasanya sangat stubborn karena dering itu nggak pernah berhenti.

Regina melepaskan pelukannya dari Arion dan berbalik badan, kasih Arion space buat telepon dan berduka sendirian.

Arion menghela nafas. “Gin—“

“Angkat dulu,” isak Regina, “kau juga capek to, dengan saya yang begini?”

Arion mau ngelawan juga nggak bisa bohong karena dia… capek. Jadi dia berdiri dari kasur Gina buat cek siapa yang telepon;

Papanya Hemas.

Jantung Arion mencelos sampai sakit, mikirin kemungkinan terburuk karena Hemas emang nggak kasih kabar apapun. Ia cengkram dadanya lembut waktu angkat, “halo?”

“Sakti sekarang di mana?” Mulainya dengan dingin.

“S-Sakti?” Arion jadi bingung. “Maksudnya?”

Anak saya udah cerita semuanya soal Sakti,” jawab Pak Joko getir, “dan dia bilang Sakti terakhir berurusan sama kamu.”

Arion menelan ludah. “A-Arion bikin dia dipecat aja, Om.”

Dipecat?” Pak Joko ketawa sarkas. “I want him dead, Kristofel Arion.”

Arion merinding.

“Saya mau bawa kasus ini ke ranah hukum. Saya mau dia mati busuk di penjara,” lanjut Pak Joko dingin, tapi tiap ancamannya nunjukkin betapa murka sebenarnya dia, “dan I will appreciate kalau kamu juga bantu saya.”

Arion mengerjap kaget. “I-I will! I will, Om—wait, saya—saya ke Cimahi sekarang? Hemas di Cimahi kan?”

Pak Joko tertegun. “Kenapa ya, Yon?”

“Kenapa—kenapa?”

“Kenapa rasanya kamu yang lebih cinta sama anak saya dibanding saya sendiri?” Pak Joko bertanya dengan getir. “Kenapa yang saya lakukan buat Hemas selalu salah tapi kamu rasanya selalu… benar?”

Arion mempererat pegangan ponselnya.

“Kenapa saya nggak pernah bisa becus jadi orangtua?”

Dan itu kalimat terakhir Pak Joko sebelum tutup telepon.

Arion terduduk, mengelus dadanya sendiri yang mulai sakit. Rasanya kok semesta ngasih dia banyak plot cerita yang jantungnya nggak sanggup terima.

penempatan

05 Jan, 13:33


Jadi waktu Hemas terhuyung ke wastafel sambil menutup mulutnya mual, Pak Joko langsung balik ke mode papa yang cemas dan menghampiri anaknya itu. Menepuk-nepuk pundak Hemas sampai terbatuk, lalu tarik kursi terdekat supaya anaknya bisa duduk.

Hemas terduduk, melipat tangannya di wastafel supaya papanya nggak liat air matanya karena sangat, of course, cringe.

Pak Joko menghela nafas, lalu ngebiarin Hemas tenangin diri dulu dengan ambil serpihan mangkok yang menyebar bagai ranjau di lantai mereka. Waktu berjongkok buat ambil salah satunya, dia bisa lihat kaki Hemas yang tergores karena nggak sengaja injak pecahannya dan akhirnya nggak mampu menahan diri buat nggak tanya, “kamu sebetulnya kenapa sih, A’?”

Hemas menelan ludah, mencicit, “maaf—“

“Kamu kenapa?” Pak Joko ulang pertanyaannya lagi. “Setahun kamu di Semarang dan Papa tau ada yang nggak beres di sana. Papa pikir kamu cuma butuh waktu dan kamu udah dapet waktu selama di Belanda. Tapi waktu kamu pulang—“

Pak Joko nggak bisa lanjut karena dia nggak bisa ngebahasain pakai kata yang lebih tepat selain berantakan.

Hemas mengangkat kepala, udah nggak ada jejak air mata di pipinya. “I will do better—“

“Papa nggak mau kamu do better,” putus Pak Joko, “Papa mau kamu cerita.”

“Ya biasanya juga Hemas nggak cerita juga nggak pa-pa kan?” Hemas coba ngelak.

“Herian Masyafi, kalau kamu nggak cerita masalah kamu dan itu nggak ngebahayain kamu, Papa nggak masalah. Tapi kamu liat,” Pak Joko angkat kaki Hemas yang tergores, “ini luka. Papa nggak mau liat anak Papa luka.”

Dan Hemas nangis lagi karena Pak Joko nggak pernah ngomong gitu sebelumnya. Karena Pak Joko biasanya percaya Hemas bakal bangkit sendiri dan balik seperti biasa cuma diobati waktu.

Tapi kali ini lukanya terlalu obvious dan Hemas nggak bisa sembunyiin lagi bentuk-bentuknya.

Jadi Hemas cerita semuanya; soal Arion, soal Sakti, soal psikolog, soal sepupu Arion, soal Sakti—

Dan Hemas belum pernah liat papanya semurka itu sebelumnya.

penempatan

05 Jan, 13:12


(“Kenapa ya rasanya kayak mau muntah?” Hemas pernah tanya.

“Karena muntah itu bisa jadi bentuk penolakan,” jawab psikolognya.)

penempatan

05 Jan, 13:09


[cw/tw // post abusive relationship , ptsd]

Kadang kalau ingat Sakti, Hemas suka banting barang apapun yang lagi dia pegang. Salah satu alasan kenapa ponselnya sekarang dilapisi case mahal tahan banting ya karena itu.

Laksa pernah tanya, “emangnya pas lo banting barang, apa yang lo rasain?”

Hemas terdiam sebelum jawab, “cringe.”

Ketololannya selama sama Sakti itu cringe, buat Hemas. Seharusnya dia bisa ngelawan. Seharusnya dia bisa tendang balik. Selama ini dia bisa tendang balik, kenapa pas sama Sakti nggak bisa?

Dia dan traumanya akan cinta itu cringe. Dia yang nggak bisa liat mata Arion ketika percakapan mereka mulai flirty itu cringe. Dia yang bakal banting ponsel tiap mereka mulai having a naughty conversation itu cringe.

Ceritanya cringe. Hidupnya cringe.

Najis.

***

Dan pagi itu, Hemas banting mangkok yang lagi dia pegang waktu papanya tanya, “gimana kabar Arion?”

Nafas papanya tercekat. Nafas Hemas juga tercekat. Alih-alih menjawab dengan normal, Hemas ngerasa cringe itu merambat sampai tengkuknya waktu dia balas ketus, “apa sih tanya-tanya?!”

Nggak sopan. Di mata Pak Joko waktu itu, Hemas nakal dan nggak sopan. Hemas jarang nggak sopan sama orangtua dan Pak Joko si kepala sekolah udah terlalu sering defensif tiap liat anak nggak sopan—karena rasanya Gen Z was built with those unnecessary features—jadi beliau mendadak switch ke mode guru. “Gitu ya kamu kalau diajak ngomong sama orangtua?”

Hemas tertegun.

“Ini karena mentang-mentang Papa nggak pernah marah sama kamu, kamu jadi seenaknya ya?” Papanya lanjut. “Banting aja semuanya.”

Hemas menelan ludah. “Papa, maaf—“

“Banting!” Pak Joko putus dengan naik. “Banting lagi!”

Banting.

Banting.

Banting.

Ada suatu masa Hemas pernah dibanting Sakti. Dibanting, dicumbu, lalu dibanting lagi, lalu dicumbu lagi, dan Hemas ngerasa… cringe.

Karena bisa-bisanya kenangan itu lewat tanpa permisi.

Hemas nggak yakin dia punya asam lambung, tapi waktu itu dia rasanya mau muntah.

Cringe. Bahkan reaksi traumanya pun plagiat Laksa.

penempatan

05 Jan, 12:15


Pak Joko nggak pernah ikut campur urusan Hemas sejak anaknya itu dapet KTP.

Well thinking back, Pak Joko nggak pernah benar-benar ikut campur urusan Hemas.

Tapi tengah malam itu, anaknya yang beberapa hari lalu pamitan buat liburan sama mantan mendadak ketuk pintu rumah, salim, dan masuk kamarnya gitu aja tanpa cerita.

Pak Joko coba tanya, “kok mendadak balik?”

Hemas cuma angkat bahu. “No reason.”

Pak Joko nggak ikut campur.

***

Pak Joko emang ngerasa ada yang salah dari anaknya semenjak dia lanjut pendidikan. Ngerasa ada yang nggak beres sama Semarang. Dia ingat gimana Hemas tendang cermin di lemarinya sampai pecah di malam pertama setelah dia balik dari Semarang, atau jawaban-jawaban Hemas yang selalu disertai dengan nada naik kalau Pak Joko ajak ngobrol.

Pak Joko tau ada yang salah sama anaknya.

Tapi kalau Hemas-nya nggak mau cerita, Pak Joko bisa apa?

penempatan

05 Jan, 11:51


Yang bikin Hemas ngerubah semua mindset dia soal orangtua, jujur aja, adalah sesinya sama salah satu psikolog online yang dia temuin di Google waktu awal-awal dia coba sesi.

“Ketika ada kamu, orangtua kamu terus-terusan jatuh cinta tanpa ajak kamu di dalamnya,” ketik si psikolog. “Kamu terus-terusan craving for love dari orang yang kamu pikir bisa kamu perbaiki karena itulah definisi cinta yang papa kamu kasih contoh—cinta sama mama kamu yang lagi ‘rusak’.”

Hemas bahkan nggak ngerti pernyataan itu bener atau salah karena seinget Hemas, dia tumbuh dengan cinta.

Ya cinta dan rumah sakit dan kemoterapi dan rambut rontok dan mamanya yang sekarat dan papanya yang menabahkan diri buat berduka, tapi cinta.

Tapi Hemas dapetin Marka yang cuma testing the water, Arion si lonte tobat, kemudian Sakti yang… Sakti.

Kalau Hemas inget-inget, nggak ada cowok normal yang pernah tidur sama dia.

Jadi Hemas wondering kalau emang dia punya childhood trauma yang dia nggak pernah sadar.

Dan Hemas, yang capek menganggap dirinya tolol karena selalu salah pilih, pengen sekali aja nyalahin orangtuanya.

penempatan

05 Jan, 10:41


[btw setelah ini plotnya bakal heavily about unplanned teen pregnancy and abortion attempt]

“What do you mean she backed off?!” Hemas ngeliatin Arion nggak percaya ketika Arion balik ke hotel dari ‘klinik’ yang nawarin jasa… aborsi.

Arion menelan ludah sebelum kasih pembelaannya. “She felt the kick dan akhirnya nggak tega—“

“Bullshit.” Hemas menjawab getir. “Kandungan segitu nggak mungkin ada kick, Arion. Gue juga belajar biologi!”

“Do you think gue bakal bohong di masa kayak gini?!” Balas Arion. “She really backed off by herself!”

Hemas mengacak rambutnya kesal. “She is barely fifteen!”

“I know that, tapi mau gimana?!” Nada Arion ikut tinggi.

Hemas memicingkan mata. “I still thought elu yang bikin dia back off.”

Mata Arion melebar. “I did not do such thing!”

Hemas terduduk berdiri dari kasurnya dan langsung ambil kunci mobil Arion di atas nakas. “Gue bakal bilangin dia—“

Arion langsung cegah lengannya. “Gila apa lo? Nggak usah!”

“She’s fifteen!” Hemas ngelawan. “She’s fifteen and has no man to take any responsibility! Dia lagi nggak bisa mikir sekarang, Arion. Dia butuh orang dewasa buat bikin dia mikir jernih—“

“Jadi ketika dia ambil keputusan buat aborsi, lo langsung iyain tanpa mikir she’s fifteen,” Arion berkata getir, “dan ketika dia nggak jadi aborsi mendadak lo inget kalau she’s fifteen?”

Hemas terdiam.

“Lo cuma belain dia ketika keputusannya sesuai sama idealisme lo? Iya?” Arion lanjutin.

“Are you nuts?! Kenapa ini jadi perkara idealisme?!” Hemas emosi. “She’s fifteen! Pacarnya ilang! Orangtuanya Katolik taat! Menurut lo gimana dia sama anaknya bisa hidup setelah ini? Arion, mana logika lo—“

“And that would be our business!” Potong Arion tajam. “You’re not even family, Hemas.”

Hemas tertegun karena sakit hati.

Dia terbang dari Belanda, mikir buat habisin Natal sana Tahun Baru bareng Arion, patching things through, dan ikut terbang ke Toraja karena mikir kalau Arion lagi ada di titik terendahnya.

Cuma buat pendapatnya nggak didenger dan cuma buat dipanggil not family.

Mungkin karena jet lag, mungkin karena dia lagi sangat capek, mungkin karena Arion mendadak bukan Arion yang selalu mengiyakan semua kata-katanya, mungkin karena traumanya lahir di lingkungan yang nggak dia inginkan…

Tapi kalimat terakhir Arion itu bikin dia kembaliin kunci mobil Arion ke atas nakas lalu ambil ranselnya sendiri buat pergi.

penempatan

25 Nov, 10:17


From this to this

penempatan

25 Nov, 02:30


“Look at this.” Dari kameranya, Arion bisa liat Hemas ngilang sebentar sebelum muncul lagi dengan gitar akustik. “Gue beli gitar.”

Arion angkat satu alisnya. “Baru?”

“Second sih.” Hemas ketawa. “Ada temen gue yang mau balik Indo tapi males bawa ini balik karena berat, ceunah.”

Arion ngangguk sambil balik tubuhnya biar nggak mati rasa—jadi ceritanya mereka emang lagi video call-an. Hemas baru balik acara KBRI, masih pakai kemeja putih lengkap sama dasinya. Sementara Arion udah pakai piyama dan siap-siap tidur.

“Gue mau dong,” Arion bergumam ngantuk.

“Hm?” Suara Hemas melembut. “Mau apa, Arion?”

“Dengerin lo main gitar,” hela Arion. “It’s been a long time.”

Hemas ketawa sambil petik senarnya asal. “Oke. Mau dengerin apa?”

“Lo bisa main apa?”

“Semuanya bisa.”

“Tuhan Yesus Setia.”

“Ya jangan.”

“Kalau gitu Oke Gas coba, Hems.”

“Ginjal lo gue gasrak.”

Arion terkekeh. “Apaan tuh? Nyuruh request tapi pilih-pilih.”

Hemas mengerang. “Yang beneeer!”

Arion mengulum senyum. “Kalau lagi sama gue, otak lo muter lagu apa?”

Hemas mikir bentar, terus dia punya ide. Dia petik gitarnya buat mulai nyanyi:

“I want you to stay
'Til I'm in the grave
'Til I rot away, dead and buried
'Til I'm in the casket you carry”

Arion memejamkan mata buat dengerin suara Hemas yang kayak lullaby.

“If you go, I'm going too,
'Cause it was always you, alright
And if I'm turning blue, please don't save me
Nothing left to lose without my baby”

Arion menguap sebelum ambil suara dua buat nyanyi bareng Hemas.

