*Pemilik Rumah Luka.*
Aku adalah rumah,
Untuk mereka yang datang dan singgah.
Aku adalah rumah,
Untuk mereka yang kehilangan arah.
Aku adalah rumah,
Untuk mereka yang hatinya sedang gelisah.
Dan Aku adalah rumah,
Untuk mereka yang sedang sibuk dengan resah.
Menyuguhkan sedikit hidangan manis,
Dan secangkir teh hitam legit berhias sepotong jeruk nipis.
Ku hamparkan permadani beralaskan harapan,
Dengan sedikit corak merah keputusasaan.
Kala itu...
Sudut bibir itu kembali menyunggingkan senyum,
Saat tak sengaja dari kejauhan terlihat penghuni baru,
yang datang sembari tertatih membawa luka.
Tetesan beraroma darah mulai tercium,
Beriringan nafas tersengal-sengal menderu,
Dan mengatakan, "Permisi... Tuan, Pemilik Rumah Luka".
Ah,
berkata dalam benak ini,
tokoh baru lagi.
Kali ini,
Luka apa yang akan ia ceritakan?
Kali ini,
Sosok mana lagi yang akan ia salahkan?
Dan kali ini,
Keluh mana lagi yang akan ia utarakan?
Hingga setelah ribuan kata ia tuang,
Dan menjadikan rumah ini tempat pulang,
Dengan lirih ia berkata,
"Tuan... Sampai kapan aku harus bertahan atas semua luka?
Raga ku, sudah begitu sakit menahan semuanya".
Oh Tuhan,
Lagi-lagi pertanyaan yang selalu sama,
Namun seperti biasa,
Jawaban yang sama pun selalu ada,
"Sampai semesta membayar semua luka,
dengan kebahagiaan yang kau dambakan wahai pemeluk luka."
Lalu kemudian pergi,
Dan kembali,
Untuk menceritakan lagi seluruh lukanya.
Tak berselang beberapa lama,
Setelah perginya terakhir kali,
Jiwa itu kembali datang,
Dengan raut wajah yang begitu bahagia.
"Tuan,,, semesta telah membayar semua ini,
Terimakasih telah menjadi tempat ku pulang,
Tuan, Pemilik Rumah Luka."
Dan Jiwa itu pun pergi,
meninggalkan sebuah surat.
Ku ambil surat itu dari atas meja,
Lalu mulai membukanya dengan perlahan.
"Hai Tuan,
Pemilik Rumah Luka,
Yang beberapa waktu menjadi tempat ku singgah.
Terimakasih,
untuk telinga, yang kau sediakan mendengar keluh ku,
untuk tangan, yang kau ulurkan menghapus air mataku,
untuk raga, yang kau biarkan terluka dipukuli oleh ku,
dan untuk masa, yang kau berikan banyak padaku.
Aku tahu tuan,
Kau adalah rumah,
untuk mereka yang singgah,
Namun bolehkah ku tanyakan?
Dimana rumah mu sendiri tuan?
Dimana tempat yang kau jadikan cerita,
Jika selama ini hanya dirimu seorang di rumah ini?
Dan dimana tempat kau tuang luka,
Untuk jiwa mu yang selama ini menyerap luka.
Ya, luka ku, mereka,
Dan pemeluk luka lain setelah diri ini.
Ku harap,
Kau segera menemukan nya tuan,
Agar suatu saat nanti,
Aku bisa melihat raut wajah bahagia yang tulus,
Tanpa sebuah topeng pun yang kau kenakan."
Tetesan demi tetesan air,
sudah membasahi kertas itu sejak tadi.
Seraya memukuli dadanya yang sesak,
Sang Tuan berkata dalam suara rendahnya.
"Oh Tuhan,
Sampai kapan aku harus terus bersembunyi,
di balik topeng ini?
Yang mana pada kenyataannya,
Mereka yang datang selalu tahu.
Bahwa selama ini,
Ada topeng tak kasat,
Yang selalu ku kenakan,
Untuk menutupi luka ku sendiri."
20.Oktober.2024
@AksaraBintang_Senjaa