penempatan @aupenempatan Channel on Telegram

penempatan

@aupenempatan


- wadah nyampah soal au (esp. penempatan)
- cek pinned buat baca dari atas atau klik https://t.me/c/1899741804/18
- arsip #whatif https://t.me/whatifpenempatan

penempatan (Indonesian)

Selamat datang di kanal telegram penempatan! Apakah Anda sedang mencari informasi terbaru tentang lowongan pekerjaan di berbagai sektor? Jika iya, maka kanal ini adalah tempat yang tepat untuk Anda! Kanal penempatan menyediakan informasi terkini mengenai berbagai lowongan pekerjaan mulai dari perusahaan swasta hingga lembaga pemerintah. Dengan bergabung di kanal ini, Anda akan mendapatkan akses langsung ke informasi terbaru seputar penempatan kerja di berbagai bidang di seluruh Indonesia. Tidak hanya itu, kanal ini juga memberikan tips berguna tentang bagaimana cara sukses dalam mencari dan mendapatkan pekerjaan impian Anda. Jadi, tunggu apalagi? Segera bergabung di kanal penempatan dan jadilah bagian dari komunitas yang selalu mendukung satu sama lain dalam mencapai kesuksesan karir! Mari bersama-sama mencari peluang penempatan terbaik untuk masa depan yang cerah.

penempatan

24 Nov, 16:03


Dia noleh kanan kiri buat mastiin nggak ada yang liat, sebelum kasih cium cepat di bibirnya.

Mata Laksa melebar kaget.

“Kita usahain,” Prabu bikin janji dengan kaitin kelingking mereka. “Gue janji happy ending kita bakal begitu.”

Laksa menatap hangat jari mereka yang bertaut itu.

Happy ending mereka bakal begitu.

penempatan

24 Nov, 16:03


So apparently, di satu-satunya mall (yang sejujurnya nggak kayak mall) di kota tempat Laksa sama Prabu tinggal udah buka tuh Sociolla. Of course sebagai manusia fomo, Prabu ajak Laksa buat cuci mata kesana.

“Sociolla tuh harganya mahal banget tau, Bu,” Laksa mengeluh. “Mending beli di Shopee.”

Prabu yang udah hapal jawaban Laksa langsung tunjukkin video di ponselnya ke pacarnya itu. “Sociolla tuh hire banyak teman-teman difabel buat kasih mereka kesempatan kerja tau, Ca. Kalau kita belanja di Sociolla, berarti kita dukung mereka kan?”

Tentu aja Laksa yang hatinya sangat lembut itu luluh.

Pulang kerja mereka ganti baju—ke mall pakai seragam kantor tuh tengsin dah jujur—dan langsung cus. Rencananya sih mau sekalian dinner di sana.

Pas itu tempatnya rame sama cewek-cewek, sementara para cowok ngemper di depan karena males nemenin pasangannya masuk.

Prabu gandeng tangan Laksa buat masuk juga sambil liat-liat shelf-nya. Terus Prabu tunjuk salah satu shelf. “Ada Mingyu, Ca!”

Laksa ketawa; yang ditunjuk Prabu itu foto Mingyu yang bertebaran di shelf Laneige. Nggak mau lepas genggaman tangan mereka, Laksa pake tangan kirinya buat ambil ponsel dan ngefoto penemuan mereka itu.

“Woah, Laneige punya lipbalm.” Prabu ambil salah satu tester dan coba di tangannya Laksa yang dia genggam. “Sheer bener, buset.”

“Ya namanya juga lipbalm.” Laksa mendengus sambil noleh ke belakang. “Noh, lip product di sana semua.”

Dengan girang Prabu tarik tangan Laksa ke surga lippies itu. Mereka jalan sambil ngeliatin berbagai macam merk dan warna, sampai Prabu tertarik sama salah satu merk lipgloss yang sampelnya keliatan pink natural.

“Esqa itu produk lokal kah, Ca?” Prabu ambil salah satu shade dan lepas pegangan tangan mereka.

“Setau gue gitu sih.” Laksa ikutan ngintip warnanya pas Prabu swipe di tangan. “Oh, bagus di kulit lo.”

“Ya kan tangan sama muka gue shade-nya beda.”

“Kagak ini. Bagus.” Laksa tap-tap produk di tangan Prabu tadi, terus dia oles ke bibir pacarnya itu. “Untungnya bibir lo nggak two-toned jadi kayaknya bisa nutup—“

Kata-kata Laksa tergantung di udara waktu sadar semua mata rasanya tertuju pada mereka berdua. Bahkan pegawai Sociolla-nya pun ikut perhatiin mereka. Dengan canggung Laksa turunin tangannya, jengah sama perhatian berlebih gitu.

Prabu jadi ikutan liat sekeliling. Kesal duluan karena orang-orang ngancurin fine evening out-nya sama pacar, jadi dia tegur mbak-mbak terdekat yang ngeliatin mereka dengan ekspresi jijik shamelessly. “Ada apa, Kak? Mau ngomong sesuatu?”

“E-enggak. Enggak.” Dan semua orang langsung balik ke aktivitas masing-masing meskipun masih dengan bisik-bisik.

Laksa pejamkan mata, dan kerutan di dahinya terlampau dalam. Beneran kesenggol dikit langsung panic attack kayaknya. Prabu lepas jaketnya buat ia sampirin ke kepala Laksa—biasanya kalau udah overwhelmed gitu Laksa butuh space sendiri, jadi Prabu bikinin space itu dengan nutupin sekujur kepalanya—dan dorong Laksa buat keluar.

Setelah dia nemu lokasi sepi tanpa tennant, Prabu sibak jaketnya buat liat wajah Laksa. “Aca, you okay nggak?”

Laksa udah buka mata, terus dia menghela nafas. “I don’t know what’s wrong with me. Sorry.”

“Don’t be.” Prabu menggeleng. “Emang agak beda ya, reaksi orang-orangnya sama waktu kita jalan-jalan di Sociolla Jakarta?”

Laksa meringis. Dia keinget tiap ke Jakarta pasti mampir Sociolla sama Prabu, dan seingetnya belum pernah ada yang kasih side eye separah pas di sini. Jadi mendadak inget juga dia pernah mukulin cowok yang manggil Hemas banci pas lagi cobain lipgloss di Sociolla luar Jawa juga.

Prabu raih tangan Laksa. “Sorry udah ajak lo kesini ya, Ca.”

“Bukan salah lo.” Laksa menghela nafas. “Lagipula lumayan kok, nambah motivasi.”

“Buat?”

“Resign dari PNS dan pindah di tempat yang bisa kita pakai strolling around while holding hands and giving each other little kisses here and there.” Laksa mengulum senyum waktu ngebayangin.

“Ah.” Prabu tertegun. “Sounds fun.”

“Right?” Mata Laksa berbinar.

Prabu rasanya meleleh liat ekspresi happy Laksa itu.

penempatan

03 Nov, 14:57


[membawa lagi konten ini karena… hehe hehe]

Weekend kemarin kan Prabu dateng ke nikahan kontraktor proyeknya kan. Doski dateng ke sana sama Opa Wisesa. Pas lagi dinner dan enak-enak ngobrol hahahihi sama mempelai pria serta beberapa kenalan opanya, tiba-tiba ada bunyi heels ngedeketin mereka diikuti sama suara sapaan amat sangat halus, “Pak Wisesa.”

Prabu sama opanya otomatis noleh; seorang ibu-ibu yang udah berumur—keliatan lebih muda dari omanya, tapi Prabu tau dengan skincare dan perawatan yang tepat wajah bisa aja nutupin usia—dengan rambut dicat copper tersenyum sopan ke mereka berdua. Beliau mengenakan dress berwarna sage satin selutut yang keliatan classy tapi nggak lebih heboh daripada pengantin wanitanya. Prabu diam-diam lirik heels-nya; kebiasaannya diem-diem ngecek majalah fashion dari kecil bikin dia tau kalau harga heels itu setara sama vespanya.

Tapi wajah ibu ini kayaknya nggak asing…

Wait.

Oh—

—shit.

Prabu masih speechless meanwhile opanya bisa langsung balik ke mode profesional dan ngejabat tangan perempuan itu. “Been a while ya, Ibu.”