“Birds of a feather, we should stick together, I know
I said I'd never think I wasn't better alone
Can't change the weather, might not be forever
But if it's forever, it's even better
And I don't know what I'm crying for
I don't think I could love you more
It might not be long, but baby, I—“

Hemas berhenti nyanyi, mengulum senyum. Tangannya masih petik gitar dan ngebiarin Arion lanjut sendiri.

“I'll love you 'til the day that I die—anjing!” Arion langsung kasih jari tengah buat Hemas ketika tau cuma suaranya yang mengudara.

Hemas makin ngakak. “Sampe mati betul ya, Yon? Gue pegang ya, Yon?”

“Lah?” Arion mencibir. “Gue mah nyanyi buat bapak lu.”

Hemas puter mata. “Jadi janda problematik dulu lo biar ditaksir balik.”

“Kagak boleh begitu, anjir.” Arion ikutan ngakak.

Hemas peluk gitarnya sambil ngeliatin layar lekat-lekat. “Yon.”

“Apaa?”

“Kalau gue yang nyanyiin lirik itu buat lo, lo bisa pegang kata-kata gue tau.”

Arion mendengus. “Gombal betul. Inikah ajaran Pak Joko?”

Tapi Hemas tetep serius. “Gue beneran nggak tau gimana kalau nggak ada lo.”

Arion mengerang. “Yaelah, Hems—“

“Sama gue terus ya?” Hemas memohon. “Gue—gue nggak masalah sama label apapun dan gue nggak masalah kalau mungkin lo—dapet yang bikin lo ngerasa lebih secure karena gue tau gue yang sekarang nggak bisa janjiin itu. Tapi—tapi at least tetep let me in? Jangan—jangan jauhin gue—“

“Hemas, Hemas,” tegur Arion, “calm down.”

Hemas langsung berhenti ngomong.

Arion termenung. Hemas yang sekarang; dengan ketakutannya sama kehilangan dan self-esteem yang udah dihancur leburin sama mantan brengseknya itu, mulai keliatan… banyak takutnya. Hemas tau dia nggak boleh cemburu lagi. Tapi dia takut kehilangan Arion. Tapi dia nggak boleh cemburu, jadi dia diem aja. Nggak komentar apa-apa soal gosip Arion deket sama ini-itu. Tapi dia setakut itu kehilangan meskipun berusaha ditutupin.

Arion wondering gimana bisa Prabu ngehadapin Laksa yang literal ball of anxiety itu tiap hari. Gimana bisa Prabu nggak capek ngeyakinin dan ngeyakinin dan ngeliat pacarnya itu having mental breakdown sambil terus ngeyakinin. Arion wondering dari mana Prabu bisa dapat kesabaran seluas itu.

Hemas mencicit kecil. “Sorry, Arion.”

Arion angkat kepala lagi. Ngeliat Hemas yang pura-pura asik sama gitarnya sendiri biar nggak ketemu mata sama Arion. Bibir Arion terlipat ke dalam. Berat hatinya ngeliat Hemas kayak gitu tanpa bisa dia kasih peluk.

“Hems.” Arion akhirnya cari jalan lain. “Gue mau lo inget satu hal.”

Hemas mengerjap bingung. “Apa?”

penempatan

25 Nov, 02:30


“Kalau gue jatuh cinta sama orang selain lo, kemungkinannya cuma sama dua orang aja,” Arion berkata serius, “kalau nggak Donny Damara, ya bapak lo.”

Hemas mengerang. “Gue lagi seriuuus!”

“Yang lo ragukan keseriusan cinta gue ke Donny Damara atau ke bapak lo?”

“Mereka berdua suka tetek!”

“Ya kalau tetek doang gue juga punya!” Arion meraba dadanya sendiri. “Meskipun nggak fungsi sih…”

Hemas ngakak sampai hampir kejengkang. “Tolol.”

Arion kasih patpat ke diri sendiri karena berhasil angkat mood-nya Hemas. Dia dengerin Hemas ngocehin biologi soal fungsi payudara pada pria sambil senyum sendiri.

Somehow Arion tau kenapa sabarnya Prabu bisa seluas samudera. Soalnya di akhir, liat senyum orang yang dia sayang bikin semua kerasa worth it.

penempatan

24 Nov, 16:03


So apparently, di satu-satunya mall (yang sejujurnya nggak kayak mall) di kota tempat Laksa sama Prabu tinggal udah buka tuh Sociolla. Of course sebagai manusia fomo, Prabu ajak Laksa buat cuci mata kesana.

“Sociolla tuh harganya mahal banget tau, Bu,” Laksa mengeluh. “Mending beli di Shopee.”

Prabu yang udah hapal jawaban Laksa langsung tunjukkin video di ponselnya ke pacarnya itu. “Sociolla tuh hire banyak teman-teman difabel buat kasih mereka kesempatan kerja tau, Ca. Kalau kita belanja di Sociolla, berarti kita dukung mereka kan?”

Tentu aja Laksa yang hatinya sangat lembut itu luluh.

Pulang kerja mereka ganti baju—ke mall pakai seragam kantor tuh tengsin dah jujur—dan langsung cus. Rencananya sih mau sekalian dinner di sana.

Pas itu tempatnya rame sama cewek-cewek, sementara para cowok ngemper di depan karena males nemenin pasangannya masuk.

Prabu gandeng tangan Laksa buat masuk juga sambil liat-liat shelf-nya. Terus Prabu tunjuk salah satu shelf. “Ada Mingyu, Ca!”

Laksa ketawa; yang ditunjuk Prabu itu foto Mingyu yang bertebaran di shelf Laneige. Nggak mau lepas genggaman tangan mereka, Laksa pake tangan kirinya buat ambil ponsel dan ngefoto penemuan mereka itu.

“Woah, Laneige punya lipbalm.” Prabu ambil salah satu tester dan coba di tangannya Laksa yang dia genggam. “Sheer bener, buset.”

“Ya namanya juga lipbalm.” Laksa mendengus sambil noleh ke belakang. “Noh, lip product di sana semua.”

Dengan girang Prabu tarik tangan Laksa ke surga lippies itu. Mereka jalan sambil ngeliatin berbagai macam merk dan warna, sampai Prabu tertarik sama salah satu merk lipgloss yang sampelnya keliatan pink natural.

“Esqa itu produk lokal kah, Ca?” Prabu ambil salah satu shade dan lepas pegangan tangan mereka.

“Setau gue gitu sih.” Laksa ikutan ngintip warnanya pas Prabu swipe di tangan. “Oh, bagus di kulit lo.”

“Ya kan tangan sama muka gue shade-nya beda.”

“Kagak ini. Bagus.” Laksa tap-tap produk di tangan Prabu tadi, terus dia oles ke bibir pacarnya itu. “Untungnya bibir lo nggak two-toned jadi kayaknya bisa nutup—“

Kata-kata Laksa tergantung di udara waktu sadar semua mata rasanya tertuju pada mereka berdua. Bahkan pegawai Sociolla-nya pun ikut perhatiin mereka. Dengan canggung Laksa turunin tangannya, jengah sama perhatian berlebih gitu.

Prabu jadi ikutan liat sekeliling. Kesal duluan karena orang-orang ngancurin fine evening out-nya sama pacar, jadi dia tegur mbak-mbak terdekat yang ngeliatin mereka dengan ekspresi jijik shamelessly. “Ada apa, Kak? Mau ngomong sesuatu?”

“E-enggak. Enggak.” Dan semua orang langsung balik ke aktivitas masing-masing meskipun masih dengan bisik-bisik.

Laksa pejamkan mata, dan kerutan di dahinya terlampau dalam. Beneran kesenggol dikit langsung panic attack kayaknya. Prabu lepas jaketnya buat ia sampirin ke kepala Laksa—biasanya kalau udah overwhelmed gitu Laksa butuh space sendiri, jadi Prabu bikinin space itu dengan nutupin sekujur kepalanya—dan dorong Laksa buat keluar.

Setelah dia nemu lokasi sepi tanpa tennant, Prabu sibak jaketnya buat liat wajah Laksa. “Aca, you okay nggak?”

Laksa udah buka mata, terus dia menghela nafas. “I don’t know what’s wrong with me. Sorry.”

“Don’t be.” Prabu menggeleng. “Emang agak beda ya, reaksi orang-orangnya sama waktu kita jalan-jalan di Sociolla Jakarta?”

Laksa meringis. Dia keinget tiap ke Jakarta pasti mampir Sociolla sama Prabu, dan seingetnya belum pernah ada yang kasih side eye separah pas di sini. Jadi mendadak inget juga dia pernah mukulin cowok yang manggil Hemas banci pas lagi cobain lipgloss di Sociolla luar Jawa juga.

Prabu raih tangan Laksa. “Sorry udah ajak lo kesini ya, Ca.”

“Bukan salah lo.” Laksa menghela nafas. “Lagipula lumayan kok, nambah motivasi.”

“Buat?”

“Resign dari PNS dan pindah di tempat yang bisa kita pakai strolling around while holding hands and giving each other little kisses here and there.” Laksa mengulum senyum waktu ngebayangin.

“Ah.” Prabu tertegun. “Sounds fun.”

“Right?” Mata Laksa berbinar.

Prabu rasanya meleleh liat ekspresi happy Laksa itu.

penempatan

24 Nov, 16:03


Dia noleh kanan kiri buat mastiin nggak ada yang liat, sebelum kasih cium cepat di bibirnya.

Mata Laksa melebar kaget.

“Kita usahain,” Prabu bikin janji dengan kaitin kelingking mereka. “Gue janji happy ending kita bakal begitu.”

Laksa menatap hangat jari mereka yang bertaut itu.

Happy ending mereka bakal begitu.

penempatan

03 Nov, 14:57


[membawa lagi konten ini karena… hehe hehe]

Weekend kemarin kan Prabu dateng ke nikahan kontraktor proyeknya kan. Doski dateng ke sana sama Opa Wisesa. Pas lagi dinner dan enak-enak ngobrol hahahihi sama mempelai pria serta beberapa kenalan opanya, tiba-tiba ada bunyi heels ngedeketin mereka diikuti sama suara sapaan amat sangat halus, “Pak Wisesa.”

Prabu sama opanya otomatis noleh; seorang ibu-ibu yang udah berumur—keliatan lebih muda dari omanya, tapi Prabu tau dengan skincare dan perawatan yang tepat wajah bisa aja nutupin usia—dengan rambut dicat copper tersenyum sopan ke mereka berdua. Beliau mengenakan dress berwarna sage satin selutut yang keliatan classy tapi nggak lebih heboh daripada pengantin wanitanya. Prabu diam-diam lirik heels-nya; kebiasaannya diem-diem ngecek majalah fashion dari kecil bikin dia tau kalau harga heels itu setara sama vespanya.

Tapi wajah ibu ini kayaknya nggak asing…

Wait.

Oh—

—shit.

Prabu masih speechless meanwhile opanya bisa langsung balik ke mode profesional dan ngejabat tangan perempuan itu. “Been a while ya, Ibu.”

Ibu itu tertawa—bahkan suara ketawanya sopan banget, beneran kayak putri-putri kerajaan. “Sudah lama sekali tidak bertemu. Budapest, wasn’t it?”

Bahasa Indonesianya kaku banget.

“Iya,” Opa Wisesa balas ketawa, “kesini sama Bapak?”

Perempuan itu menggeleng. “Bapak is in NZ right now. Oh, and he said hi,” perempuan itu akhirnya menoleh ke Prabu, “to you too, Prabu.”

Prabu mengerjap. “O-oh—“

“You can call me Yangti,” perempuan itu menyapa ceria, “Laksa also calls me Yangti.”

Iya. Laksa.

Ini yangti-nya Laksa.

Dan beliau tau Prabu.

Tangan perempuan itu terangkat untuk menepuk pelan pundak Prabu. Kemudian beliau remas pelan sambil mendekat dan berbisik, “you’re somehow better than I thought.”

Prabu langsung merinding.

Setelahnya beliau kembali tersenyum untuk pamit ke Opa Wisesa dan berjalan pergi.

Si mempelai pria cengo ngeliat interaksi mereka. “Saya undang beliau cuma buat basa-basi padahal. Saya pikir undangan saya bakal cuma diterima satpam kantor mereka aja.“

Salah satu kenalan Opa juga nambahin, “diundang nikahan anak Presiden aja nggak mau dateng.”

Opa Wisesa terkekeh, lalu deketin Prabu buat berbisik, “kayaknya beliau dateng buat kamu deh, Gus.”

Buat Prabu. Nggak tanyain Laksa sedikit pun, tapi langsung ngasih ultimatum ke Prabu kayak gitu.

Kok Prabu ngerasa dia lagi kejebak di drama keluarga nggak berujung ya…

penempatan

03 Nov, 14:44


[re-upload dari twitter]

Semua orang yang mengenal Prabu sudah hapal dengan kebiasaannya; keluar kos pada pukul 5 pagi untuk lari pagi sambil mencari sarapan setiap hari dan kembali sekitar pukul 6 dan bersiap ke kampus.

Begitupun Laksa yang kini sedang berdiri di depan pagar kos Prabu sambil membawa beberapa tas belanja. Ia mengecek jam di ponselnya sambil celingukan kanan-kiri memastikan kapan Prabu pulang.

Lima menit kemudian, Prabu dengan celana selutut serta jersey basketnya—yang tentu saja sleeveless karena siapa pula yang tidak mau pamer bisep kokoh itu—berlari kecil menghampiri kosnya. Ia terlihat terkejut menemukan Laksa yang melambaikan tangan antusias hingga akhirnya menambah kecepatannya sedikit sambil menyapa heran, “Sa?”

Laksa mengangguk, “hai.”

“Ngapain?”

Laksa mengangkat bawaannya sendiri, “ngajarin lo cara survive tanpa warteg.”

Prabu mengangkat satu alisnya.

***

Setelah masuk di kamar Prabu—yang seharusnya untuk dua orang tetapi ia sengaja sewa sendirian, Laksa membongkar isi tasnya. Prabu makin heran saat memperhatikan Laksa yang mengepak bahan-bahan makanan beku beserta bumbu instan menjadi beberapa kotak makan. Prabu bisa membaca Laksa memberikan label di tiap kotaknya; nasi goreng, sup ayam, spaghetti, tom yum steambot, nasi telur, mac & cheese—

“Sa,” Prabu menatapnya horror, “lo nyuruh gue masak? Gue nyalain kompor gas aja pake helm, anjing.”

Laksa tertawa, “ini nggak pake kompor kok. Gue tau lo tolol.”

“Anjing,” Prabu menyikut bahu Laksa tak terima, “terus pake apa?”

Laksa melirik rice cooker yang Prabu beli ketika tahun pertama kuliah tetapi tidak pernah ia gunakan lagi, “noh.”

“Bisa emangnya?”

“Bisa lah,” Laksa kini mengeluarkan rice cooker berdebu Prabu, membersihkan bagian dalamnya dengan lap basah, dan berkacak pinggang, “pagi ini lo mau sarapan apa?”

Prabu menimbang sebentar sebelum mengambil kotak nasi goreng, “ini?”

“Oke,” Laksa membuka kotaknya dan mengajari Prabu langkah demi langkah.

(Kalau yang Prabu perhatikan hanya wajah lucu yang Laksa yang serius mengajarinya atau jari lentiknya di antara bahan-bahan masakan itu, bukan sepenuhnya salah Prabu).

“Ngerti?” Laksa akhirnya menoleh ke arah Prabu lagi.

“Enggak,” Prabu manyun.

Laksa mendengus, “pinter matematika doang tapi disuruh masak nol gunanya apa, goblok?! Mau makan logaritma emangnya lo?”

Yang dimarahi malah terkekeh, “kan ada lo.”

“Besok lo masak sendiri.”

“Nggak mau,” Prabu menggeleng, “lo dateng kesini terus masakin gue lagi.”

“Lah, jadi babu dong gue?!”

“Lo juga nggak bakal tega liat gue kelaperan sampe siang kayak kemarin, kan?”

Laksa menghela nafas, “yaudah, gue kesini lagi besok pagi. Daripada lo mati, terus nggak bikinin gue catatan matkul lagi.”

Prabu bersorak dalam hati, namun tetap menjaga wajahnya agar datar ketika berkata, “spesial banget ya kayaknya, gue buat lo?”

“Najis.”

Prabu tertawa lagi—celetuk itu sama sekali tidak membuatnya sakit hati.

“Tapi Bu,” kini Laksa berubah serius, “lo tuh ya, minimal banget bisa cuci beras kek.”

“Ngapain masak sendiri kalau bisa beli?”

“Lah ini, nggak bisa beli.”

“Ngapain masak sendiri kalau ada lo?”

“Seriusan, ege. Gue nih khawatir sama lo,” Laksa tertegun sebentar, sebelum melanjutkan, “kan nggak selamanya kita bakal bareng-bareng.”

“Lo nggak mau temenan sama gue terus?”

“Bukan gituu, drama!” Laksa melempar bantal terdekat ke wajah Prabu, “nanti kalau penempatan gimana? Kan kita bakal pisah.”

Prabu menggeleng, “gue bakal cari cara biar kita bakal penempatan bareng.”

Mereka berdua saling bertatapan, lama, sebelum tawa Laksa meledak dan meninju lengan atas Prabu, “ati-ati kalo ngomong, goblok! Ntar dikabulin Tuhan dan lo penempatan di pedalaman beneran sama gue gimana?!”

“Pesimis amat?”

“Gue nyaris D.O 3 semester, Bu,” Laksa mendengus, “itu bukan pesimis, tapi realistis. Dapet IPK di atas 3 aja udah bersyukur banget gue.”

Prabu tersenyum, lalu mengacak rambut Laksa, “gue pastiin IPK lo bakal jauh di atas 3, Sa.”

Laksa mengangkat alis.

Bunyi rice cooker memutus obrolan mereka berdua.

penempatan

03 Nov, 14:44


Laksa membuka tutupnya, menguarkan harum nasi goreng dari sana. Ia mengambil sendok terdekat, menyerok sesuap nasi goreng, dan mengarahkannya ke Prabu, “cobain dulu, ati-ati panas.”

Prabu mengipasnya dengan tangan sebelum melahapnya hati-hati. Matanya berbinar, “enak.”

“Of course, siapa dulu yang masak?” Laksa mengibas bahunya angkuh.

“Mahasiswa yang hampir kena D.O 3 semester?” Goda Prabu sambil tersenyum jahil, yang kemudian dihadiahi pitingan leher dari Laksa.

Setahun dari sekarang, Laksa akan berlari mencari Prabu untuk memamerkan IPK-nya yang benar-benar di atas 3. Setahun dari sekarang, Prabu akan merelakan seluruh kerja kerasnya semasa kuliah demi menyusul Laksa di penempatan antah berantahnya. Setahun dari sekarang, Prabu akan merasakan jatuh bangunnya saat mencintai Laksa.

Tapi saat ini ia tidak tahu itu semua.

Yang ia tahu sekarang hanya tawa Laksa serta nasi goreng seafood-nya yang luar biasa enak.

penempatan

03 Nov, 14:28


“Saya nggak punya,” ibu itu tetap ngotot, “kalau sisanya saya bayar besok gimana?”

“Bu, kita nggak nerima kasbon—“

“Saya aja, Mbak,” tiba-tiba pria tadi kembali mendekati meja kasir, “sisanya berapa? Saya aja yang bayar.”

“Eh, tapi—“

“Nggak pa-pa,” pria itu mengeluarkan selembar dua puluh ribuan dari sakunya, “ini, Mbak.”

Dengan setengah hati, kamu mengambil uang itu dan memberikan kembaliannya pada pria kelewat baik di depannya. Yang paling menyebalkan, ibu itu pergi dengan belanjaannya tanpa mengatakan terima kasih sedikit pun.

“Astaga,” kamu benar-benar merasa bersalah, “orang itu—astaga…”

“Nggak pa-pa, Mbak,” pria itu terkekeh, “saya nggak jadi beli, ya.”

“Loh—?”

“Uang saya udah nggak cukup,” pria itu meringis, “tadi udah terakhir. Besok aja saya beli kopi lagi.”

Kamu mengerjap tak percaya. Pria ini barusan mengorbankan uang terakhirnya untuk orang asing yang bahkan tidak menghargainya sama sekali.

Dan ia masih bisa tersenyum santai begitu.

Kalau kamu, sudah kamu jambak rambut ibu itu sampai gundul.

Pria itu akan melangkah pergi ketika kamu terpikirkan sesuatu, “Kak!”

Ia menoleh.

Kamu mengambil botol kopi Good Day di mejamu, keluar dari stand kasir, dan menyodorkannya kepada pria itu, “ini aja.”

“Hah?” Pria itu mengernyit tak mengerti.

“Buat Kakaknya, soalnya udah baik,” kamu menarik tangan pria itu dan meletakkan botol kopi di genggamannya.

“Eh—tapi saya nggak ada uang—“

“Emang buat Kakak,” kamu berkata tegas, tidak menerima penolakan, “lagipul saya dapat kopi itu juga gratis, dari pelanggan baik. Artinya ini dari pelanggan, untuk pelanggan.”

“Oh…” pria itu mengamati botol kopinya beberapa saat sebelum tersenyum cerah sekali, “thank you, I guess?”

Kamu ikut tersenyum.

Hari ini sangat warna-warni.

penempatan

03 Nov, 14:28


[re-upload dari twitter] [dan ini kayaknya pertama kalinya gue coba y/n pov jadi ini sangat berkesan lol]

Kamu bekerja sebagai kasir di sebuah swalayan waralaba. Tempatmu bekerja dikelilingi kantor instansi pemerintah. Ini Hari Senin, kamu bisa melihat para pegawai berseragam cokelat muda berbaris mengikuti apel pagi di depan kantor masing-masing. Kamu menumpu dagu, dalam hati ingin sekali mengenakan seragam itu.

Nope. Rejeki kamu memang di swalayan ini. Mau bagaimana lagi?

***

Jam dinding menunjukkan waktu hampir pukul delapan pagi. Kamu sedang sibuk menata barang di rak rokok ketika mendengar seseorang memanggil dari belakang, “Mbak, mau bayar.”

Kamu menoleh, menemukan pria kelewat tampan berkulit glowing idaman tiap wanita meletakkan sebotol kopi Good Day di meja kasir. Rambutnya yang dicat cokelat kemerahan semakin bersinar diterpa matahari pagi. Dari jarak cukup dekat begini, kamu bisa menghirup aroma parfum mewah yang pria itu gunakan. Karena ingin tahu, kamu membaca nama ID Card di dalam lanyard kulit cokelat khas Coach yang tersampir di lehernya:

Aditya Herian Masyafi.

Bahkan nama itu terdengar indah ketik ia bisikkan dalam hati.

Kamu berdeham sebelum mengambil botol kopi itu dan tersenyum sesuai SOP, “ini aja, Kak?”

“Iya,” pria itu bersiap mengeluarkan uang dari sakunya.

“Nggak sekalian Sosis Kanzler-nya, Kak?” lanjutmu bertanya sesuai prosedur sambil menunjukkan sosis di display, “ini baru masuk. Lagi ada promo 14.900 dapat dua.”

“Oh?” Pria itu terlihat tertarik, “rasa apa aja?”

“Bisa mix, Kak.”

“Boleh deh. Original sama Hot ya, Kak.”

Kamu mengambil sosis sesuai instruksi, “oke. Mau Japota-nya sekalian nggak kak? Ada promo jadi 9.900 dari 10.000.”

“Boleh.”

“Ini juga Nu Green Tea lagi ada promo jadi 6.900.”

“Boleh.”

“Mau tissu-nya sekalian, Kak? Jadi 13.900.”

“Boleh.”

“Mau—“

“Boleh, Mbak. Yang promo semua saya ambil,” kini ia melambaikan ponselnya, “bisa bayar pake QRIS, kan?”

Dalam hati kamu bersorak; bersyukur karena PNS selalu mudah ditipu promo. Sambil mengulum senyum kamu menambahkan, “mau pulsanya sekalian, Kak?”

***

Jam dinding menunjukkan pukul 11 siang. Kamu sedang mengecek label barang ketika seseorang berseru, “Mbak Kasir, mau bayar.”

Kamu tergopoh sedikit untuk kembali ke stand kasir. Di depan mejamu sudah berdiri…

Malaikat.

Kamu yakin di depanmu sekarang adalah malaikat.

Seorang pria dengan proporsi wajah kelewat sempurna yang menggunakan seragam cokelat muda meletakkan sebotol kopi Good Day di meja kasirnya sambil sibuk memainkan ponselnya sendiri. Kamu melirik ID Card yang tersampir di saku dadanya:

Kristofel Arion Huang.

Kamu tahu Chindo selalu di depan. Tapi kalau yang ini mah terlalu depan…

Kamu berdeham agar kembali fokus, “nggak sekalian—“
“Nggak,” jawabnya singkat, “itu aja, Mbak.”

“Pulsanya seka—“

“Nggak.”

Oh. Mukanya yang seperti malaikat berbanding terbalik dengan judesnya, kesimpulanmu.

Kamu menahan gondok ketika memindai barcode kopi itu dan berkata, “totalnya 6.900.”

Pria itu memberikan uang 7.000 dengan tangan kanananya, sementara yang kiri masih sibuk mengetik di ponsel. Dari tempatmu, kamu mendengar suara seseorang sedang memberikan materi dari ponselnya. Sepertinya pria ini memang sedang rapat online.

Kamu memasukkan jumlah uang yang ia beri dalam komputer dan bertanya sebagai basa-basi, “uang 100 rupiahnya mau didonasi—“

“Nggak.”

“Eh?” Kamu mengerjap sebentar, pertama kali mendengar seseorang menolak untuk mendonasikan kembaliannya.

“Nggak donasi, Mbak,” pria itu memperjelas tanpa rasa bersalah.

Kamu tertegun sebentar, lalu membuka laci uang di bawah komputer, “tapi kita nggak ada 100 perak, Kak.”

“Ya urusan Mbaknya dong, masa urusan saya,” jawab pria itu tanpa menoleh, “pokoknya saya mau uang 100 perak saya.”

Dengan sedikit panik kamu mencari-cari receh di antara uang kertas yang belum kamu rapikan. Namun nihil.

“Mbak?” Kini pria itu mengangkat wajahnya dan menampilkan muka kesal, “saya lagi rapat ini. Bisa dipercepat nggak?”

Oh fuck you.

penempatan

03 Nov, 14:28


Kamu merogoh uang 200 perak dari sakumu sendiri dan setengah menggebraknya di atas meja kasir, “ini aja, Kak, kembaliannya. Terima kasih, selamat datang kembali.”

Pria itu mengambil botol kopi dan recehnya tanpa malu, kemudian berjalan keluar begitu saja tanpa menjawabmu sama sekali.

Jangan pernah datang lagi, maksudnya.

***

Jam dinding menunjukkan pukul setengah dua siang. Kamu hampir tertidur di depan komputermu sendiri ketika seseorang mengetuk bahumu lembut, “Kak?”

Kamu terperanjat kaget hingga nyaris terlonjak dari kursimu. Namun ia yang membangunkan refleks menahan lengamu agar tetap seimbang pada tempatnya. Pipimu memanas karena malu.

“Maaf, Kak, maaf,” kamu cepat-cepat berdiri, mengambil sebotol kopi Good Day yang pria itu letakkan di depanmu, “belanjanya ini aja, Kak?”

“Santai aja, Kak,” ia terkekeh, “iya, itu aja.”

Sambil memindai, kamu memperhatikan pria itu dari ujung matamu; dan kamu yakin dia adalah favorit Tuhan. Bagaimana tidak? Tiap inci tulangnya seakan dipahat hati-hati, menjadikan sosoknya terlihat tegas namun senyum ramahnya bisa membuatmu leleh. Postur tegapnya terlihat gagah mengenakan seragam cokelat mudanya yang digulung hingga setengah lengan. Kamu melirik lanyard Prada yang berisikan ID Card-nya;

Gede Prabu Asta Dewangga.

Bahkan dari namanya saja terasa seperti sedang memanggil pangeran.

“Nggak sekalian Sosis Kanzler-nya, Kak? Mumpung lagi promo.”

“Nggak dulu,” jawabnya sopan.

“Oke,” kamu meletakkan kopinya lagi, “totalnya 6.900 ya, Kak.”

Pria itu mengeluarkan pecahan seratus ribu dari dompetnya dan meletakkannya di atas meja.

Kamu mengambilnya dan meng-input nominalnya lagi, “kembaliannya 93.100. 100 rupiahnya boleh di donasikan, Kak?”

“Iya, Kak, boleh,” jawabnya sembari mengambil botol kopinya dan langsung berbalik beranjak pergi.

“Eh—Kak!” Panggilmu, “ini kembaliannya masih 93.000 lagi.”

“Masukin ke donasi aja, Kak,” jawab pria itu sambil lalu, “ambil juga sebagian buat Kakak beli kopi biar nggak capek.”

Kamu merasakan pipimu makin panas.

***

Jam dinding menunjukkan angka lima sore. Kamu sedang melayani antrian pembeli yang akan membayar. Pada jam pulang kantor seperti ini, para pegawai instansi memang biasanya mampir ke swalayan untuk belanja agar tidak perlu keluar lagi setelah sampai rumah.

Kamu tidak akan mengeluh hari ini; botol kopi Good Day yang masih tersegel rapi hasil dari uang donasi pelanggan tampan dan baik hati tadi siang membuat kamu semangat bekerja sampai pulang.