Ibu itu tertawa—bahkan suara ketawanya sopan banget, beneran kayak putri-putri kerajaan. “Sudah lama sekali tidak bertemu. Budapest, wasn’t it?”

Bahasa Indonesianya kaku banget.

“Iya,” Opa Wisesa balas ketawa, “kesini sama Bapak?”

Perempuan itu menggeleng. “Bapak is in NZ right now. Oh, and he said hi,” perempuan itu akhirnya menoleh ke Prabu, “to you too, Prabu.”

Prabu mengerjap. “O-oh—“

“You can call me Yangti,” perempuan itu menyapa ceria, “Laksa also calls me Yangti.”

Iya. Laksa.

Ini yangti-nya Laksa.

Dan beliau tau Prabu.

Tangan perempuan itu terangkat untuk menepuk pelan pundak Prabu. Kemudian beliau remas pelan sambil mendekat dan berbisik, “you’re somehow better than I thought.”

Prabu langsung merinding.

Setelahnya beliau kembali tersenyum untuk pamit ke Opa Wisesa dan berjalan pergi.

Si mempelai pria cengo ngeliat interaksi mereka. “Saya undang beliau cuma buat basa-basi padahal. Saya pikir undangan saya bakal cuma diterima satpam kantor mereka aja.“

Salah satu kenalan Opa juga nambahin, “diundang nikahan anak Presiden aja nggak mau dateng.”

Opa Wisesa terkekeh, lalu deketin Prabu buat berbisik, “kayaknya beliau dateng buat kamu deh, Gus.”

Buat Prabu. Nggak tanyain Laksa sedikit pun, tapi langsung ngasih ultimatum ke Prabu kayak gitu.

Kok Prabu ngerasa dia lagi kejebak di drama keluarga nggak berujung ya…

penempatan

03 Nov, 14:44


Laksa membuka tutupnya, menguarkan harum nasi goreng dari sana. Ia mengambil sendok terdekat, menyerok sesuap nasi goreng, dan mengarahkannya ke Prabu, “cobain dulu, ati-ati panas.”

Prabu mengipasnya dengan tangan sebelum melahapnya hati-hati. Matanya berbinar, “enak.”

“Of course, siapa dulu yang masak?” Laksa mengibas bahunya angkuh.

“Mahasiswa yang hampir kena D.O 3 semester?” Goda Prabu sambil tersenyum jahil, yang kemudian dihadiahi pitingan leher dari Laksa.

Setahun dari sekarang, Laksa akan berlari mencari Prabu untuk memamerkan IPK-nya yang benar-benar di atas 3. Setahun dari sekarang, Prabu akan merelakan seluruh kerja kerasnya semasa kuliah demi menyusul Laksa di penempatan antah berantahnya. Setahun dari sekarang, Prabu akan merasakan jatuh bangunnya saat mencintai Laksa.

Tapi saat ini ia tidak tahu itu semua.

Yang ia tahu sekarang hanya tawa Laksa serta nasi goreng seafood-nya yang luar biasa enak.

penempatan

03 Nov, 14:44


[re-upload dari twitter]

Semua orang yang mengenal Prabu sudah hapal dengan kebiasaannya; keluar kos pada pukul 5 pagi untuk lari pagi sambil mencari sarapan setiap hari dan kembali sekitar pukul 6 dan bersiap ke kampus.

Begitupun Laksa yang kini sedang berdiri di depan pagar kos Prabu sambil membawa beberapa tas belanja. Ia mengecek jam di ponselnya sambil celingukan kanan-kiri memastikan kapan Prabu pulang.

Lima menit kemudian, Prabu dengan celana selutut serta jersey basketnya—yang tentu saja sleeveless karena siapa pula yang tidak mau pamer bisep kokoh itu—berlari kecil menghampiri kosnya. Ia terlihat terkejut menemukan Laksa yang melambaikan tangan antusias hingga akhirnya menambah kecepatannya sedikit sambil menyapa heran, “Sa?”

Laksa mengangguk, “hai.”

“Ngapain?”

Laksa mengangkat bawaannya sendiri, “ngajarin lo cara survive tanpa warteg.”

Prabu mengangkat satu alisnya.

***

Setelah masuk di kamar Prabu—yang seharusnya untuk dua orang tetapi ia sengaja sewa sendirian, Laksa membongkar isi tasnya. Prabu makin heran saat memperhatikan Laksa yang mengepak bahan-bahan makanan beku beserta bumbu instan menjadi beberapa kotak makan. Prabu bisa membaca Laksa memberikan label di tiap kotaknya; nasi goreng, sup ayam, spaghetti, tom yum steambot, nasi telur, mac & cheese—

“Sa,” Prabu menatapnya horror, “lo nyuruh gue masak? Gue nyalain kompor gas aja pake helm, anjing.”

Laksa tertawa, “ini nggak pake kompor kok. Gue tau lo tolol.”

“Anjing,” Prabu menyikut bahu Laksa tak terima, “terus pake apa?”

Laksa melirik rice cooker yang Prabu beli ketika tahun pertama kuliah tetapi tidak pernah ia gunakan lagi, “noh.”

“Bisa emangnya?”

“Bisa lah,” Laksa kini mengeluarkan rice cooker berdebu Prabu, membersihkan bagian dalamnya dengan lap basah, dan berkacak pinggang, “pagi ini lo mau sarapan apa?”

Prabu menimbang sebentar sebelum mengambil kotak nasi goreng, “ini?”

“Oke,” Laksa membuka kotaknya dan mengajari Prabu langkah demi langkah.

(Kalau yang Prabu perhatikan hanya wajah lucu yang Laksa yang serius mengajarinya atau jari lentiknya di antara bahan-bahan masakan itu, bukan sepenuhnya salah Prabu).

“Ngerti?” Laksa akhirnya menoleh ke arah Prabu lagi.

“Enggak,” Prabu manyun.

Laksa mendengus, “pinter matematika doang tapi disuruh masak nol gunanya apa, goblok?! Mau makan logaritma emangnya lo?”

Yang dimarahi malah terkekeh, “kan ada lo.”

“Besok lo masak sendiri.”

“Nggak mau,” Prabu menggeleng, “lo dateng kesini terus masakin gue lagi.”

“Lah, jadi babu dong gue?!”

“Lo juga nggak bakal tega liat gue kelaperan sampe siang kayak kemarin, kan?”

Laksa menghela nafas, “yaudah, gue kesini lagi besok pagi. Daripada lo mati, terus nggak bikinin gue catatan matkul lagi.”

Prabu bersorak dalam hati, namun tetap menjaga wajahnya agar datar ketika berkata, “spesial banget ya kayaknya, gue buat lo?”

“Najis.”

Prabu tertawa lagi—celetuk itu sama sekali tidak membuatnya sakit hati.

“Tapi Bu,” kini Laksa berubah serius, “lo tuh ya, minimal banget bisa cuci beras kek.”

“Ngapain masak sendiri kalau bisa beli?”

“Lah ini, nggak bisa beli.”

“Ngapain masak sendiri kalau ada lo?”

“Seriusan, ege. Gue nih khawatir sama lo,” Laksa tertegun sebentar, sebelum melanjutkan, “kan nggak selamanya kita bakal bareng-bareng.”

“Lo nggak mau temenan sama gue terus?”

“Bukan gituu, drama!” Laksa melempar bantal terdekat ke wajah Prabu, “nanti kalau penempatan gimana? Kan kita bakal pisah.”

Prabu menggeleng, “gue bakal cari cara biar kita bakal penempatan bareng.”

Mereka berdua saling bertatapan, lama, sebelum tawa Laksa meledak dan meninju lengan atas Prabu, “ati-ati kalo ngomong, goblok! Ntar dikabulin Tuhan dan lo penempatan di pedalaman beneran sama gue gimana?!”

“Pesimis amat?”

“Gue nyaris D.O 3 semester, Bu,” Laksa mendengus, “itu bukan pesimis, tapi realistis. Dapet IPK di atas 3 aja udah bersyukur banget gue.”

Prabu tersenyum, lalu mengacak rambut Laksa, “gue pastiin IPK lo bakal jauh di atas 3, Sa.”

Laksa mengangkat alis.

Bunyi rice cooker memutus obrolan mereka berdua.

penempatan

03 Nov, 14:28


“Saya nggak punya,” ibu itu tetap ngotot, “kalau sisanya saya bayar besok gimana?”

“Bu, kita nggak nerima kasbon—“

“Saya aja, Mbak,” tiba-tiba pria tadi kembali mendekati meja kasir, “sisanya berapa? Saya aja yang bayar.”

“Eh, tapi—“

“Nggak pa-pa,” pria itu mengeluarkan selembar dua puluh ribuan dari sakunya, “ini, Mbak.”

Dengan setengah hati, kamu mengambil uang itu dan memberikan kembaliannya pada pria kelewat baik di depannya. Yang paling menyebalkan, ibu itu pergi dengan belanjaannya tanpa mengatakan terima kasih sedikit pun.

“Astaga,” kamu benar-benar merasa bersalah, “orang itu—astaga…”

“Nggak pa-pa, Mbak,” pria itu terkekeh, “saya nggak jadi beli, ya.”

“Loh—?”

“Uang saya udah nggak cukup,” pria itu meringis, “tadi udah terakhir. Besok aja saya beli kopi lagi.”

Kamu mengerjap tak percaya. Pria ini barusan mengorbankan uang terakhirnya untuk orang asing yang bahkan tidak menghargainya sama sekali.

Dan ia masih bisa tersenyum santai begitu.

Kalau kamu, sudah kamu jambak rambut ibu itu sampai gundul.

Pria itu akan melangkah pergi ketika kamu terpikirkan sesuatu, “Kak!”

Ia menoleh.

Kamu mengambil botol kopi Good Day di mejamu, keluar dari stand kasir, dan menyodorkannya kepada pria itu, “ini aja.”

“Hah?” Pria itu mengernyit tak mengerti.

“Buat Kakaknya, soalnya udah baik,” kamu menarik tangan pria itu dan meletakkan botol kopi di genggamannya.

“Eh—tapi saya nggak ada uang—“

“Emang buat Kakak,” kamu berkata tegas, tidak menerima penolakan, “lagipul saya dapat kopi itu juga gratis, dari pelanggan baik. Artinya ini dari pelanggan, untuk pelanggan.”

“Oh…” pria itu mengamati botol kopinya beberapa saat sebelum tersenyum cerah sekali, “thank you, I guess?”

Kamu ikut tersenyum.

Hari ini sangat warna-warni.

penempatan

03 Nov, 14:28


Kamu merogoh uang 200 perak dari sakumu sendiri dan setengah menggebraknya di atas meja kasir, “ini aja, Kak, kembaliannya. Terima kasih, selamat datang kembali.”

Pria itu mengambil botol kopi dan recehnya tanpa malu, kemudian berjalan keluar begitu saja tanpa menjawabmu sama sekali.

Jangan pernah datang lagi, maksudnya.

***

Jam dinding menunjukkan pukul setengah dua siang. Kamu hampir tertidur di depan komputermu sendiri ketika seseorang mengetuk bahumu lembut, “Kak?”

Kamu terperanjat kaget hingga nyaris terlonjak dari kursimu. Namun ia yang membangunkan refleks menahan lengamu agar tetap seimbang pada tempatnya. Pipimu memanas karena malu.

“Maaf, Kak, maaf,” kamu cepat-cepat berdiri, mengambil sebotol kopi Good Day yang pria itu letakkan di depanmu, “belanjanya ini aja, Kak?”

“Santai aja, Kak,” ia terkekeh, “iya, itu aja.”

Sambil memindai, kamu memperhatikan pria itu dari ujung matamu; dan kamu yakin dia adalah favorit Tuhan. Bagaimana tidak? Tiap inci tulangnya seakan dipahat hati-hati, menjadikan sosoknya terlihat tegas namun senyum ramahnya bisa membuatmu leleh. Postur tegapnya terlihat gagah mengenakan seragam cokelat mudanya yang digulung hingga setengah lengan. Kamu melirik lanyard Prada yang berisikan ID Card-nya;

Gede Prabu Asta Dewangga.

Bahkan dari namanya saja terasa seperti sedang memanggil pangeran.

“Nggak sekalian Sosis Kanzler-nya, Kak? Mumpung lagi promo.”

“Nggak dulu,” jawabnya sopan.

“Oke,” kamu meletakkan kopinya lagi, “totalnya 6.900 ya, Kak.”

Pria itu mengeluarkan pecahan seratus ribu dari dompetnya dan meletakkannya di atas meja.

Kamu mengambilnya dan meng-input nominalnya lagi, “kembaliannya 93.100. 100 rupiahnya boleh di donasikan, Kak?”

“Iya, Kak, boleh,” jawabnya sembari mengambil botol kopinya dan langsung berbalik beranjak pergi.

“Eh—Kak!” Panggilmu, “ini kembaliannya masih 93.000 lagi.”

“Masukin ke donasi aja, Kak,” jawab pria itu sambil lalu, “ambil juga sebagian buat Kakak beli kopi biar nggak capek.”

Kamu merasakan pipimu makin panas.

***

Jam dinding menunjukkan angka lima sore. Kamu sedang melayani antrian pembeli yang akan membayar. Pada jam pulang kantor seperti ini, para pegawai instansi memang biasanya mampir ke swalayan untuk belanja agar tidak perlu keluar lagi setelah sampai rumah.

Kamu tidak akan mengeluh hari ini; botol kopi Good Day yang masih tersegel rapi hasil dari uang donasi pelanggan tampan dan baik hati tadi siang membuat kamu semangat bekerja sampai pulang.

Setelah mengucapkan terima kasih untuk pelanggan yang terlihat kerepotan menahan anaknya agar tidak mengambil Kinder Joy, kamu menyambut pelanggan selanjutnya; seorang pria manis berseragam yang berdiri canggung dengan sebotol kopi Good Day di tangannya. Ia terlihat menghindari tatapan matamu dengan mengarahkan pandangan ke bawah, membuatmu menyadari betapa panjang dan lentik bulu matanya, “sore, Kak. Ini aja belanjanya?”

“Iya—ouch.”

Tiba-tiba seorang wanita paruh baya mendorong pria itu agar menyingkir sambil berkata, “saya dulu ya, Dek. Udah ditunggu suami saya di depan.”

Kamu mendelik marah, “maaf ya, Bu, tapi pelanggan harus antri—“

“Nggak pa-pa, Mbak,” pria itu menggeleng maklum, “saya habis ini aja.”

Kamu tak bisa menyembunyikan kesal saat memindai barang wanita itu satu per satu. Namun ketika kamu melihat pria tadi terlihat asyik mengamati harga berbagai cokelat dan mainan anak yang terpajang di display sebelah meja kasir, kamu merasa mood-mu membaik. Dari ID Card yang tergantung di saku baju, kamu bisa membaca nama pria itu:

Laksamana Yudha Ghifari.

Entah mengapa, nama itu terdengar sejuk di otaknya.

Setelah memindai barang terakhir, kamu menyebutkan jumlahnya, “semuanya jadi 237.900, Bu.”

“Oh…” ibu tadi mengeluarkan dua lembar seratus ribuan, “tapi saya cuma ada ini, Mbak.”

“Belum cukup, Bu. Totalnya 215.900,” jawabnya berusaha sabar, “apa mau dikurangi aja belanjanya?”

“Tapi saya butuh semuanya, Mbak.”

“Ya tapi uangnya nggak cukup, Bu,” kamu benar-benar geregetan, “atau ibu bayar pakai kartu debit? QRIS?”

penempatan

03 Nov, 14:28


[re-upload dari twitter] [dan ini kayaknya pertama kalinya gue coba y/n pov jadi ini sangat berkesan lol]

Kamu bekerja sebagai kasir di sebuah swalayan waralaba. Tempatmu bekerja dikelilingi kantor instansi pemerintah. Ini Hari Senin, kamu bisa melihat para pegawai berseragam cokelat muda berbaris mengikuti apel pagi di depan kantor masing-masing. Kamu menumpu dagu, dalam hati ingin sekali mengenakan seragam itu.