Setelah mengucapkan terima kasih untuk pelanggan yang terlihat kerepotan menahan anaknya agar tidak mengambil Kinder Joy, kamu menyambut pelanggan selanjutnya; seorang pria manis berseragam yang berdiri canggung dengan sebotol kopi Good Day di tangannya. Ia terlihat menghindari tatapan matamu dengan mengarahkan pandangan ke bawah, membuatmu menyadari betapa panjang dan lentik bulu matanya, “sore, Kak. Ini aja belanjanya?”

“Iya—ouch.”

Tiba-tiba seorang wanita paruh baya mendorong pria itu agar menyingkir sambil berkata, “saya dulu ya, Dek. Udah ditunggu suami saya di depan.”

Kamu mendelik marah, “maaf ya, Bu, tapi pelanggan harus antri—“

“Nggak pa-pa, Mbak,” pria itu menggeleng maklum, “saya habis ini aja.”

Kamu tak bisa menyembunyikan kesal saat memindai barang wanita itu satu per satu. Namun ketika kamu melihat pria tadi terlihat asyik mengamati harga berbagai cokelat dan mainan anak yang terpajang di display sebelah meja kasir, kamu merasa mood-mu membaik. Dari ID Card yang tergantung di saku baju, kamu bisa membaca nama pria itu:

Laksamana Yudha Ghifari.

Entah mengapa, nama itu terdengar sejuk di otaknya.

Setelah memindai barang terakhir, kamu menyebutkan jumlahnya, “semuanya jadi 237.900, Bu.”

“Oh…” ibu tadi mengeluarkan dua lembar seratus ribuan, “tapi saya cuma ada ini, Mbak.”

“Belum cukup, Bu. Totalnya 215.900,” jawabnya berusaha sabar, “apa mau dikurangi aja belanjanya?”

“Tapi saya butuh semuanya, Mbak.”

“Ya tapi uangnya nggak cukup, Bu,” kamu benar-benar geregetan, “atau ibu bayar pakai kartu debit? QRIS?”

penempatan

03 Nov, 14:26


Tangan iseng Arion mengacak pelan rambut Hemas, “duluan, Hems,” sebelum ia menggeret kopernya pergi.

Pipi Hemas jauh lebih merah dari Laksa.

Ketika Arion sudah tak terlihat dari pandangan mereka, Laksa dan Hemas masih melongo menatap sosoknya.

“Lo tau caranya mengawetkan makanan nggak, Hems?” Mata Laksa belum berpindah dan tangannya memeluk sandwich yang Arion berikan, “kayaknya gue nggak bakal makan ini selamanya.”

Hemas menyentuh rambutnya hati-hati, masih merasakan hangat tangan Arion di sana, “gue kayaknya juga nggak bakal keramas sampe mati.”

“Lo berdua ketemu Rion doang kayak ketemu Tuhan.” Dari belakang, suara berat familiar menjotos pelan bahu mereka berdua.

Lamunan Laksa dan Hemas buyar kala mereka menoleh untuk menemukan Prabu dengan kopernya yang berjalan sendiri mengikutinya di belakang—tentu saja Airwheel, karena Prabu tidak akan kehabisan ide untuk menunjukkan kepada dunia bahwa ia kaya.

Buuu, liat,” Laksa melambaikan sandwich dari Arion, “makanan dari orang ganteng.”

“Oh, gitu,” Prabu mengangguk. Ia kemudian menyingkirkan kantung plastik dari pandangan Laksa, “berarti jajan-jajan dari gue nggak perlu ya.”

“Perluuuuu!” Laksa tertawa sambil berusaha merebut plastik di balik badan Prabu.

Prabu menahan tangan Laksa ketika merasakan gelombang hangat dari tubuhnya, “Sa, wait.”

“Hmm?” Laksa mengerjap.

Prabu menyentuh leher Laksa dan membandingkan suhunya dengan kening sendiri, “badan lo kok anget?”

“Gue nggak tidur,” Laksa mengadu dengan muka cemberut, “tadi malem masih revisi rule validasi.”

Prabu menjentik kening Laksa kesal, “kalo gitu ngapain pesen kopi, tolol?”

“Ya biar nggak ngantuk.”

Nope, nope,” Prabu mengeluarkan sekaleng Starbucks dari kantongnya dan melemparnya ke arah Hemas, “Hemas, catch!”

“Siap!” Hemas menangkapnya dengan gembira karena ia akan selalu menyambut barang gratis dengan hati tulus ikhlas.

Beberapa bus di sekitar mereka membunyikan klakson untuk memberikan tanda bahwa mereka akan berangkat. Prabu mengambil tuas kopernya untuk menariknya manual, “ayo, Sa.”

“Okeee.” Laksa melambaikan tangan ke Hemas sebelum menggeret kopernya juga, “lo naik juga sono.”

“Iyeee.” Hemas mengambil kopernya juga dan menariknya untuk berjalan pergi.

Ketika Hemas menoleh lagi, ia melihat Prabu yang berjongkok untuk mengikat tali sepatu Laksa yang ternyata sedari tadi telah terurai sementara Laksa sibuk mengoceh tentang hal yang tak bisa Hemas dengar.

Laksa tidak pernah tertawa selebar itu saat bersama Dinda.

penempatan

03 Nov, 14:26


[re-upload dari twitter]

“Laksaaaa!” Laksa melihat Hemas melambaikan tangan dari kejauhan. Koper hard case perak Lojel seharga tunjangan ikatan dinas 5 bulan yang Laksa tahu baru Hemas beli kemarin terlihat bersinar dibandingkan koper Pasar Senen bermerk Polo palsu teman-temannya yang lain. Hemas masih tersenyum girang ketika menyapanya, “siniiiii!”

Laksa menghela nafas lelah dan ikut menggeret kopernya lagi—kalau ada yang penasaran, koper Rimowa Laksa malah seharga motor baru, mengingat ia membelinya ketika keluarganya masih kaya—dan menghampiri Hemas dengan muka lesu. Permasalahan umum sekolah kedinasan yang minim programmer; tugas membuat aplikasi, website, server, database, dan tetek bengek lainnya harus dibagi ke 60 orang saja dengan rentang waktu yang sangat tidak masuk akal. Dari 60 orang itu, yang benar-benar mengerti pemrograman hanya sekitar 15 orang.

Laksa, sialnya, adalah salah satunya.

Hemas berdecak, “gue dari tadi liat anak komputasi lewat dan emang mukanya jelek semua, Sa. Tapi muka lo bener-bener kayak mayat hidup.”

“Bacot, homo.” Laksa menggerutu, “lo kenapa nggak bangunin gue, anjing?!”

“Gue udah ketok pintu kamar lo sampe mampus, Su, tapi lo-nya nggak respon!” Hemas menyanggah, “lo nggak tidur berapa abad?”

Mata Laksa berkaca-kaca ketika menjawab, “gue udah lupa definisi tidur itu apa…”

“Adududu, kasian.” Hemas menggelitik dagu Laksa, berpura-pura kasihan, “lo kan satu bus sama Dinda. Minta kelon aja.”

Matamu.” Laksa menyergah tangan Hemas kasar, “lo bus berapa?”

“5 noh,” Hemas menunjuk salah satu bus yang terparkir di dekat SPBU, “tapi mesinnya belum nyala jadi gue males naik.”

“Oh…”

“Dinda mana?” Hemas celingukan mencari pacar Laksa itu, “lo mau nungguin dia?”

“Udah masuk duluan anaknya,” Laksa mengedikkan kepalanya ke dalam bus, “ngambek kayaknya karena gue nggak bangun pas dia telepon berkali-kali.”

Hemas menahan cibiran untuk dirinya sendiri. Jujur, sangat sulit baginya untuk menyukai sosok Dinda. Orang luar mungkin akan menganggap Dinda sebagai wanita cantik, independent girl boss, dan super cerdas. Tetapi bencong radar ditambah dengan berbagai curhatan Laksa selama mereka pacaran membuat Hemas punya pikiran sebaliknya; self-centered, control freak, sama sekali tidak pengertian, dan selalu merasa dunia hanya berpusat padanya.

Cocok sekali dengan Laksa si paling people pleaser dengan low self-esteem serta mudah disetir.

“Yaudahlah,” Hemas mengangkat bahu, “masuk aja gih.”

“Nanti dulu,” Laksa menduduki kopernya sendiri, “gue nungguin Prabu.”

“Ngapain?”

“Tadi gue nitip Antimo, Tolak Angin, sama kopi,” Laksa memijat tengkuknya sendiri, “gue kayaknya bakal tepar deh ini.”

“Goblok ah lo. Masa tepar pas PKL?!”

“Biar Arion ngerasa bersalah udah nyiksa gue mulu,” Laksa menggerutu, “hobi banget revisi rule validasi mulu emang bangs—“

Seseorang menepuk pundak Laksa ramah, membuat Laksa langsung berbalik kaget. Di belakangnya berdiri The Mighty Arion dengan senyum malaikat dan kerling mata bersinarnya. Satu tangannya mencengkram handle kopernya—Samsonite, kalau ada yang ingin tahu—sementara tangan lainnya masih bertengger di pundak Laksa, membuat pipi Laksa memerah panas.

Kristofel Arion terlihat unreal dari jarak dekat.

“Laksa,” Arion merogoh kantong belanjanya dan mengeluarkan sandwich cepat saji Indomaret sebelum menyerahkan ke Laksa, “buat lo.”

Laksa gelagapan sendiri, “bu-buat gue?”

“Iyaa,” Bibir Arion tertekuk ke bawah sebelum memulai, “gue mau minta maaf soalnya kemaren udah minta tambah rule validasi lagi. Kasian banget, Laksa. Pasti capek ya?”

“Oh,” Laksa langsung blank, “enggak kok, Yon, santai aja. Kan emang tugas lo.”

But still,” Arion memijat pundak Laksa lembut, “nanti di pesawat tidur aja ya, Sa. Gue denger lo masuk timnya Prabu ‘kan?”

“I-iya.”

“Kalo Prabu mah bakal jagain lo,” Arion mengedipkan sebelah matanya—Laksa tidak paham konteksnya apa, “gue masuk duluan ya, Sa.”

“Iya, Yon.” Iya iya mulu dari tadi lo, goblok.

Arion menoleh hingga matanya bertemu Hemas yang hanya terdiam memperhatikan interaksi mereka.

penempatan

03 Nov, 14:25


Eh kayaknya masih ada lagi deh wkwkw gue cicil lagi yak

penempatan

03 Nov, 14:19


Tanpa banyak omong, dia minta tolong salah satu cleaner buat pinjemin kursi roda dan tanya klinik terdekat.

Momen belanja itu akhirnya berakhir dengan diem-dieman di taksi—Laksa nggak protes, finally. Dia bawa Laksa ke klinik juga dianya diem nggak protes. Mungkin takut ngeliat mukanya Prabu yang udah keliatan bete banget.

Mereka tetep diem-dieman sepanjang perjalanan pulang.

Pas sampe kosan Laksa, Prabu papah Laksa yang jalan pake satu kaki. Hemas lagi ambil jemuran bajunya waktu mereka masuk dan tanya, “kenapa lagi tu anak, Bu?”

“Keseleo,” jawab Prabu singkat.

“Oh,” Hemas tetep lanjut angkat jemuran. Udah biasa banget buat Hemas denger Laksa jatuh soalnya kaki Laksa tuh kayaknya kiri semua.

Prabu bantu Laksa sampe bisa duduk di ranjangnya dan angkat kaki Laksa yang dibebat. Tanpa liat wajah Laksa, Prabu ngomong, “gue nanti balik lagi bawain lo makan. Nggak usah banyak gerak kalo nggak urgent.”

Laksa angguk, nggak tau mau respon apa. Tapi pas liat tangan Prabu ngeraih handle pintu, dia langsung panggil, “Bu.”

“Apa?”

Bibir Laksa ditekuk ke bawah waktu bilang, “maaf.”

Perkataan Laksa itu bikin Prabu langsung noleh dengan dahi berkerut, “buat?”

Laksa mainin tali gulingnya, “bikin repot.”

Prabu ngehela nafas panjang sebelum dia balik duduk di ranjang dan tepuk lutut Laksa, “lo pikir gue marah sama lo?”

“Ya abisan, muka lo begitu. Terus—terus lo diem aja? Tapi gue paham kalo lo sebel soalnya hari ini gue kayak ganggu banget gue beneran nggak ngerti kenapa—tapi gue nggak maksud.”

Prabu geleng-geleng, “gue nggak marah sama lo, Sa.”

“Terus?”

“Gue marah sama diri sendiri,” jelas Prabu, “gue marah karena gue nggak liat lo susah jalan. Gue marah karena bikin lo ngerasa nggak bisa ngeluh ke gue. Gue marah ke diri sendiri karena nggak bisa jagain lo.”

“Tapi gue begini karena gue sendiri,” bantah Laksa, “hidup gue emang selalu ketiban sial. Cuma nggak tau kenapa hari ini tuh kayak parah banget. Mana pas ada lo pula.”

Prabu tepuk lutut Laksa lembut, “probably this is just… not your day? Bukan berarti hidup lo sial selamanya. Jangan ngomong gitu dong.”

Laksa tetep mainin tali gulingnya sambil gumam pelan sesuatu yang Prabu nggak paham—kayaknya pake bahasa selain yang Prabu tau. Jadi dia let it slide.

Oke, gue bakal ngelakuin damage control,” Prabu berdiri dan acak rambut temennya itu, “lo di sini aja. Gue bakal beliin lo makanan biar lo bisa bertahan sampe senin. Habis itu kita ngegosip lagi sambil lo nonton Harry Potter 1-7 di laptop baru gue. Belum pernah kan lo nonton di laptop 15 juta?”

“Enak aja. Asal lo tau, laptop gue harganya 30 juta,” Laksa ketawa sambil lempar salah satu bantalnya ke arah Prabu, “gue pernah kaya ya, bajingan.”

Prabu nangkep bantal lemparan Laksa sambil nahan senyum, happy ngeliat Laksa bisa ketawa lagi.

Hari mereka diakhiri sama nonton Harry Potter sambil ngemil semaleman, berdebat panjang soal siapa yang jahat di antara James Potter sama Severus Snape, dan dengerin Prabu ngelanjutin nyebar gosip hangat di kampus sampe Laksa ketiduran.

penempatan

03 Nov, 14:19


Prabu berdiri pas dia liat busnya Laksa dari kejauhan. Busnya tetep rame banget. Prabu sampe heran sendiri. Waktu busnya berhenti dan pintu dibuka, orang-orang keluar sambil lari-lari. Jantung Prabu hampir copot waktu Laksa mau keluar tapi tiba-tiba ada ibu-ibu yang dorong dia keras sampe kepeleset, keras banget.

“Sa!” Prabu refleks langsung ngehampirin dan bantuin dia bangun sama kondektur busnya. Tapi si ibu-ibu itu cuma noleh bentar dan langsung pergi ke pintu keluar. Kalo bukan karena Laksa yang terlalu shock sampe butuh 5 menit buat mencerna situasi dan berdiri, Prabu mungkin bakal kejar itu tersangka.