Nope. Rejeki kamu memang di swalayan ini. Mau bagaimana lagi?

***

Jam dinding menunjukkan waktu hampir pukul delapan pagi. Kamu sedang sibuk menata barang di rak rokok ketika mendengar seseorang memanggil dari belakang, “Mbak, mau bayar.”

Kamu menoleh, menemukan pria kelewat tampan berkulit glowing idaman tiap wanita meletakkan sebotol kopi Good Day di meja kasir. Rambutnya yang dicat cokelat kemerahan semakin bersinar diterpa matahari pagi. Dari jarak cukup dekat begini, kamu bisa menghirup aroma parfum mewah yang pria itu gunakan. Karena ingin tahu, kamu membaca nama ID Card di dalam lanyard kulit cokelat khas Coach yang tersampir di lehernya:

Aditya Herian Masyafi.

Bahkan nama itu terdengar indah ketik ia bisikkan dalam hati.

Kamu berdeham sebelum mengambil botol kopi itu dan tersenyum sesuai SOP, “ini aja, Kak?”

“Iya,” pria itu bersiap mengeluarkan uang dari sakunya.

“Nggak sekalian Sosis Kanzler-nya, Kak?” lanjutmu bertanya sesuai prosedur sambil menunjukkan sosis di display, “ini baru masuk. Lagi ada promo 14.900 dapat dua.”

“Oh?” Pria itu terlihat tertarik, “rasa apa aja?”

“Bisa mix, Kak.”

“Boleh deh. Original sama Hot ya, Kak.”

Kamu mengambil sosis sesuai instruksi, “oke. Mau Japota-nya sekalian nggak kak? Ada promo jadi 9.900 dari 10.000.”

“Boleh.”

“Ini juga Nu Green Tea lagi ada promo jadi 6.900.”

“Boleh.”

“Mau tissu-nya sekalian, Kak? Jadi 13.900.”

“Boleh.”

“Mau—“

“Boleh, Mbak. Yang promo semua saya ambil,” kini ia melambaikan ponselnya, “bisa bayar pake QRIS, kan?”

Dalam hati kamu bersorak; bersyukur karena PNS selalu mudah ditipu promo. Sambil mengulum senyum kamu menambahkan, “mau pulsanya sekalian, Kak?”

***

Jam dinding menunjukkan pukul 11 siang. Kamu sedang mengecek label barang ketika seseorang berseru, “Mbak Kasir, mau bayar.”

Kamu tergopoh sedikit untuk kembali ke stand kasir. Di depan mejamu sudah berdiri…

Malaikat.

Kamu yakin di depanmu sekarang adalah malaikat.

Seorang pria dengan proporsi wajah kelewat sempurna yang menggunakan seragam cokelat muda meletakkan sebotol kopi Good Day di meja kasirnya sambil sibuk memainkan ponselnya sendiri. Kamu melirik ID Card yang tersampir di saku dadanya:

Kristofel Arion Huang.

Kamu tahu Chindo selalu di depan. Tapi kalau yang ini mah terlalu depan…

Kamu berdeham agar kembali fokus, “nggak sekalian—“
“Nggak,” jawabnya singkat, “itu aja, Mbak.”

“Pulsanya seka—“

“Nggak.”

Oh. Mukanya yang seperti malaikat berbanding terbalik dengan judesnya, kesimpulanmu.

Kamu menahan gondok ketika memindai barcode kopi itu dan berkata, “totalnya 6.900.”

Pria itu memberikan uang 7.000 dengan tangan kanananya, sementara yang kiri masih sibuk mengetik di ponsel. Dari tempatmu, kamu mendengar suara seseorang sedang memberikan materi dari ponselnya. Sepertinya pria ini memang sedang rapat online.

Kamu memasukkan jumlah uang yang ia beri dalam komputer dan bertanya sebagai basa-basi, “uang 100 rupiahnya mau didonasi—“

“Nggak.”

“Eh?” Kamu mengerjap sebentar, pertama kali mendengar seseorang menolak untuk mendonasikan kembaliannya.

“Nggak donasi, Mbak,” pria itu memperjelas tanpa rasa bersalah.

Kamu tertegun sebentar, lalu membuka laci uang di bawah komputer, “tapi kita nggak ada 100 perak, Kak.”

“Ya urusan Mbaknya dong, masa urusan saya,” jawab pria itu tanpa menoleh, “pokoknya saya mau uang 100 perak saya.”

Dengan sedikit panik kamu mencari-cari receh di antara uang kertas yang belum kamu rapikan. Namun nihil.

“Mbak?” Kini pria itu mengangkat wajahnya dan menampilkan muka kesal, “saya lagi rapat ini. Bisa dipercepat nggak?”

Oh fuck you.

penempatan

03 Nov, 14:26


Tangan iseng Arion mengacak pelan rambut Hemas, “duluan, Hems,” sebelum ia menggeret kopernya pergi.

Pipi Hemas jauh lebih merah dari Laksa.

Ketika Arion sudah tak terlihat dari pandangan mereka, Laksa dan Hemas masih melongo menatap sosoknya.

“Lo tau caranya mengawetkan makanan nggak, Hems?” Mata Laksa belum berpindah dan tangannya memeluk sandwich yang Arion berikan, “kayaknya gue nggak bakal makan ini selamanya.”

Hemas menyentuh rambutnya hati-hati, masih merasakan hangat tangan Arion di sana, “gue kayaknya juga nggak bakal keramas sampe mati.”

“Lo berdua ketemu Rion doang kayak ketemu Tuhan.” Dari belakang, suara berat familiar menjotos pelan bahu mereka berdua.

Lamunan Laksa dan Hemas buyar kala mereka menoleh untuk menemukan Prabu dengan kopernya yang berjalan sendiri mengikutinya di belakang—tentu saja Airwheel, karena Prabu tidak akan kehabisan ide untuk menunjukkan kepada dunia bahwa ia kaya.

Buuu, liat,” Laksa melambaikan sandwich dari Arion, “makanan dari orang ganteng.”

“Oh, gitu,” Prabu mengangguk. Ia kemudian menyingkirkan kantung plastik dari pandangan Laksa, “berarti jajan-jajan dari gue nggak perlu ya.”

“Perluuuuu!” Laksa tertawa sambil berusaha merebut plastik di balik badan Prabu.

Prabu menahan tangan Laksa ketika merasakan gelombang hangat dari tubuhnya, “Sa, wait.”

“Hmm?” Laksa mengerjap.

Prabu menyentuh leher Laksa dan membandingkan suhunya dengan kening sendiri, “badan lo kok anget?”

“Gue nggak tidur,” Laksa mengadu dengan muka cemberut, “tadi malem masih revisi rule validasi.”

Prabu menjentik kening Laksa kesal, “kalo gitu ngapain pesen kopi, tolol?”

“Ya biar nggak ngantuk.”

Nope, nope,” Prabu mengeluarkan sekaleng Starbucks dari kantongnya dan melemparnya ke arah Hemas, “Hemas, catch!”

“Siap!” Hemas menangkapnya dengan gembira karena ia akan selalu menyambut barang gratis dengan hati tulus ikhlas.

Beberapa bus di sekitar mereka membunyikan klakson untuk memberikan tanda bahwa mereka akan berangkat. Prabu mengambil tuas kopernya untuk menariknya manual, “ayo, Sa.”

“Okeee.” Laksa melambaikan tangan ke Hemas sebelum menggeret kopernya juga, “lo naik juga sono.”

“Iyeee.” Hemas mengambil kopernya juga dan menariknya untuk berjalan pergi.

Ketika Hemas menoleh lagi, ia melihat Prabu yang berjongkok untuk mengikat tali sepatu Laksa yang ternyata sedari tadi telah terurai sementara Laksa sibuk mengoceh tentang hal yang tak bisa Hemas dengar.

Laksa tidak pernah tertawa selebar itu saat bersama Dinda.

penempatan

03 Nov, 14:26


[re-upload dari twitter]

“Laksaaaa!” Laksa melihat Hemas melambaikan tangan dari kejauhan. Koper hard case perak Lojel seharga tunjangan ikatan dinas 5 bulan yang Laksa tahu baru Hemas beli kemarin terlihat bersinar dibandingkan koper Pasar Senen bermerk Polo palsu teman-temannya yang lain. Hemas masih tersenyum girang ketika menyapanya, “siniiiii!”

Laksa menghela nafas lelah dan ikut menggeret kopernya lagi—kalau ada yang penasaran, koper Rimowa Laksa malah seharga motor baru, mengingat ia membelinya ketika keluarganya masih kaya—dan menghampiri Hemas dengan muka lesu. Permasalahan umum sekolah kedinasan yang minim programmer; tugas membuat aplikasi, website, server, database, dan tetek bengek lainnya harus dibagi ke 60 orang saja dengan rentang waktu yang sangat tidak masuk akal. Dari 60 orang itu, yang benar-benar mengerti pemrograman hanya sekitar 15 orang.

Laksa, sialnya, adalah salah satunya.

Hemas berdecak, “gue dari tadi liat anak komputasi lewat dan emang mukanya jelek semua, Sa. Tapi muka lo bener-bener kayak mayat hidup.”

“Bacot, homo.” Laksa menggerutu, “lo kenapa nggak bangunin gue, anjing?!”

“Gue udah ketok pintu kamar lo sampe mampus, Su, tapi lo-nya nggak respon!” Hemas menyanggah, “lo nggak tidur berapa abad?”

Mata Laksa berkaca-kaca ketika menjawab, “gue udah lupa definisi tidur itu apa…”

“Adududu, kasian.” Hemas menggelitik dagu Laksa, berpura-pura kasihan, “lo kan satu bus sama Dinda. Minta kelon aja.”

Matamu.” Laksa menyergah tangan Hemas kasar, “lo bus berapa?”

“5 noh,” Hemas menunjuk salah satu bus yang terparkir di dekat SPBU, “tapi mesinnya belum nyala jadi gue males naik.”

“Oh…”

“Dinda mana?” Hemas celingukan mencari pacar Laksa itu, “lo mau nungguin dia?”

“Udah masuk duluan anaknya,” Laksa mengedikkan kepalanya ke dalam bus, “ngambek kayaknya karena gue nggak bangun pas dia telepon berkali-kali.”

Hemas menahan cibiran untuk dirinya sendiri. Jujur, sangat sulit baginya untuk menyukai sosok Dinda. Orang luar mungkin akan menganggap Dinda sebagai wanita cantik, independent girl boss, dan super cerdas. Tetapi bencong radar ditambah dengan berbagai curhatan Laksa selama mereka pacaran membuat Hemas punya pikiran sebaliknya; self-centered, control freak, sama sekali tidak pengertian, dan selalu merasa dunia hanya berpusat padanya.

Cocok sekali dengan Laksa si paling people pleaser dengan low self-esteem serta mudah disetir.

“Yaudahlah,” Hemas mengangkat bahu, “masuk aja gih.”

“Nanti dulu,” Laksa menduduki kopernya sendiri, “gue nungguin Prabu.”

“Ngapain?”

“Tadi gue nitip Antimo, Tolak Angin, sama kopi,” Laksa memijat tengkuknya sendiri, “gue kayaknya bakal tepar deh ini.”

“Goblok ah lo. Masa tepar pas PKL?!”

“Biar Arion ngerasa bersalah udah nyiksa gue mulu,” Laksa menggerutu, “hobi banget revisi rule validasi mulu emang bangs—“

Seseorang menepuk pundak Laksa ramah, membuat Laksa langsung berbalik kaget. Di belakangnya berdiri The Mighty Arion dengan senyum malaikat dan kerling mata bersinarnya. Satu tangannya mencengkram handle kopernya—Samsonite, kalau ada yang ingin tahu—sementara tangan lainnya masih bertengger di pundak Laksa, membuat pipi Laksa memerah panas.

Kristofel Arion terlihat unreal dari jarak dekat.

“Laksa,” Arion merogoh kantong belanjanya dan mengeluarkan sandwich cepat saji Indomaret sebelum menyerahkan ke Laksa, “buat lo.”

Laksa gelagapan sendiri, “bu-buat gue?”

“Iyaa,” Bibir Arion tertekuk ke bawah sebelum memulai, “gue mau minta maaf soalnya kemaren udah minta tambah rule validasi lagi. Kasian banget, Laksa. Pasti capek ya?”

“Oh,” Laksa langsung blank, “enggak kok, Yon, santai aja. Kan emang tugas lo.”

But still,” Arion memijat pundak Laksa lembut, “nanti di pesawat tidur aja ya, Sa. Gue denger lo masuk timnya Prabu ‘kan?”

“I-iya.”

“Kalo Prabu mah bakal jagain lo,” Arion mengedipkan sebelah matanya—Laksa tidak paham konteksnya apa, “gue masuk duluan ya, Sa.”

“Iya, Yon.” Iya iya mulu dari tadi lo, goblok.

Arion menoleh hingga matanya bertemu Hemas yang hanya terdiam memperhatikan interaksi mereka.

penempatan

03 Nov, 14:25


Eh kayaknya masih ada lagi deh wkwkw gue cicil lagi yak

penempatan

03 Nov, 14:19


Tanpa banyak omong, dia minta tolong salah satu cleaner buat pinjemin kursi roda dan tanya klinik terdekat.

Momen belanja itu akhirnya berakhir dengan diem-dieman di taksi—Laksa nggak protes, finally. Dia bawa Laksa ke klinik juga dianya diem nggak protes. Mungkin takut ngeliat mukanya Prabu yang udah keliatan bete banget.

Mereka tetep diem-dieman sepanjang perjalanan pulang.

Pas sampe kosan Laksa, Prabu papah Laksa yang jalan pake satu kaki. Hemas lagi ambil jemuran bajunya waktu mereka masuk dan tanya, “kenapa lagi tu anak, Bu?”

“Keseleo,” jawab Prabu singkat.

“Oh,” Hemas tetep lanjut angkat jemuran. Udah biasa banget buat Hemas denger Laksa jatuh soalnya kaki Laksa tuh kayaknya kiri semua.

Prabu bantu Laksa sampe bisa duduk di ranjangnya dan angkat kaki Laksa yang dibebat. Tanpa liat wajah Laksa, Prabu ngomong, “gue nanti balik lagi bawain lo makan. Nggak usah banyak gerak kalo nggak urgent.”

Laksa angguk, nggak tau mau respon apa. Tapi pas liat tangan Prabu ngeraih handle pintu, dia langsung panggil, “Bu.”

“Apa?”

Bibir Laksa ditekuk ke bawah waktu bilang, “maaf.”

Perkataan Laksa itu bikin Prabu langsung noleh dengan dahi berkerut, “buat?”

Laksa mainin tali gulingnya, “bikin repot.”

Prabu ngehela nafas panjang sebelum dia balik duduk di ranjang dan tepuk lutut Laksa, “lo pikir gue marah sama lo?”

“Ya abisan, muka lo begitu. Terus—terus lo diem aja? Tapi gue paham kalo lo sebel soalnya hari ini gue kayak ganggu banget gue beneran nggak ngerti kenapa—tapi gue nggak maksud.”

Prabu geleng-geleng, “gue nggak marah sama lo, Sa.”

“Terus?”

“Gue marah sama diri sendiri,” jelas Prabu, “gue marah karena gue nggak liat lo susah jalan. Gue marah karena bikin lo ngerasa nggak bisa ngeluh ke gue. Gue marah ke diri sendiri karena nggak bisa jagain lo.”

“Tapi gue begini karena gue sendiri,” bantah Laksa, “hidup gue emang selalu ketiban sial. Cuma nggak tau kenapa hari ini tuh kayak parah banget. Mana pas ada lo pula.”

Prabu tepuk lutut Laksa lembut, “probably this is just… not your day? Bukan berarti hidup lo sial selamanya. Jangan ngomong gitu dong.”

Laksa tetep mainin tali gulingnya sambil gumam pelan sesuatu yang Prabu nggak paham—kayaknya pake bahasa selain yang Prabu tau. Jadi dia let it slide.