Shit—you okay?” Prabu bantuin Laksa duduk di kursi dan mulai ngecek apa ada yang luka.

Okay—I’m okay,” Laksa ngebiarin Prabu heboh sendiri. Tapi emang nggak ada luka apapun di badan dia sih.

“Bener-bener ya itu nenek lampir,” semprot Prabu, “udah ah, kita naik taksi aja.”

Laksa puter mata, “ini tinggal 1 bus lagi, Bu. Sayang banget dipake naik taksi. Lagipula guenya nggak pa-pa.”

Karena males berantem, Prabu nurut aja.

Tapi beneran deh. Sialnya Laksa kok ya nggak berhenti di situ. Mulai dari nyaris keserempet motor di jalan (“udah anjing, Bu, biarin aja dia nggak sengaja.”), ketumpahan es krim anak kecil yang lari-lari di lobby (“jangan dimarahin anaknya, nanti ibunya bales marahin kita gimana?”), sampe kejatuhan banner toko yang lagi dipasang (“itu pegawainya capek banget keliatannya, Bu. Jangan dilabrak, duh.”).

Setelah dapet laptop baru—sebuah laptop gaming yang harganya 15 juta tapi bagi Laksa itu tetep kemahalan karena, “AMD Ryzen 5 ketinggian kalo buat kuliah doang, tolol. Satu-satunya software edit yang lo tau cuma PowerPoint?!”—mereka makan di food court. Prabu nawarin ke tempat yang lebih nyaman tapi Laksa nggak mau. Katanya kalo food court milihnya lebih gampang.

Laksa milih makan soto betawi dan Prabu cobain nasi campurnya. Mereka ngobrol sambil makan buat ngegosip soal si-ini-pacaran-sama-si-itu alias informasi yang Prabu hapal karena dia anak Sema. Pas lagi seru ngomongin Arion yang kayaknya lagi dideketin senior cowok (Marka, maksudnya. Tapi Laksa nggak akan pernah tau.), tiba-tiba dahi Laksa berkerut sambil aduk soto di mangkoknya.

“Kenapa, Sa?” Prabu ngeliatin penasaran.

Dengan ragu-ragu, Laksa angkat sendoknya; ada dua lalat mati di situ. Prabu yang liat rasanya mau muntah.

Prabu langsung berdiri, “gue minta ganti—“

“Jangan! Ih, Prabu!” Laksa tahan lengan Prabu, “nggak pa-pa.”

“Nggak pa-pa gimana anjing, Sa?!” Prabu yang emang dasarnya sangat bad mood hari ini mulai meledak, “kita nih di mall. Itu soto betawi harganya dua kali lipat dari warung di luar. Minimal banget nih ya, mereka bersih!

Prabu langsung tarik lengannya sendiri dari cengkraman Laksa dan tetep jalan dengan emosi ke court soto betawi itu. Laksa yang panik ikutan berdiri dan mau nyusul. Tapi kaki kirinya mendadak nyeri dan kaku, bikin dia langsung jatuh diikutin sama kursinya sendiri dengan suara prang berisik.

Satu food court langsung noleh karena kaget. Prabu ikut noleh, buat ngedapetin Laksa jatuh lagi. Emosinya digantiin sama rasa khawatir pas dia lari kecil balik ke kursi mereka lagi.

“Anjing, Sa,” reaksi pertama Prabu itu pindahin kursi yang jatuh di kaki Laksa dan bantuin Laksa duduk di kursi lagi, “lo nggak pa-pa? Ini serius bangsat awas aja lo jawab—“

“Kaki gue sakit banget,” Laksa gigit bibir. Pertahanannya hampir runtuh, seakan dia emang beneran nahan dari tadi, “kayak—keseleo? Gue nggak bisa jalan…”

Prabu cursing under his breath, “yang mana, Sa?”

“Kiri,” jawab Laksa lemes, “kayaknya—pergelangan?”

Prabu jongkok di depan Laksa buat buka sneaker sama kaos kakinya—Laksa nahan diri buat nggak mukul tangan Prabu soalnya sakit banget jancok. Matanya ngelebar pas liat kaki kiri Laksa bengkak.

Kalau udah separah ini berarti udah lama…

“Ini—ini gara-gara jatuh di bus tadi?” Prabu mendongak nggak percaya.

Laksa angkat bahu. Prabu ngerasa dia mau jawab ‘iya’ tapi malu.

Prabu tarik nafas panjang dan hembusin pelan biar bisa mikir lebih jernih.

penempatan

03 Nov, 14:19


Akhirnya Prabu turun di halte yang disebutin Laksa dan duduk di kursi buat nunggu Laksa nyampe. Lamaaaa banget. Hampir 45 menit. Laksa bilang busnya kejebak macet di Senen (siapa yang nggak kejebak macet di Senen?). Prabu makin cranky dan ngirim chat marah-marah mulu ke Laksa yang intinya ‘udah gue bilang mending naik taksi’. Laksa bales dengan berbagai macam stiker jari tengah.

penempatan

03 Nov, 14:17


[re-upload dari twitter]

Sebutan The Unlucky Laksa ada bukan tanpa alasan. Laksa nih masalahnya unlucky bukan cuma soal gede-gede aja kayak jadi korban bully atau punya bapak yang abusif. Dia bahkan unlucky di hal sepele—kayak ga ada angin ga ada ujan bakal kesandung angin.

Prabu yang udah temenan sama Laksa dari maba adalah saksi hidup dari semua kesialan Laksa itu.

Waktu kuliah, Prabu butuh beli laptop baru. Dia berniat ngajak Laksa yang lebih paham soal dunia perkomputeran buat nemenin dia.

“Budget gue terbatas jadi takut salah pilih,” alasan Prabu.

“Emang lo butuhnya yang kayak gimana?” jawab Laksa

“Yaa… yang bisa Eviews, SPSS, sama R-Studio aja pokoknya. Gue kalo nge-game biasanya pake Mac sih jadi laptop yang ini pure buat ngerjain tugas.”

“Budget lo berapa?” tanya Laksa.

“Nggak banyak sih,” jawab Prabu

“Nggak banyaknya itu berapa?”

“Kalo paling mentok 50 juta gue bisa dapet laptop bagus nggak ya?”

“Pergi lo dari kehidupan gue.”

Tapi tetep aja sih Laksa akhirnya nemenin Prabu ke Mangga Dua. Lumayan katanya mau dibayarin lunch (anak miskin emang). Hari mereka pergi tuh kayaknya hari jelek buat Laksa soalnya ini anak bener-bener… sial.

Dimulai dari naik Transjakarta. Prabu sebenernya udah ajak Laksa naik taksi aja karena ga terlalu jauh. Laksa nolak karena, “gue tau lo anak bangsawan. Tapi tetep aja lo harus tau rasanya hidup sebagai rakyat biasa. Roda kehidupan tuh muter, nggak selamanya di atas.”

“Ga usah merefleksikan roda kehidupan lo yang kempes sama roda kehidupan gue ya, Sa.”

Mereka berangkat sekitar jam 10-an buat ngehindarin jam masuk kantor. Tapi nggak tau kenapa tetep aja haltenya full sama manusia. Prabu sama Laksa berhasil antri di deket pintu sih—dulu kan sistemnya masih berantakan dan harus jago serobot, nggak kayak sekarang yang antriannya lebih rapi.

Setelah berdiri sekitar 10 menit dan Prabu udah mulai cranky, bus jurusan Ancol pun dateng. Pas pintunya kebuka tuh udah keliatan penuh banget, tapi orang-orang langsung cepet-cepetan masuk nggak peduli kanan-kiri.

Prabu berhasil masuk dan langsung ke bagian belakang bus buat berdiri di depan salah satu seat. Waktu busnya jalan, dia kaget banget pas liat Laksa ternyata masih berdiri di halte.

penempatan

03 Nov, 14:12


Beberapa lama dia balik lagi sambil bawa banyak bungkusan, “buset, banyak banget, Bu.”

Prabu sandarin punggungnya di kursi sambil ngeliatin Laksa yang sibuk buka plastik makanannya, “ya biar bisa dimakan bareng-bareng.”

Laksa ketawa, “gue sama Pak Satpam doang juga nggak bakal abis kali, Bu, dua martabak gede begini. Terus ini—kopi empat gelas? Maksudnya gue dua gelas, Pak Satpam dua gelas gitu?”

“Ya enggak lah, Ca,” Prabu geleng-geleng, “dua lagi buat temen lo.”

“Temen?” Dahi Laksa berkerut bingung, “temen siapa?”

“Ya temen—“ perkataan Prabu putus waktu dia akhirnya paham alasan bingungnya Laksa. Tatapan matanya langsung ngarah ke dua orang yang dia perhatiin dari tadi sibuk sendiri, dan baru dia liat gimana mereka berdua.

Sekarang pandangan dua orang itu bukan lagi di komputer, tapi ke Prabu sama Laksa, ngeliatin interaksi mereka dengan muka datar. Prabu bisa liat wajah mereka yang pucat kayak kertas dengan mata yang hampir full sama kornea hitam itu. Dua orang itu nggak ngapa-ngapain, cuma diem. Tapi bahkan dari jauh pun Prabu bisa liat salah satunya mulai narik senyum miring seakan bilang;

“Udah sadar?”

“Bu?” Laksa mulai khawatir waktu loat wajah Prabu udah kayak kehilangan warna mendadak. Dia noleh ke arah pandangan Prabu tapi nggak nemu siapa-siapa, “kenapa sih?”

Prabu nutup mata, berusaha nenangin diri. Tangannya remas botol bir yang ternyata dari tadi dia genggam buat ngusir takutnya sendiri.

Enggak, dia nggak takut sama makhluk itu.

Dia takut Laksa kenapa-napa.

“Laksa,” Prabu panggil nama Laksa tanpa basa-basi, “pulang.”

“Hah?” Laksa yang nggak nangkep situasinya makin bingung, “apa sih? Kerjaan gue—“

“Udah malem,” Prabu bener-bener nggak buka perdebatan, “pulang.”

“Lo aneh banget, anj—“ mata Laksa ngelebar waktu akhirnya dia paham. Dia gigit bibir, ngasi Prabu pertanyaan lewat matanya.

Prabu angguk kecil banget, nggak mau sugar coating masalah.

Nafas Laksa gemeteran ketika dia ambil dalam-dalam. Tanpa ngalihin pandangan dari Prabu, tangannya ngeraih hp sama charger buat dia masukin ke tasnya. Waktu Laksa mau nutup laptop, Prabu langsung cegah, “nggak usah.”

“Hah?” Laksa keliatan desperate karena oke, Laksa suka film horror, tapi bukan berarti dia juga suka kalo ketemu aslinya.

“Tinggal aja laptopnya. Jangan dimatiin video call-nya. Lo pulang.” Prabu kasih instruksi, “pake AirPod lo, gue telepon sepanjang jalan.”

Laksa nutup mata biar lebih tenang, “oke, oke.”

Ngikutin semua instruksi Prabu, Laksa akhirnya keluar sambil setengah lari ke parkiran.

Sementara itu, laptop Laksa dengan video call-nya masih nyala di ruangan. Prabu masih tetep nggak mau lepas tatapan sama dua orang itu, seakan takut kalo dia kedip sekali aja mereka bakal langsung ikut keluar ngikutin Laksa.

Tapi setelah suara motor Laksa yang ngebut kedengeran sampe ruang IT, dua orang itu noleh ke komputer mereka lagi dan balik ke posisi waktu Prabu nemuin mereka pertama kali.

Dua menit kemudian, video call itu putus sendiri.

penempatan

03 Nov, 14:12


[re-upload dari twitter] [tw // horror]

Prabu lagi perjadin ke kabupaten waktu Laksa lagi minggu sibuk alias bisa pulang di bawah jam 1 malem dari kantor aja udah bagus. Sebenernya di kantor Laksa tuh pegawainya banyak, tapi karena cuma Laksa satu-satunya yang belum nikah, jadi dia mulu yang disuruh ngerjain ini-itu sampe malem.

Biasanya sih Prabu bakal nemenin di kantor sambil download film bokep, tapi karena ceritanya mereka lagi LDR jadi Prabu cuma bisa ikut ngerecokin via video call doang.

Ini udah hari ketiga Prabu nemenin Laksa via video call.

Jam di laptop Prabu nunjukkin pukul 23.20 waktu akhirnya Laksa jawab facetime-nya. Mukanya cemberut, keliatan banget kalo udah capek. Ya iyalah, udah tiga hari pulang jam 2 dini hari dan harus tetep absen jam setengah delapan pagi kalo nggak mau tunjangannya kepotong. Prabu ngehela nafas, “udah makan, sayang?”

“Udah,” Laksa nunjukkin bungkus nasi padang yang udah abis, “gue sambil entry nggak pa-pa ya, Bu?”

Prabu ketawa kecil, “biasanya juga lo kerja dan gue yang bacot.”

Laksa ikut senyum sebelum bangun dari kursinya, “bentar, gue ambil dokumen dulu.”

Prabu ngeliatin gimana Laksa keluar dari frame dan nggak berapa lama kedengeran pintu kebuka, tandanya Laksa lagi ambil dokumen yang mau di-entry di ruangan sebelah. Prabu split screen layarnya biar bisa sambil ngecek medsos sambil sesekali neguk bir sekaleng di sebelahnyamereka video call pake laptop, btw.

Sambil scroll Instagram, ujung matanya nangkep dua petugas entry di ruangan Laksa lagi sibuk sama komputer masing-masing juga. Dua petugas itu juga selalu ada di tiga hari Prabu ajak Laksa video call. Prabu geleng-geleng sendiri, salut sama dedikasi mereka. Mungkin mereka anak kuliahan yang emang paginya kudu ngampus jadi cuma punya kesempatan kerjain dokumen malam begini? Tapi kalo diliat-liat dari style-nya, mereka kayak bapak-bapak paruh baya sih.

Oh, mungkin kalo pagi mereka emang punya kerjaan lain, pikir Prabu. Dia inget petugas surveinya pas masih di kantor antah berantah juga banyak yang turun lapangan malem soalnya kalo pagi harus urus kebun.

Karena sungkan sama mereka yang keliatan beneran kerja, Prabu akhirnya buka aplikasi Grabfood dan pesen 2 martabak telor jumbo favorit Laksa sama kopi empat gelas—satu lagi buat satpam yang ada di pos—dan kirim ke kantornya Laksa. Prabu tuh kalo mau kirim makanan kayak gitu jarang bilang ke Laksa soalnya kalo dia tanya ke Laksa, pasti dijawabnya, “gue nanti beli sendiri aja, Bu.”

Padahal ujung-ujungnya ya dia nggak bakal beli karena sayang duit.

Nggak berapa lama dari itu, Laksa masuk ruangan lagi sambil bawa setumpuk dokumen yang dia jatuhin di meja sebelahnya sampe laptopnya goyang, “sorry, lama.”