Oke, gue bakal ngelakuin damage control,” Prabu berdiri dan acak rambut temennya itu, “lo di sini aja. Gue bakal beliin lo makanan biar lo bisa bertahan sampe senin. Habis itu kita ngegosip lagi sambil lo nonton Harry Potter 1-7 di laptop baru gue. Belum pernah kan lo nonton di laptop 15 juta?”

“Enak aja. Asal lo tau, laptop gue harganya 30 juta,” Laksa ketawa sambil lempar salah satu bantalnya ke arah Prabu, “gue pernah kaya ya, bajingan.”

Prabu nangkep bantal lemparan Laksa sambil nahan senyum, happy ngeliat Laksa bisa ketawa lagi.

Hari mereka diakhiri sama nonton Harry Potter sambil ngemil semaleman, berdebat panjang soal siapa yang jahat di antara James Potter sama Severus Snape, dan dengerin Prabu ngelanjutin nyebar gosip hangat di kampus sampe Laksa ketiduran.

penempatan

03 Nov, 14:19


Prabu berdiri pas dia liat busnya Laksa dari kejauhan. Busnya tetep rame banget. Prabu sampe heran sendiri. Waktu busnya berhenti dan pintu dibuka, orang-orang keluar sambil lari-lari. Jantung Prabu hampir copot waktu Laksa mau keluar tapi tiba-tiba ada ibu-ibu yang dorong dia keras sampe kepeleset, keras banget.

“Sa!” Prabu refleks langsung ngehampirin dan bantuin dia bangun sama kondektur busnya. Tapi si ibu-ibu itu cuma noleh bentar dan langsung pergi ke pintu keluar. Kalo bukan karena Laksa yang terlalu shock sampe butuh 5 menit buat mencerna situasi dan berdiri, Prabu mungkin bakal kejar itu tersangka.

Shit—you okay?” Prabu bantuin Laksa duduk di kursi dan mulai ngecek apa ada yang luka.

Okay—I’m okay,” Laksa ngebiarin Prabu heboh sendiri. Tapi emang nggak ada luka apapun di badan dia sih.

“Bener-bener ya itu nenek lampir,” semprot Prabu, “udah ah, kita naik taksi aja.”

Laksa puter mata, “ini tinggal 1 bus lagi, Bu. Sayang banget dipake naik taksi. Lagipula guenya nggak pa-pa.”

Karena males berantem, Prabu nurut aja.

Tapi beneran deh. Sialnya Laksa kok ya nggak berhenti di situ. Mulai dari nyaris keserempet motor di jalan (“udah anjing, Bu, biarin aja dia nggak sengaja.”), ketumpahan es krim anak kecil yang lari-lari di lobby (“jangan dimarahin anaknya, nanti ibunya bales marahin kita gimana?”), sampe kejatuhan banner toko yang lagi dipasang (“itu pegawainya capek banget keliatannya, Bu. Jangan dilabrak, duh.”).

Setelah dapet laptop baru—sebuah laptop gaming yang harganya 15 juta tapi bagi Laksa itu tetep kemahalan karena, “AMD Ryzen 5 ketinggian kalo buat kuliah doang, tolol. Satu-satunya software edit yang lo tau cuma PowerPoint?!”—mereka makan di food court. Prabu nawarin ke tempat yang lebih nyaman tapi Laksa nggak mau. Katanya kalo food court milihnya lebih gampang.

Laksa milih makan soto betawi dan Prabu cobain nasi campurnya. Mereka ngobrol sambil makan buat ngegosip soal si-ini-pacaran-sama-si-itu alias informasi yang Prabu hapal karena dia anak Sema. Pas lagi seru ngomongin Arion yang kayaknya lagi dideketin senior cowok (Marka, maksudnya. Tapi Laksa nggak akan pernah tau.), tiba-tiba dahi Laksa berkerut sambil aduk soto di mangkoknya.

“Kenapa, Sa?” Prabu ngeliatin penasaran.

Dengan ragu-ragu, Laksa angkat sendoknya; ada dua lalat mati di situ. Prabu yang liat rasanya mau muntah.

Prabu langsung berdiri, “gue minta ganti—“

“Jangan! Ih, Prabu!” Laksa tahan lengan Prabu, “nggak pa-pa.”

“Nggak pa-pa gimana anjing, Sa?!” Prabu yang emang dasarnya sangat bad mood hari ini mulai meledak, “kita nih di mall. Itu soto betawi harganya dua kali lipat dari warung di luar. Minimal banget nih ya, mereka bersih!

Prabu langsung tarik lengannya sendiri dari cengkraman Laksa dan tetep jalan dengan emosi ke court soto betawi itu. Laksa yang panik ikutan berdiri dan mau nyusul. Tapi kaki kirinya mendadak nyeri dan kaku, bikin dia langsung jatuh diikutin sama kursinya sendiri dengan suara prang berisik.

Satu food court langsung noleh karena kaget. Prabu ikut noleh, buat ngedapetin Laksa jatuh lagi. Emosinya digantiin sama rasa khawatir pas dia lari kecil balik ke kursi mereka lagi.

“Anjing, Sa,” reaksi pertama Prabu itu pindahin kursi yang jatuh di kaki Laksa dan bantuin Laksa duduk di kursi lagi, “lo nggak pa-pa? Ini serius bangsat awas aja lo jawab—“

“Kaki gue sakit banget,” Laksa gigit bibir. Pertahanannya hampir runtuh, seakan dia emang beneran nahan dari tadi, “kayak—keseleo? Gue nggak bisa jalan…”

Prabu cursing under his breath, “yang mana, Sa?”

“Kiri,” jawab Laksa lemes, “kayaknya—pergelangan?”

Prabu jongkok di depan Laksa buat buka sneaker sama kaos kakinya—Laksa nahan diri buat nggak mukul tangan Prabu soalnya sakit banget jancok. Matanya ngelebar pas liat kaki kiri Laksa bengkak.

Kalau udah separah ini berarti udah lama…

“Ini—ini gara-gara jatuh di bus tadi?” Prabu mendongak nggak percaya.

Laksa angkat bahu. Prabu ngerasa dia mau jawab ‘iya’ tapi malu.

Prabu tarik nafas panjang dan hembusin pelan biar bisa mikir lebih jernih.

penempatan

03 Nov, 14:19


Akhirnya Prabu turun di halte yang disebutin Laksa dan duduk di kursi buat nunggu Laksa nyampe. Lamaaaa banget. Hampir 45 menit. Laksa bilang busnya kejebak macet di Senen (siapa yang nggak kejebak macet di Senen?). Prabu makin cranky dan ngirim chat marah-marah mulu ke Laksa yang intinya ‘udah gue bilang mending naik taksi’. Laksa bales dengan berbagai macam stiker jari tengah.

penempatan

03 Nov, 14:17


[re-upload dari twitter]

Sebutan The Unlucky Laksa ada bukan tanpa alasan. Laksa nih masalahnya unlucky bukan cuma soal gede-gede aja kayak jadi korban bully atau punya bapak yang abusif. Dia bahkan unlucky di hal sepele—kayak ga ada angin ga ada ujan bakal kesandung angin.

Prabu yang udah temenan sama Laksa dari maba adalah saksi hidup dari semua kesialan Laksa itu.

Waktu kuliah, Prabu butuh beli laptop baru. Dia berniat ngajak Laksa yang lebih paham soal dunia perkomputeran buat nemenin dia.

“Budget gue terbatas jadi takut salah pilih,” alasan Prabu.

“Emang lo butuhnya yang kayak gimana?” jawab Laksa

“Yaa… yang bisa Eviews, SPSS, sama R-Studio aja pokoknya. Gue kalo nge-game biasanya pake Mac sih jadi laptop yang ini pure buat ngerjain tugas.”

“Budget lo berapa?” tanya Laksa.

“Nggak banyak sih,” jawab Prabu

“Nggak banyaknya itu berapa?”

“Kalo paling mentok 50 juta gue bisa dapet laptop bagus nggak ya?”

“Pergi lo dari kehidupan gue.”

Tapi tetep aja sih Laksa akhirnya nemenin Prabu ke Mangga Dua. Lumayan katanya mau dibayarin lunch (anak miskin emang). Hari mereka pergi tuh kayaknya hari jelek buat Laksa soalnya ini anak bener-bener… sial.

Dimulai dari naik Transjakarta. Prabu sebenernya udah ajak Laksa naik taksi aja karena ga terlalu jauh. Laksa nolak karena, “gue tau lo anak bangsawan. Tapi tetep aja lo harus tau rasanya hidup sebagai rakyat biasa. Roda kehidupan tuh muter, nggak selamanya di atas.”

“Ga usah merefleksikan roda kehidupan lo yang kempes sama roda kehidupan gue ya, Sa.”

Mereka berangkat sekitar jam 10-an buat ngehindarin jam masuk kantor. Tapi nggak tau kenapa tetep aja haltenya full sama manusia. Prabu sama Laksa berhasil antri di deket pintu sih—dulu kan sistemnya masih berantakan dan harus jago serobot, nggak kayak sekarang yang antriannya lebih rapi.

Setelah berdiri sekitar 10 menit dan Prabu udah mulai cranky, bus jurusan Ancol pun dateng. Pas pintunya kebuka tuh udah keliatan penuh banget, tapi orang-orang langsung cepet-cepetan masuk nggak peduli kanan-kiri.

Prabu berhasil masuk dan langsung ke bagian belakang bus buat berdiri di depan salah satu seat. Waktu busnya jalan, dia kaget banget pas liat Laksa ternyata masih berdiri di halte.

penempatan

03 Nov, 14:12


Beberapa lama dia balik lagi sambil bawa banyak bungkusan, “buset, banyak banget, Bu.”

Prabu sandarin punggungnya di kursi sambil ngeliatin Laksa yang sibuk buka plastik makanannya, “ya biar bisa dimakan bareng-bareng.”

Laksa ketawa, “gue sama Pak Satpam doang juga nggak bakal abis kali, Bu, dua martabak gede begini. Terus ini—kopi empat gelas? Maksudnya gue dua gelas, Pak Satpam dua gelas gitu?”

“Ya enggak lah, Ca,” Prabu geleng-geleng, “dua lagi buat temen lo.”

“Temen?” Dahi Laksa berkerut bingung, “temen siapa?”

“Ya temen—“ perkataan Prabu putus waktu dia akhirnya paham alasan bingungnya Laksa. Tatapan matanya langsung ngarah ke dua orang yang dia perhatiin dari tadi sibuk sendiri, dan baru dia liat gimana mereka berdua.

Sekarang pandangan dua orang itu bukan lagi di komputer, tapi ke Prabu sama Laksa, ngeliatin interaksi mereka dengan muka datar. Prabu bisa liat wajah mereka yang pucat kayak kertas dengan mata yang hampir full sama kornea hitam itu. Dua orang itu nggak ngapa-ngapain, cuma diem. Tapi bahkan dari jauh pun Prabu bisa liat salah satunya mulai narik senyum miring seakan bilang;

“Udah sadar?”

“Bu?” Laksa mulai khawatir waktu loat wajah Prabu udah kayak kehilangan warna mendadak. Dia noleh ke arah pandangan Prabu tapi nggak nemu siapa-siapa, “kenapa sih?”

Prabu nutup mata, berusaha nenangin diri. Tangannya remas botol bir yang ternyata dari tadi dia genggam buat ngusir takutnya sendiri.

Enggak, dia nggak takut sama makhluk itu.

Dia takut Laksa kenapa-napa.

“Laksa,” Prabu panggil nama Laksa tanpa basa-basi, “pulang.”

“Hah?” Laksa yang nggak nangkep situasinya makin bingung, “apa sih? Kerjaan gue—“

“Udah malem,” Prabu bener-bener nggak buka perdebatan, “pulang.”

“Lo aneh banget, anj—“ mata Laksa ngelebar waktu akhirnya dia paham. Dia gigit bibir, ngasi Prabu pertanyaan lewat matanya.

Prabu angguk kecil banget, nggak mau sugar coating masalah.

Nafas Laksa gemeteran ketika dia ambil dalam-dalam. Tanpa ngalihin pandangan dari Prabu, tangannya ngeraih hp sama charger buat dia masukin ke tasnya. Waktu Laksa mau nutup laptop, Prabu langsung cegah, “nggak usah.”

“Hah?” Laksa keliatan desperate karena oke, Laksa suka film horror, tapi bukan berarti dia juga suka kalo ketemu aslinya.

“Tinggal aja laptopnya. Jangan dimatiin video call-nya. Lo pulang.” Prabu kasih instruksi, “pake AirPod lo, gue telepon sepanjang jalan.”

Laksa nutup mata biar lebih tenang, “oke, oke.”

Ngikutin semua instruksi Prabu, Laksa akhirnya keluar sambil setengah lari ke parkiran.

Sementara itu, laptop Laksa dengan video call-nya masih nyala di ruangan. Prabu masih tetep nggak mau lepas tatapan sama dua orang itu, seakan takut kalo dia kedip sekali aja mereka bakal langsung ikut keluar ngikutin Laksa.

Tapi setelah suara motor Laksa yang ngebut kedengeran sampe ruang IT, dua orang itu noleh ke komputer mereka lagi dan balik ke posisi waktu Prabu nemuin mereka pertama kali.

Dua menit kemudian, video call itu putus sendiri.

penempatan

03 Nov, 14:12


[re-upload dari twitter] [tw // horror]

Prabu lagi perjadin ke kabupaten waktu Laksa lagi minggu sibuk alias bisa pulang di bawah jam 1 malem dari kantor aja udah bagus. Sebenernya di kantor Laksa tuh pegawainya banyak, tapi karena cuma Laksa satu-satunya yang belum nikah, jadi dia mulu yang disuruh ngerjain ini-itu sampe malem.

Biasanya sih Prabu bakal nemenin di kantor sambil download film bokep, tapi karena ceritanya mereka lagi LDR jadi Prabu cuma bisa ikut ngerecokin via video call doang.

Ini udah hari ketiga Prabu nemenin Laksa via video call.

Jam di laptop Prabu nunjukkin pukul 23.20 waktu akhirnya Laksa jawab facetime-nya. Mukanya cemberut, keliatan banget kalo udah capek. Ya iyalah, udah tiga hari pulang jam 2 dini hari dan harus tetep absen jam setengah delapan pagi kalo nggak mau tunjangannya kepotong. Prabu ngehela nafas, “udah makan, sayang?”

“Udah,” Laksa nunjukkin bungkus nasi padang yang udah abis, “gue sambil entry nggak pa-pa ya, Bu?”

Prabu ketawa kecil, “biasanya juga lo kerja dan gue yang bacot.”

Laksa ikut senyum sebelum bangun dari kursinya, “bentar, gue ambil dokumen dulu.”

Prabu ngeliatin gimana Laksa keluar dari frame dan nggak berapa lama kedengeran pintu kebuka, tandanya Laksa lagi ambil dokumen yang mau di-entry di ruangan sebelah. Prabu split screen layarnya biar bisa sambil ngecek medsos sambil sesekali neguk bir sekaleng di sebelahnyamereka video call pake laptop, btw.

Sambil scroll Instagram, ujung matanya nangkep dua petugas entry di ruangan Laksa lagi sibuk sama komputer masing-masing juga. Dua petugas itu juga selalu ada di tiga hari Prabu ajak Laksa video call. Prabu geleng-geleng sendiri, salut sama dedikasi mereka. Mungkin mereka anak kuliahan yang emang paginya kudu ngampus jadi cuma punya kesempatan kerjain dokumen malam begini? Tapi kalo diliat-liat dari style-nya, mereka kayak bapak-bapak paruh baya sih.

Oh, mungkin kalo pagi mereka emang punya kerjaan lain, pikir Prabu. Dia inget petugas surveinya pas masih di kantor antah berantah juga banyak yang turun lapangan malem soalnya kalo pagi harus urus kebun.

Karena sungkan sama mereka yang keliatan beneran kerja, Prabu akhirnya buka aplikasi Grabfood dan pesen 2 martabak telor jumbo favorit Laksa sama kopi empat gelas—satu lagi buat satpam yang ada di pos—dan kirim ke kantornya Laksa. Prabu tuh kalo mau kirim makanan kayak gitu jarang bilang ke Laksa soalnya kalo dia tanya ke Laksa, pasti dijawabnya, “gue nanti beli sendiri aja, Bu.”