Prabu berdecak melas, “kasian banget pacar gue, cari duit sampe pagi tapi gajinya cuma tahan sampe tengah bulan.”

“Tai,” Laksa duduk lagi dan ambil satu dokumen buat entry. Dia akhirnya tanya ke Prabu, “tadi kemana aja, sayang?”

Mulailah si Prabu cerita panjang lebar soal kerjaannya seharian. Meskipun mata Laksa fokus sama kerjaannya, tapi Prabu bisa denger Laksa bergumam sekali-sekali tanda dia dengerin ceritanya di antara berisik keyboard komputernya.

Laksa ngelirik Prabu waktu dia berhenti cerita buat minum birnya, “jangan banyak-banyak, Bu.”

“Yaelah, Ca,” dengus Prabu, “kagak bakal juga gue mabok gegara Heineken.”

Laksa muter mata, “elo mah minum antimo aja mabok.”

“Si bangsat,” Prabu ketawa, tapi nggak nyangkal. Di antara mereka berdua, sebenernya Laksa yang lebih tahan sama alkohol. Cuma emang sama dokter disuruh hindarin kalo bisa, biar medication dia bisa kerja sebagaimana mestinya.

Kadang-kadang Prabu pengen tau tampang Laksa kalo beneran mabok sih, jujur aja.

Tiba-tiba ponsel Prabu bunyi notifikasi dari Grab buat ngasih tau kalo supirnya udah di depan kantor. Dia panggil pacarnya itu, “Ca, lo ke depan dulu. Ada driver Grab.

Sambil ngasih bombastic side eye, Laksa berdiri sambil ngeluh, “kebiasaan banget, nggak bilang-bilang.”

Prabu ketawa, “ya kalo bilang, emangnya lo mau?”

Laksa akhirnya keluar buat ambil pesenan Prabu.

penempatan

03 Nov, 14:09


[re-upload dari twitter]

Malam itu Laksa sama Prabu lagi nge-date di cafe yang baru buka kemarin. Kalau review-nya di akun kuliner sih katanya enak-enak plus murah, makanya Prabu semangat banget buat cobain. Laksa mah sebagai penumpang mobil cuma iya ayo karena toh, endingnya dia dibayarin.

Pas buka buku menu, Prabu tanya ke Mba Waiter mereka, “yang spesial di sini apa, Mba?”

“Kalau di kita ada Steak Sirloin Sapi bumbu lada hitam, Kak,” Mba-nya nunjuk salah satu menu, “terus untuk minumannya kita ada Sunset Sky. Dia semacam Mojito gitu, Kak.”

“Boleh deh, Mba, saya coba. Steak-nya medium well bisa kan, Kak?”

Si Mba keliatan bingung sama ucapannya Prabu tapi sedetik doang, habis itu pasang muka cool lagi, “bisa, Kak. Nanti saya sampaikan ke chef-nya.”

“Oke,” Prabu senyum puas sambil kasih buku menunya ke Laksa, “lo mau apa?”

Laksa cuma butuh sekali baca sebelum jawab, “nasi goreng seafood sama orange juice, Mba.”

Prabu muter matanya, elo udah gue ajak jauh-jauh masa cuma pesen nasi goreng seafood sih?”

Laksa cuma senyum kecil dan nggak jawab. Tangannya kasih balik buku menunya ke Mba Waiter sambil gumam, “makasih.”

***

Pesanan mereka dateng hampir setengah jam kemudian—Prabu hampir angkat kaki karena udah kelaperan tapi sama Laksa dikasih roti sisa rapat yang masih dia simpen di tas kerjanya.

Dan Prabu makin bete ketika liat penampilan steak-nya, “tadi gue udah pesen medium well kan, Ca?”

Laksa nggak jawab.

Prabu iris dikit steak-nya sampe ngeliatin warna daging di dalem; cokelat tanpa sentuhan pink sama sekali, “ini mah well done.”

Dengan kesel, Prabu taruh pisau sama garpunya lagi dan mau panggil Mba Waiter tapi sama Laksa langsung ditahan, “nggak usah. Itu dagingnya emang kudu dimasak well done, Bu. Bukan steak yang biasa lo makan.”

“…oh.” Prabu memandangi steak-nya sambil berpikir keras. Ia akhirnya coba sepotong sampe kernyitan di keningnya makin dalam. Tapi dia nggak komentar apa-apa; salah satu manner para cucu opa Wisesa adalah nggak komentar buruk di depan makanan. Pamali.

Laksa diem-diem ngamatin tingkah pacarnya itu, ikutan nggak komentar. Tangannya sok sibuk aduk-aduk orange juice yang sebenernya nggak perlu diaduk. Dia ngeliatin aja waktu Prabu ngikutin gerakannya dengan aduk-aduk mojito ala-ala yang dia pesen sendiri dan icip sedikit dari sedotannya.

Raut wajahnya makin asem.

Laksa menghela nafas. Dia ambil sesendok nasi goreng pesenannya dan julurin ke Prabu, “cobain dulu.”

“Lah, lo aja belom coba?”

“Cobain dulu,” ulang Laksa sambil angguk.

Prabu coba suapan Laksa dan kerutan keningnya berkurang, dikit.

Laksa amatin reaksinya Prabu, “enak?”

“Not bad.” Gerutu Prabu.

Laksa taruh lagi sendoknya. Dengan sekali gerakan, dia tuker piringnya sama Prabu dan langsung iris steak-nya sesuai potongannya sendiri sebelum Prabu bisa ngomong apapun. Dia makan pesenan Prabu itu tanpa komentar apapun.

Layaknya korban act of service Laksa yang udah-udah, pipi Prabu langsung merah—udah saingan sama Sunset Sky si mojito ala-ala pesenannya Prabu.

Oh, ngomong-ngomong soal Sunset Sky…

“Lo mau orange juice nggak?” Tanya Laksa sambil angkat gelasnya.

Prabu geleng-geleng, “kan pesenan lo.”

“Gue mah apa aja masuk. Kan udah biasa miskin,” Laksa menukar gelasnya dengan gelas Prabu juga, “nih, daripada keselek.”

Dengan ragu, Prabu angkat sendoknya.

Laksa senyum di antara kunyahnya, “makan dong, ganteng. Cemberut mulu.”

Prabu yang digodain gitu makin cemberut tapi sambil nahan geli sendiri. Ngikutin Laksa, dia akhirnya ikut makan nasi goreng seafood dari pacarnya itu. Nggak seenak bikinan Laksa yang pake cinta sih, tapi masih edible dibanding that sad excuse they called steak.

Laksa mulai ajak Prabu ngobrol soal kerjaan dan insiden tukar-menukan makanan pun nggak dibahas lagi.

Nggak tau deh butuh berapa taun bagi Prabu buat sadar kalo Laksa selalu pesen makanan favorit Prabu tiap mereka lagi coba tempat makan baru, buat jaga-jaga kalo Prabu nggak suka sama makanan yang dia pesen sendiri.

penempatan

31 Oct, 00:37


Dapet salam dari Laksa gaes

penempatan

31 Oct, 00:20


Oke ini karena masih ada yang isi trakteer padahal udah dihapus dan gue takut ada yang mikir konten gue beneran 5jt (haha) jadi gue kasih ini ya INI FREE JADI GA PERLU ISI CENDOL

Ini konten tadi malem yang gue hapus please jangan kecewa bukanya wkwk

cw/tw// literal public make out, voyeurism, apa lagi ya gatau please ini ASBUN SUMPAH CUMA SS CHAT ASBUN TOLONGGGGGGG

https://trakteer.id/asumsiklasik/showcase/rahasia-251K3

penempatan

20 Oct, 09:35


[bukan update nanti dihapus] gaes sorry wkwk ada yang jual netflix ga 😅🙏 trauma habis kena tipu kl cari di twt wkwkwk

penempatan

19 Oct, 12:53


[didasari oleh kekesalan ke oknum lol gakding]

Salah satu toxic trait Laksa—toxic trait beliau banyak btw—adalah se-urgent apapun, kalau dia liat ada tukang parkir nongkrong di depan minimarket, dia nggak bakal mampir.

Tapi good for him karena Laksa jadi apal semua minimarket satu kota yang nggak dijagain tukang parkir. Lumayan hemat juga sih (haha).

Di suatu minggu, Laksa sama Prabu jogging cfd-an. Naik motor, biar parkirnya gampang.

Pas udah mau balik, Prabu bilang, “Ca, mampir Alfa yak. Abis ini air putih gue.”

Laksa yang hari itu jadi sopir jawab, “oke.”

Terus mampir lah ke minimarket yang Laksa tau kalau nggak ada tukang parkirnya—beneran di atasnya ada tulisan ‘Bebas Parkir’ gede banget. Prabu beli air mineral 2 botol, dan Laksa comot sosis Kanzler. Bayar. Keluar. Nongkrong bentar di kursi depannya karena emang itu kursi nyaman banget buat overthinking.

Nah pas udah pada naik motor ini mau pulang, mendadak ada bapak-bapak ngalungin peluit lari-lari ke arah mereka. Terus si bapak udah bikin gestur mau bantu ngeluarin motor.

Padahal mah nggak perlu dibantuin orang nggak ada motor lain selain punya mereka.

“Nggak usah, Pak.” Laksa langsung ngegas motornya buat lari dari si bapak.

“Eeeh!” Bapaknya ngotot cegah. “Parkir, Mas.”

Laksa putar mata kesal. “Kita te liat itu ada tulisan di atas besar-besar? ‘Bebas Parkir’ itu, Pak.”

“So te berlaku itu,” kilah si bapak. “So ada parkir di sini sekarang.”

Prabu udah mau keluarin dompet karena males berantem, tapi sama Laksa dicubit keras-keras pahanya.

“Ya berlakunya kalau itu pe palang so dikasih turun.” Laksa nggak mau kalah. “Besok jo, kalau so diturunkan. Baru saya bayar parkir.”

“Lah kan parkirnya sekarang?”

“Lah kan sekarang masih ada to itu palang?” Laksa tetep ngomel sambil nyalain lagi mesin motornya dan bersiap jalan.

Si bapak menggerutu. “Apa cuma dua ribu itu parkir, te juga bikin tambah miskin.”

“Dua ribu memang te bikin saya tambah miskin, tapi bikin bapak jadi kaya.” Laksa melengos. “Saya te mau bapak jadi kaya, orang saya juga masih miskin.”

Prabu nggak bisa tahan dengus tawanya, sementara si bapak udah bersiap ngomel lanjutan.

Tapi Laksa langsung tancap gas, kabur.

penempatan

17 Oct, 02:14


Pas makan siang bareng, Laksa ngasih liat ponselnya ke Prabu. Aplikasi si pet feeder lagi kebuka, nunjukkin Sisil yang juga lagi having lunch.

“Rasanya kayak makan bertiga nggak sih?” Laksa nyengir.

Prabu cuma liat sekelebat dan langsung balik makan lagi. “Hm.”

Laksa tarik lagi ponselnya, cemberut. “Emang bener ya kata Arion; elu excited ngobrol sama gue cuma pas lagi PDKT.”

Prabu melengos, terus rebut potongan daging yang paling gede gede dari piringnya Laksa tanpa ijin. Dia tau betul Laksa sengaja pisahin buat dimakan paling terakhir.

“Eh—anjing, Prabuuu!”

***

Malamnya, Laksa masih ada kerjaan di kantor jadi dia bilang ke Prabu buat balik duluan aja.

“Gue mau mini soccer sama temen-temen kantor juga sih ini, Sa. Gue jemput habis futsal aja gimana?” Tawar Prabu. “Lagi banyak orang kabupaten jadi book lapangan 3 jam, emang kacau banget.”

Laksa jadi inget tadi dia juga ditawarin ikutan sama bapak-bapak di kantor tapi langsung mendelik karena lu-nggak-liat-gue-kerja-apa. Dia akhirnya jawab, “kalau gue selesai pas lu selesai ya kita pulang bareng aja.”

“Oke.” Prabu kayaknya sambil nyalain mesin mobilnya. “Jangan skip makan.”

“Oke,” jawab Laksa. “Ati-ati nyetirnya.”

“Love you.”

“Too.”

“‘Too’ apa? Yang jelaas!”

“Love you too, bayi!” Laksa terkekeh. “Udah ah sana! Kerja gue.”

Prabu akhiri telepon mereka dengan tawa. Laksa akhirnya balik fokus ke kerjaannya lagi. Sesekali ngeliat tabletnya buat nontonin Sisil yang lain tiduran di bean bag-nya.

Terus Laksa nyalain mic-nya lagi, “kalau habis jangan tiduran, Ndut!”

Sisil terlonjak kaget dan langsung ngeong sambil cari asal suara. Laksa ngakak, puas banget udah ngerjain si bulu.

Tapi at some point, dia ngerasa ada yang nemenin dia ketawa.

Laksa langsung berhenti dan otomatis noleh.

Nggak ada siapa-siapa.

Tapi sejujurnya, Laksa tau kalau nggak bakal ada siapa-siapa karena dia ngerasa suaranya nggak berasal dari belakangnya.

Terus dari mana?

penempatan

17 Oct, 01:33


[cw // failed attempt at horror, kinda]

Jadi ini semua berawal dari Laksa, yang for the first time in his life, pengen berkontribusi buat ngebesarin Sisil. Terus dia scroll aplikasi belanja dan nemu pet feeder yang ada CCTV-nya.

“Ngapain beli gituan?” Tanya Prabu. “Kan biasanya dia makan bareng kita.”

“Kalau kitanya pergi gimana?”

“Ada Mbak.”

“Emang lu kalo lagi jauh dari rumah nggak kangen sama Sisil?”

“Ya tinggal minta videonya dari Mbak.”

Tapi Laksa tetep checkout karena pengen.

By the way, di rumah mereka emang nggak pernah ada CCTV. Prabu nggak suka, ceunah. Ngerasa nggak nyaman aja kalau gerakan dia direkam 24/7. Laksa shares the same sentiment tho. Toh mereka nggak punya anak kecil yang harus dijagain. Dan mereka percaya sama Mbak dan Pak Satpam di depan cluster—plus, CCTV di jalan udah cukup lah buat mereka.

“Yang ini kameranya bisa di-cek di hp tau, Bu.” Laksa jelasin setelah barangnya dateng. Terus dia install di kamarnya Sisil. “Mau gue install-in aplikasinya di hp lo nggak?”

“Nggak,” jawab Prabu tegas.

Laksa cuma angkat bahu, nggak mempertanyakan itu.

***

Hari pertama Laksa pakai pet feeder itu, dia masih giggly perkara punya teknologi baru. Jadi di mejanya sekarang, komputernya buat kerja dan tabletnya buat ngeliatin Sisil main sendirian di kamarnya. Dia bisa ngeliat Mbak bersihin kamarnya Sisil sambil ngomelin si buntelan bulu yang ngekor gerak-geriknya mulu.

“Bulu kamu ini ya ampuun,” Mbak ngeluh karena semua jejak Sisil meninggalkan bulu rontok. “Nanti saya gundulin kamu, mau?”