Padahal ujung-ujungnya ya dia nggak bakal beli karena sayang duit.

Nggak berapa lama dari itu, Laksa masuk ruangan lagi sambil bawa setumpuk dokumen yang dia jatuhin di meja sebelahnya sampe laptopnya goyang, “sorry, lama.”

Prabu berdecak melas, “kasian banget pacar gue, cari duit sampe pagi tapi gajinya cuma tahan sampe tengah bulan.”

“Tai,” Laksa duduk lagi dan ambil satu dokumen buat entry. Dia akhirnya tanya ke Prabu, “tadi kemana aja, sayang?”

Mulailah si Prabu cerita panjang lebar soal kerjaannya seharian. Meskipun mata Laksa fokus sama kerjaannya, tapi Prabu bisa denger Laksa bergumam sekali-sekali tanda dia dengerin ceritanya di antara berisik keyboard komputernya.

Laksa ngelirik Prabu waktu dia berhenti cerita buat minum birnya, “jangan banyak-banyak, Bu.”

“Yaelah, Ca,” dengus Prabu, “kagak bakal juga gue mabok gegara Heineken.”

Laksa muter mata, “elo mah minum antimo aja mabok.”

“Si bangsat,” Prabu ketawa, tapi nggak nyangkal. Di antara mereka berdua, sebenernya Laksa yang lebih tahan sama alkohol. Cuma emang sama dokter disuruh hindarin kalo bisa, biar medication dia bisa kerja sebagaimana mestinya.

Kadang-kadang Prabu pengen tau tampang Laksa kalo beneran mabok sih, jujur aja.

Tiba-tiba ponsel Prabu bunyi notifikasi dari Grab buat ngasih tau kalo supirnya udah di depan kantor. Dia panggil pacarnya itu, “Ca, lo ke depan dulu. Ada driver Grab.

Sambil ngasih bombastic side eye, Laksa berdiri sambil ngeluh, “kebiasaan banget, nggak bilang-bilang.”

Prabu ketawa, “ya kalo bilang, emangnya lo mau?”

Laksa akhirnya keluar buat ambil pesenan Prabu.

penempatan

03 Nov, 14:09


[re-upload dari twitter]

Malam itu Laksa sama Prabu lagi nge-date di cafe yang baru buka kemarin. Kalau review-nya di akun kuliner sih katanya enak-enak plus murah, makanya Prabu semangat banget buat cobain. Laksa mah sebagai penumpang mobil cuma iya ayo karena toh, endingnya dia dibayarin.

Pas buka buku menu, Prabu tanya ke Mba Waiter mereka, “yang spesial di sini apa, Mba?”

“Kalau di kita ada Steak Sirloin Sapi bumbu lada hitam, Kak,” Mba-nya nunjuk salah satu menu, “terus untuk minumannya kita ada Sunset Sky. Dia semacam Mojito gitu, Kak.”

“Boleh deh, Mba, saya coba. Steak-nya medium well bisa kan, Kak?”

Si Mba keliatan bingung sama ucapannya Prabu tapi sedetik doang, habis itu pasang muka cool lagi, “bisa, Kak. Nanti saya sampaikan ke chef-nya.”

“Oke,” Prabu senyum puas sambil kasih buku menunya ke Laksa, “lo mau apa?”

Laksa cuma butuh sekali baca sebelum jawab, “nasi goreng seafood sama orange juice, Mba.”

Prabu muter matanya, elo udah gue ajak jauh-jauh masa cuma pesen nasi goreng seafood sih?”

Laksa cuma senyum kecil dan nggak jawab. Tangannya kasih balik buku menunya ke Mba Waiter sambil gumam, “makasih.”

***

Pesanan mereka dateng hampir setengah jam kemudian—Prabu hampir angkat kaki karena udah kelaperan tapi sama Laksa dikasih roti sisa rapat yang masih dia simpen di tas kerjanya.

Dan Prabu makin bete ketika liat penampilan steak-nya, “tadi gue udah pesen medium well kan, Ca?”

Laksa nggak jawab.

Prabu iris dikit steak-nya sampe ngeliatin warna daging di dalem; cokelat tanpa sentuhan pink sama sekali, “ini mah well done.”

Dengan kesel, Prabu taruh pisau sama garpunya lagi dan mau panggil Mba Waiter tapi sama Laksa langsung ditahan, “nggak usah. Itu dagingnya emang kudu dimasak well done, Bu. Bukan steak yang biasa lo makan.”

“…oh.” Prabu memandangi steak-nya sambil berpikir keras. Ia akhirnya coba sepotong sampe kernyitan di keningnya makin dalam. Tapi dia nggak komentar apa-apa; salah satu manner para cucu opa Wisesa adalah nggak komentar buruk di depan makanan. Pamali.

Laksa diem-diem ngamatin tingkah pacarnya itu, ikutan nggak komentar. Tangannya sok sibuk aduk-aduk orange juice yang sebenernya nggak perlu diaduk. Dia ngeliatin aja waktu Prabu ngikutin gerakannya dengan aduk-aduk mojito ala-ala yang dia pesen sendiri dan icip sedikit dari sedotannya.

Raut wajahnya makin asem.

Laksa menghela nafas. Dia ambil sesendok nasi goreng pesenannya dan julurin ke Prabu, “cobain dulu.”

“Lah, lo aja belom coba?”

“Cobain dulu,” ulang Laksa sambil angguk.

Prabu coba suapan Laksa dan kerutan keningnya berkurang, dikit.

Laksa amatin reaksinya Prabu, “enak?”

“Not bad.” Gerutu Prabu.

Laksa taruh lagi sendoknya. Dengan sekali gerakan, dia tuker piringnya sama Prabu dan langsung iris steak-nya sesuai potongannya sendiri sebelum Prabu bisa ngomong apapun. Dia makan pesenan Prabu itu tanpa komentar apapun.

Layaknya korban act of service Laksa yang udah-udah, pipi Prabu langsung merah—udah saingan sama Sunset Sky si mojito ala-ala pesenannya Prabu.

Oh, ngomong-ngomong soal Sunset Sky…

“Lo mau orange juice nggak?” Tanya Laksa sambil angkat gelasnya.

Prabu geleng-geleng, “kan pesenan lo.”

“Gue mah apa aja masuk. Kan udah biasa miskin,” Laksa menukar gelasnya dengan gelas Prabu juga, “nih, daripada keselek.”

Dengan ragu, Prabu angkat sendoknya.

Laksa senyum di antara kunyahnya, “makan dong, ganteng. Cemberut mulu.”

Prabu yang digodain gitu makin cemberut tapi sambil nahan geli sendiri. Ngikutin Laksa, dia akhirnya ikut makan nasi goreng seafood dari pacarnya itu. Nggak seenak bikinan Laksa yang pake cinta sih, tapi masih edible dibanding that sad excuse they called steak.

Laksa mulai ajak Prabu ngobrol soal kerjaan dan insiden tukar-menukan makanan pun nggak dibahas lagi.

Nggak tau deh butuh berapa taun bagi Prabu buat sadar kalo Laksa selalu pesen makanan favorit Prabu tiap mereka lagi coba tempat makan baru, buat jaga-jaga kalo Prabu nggak suka sama makanan yang dia pesen sendiri.

penempatan

31 Oct, 00:37


Dapet salam dari Laksa gaes

penempatan

31 Oct, 00:20


Oke ini karena masih ada yang isi trakteer padahal udah dihapus dan gue takut ada yang mikir konten gue beneran 5jt (haha) jadi gue kasih ini ya INI FREE JADI GA PERLU ISI CENDOL

Ini konten tadi malem yang gue hapus please jangan kecewa bukanya wkwk

cw/tw// literal public make out, voyeurism, apa lagi ya gatau please ini ASBUN SUMPAH CUMA SS CHAT ASBUN TOLONGGGGGGG

https://trakteer.id/asumsiklasik/showcase/rahasia-251K3