Sisil langsung melengos pergi. Dulu dia pernah dapet lion cut karena sakit terus ngeong mulu tiap liat bayanganny sendiri karena ngerasa nggak cantik lagi.

Drama bener emang ini buntel.

Setelah Mbak pergi, Laksa iseng manggil Sisil via mic. “Woy, Ireng!”

Sisil yang denger langsung celingukan cari asal suara.

Makin nahan ketawa Laksa. “Ireeeng, di siniii!”

Tapi Sisil malah balik badan, ngejauh dari pet feeder. Dia ngehampirin tembok pojokan dan ngeong seakan minta dielus.

Laksa terkekeh. “Di sini, Reeeng!”

Sisil nggak dengerin.

Yaudah, Laksa angkat bahu dan lanjut kerja.

penempatan

08 Oct, 13:41


Tapi ya guys wkwkwkwk lu semua kalau pernah jadi palugada di kantor alias semua cobaan dicobain tuh pasti lama-lama ada jengahnya juga.

Even manusia people pleaser kayak Laksa pun ada batas sabarnya.

Lu pada tau lah ya kalau Laksa susah banget ngomong enggak wkwkwkwk. Lebih rela nggak tidur seminggu daripada harus nolak kerjaan.

Terus one day di jam kerja, Laksa ditelepon temennya Prabu. Ternyata di Provinsi lagi ada insiden keracunan makanan dari konsumsi rapat dan salah satu korbannya ya Prabu.

Laksa udah panik banget itu ijin cuti setengah hari ke Kepala segala macem karena mau jemput dan anter Prabu ke IGD kan. Laksa juga kabarin di grup kantor kalau dia ijin pulang. Pokoknya panik banget karena emang Prabu-nya jarang sakit gitu.

NAH. Udah ijin nih. Udah ijin. Satu kantor tau Laksa cuti dan tau kalau Prabu keracunan. Literally Laksa umumin di grup kantor. Lah kok pas lagi hectic di IGD Laksa ditelepon sama senior kantornya yang dengan enteng bilang, “Wifi kantor kenapa lemot ya, Sa? Bisa tolong benerin dulu nggak? Soalnya saya mau Zoom.”

Sejak saat itu Laksa udah kehilangan respect sama orang-orang kantor lol

penempatan

08 Oct, 12:00


Jadi ceritanya hari itu Laksa capek; disuruh jemput tamu dari pusat di bandara, mendadak disuruh ke dinas buat dokumentasiin Kepala jadi narasumber, balik ke kantor karena Provinsi minta raw data survei, terus anter tamu dari pusat buat makan siang, terus Kepala nge-chat karena laptopnya nggak bisa nyambung Wifi yang bikin dia buru-buru balik kantor…

“Sa,” baru banget Laksa masuk pintu kantor udah ditodong sama Bu Manda—salah satu atasannya, “nanti bisa benerin AC lantai dua nggak? Netes-netes soalnya.”

Laksa pengen banget rolls his eyes soalnya HE DIDN’T GET PAID FOR THIS SHIT tapi dia tetep jawab, “oke, Bu.”

Jadi Laksa naik ke lantai dia buat ke ruangan Kepala, cek ricek laptop beliau. Karena sungkan berdua aja sama Kepala yang lagi rapat via Zoom, Laksa ijin bawa laptop beliau keluar biar nggak ganggu. Nongkrong lah dia di sofa depan ruangan Kepala sambil utak-atik laptop itu.

“Lah, Sa,” Bu Manda yang baru naik negur lagi, “kok malah main laptop?”

Laksa angkat kepala, pasang wajah datar. “Tadi Ibu nyuruh saya apa?”

“Benerin AC.”

“Sekarang saya lagi ngapain?”

“Mainan laptop.”

“Ya berarti ini bukan tugas dari Ibu,” Laksa nyaris dengus. “Sabar dulu, nanti juga saya beresin.”

Bu Manda menggerutu. “Jawab biasa aja kan bisa.”

Laksa cuma putar matanya setelah Bu Manda jalan pergi.

(Inilah kenapa kita nggak boleh sering-sering ngikutin FYP)

penempatan

07 Oct, 03:53


“Amazfit juga bukan merk bagus.”

“Harganya di Oren udah satu koma tiga, Sa.”

“Tapi jelek.”

“Proper lah, dibanding smartwatch dua ratus ribuan lo.”

“Bagusan Garmin.”

“Ya elu bandinginnya jangan sama Garmin, Tolol!”

“Punya gue juga nggak jelek meskipun dua ratus ribuan.” Laksa bersungut-sungut sambil nunjukkin smartwatch-nya yang baru dia beli bulan lalu. Biasa lah, modelnya macem Apple Watch KW.

“Kita tadi sepedaan 10K tapi di jam lo nge-record 20K btw.” Prabu mendengus. “Bisa-bisanya meleset dua kali lipat.”

“Nggak sengaja.”

“Buset.”

“Oke, kita buktiin.” Laksa pakai smartwatch hasil doorprize-nya Prabu di tangan kanan, terus pakai smartwatch-nya sendiri di tangan kiri. “Gue pakai treadmill ya.”

Mendadak Prabu dapet ide. “Nggak usah.”

“Terus?”

Mata Prabu mengerling jahil. “Workout lainnya aja.”

“Apa?”

Prabu rangkul leher Laksa dan mulai kasih kecup di ceruknya. Laksa kaget bentar, tapi refleks pejamkan mata dan menghela nafas panjang ngerasain sensasinya. Ngerasa Laksa nggak keberatan, Prabu dorong tubuh Laksa biar rebah dan timpa badannya dengan hati-hati sebelum mempertemukan bibir mereka.

Ketika jeda buat ambil nafas, Laksa putar mata. “Workout macam apa ini.”

Prabu terkekeh sebelum menautkan bibir mereka lagi.

(Spoiler: Amazfit lebih akurat deteksi detak jantung dibandingin sama Apple Watch KW-nya Laksa, of course.)

penempatan

07 Oct, 03:17


“Oke, selanjutnya,” MC di atas panggung ngebaca kupon yang baru diambil, “dua—“

“Aish!” Laksa mengerang kesal sambil lempar kupon fun bike-nya sendiri. Dari tadi yang dipanggil angka depannya dua mulu. Nomornya Laksa dimulai dari nol, btw.

Laksa ngelirik kuponnya Prabu yang dimulai dari dua dan rasanya dia mau jambak aja rambutnya Prabu.

Nah, yang lagi diomongin dateng sambil bawa dua bungkus es jeruk. Prabu duduk di sebelah Laksa sambil sodorin salah satunya. Dia terkekeh. “Udahlah, nggak usah ketinggian ngarepnya.”

Laksa cemberut. “Kenapa yang disebut nomor lo mulu sih?!”

Prabu ngeliatin kedua kupon mereka. “Elu bawa sial ke semua pembawa nomor nol kali.”

“Nyebelin banget?!”

“Bercandaaa.” Prabu tangkup pipi Laksa dengan tangannya yang dingin bekas es jeruk. “Hadiahnya masih banyak, Aca. Yang sabar.”

Laksa berusaha gigit jari Prabu karena kesel. Prabu cuma menghindar sambil terkekeh.

Ketika kupon lain dipanggil dan nggak ada satupun yang deket sama nomornya Laksa, dia frustrasi dan ngelempar kuponnya. “Pulang aja lah kita.”

“Jangaaaan!” Prabu raih kerah Laksa buat mencegahnya bangkit sambil ketawa.

Dan ketika kesekian kalinya nomor dua disebut, Laksa akhirnya berondong Prabu. “Tuker!”

Prabu angkat alis. “Apa?”

“Tuker kupooon!” Laksa rebut kupon di tangan Prabu dan kasih kuponnya sendiri.

Prabu nurut aja. “Lo ambil dua-duanya juga nggak pa-pa, Aca.”

Tapi egonya Laksa nggak mau dikalahin kayak gitu (haha). Jadi dia ngotot cuma mau tukeran kupon. Prabu mah nurut aja, wong dari awal dia ikut fun bike juga niatnya buat dapet medali finisher terus cari jajan (haha lagi). Laksa aja yang ngotot nungguin sampe acara undian kuponnya selesai.

Jadi sekarang di tangan kanan Laksa ada es jeruk, dan tangan kirinya ada kupon. Nomornya dua-satu-satu—

“—tiga!”

Laksa yang lagi seruput es jeruk langsung muncrat.

“Dua-satu-satu-tiga!” Ulang MC. “Dua-satu-satu-tiga ada?”

“Ada! Adaa!” Laksa langsung berdiri buru-buru dan lari kecil ke stage. Prabu sergap pegangin es jeruk Laksa yang hampir kesenggol tuannya sendiri.

Di stage, Laksa nerima handuk yang ada bordiran nama bank penyelenggara. Terus salaman. Foto-foto. Dan turun.

“Dapeet!” Laksa jingkrak-jingkrak sendiri. “Catet! Catet ini Laksamana Yudha Ghifari dapet doorprizeee!”

“Yaaa,” Prabu jawab malas, “kita rayain tiap taun.”

Laksa nggak peduli sama reaksi asem Prabu dan langsung ambil foto selfie sama handuk barunya. Sesi foto-fotonya agak lama karena Laksa harus punya banyak footage buat story ig, close friend, story wa, twitter, facebook, alias kayaknya satu dunia banget ini harus tau kalau Laksa dapet handuk.

Prabu masukin ponselnya sendiri di saku dan berdiri sambil bawain tas Laksa sama gelas es jeruknya yang masih nyisa. “Balik yuk, Ca? Udah panas—“

Nol-satu-nol-lima.”

Senyum Laksa langsung turun. “Wait.”

Nol-satu-nol-lima, ada?” MC-nya ulang lagi.

Laksa langsung berdiri dan todong Prabu lagi. “Kupon lo mana?”

“Hah?”

“Kupon lo.” Laksa buka telapak tangan Prabu yang dipake buat pegang ponsel sama kuponnya.

Nol-satu-nol-lima.

Telinga Laksa berkedut kesal alias anjinggggggg?!?!

“Hangus ya?” MC-nya mulai countdown. “Saaatu—“

Laksa dorong Prabu dengan cemberut. “Sana!”

“Oh?”

“Cepetannn!”

“Duaaa!” MC-nya lanjut.

Prabu akhirnya angkat tangan sambil buru-buru jalan ke stage. “Di sini! Di sini!”

Jadi Prabu naik ke stage, nerima doorprize, foto-foto. Matanya melotot pas dia liat hadiah di tangannya; smartwatch Amazfit yang Prabu tau harganya di atas sejuta. Instead of happy, kepalanya pening karena yaelah alamat ngambek lagi ini si Aca.

Bener aja; pas dia turun dari stage, Laksa tanya, “dapet apa?”

Prabu nunjukkin smartwatch-nya sambil nyengir.

Laksa melengos dan berbalik pergi. “Balik aja lah kita.”

“Ih, kok ngambeek?” Prabu-nya lari kecil buat nyusulin. “Kan bukan salah guee!”

penempatan

06 Oct, 16:24


Laksa tuh sesungguhnya tau kalau dia annoying; dia dan hidupnya yang kacau dan keputusan-keputusan tololnya itu annoying. Kayak—lo pernah nggak sih punya temen yang tiap dengerin ceritanya lo bakal ngerasa drained karena sangat-sangat bikin capek unbearable gitu-gitu?

Ya Laksa tuh kayak gitu.

Jadi ketika keluar dari mulut Hemas kalau “gue udah capek juga sama lo” Laksa tuh ngerti, banget.

Jadi Laksa bakal tanya, “tapi kita tetep temen nggak, Hems?”

Hemas cuma kasih jawaban menggerutu.

Arion bilang Hemas begitu karena dia nggak relate. Keluarga Hemas functioning as well as they could jadi Hemas nggak akan tau gimana kesiksanya batin Laksa ngehadapin carut-marut keluarganya sendiri.

Terus kata Arion, “lo kejebak di sini itu bukan salah lo.”

Arion nggak maksa Laksa buat cerita, nggak kasih pendapat kalau Laksa nggak minta. Dia cuma dengerin sekilas tanpa komentar—mungkin karena unek-uneknya udah dimuntahin sama Hemas semua yang beneran muntab setelah denger;

“Bokap lo kawin lagi?”

“Bokap lo punya anak—anjing!”

“Dan masih ada otak dia buat ngehubungin lo?!”

Laksa tau kok kalau dia goblok. Hidupnya unbearable. Laksa tau kalau misalnya dia sekarang adalah tokoh utama sebuah fiksi, orang-orang bakal berhenti baca ceritanya sambil ngomel-ngomel karena sifat Laksa yang klemar-klemer nggak bisa tegas sama hidupnya sendiri.

Tapi mungkin orang kudu rasain dulu; bertahun-tahun hidup sambil dengerin frasa ‘gitu-gitu mereka orangtua kamu’ atau ‘coba kamu hitung apa aja yang udah mereka kasih ke kamu selama ini’ atau ‘jadi anak nggak boleh durhaka’.

(Ada nggak sih orangtua durhaka?)

Laksa tau dia nyebelin. Tau banget.

Jadi kalau emang ada yang capek ya dia maklum.

(Tapi Laksa nggak mau kalau yang capek itu Prabu.)

(Tapi ya kasian juga sih Prabu-nya.)

(Anjing.)

penempatan

21 Sep, 14:33


[maap lagi ketagihan banget sama lagunya bernadya yang kini mereka tahu] [dan btw ini bakal heavily ngomongin child abuse so please be aware ya]

[dan ini timeline-nya masih bareng sama au utama penempatan alias mereka masih ngontrak bareng berempat]

Laksa pernah denger di suatu ceramah (yamaap dulu doski kan sekolah agama yak) kalau ruh manusia tuh ditanya tujuh kali dulu apa mau dilahirkan ke bumi sama Tuhan. Waktu kecil Laksa nggak mikir banyak sama hal kayak gitu—ya ceramah aja biasanya dia tinggal tidur—sampai suatu hari, dia nggak bisa bangun dari lantai kamar mandi karena tubuhnya dilempar keras-keras sama ayahnya cuma perkara Laksa berisik tengah malam sampai ganggu ayahnya tidur.

Well, to be fair, Laksa berisik juga karena keteledorannya sendiri alias dia lupa ngerjain PR buat besok paginya.

Ayahnya keluar dari kamar mandi, ninggalin Laksa yang pegangin lututnya sendiri yang kebentur porselen. Di detik itu sekilas ceramah soal 7 pertanyaan sebelum dilahirin terngiang lagi di otak Laksa.

Dan ada bagian kecil darinya yang mempertanyakan kenapa dulu dia jawab iya.

Tapi keesokan malamnya, ayahnya yang baru pulang kerja manggilin Laksa dengan ceria sambil nunjukkin kotak kamera anyar. “Kamu kemarin bilang pengen ini kan pas kita ke mall?”

Laksa turun dari tangga dengan hati gembira. “Makasih, Ayaaah!”

Mungkin, mungkin, inilah kenapa Laksa bilang iya.

***

Setelah Laksa pulang dari rumah sakit—huru-hara video ZI yang bikin Laksa drop karena tifus dan darah tinggi—Hemas tanya ke Laksa, “lo beneran nggak pernah… begitu sebelumnya?”

“Apa?” Laksa angkat satu alisnya.

Hemas menelan ludah. “Panic attack?”

Dengan yakin Laksa geleng-geleng. “Nggak pernah, Hems.”

“Serius?” Hemas mengernyit. “Ini beneran pertama kan?”

Laksa mendadak ingat gimana rasanya paru-paru terkunci disertai keringat dingin setiap dia habis dimarahin ayahnya, atau ditegur seniornya, atau diketawain teman-temannya. Tapi… beda nggak sih? Kayaknya beda.

Jadi Laksa jawab lagi dengan tegas, “nggak pernah.”

Oke.

***

Hemas tuh sering dimarahin kok sama orangtuanya—apalagi pas awal pubertas yang bikin dia jadi remaja yang nggak bisa diatur. Tapi seinget Hemas, papanya nggak pernah manggil dia dengan sebutan kasar. Papanya nggak pernah lempar barang ke arahnya. Papanya nggak pernah doain dia yang jelek-jelek.

Tangan papanya nggak pernah terangkat, pokoknya.

Jadi waktu kuliah dan dia denger gimana ayahnya Laksa cursing ke dia via telepon—man, betapa tipisnya tembok kamar kos mereka—Hemas kadang ngerasa… aneh? Gitu.

Mana kadang tuh cuma karena hal (yang menurut Hemas) nggak penting.

Pernah itu ayahnya manggil Laksa biadab cuma karena Laksa kelamaan angkat telepon. Atau Laksa dipanggil anak lonte waktu Laksa pulang kemaleman. Bahkan, yang menurut Hemas paling gila, ayahnya Laksa pernah nyuruh Laksa jual diri ketika Laksa bilang dia nggak ada duit buat dikasih.

Ibunya Laksa demanding juga btw, selalu telepon buat ngeluh nggak ada duit dan guil trip Laksa dengan bilang ‘kamu di Jakarta enak ya cuma kuliah terus dapet duit’. Jadi biasanya Laksa bakal transfer duit tunjangannya sampai habis dan hidup cuma dengan makan mie instan dibagi 3 buat satu hari.

That was crazy. Hemas juga miskin tapi papanya nggak pernah ngebiarin Hemas sampai di tahap begitu.

Cuma tiap Laksa cerita soal orangtuanya, yang sebenarnya sangat jarang, tuh nggak pernah sekalipun ada kata jelek. Laksa bakal cerita kalau ibunya jago banget masak, dan ayahnya suka ajak dia jalan-jalan. Di kamar Laksa, banyak banget foto orangtuanya lagi jalan-jalan di berbagai negara. Beneran keliatan sayang banget.

(Fotonya berdua aja karena apparently Laksa lebih suka ngefoto daripada difoto).

Jadi Hemas… nggak paham. Tapi kan nggak mungkin juga dia ikut campur kan? Yaudah.

Sampai akhirnya Hemas ngeliat Laksa beneran panic attack di depannya. Ngeliat gimana Laksa cengkram kaosnya sampai buku jarinya memutih, padahal nggak ada yang ngehalangin dia nafas selain carut-marut otaknya sendiri.

penempatan

21 Sep, 14:33


Teman SMA Hemas juga ada yang begitu; beberapa kali panic attack di sekolah dan mereka pikir dia kesurupan, sampai akhirnya dia ke dokter terus dirujuk ke psikiater terus dapet diagnosis anxiety disorder.

Tapi Laksa kan cuma sekali jadi harusnya nggak sampai disorder kan ya?

Masalahnya, perasaan Hemas nggak enak.

“Sa.”

“Apa lagi, Hems?”

“Bokap lo kalau marah gimana?”

Laksa mengernyit bingung. “Kenapa mendadak tanya begitu?”

“Pengen tau aja.”

“Yaaa… marah.” Laksa nggak tau gimana jelasinnya. “Ya kayak orang marah kebanyakan? Marah.”

“Emang orang marah kebanyakan biasanya gimana?” Hemas penasaran sama definisi Laksa.

Yang ditanya cuma angkat bahu. “Ya bentak, terus sometimes kalau gue bandel banget bakal dipukul. Gitu aja sih.”

Hemas mulai ngerasa aneh. “Dipukul?”

Laksa ngangguk.

“Sakit?”

Kini dia ketawa. “Ya masa dipukul nggak sakit, Hems?”

Hemas tertegun—mengingat keadaannya sendiri. Papanya Hemas pernah kelepasan mukul. Tapi mukul paha, karena Hemas oversharing di pertemuan keluarga. Nggak sakit, tapi bikin Hemas keder.

Kayaknya papanya nggak pernah deh mukul sampai sakit.

Dipukul orangtua tuh harusnya sakit kah? Atau emang Hemas aja yang super lucky?

Hemas nggak paham.

***

Di suatu malming, seisi kontrakan pengen nobar film. Terus Arion ngide nonton Joshua Oh Joshua karena apparently Prabu nggak pernah nonton film legendaris itu.

Ketika di bagian Joshua dikunciin orangtuanya dari dalem sampai kedinginan, Prabu gumam, “kasian banget…”

Tapi Laksa mendadak nyeletuk, “lah, kan emang Joshua-nya yang salah. Pulang sekolah bukannya balik malah nongkrong dulu nyanyi-nyanyi.”

Ketiga anak bebek langsung noleh ke dia, kaget.

“Ya tapi kan nggak perlu mukul sampe ngunci di luar gitu.” Arion akhirnya angkat bicara.

“Orangtua kalau marah emang begitu,” balas Laksa, “tapi kan niatnya baik.”

“Niat baik dari mana, buset?! Harus banget anaknya babak belur?” Prabu ikutan debat.

“Babak belur mana deh? Nggak babak belur juga kan?”

Hemas coba tanya hati-hati. “Orangtua lo kalau marah… kayak gitu, Sa?”

Masih nyemilin popcorn-nyq, Laksa jawab seakan itu hal lucu, “ya iya lah. Kemoceng doang mah nggak sakit, anjir. Cuma sepuluh menit doang itu nyerinya. Kayaknya level satu paling sakit… apa ya? Kunci roda sih. Nyeri banget dada gue habis itu. Mana pas itu kejadiannya lagi di mobil gitu kan terus guenya jadi mabok dan lowkey muntah darah. Tapi habis itu bokap ngajakin gue main ke Kidzania jadi yaudah. Kalau lu pada, paling sakit pake apa?”

Ketiganya terdiam, canggung, bingung mau jawabnya gimana.

Laksa yang ngerasa suasananya langsung nggak enak langsung kunyah popcorn-nya lebih pelan. “What?”

“Sa,” Arion berkata dengan takut, “that sounds like… child abuse to me.”

“Lebay banget, digituin doang jadi child abuse.” Laksa muter mata. “Kalau di dunia nyata nggak perlu jadi SJW gitu lah, Yon.”

“Laksa, anjir!” Prabu yang pertama kehilangan kesabaran. “That’s literally a murder attempt!

Laksa-nya bingung karena tiba-tiba topiknya jadi kemana-mana. “Cuma dipukul, sat—“

“Nggak ada orangtua waras yang mukul anaknya sampe muntah darah, Laksa.” Prabu entah kenapa jadi kelewat marah. “Kalau lo tadi bercanda, itu beneran nggak lucu.”

Laksa terdiam, sebelum akhirnya bangkit dari kursi buat masuk ke kamar tanpa respon apapun.

***

Di mata Laksa, ayahnya tuh pernah jadi orang baik. Beliin apapun yang dia mau. Ajak dia keliling dunia. Kasih duit jajan berlebih-lebih—literally kalau emang mau juga Laksa bisa beli hp baru seminggu sekali pake duit jajannya sendiri.

Oke, endingnya dia broken home. Tapi ibunya ceraikan ayahnya juga karena selingkuh dan bangkrut. Bukan child abuse. Kalau emang yang dilakuin ayahnya salah, kenapa ibunya diem aja kan? Toh, ibunya juga ngerti kalau Laksa digituin dan diem aja. Berarti enggak dong? Kenapa jadi child abuse?

Laksa nggak pernah di-abuse. Nggak pernah. Nggak. Pernah.

Hemas ketuk pintu dua kali sebelum buka, dan Laksa langsung tutupin sekujur tubuhnya pakai selimut karena nggak mau diajak ngobrol.

Hemas yang udah tau akting-akting Laksa akhirnya cuma duduk di pinggiran kasur.

penempatan

21 Sep, 14:33


Dia tepuk-tepuk gundukan selimut itu. “Sini dulu, gue mau tanya.”

“Nggak mau.”

“Simpel doang ini.”

“Nggak mau.”

“Laksa,” Hemas tetap ajuin pertanyaannya, “kalau one day lo punya anak dan anak lo bikin salah, apa lo bakal pukul anak lo pakai kunci roda sampai muntah darah juga?”

Laksa tertegun, tangannya mendadak tremor. Sakitnya pukulan kunci roda itu mendadak kerasa lagi di ulu hatinya. Rasa besi di seisi mulutnya, telinga berdengung, tenggorokan perih karena nahan isak, mata buramnya cuma bisa ngeliatin ayahnya lempar lagi kunci roda itu ke jok belakang mobil sambil kasih peringatan ke Laksa buat berhenti merintih…

Ngebayangin kalau posisinya terbalik jadi Laksa yang pegang kunci roda itu mendadak bikin asam lambungnya berasa naik.

Hemas berhenti tepuk-tepuk selimut. “Itu jawabannya, Sa.”

Malam itu Hemas tidur di ruang tamu dengan alasan mau nonton Netflix sampai pagi.

Malam itu Laksa nangis sendirian sampai pagi.

penempatan

19 Sep, 13:43


Lu pada pernah pacaran sama pecinta animalia ga (haha).

Jadi Laksa tuh sebenernya nggak yang suka banget sama hewan. Dia takut sama anjing, dan sebelum ketemu Sisil pun nggak terlalu nyaman deket-deket sama kucing (dengan alasan yang udah kita semua ketahui, hehe). Main ke kebun binatang juga jarang. Main ke taman safari rasanya cuma dua kali seumur hidup (padahal Surabaya-Prigen cukup deket kan yak wkwk).

Terus JENGJENGGGGG dia pacaran sama Prabu yang sangat sangat sangat sayang sama hewan—yaaa kecuali hewan-hewan nyebelin kayak kecoak dan sejenisnya wkwk.

Dari dulu, Prabu udah jadi donatur tetap beberapa shelter hewan. Terus Prabu tuh kalau kasih makan hewan liar nggak mau dry food kiloan yang gizinya nggak bisa dia baca, sampai sempat ditegur orang karena kucing-kucing liar jadi picky soal makanan karena udah ngerasain dry food sultan dari Peabu (haha). Prabu juga nggak sekali dua kali hosting vaksin gratis sama steril gratis buat kucing-kucing liar.

Dan enaknya jadi kaya raya adalah; Prabu kalau nemu hewan cedera di jalan bakal langsung dibawa ke klinik tanpa perlu open donation di medsos 😔

Kok ceritanya jadi kemana-mana deh ini gue (maap wk).

Laksa mah nggak masalah sama hobi (?) Prabu yang itu. Cuma kadang-kadang tuh… nyebelin banget. Soalnya Prabu tuh nggak bisa banget ngelewatin hewan gitu aja. Pasti disapa, diajak ngobrol, dielus-elus… udah beneran ngerasa hidupnya Cinderella or something yang bisa berkomunikasi sama hewan.

Dikit lagi beli sepatu kaca kayaknya dia.

“Masa minta di-retake, Bu!” Laksa cerita menggebu-gebu. “Perkara kata kartu tarot bilang kalau foto prewed di danau bikin cinta mereka nggak langgeng. Padahal yang milih lokasi dari awal juga mereka, anjir! Terus kayak… oh yaudah gue kasih alternatif nggak pa-pa retake tapi gue mau ada additional cost. Wajar dong? Tapi dianya nggak mau karena ‘kan foto yang kemarin nggak jadi cetak’ kan brengsek! Iya nggak, Bu—“

Ketika Laksa noleh, di sampingnya udah nggak ada orang.

“Lah?” Laksa celingukan ke kanan-kiri hingga noleh ke belakang. Setelahnya dia langsung dengus kasar.

Karena Prabu di belakangnya. Lagi jongkok. Mainan sama paw-nya kucing yang Laksa yakin udah nginjek berbagai macam tai.

“Besok sini lagi yaa?” Prabu ajak ngomong seakan lagi ngobrol sama balita. “Iyaaa? Besok sini lagiii, nanti aku kasih jajaan.”

Kucingnya keasikan jadi dia mejamin mata dan malah telentang minta dielus sambil ngeong manja.

“Mau jajan aapa kamuu?” Prabu elus-elus bulu kucing yang keliatannya nggak pernah kena air bersih itu. “Hmm? Mau salmon? Tenggiri? Apa mau daging? Di rumah aku ada wagyu.”

EH SIANJINGGGG BISA-BISANYA KUCING JALANAN DIJANJIIN WAGYU?! Laksa langsung samperin sambil mencak-mencak. “Nggak ada! Ayo balik!”

Prabu cemberut dan berdiri. “Bye bye, kuciiing!”

Kucingnya ngeong sedih.

Prabu jadi ikut sedih. “Besok ketemu lagi yaa?”

Kucingnya ngeong seakan berjanji.

Laksa cuma melengos ngeliatin adegan drama korea di depannya dan akhinya balik badan buat jalan lagi. Prabu lari kecil nyamain langkahnya.

“Lu nggak denger berarti gue tadi cerita apa?” Selidik Laksa.

Prabu nyengir doang. “Hehe.”

Laksa muter mata, tapi dia tetep mau ulang ceritanya dari awal. “Jadi tuh, klien gue yang kemarin kata gue rewel, Bu. Masa minta retake! Dan lo tau karena apa? Masa kata ahli tarot tuh mereka nggak boleh prewed di danau soalnya bikin hubungan mereka jadi nggak awet. Kayak—yaelah! Terus pas gue ngomongin soal additional fee—“

Kata-katanya Laksa terputus ketika sadar Prabu ilang lagi.

Laksa celingukan kanan-kiri-belakang.

Dan Prabu nyapa kucing baru lagi.

Dengan gerutu, Laksa lempar topinya tepat ke kepala Prabu.

penempatan

17 Sep, 12:20


Ges gue lagi hectic dan burnout dan lelah jadi belum mampu update apa2 dulu ya😔 tapi kalo pengen denger bacotan doang bisa main ke sini wkwkwkwk thank youu

penempatan

15 Sep, 11:46


Huruhuruharahara