Salamdakwah @salamdakwah Channel on Telegram

Salamdakwah

@salamdakwah


Mengikuti Al-Quran dan Assunah menurut Pemahaman Para Sahabat

Telegram Channel Promotion (Indonesian)

Salamdakwah merupakan sebuah channel Telegram yang bertujuan untuk menyebarkan dakwah Islam berdasarkan Al-Quran dan Assunah menurut pemahaman para sahabat. Channel ini dikelola oleh pengguna dengan username @salamdakwah. Dengan mengikuti channel ini, pengguna akan mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam mengenai ajaran Islam berdasarkan sumber-sumber utama seperti Al-Quran dan hadis-hadis Rasulullah SAW. Salamdakwah memberikan informasi, ceramah, dan diskusi seputar ajaran Islam yang diharapkan dapat memberikan manfaat dan pemahaman yang lebih baik bagi para pengikutnya. Jadi, jika Anda ingin mendapatkan pengetahuan yang lebih luas mengenai Islam dan meningkatkan keimanan Anda, bergabunglah dengan Salamdakwah sekarang juga!

Salamdakwah

22 Apr, 23:39


Banyak hadits yang shahih dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam yang menjelaskan larangan dan keharaman menyentuh yang bukan mahram, di antaranya:

Dari Aisyah radhiallahu’anha (istri Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam), beliau menceritakan tentang baiat kaum wanita (mukminah) kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, beliau berkata: Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam sama sekali tidak pernah menyentuh seorang wanitapun dengan tangan beliau, tapi beliau mengambil baiat wanita (dengan ucapan saja dan tanpa berjabat tangan), setelah membaiat wanita, beliau Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda kepadanya: “Pergilah, sungguh aku telah membaiatmu” [19. HSR Muslim (3/1489, no. 1866), bab: Bagaimana (Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam) membaiat wanita]. Imam abu Zakaria an-Nawawi (Imam besar dari madzhab asy-Syafi’i) menyebutkan beberapa faidah dari hadits ini, di antaranya:

Membaiat wanita (hanya) dengan ucapan tanpa berjabat tangan, adapun laki-laki maka dengan berjabat tangan dan ucapan.
Tidak boleh menyentuh kulit wanita yang bukan mahram tanpa (ada alasan) darurat, seperti berobat dan lain-lain[20. Lihat “Syarah shahih Muslim” (13/10)].

Dari Umaimah bintu Ruqaiqah radhiallahu’anha dia berkata: Aku pernah mendatangi Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersama para wanita (muslimah) untuk membaiat beliau Shallallahu’alaihi Wasallam, lalu beliau Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Sesuai dengan kemampuan dan kesanggupan kalian, sesungguhnya aku tidak berjabat tangan dengan kaum perempuan (yang bukan mahram)”. Lafazh ini terdapat dalam “Sunan Ibnu majah” [21. HR an-Nasa’i (7/149, no. 4181), at-Tirmidzi (4/151, no. 1597) dan Ibnu Majah (2/ 959, no. 2874), dinyatakan sebagai hadits yang hasan shahih oleh Imam at-Tirmidzi dan Ibnu Hajar (Fathul Bari 13/204)]. Hadits ini menguatkan penjelasan yang disebutkan oleh Imam an-Nawawi di atas.

https://muslim.or.id/27058-larangan-menyentuh-wanita-yang-bukan-mahram.html

Salamdakwah

16 Apr, 01:45


Sebagai orang tua, hendaklah kita tidak merasa segan untuk memulai mengucapkan salam kepada anak kecil, baik anak kandung kita sendiri ataupun bukan. Selain berpahala, mengucapkan salam akan menebarkan rasa cinta dan kasih sayang kepada kaum muslimin.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَوَلَا أَدُلُّكُمْ عَلَى شَيْءٍ إِذَا فَعَلْتُمُوهُ تَحَابَبْتُمْ؟ أَفْشُوا السَّلَامَ بَيْنَكُمْ

“Maukah aku tunjukkan kepada kalian satu perbuatan yang jika kalian melakukannya, niscaya kalian akan saling mencintai? Tebarkanlah salam di tengah-tengah kalian.” (HR. Muslim no. 54)

Mengucapkan salam kepada anak-anak kecil berarti meneladani Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Mengucapkan salam kepada anak-anak kecil berarti menebarkan dan memasyarakatkan akhlak islami yang mulia dan luhur.

Diriwayatkan dari sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu,

أَنَّهُ مَرَّ عَلَى صِبْيَانٍ فَسَلَّمَ عَلَيْهِمْ وَقَالَ: كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَفْعَلُهُ

“Sesungguhnya Anas bin Malik berjalan melewati anak kecil, kemudian beliau mengucapkan salam kepada mereka.” Anas berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dulu biasa melakukannya.” (HR. Bukhari no. 6247 dan Muslim no. 2168)

Setelah memberikan contoh kepada mereka, kita pun bisa mengajarkan kepada anak-anak kecil tersebut bahwa dalam adab islami, anak-anak kecil lah yang hendaknya memulai mengucapkan salam kepada yang lebih tua. Kita pun mengajarkan kepada mereka bagaimanakah teks (kalimat) ucapan salam dalam Islam.

© 2023 muslimah.or.id
Sumber: https://muslimah.or.id/10450-parenting-islami-45-mengucapkan-salam-ketika-bertemu-anak-kecil.html

Salamdakwah

24 Mar, 09:09


Sebagai peringatan bagi saudara-saudaraku ini yang masih saja enggan untuk menahan lapar dan dahaga pada bulan yang diwajibkan puasa bagi mereka, kami bawakan sebuah kisah dari sahabat Abu Umamah Al Bahili radhiyallahu ‘anhu. Beliau (Abu Umamah) menuturkan bahwa beliau mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”Ketika aku tidur, aku didatangi oleh dua orang laki-laki, lalu keduanya menarik lenganku dan membawaku ke gunung yang terjal. Keduanya berkata,”Naiklah”. Lalu kukatakan,”Sesungguhnya aku tidak mampu.” Kemudian keduanya berkata,”Kami akan memudahkanmu”. Maka aku pun menaikinya sehingga ketika aku sampai di kegelapan gunung, tiba-tiba ada suara yang sangat keras. Lalu aku bertanya,”Suara apa itu?” Mereka menjawab,”Itu adalah suara jeritan para penghuni neraka.”
Kemudian dibawalah aku berjalan-jalan dan aku sudah bersama orang-orang yang bergantungan pada urat besar di atas tumit mereka, mulut mereka robek, dan dari robekan itu mengalirlah darah. Kemudian aku (Abu Umamah) bertanya,”Siapakah mereka itu?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,”Mereka adalah orang-orang yang berbuka (membatalkan puasa) sebelum tiba waktunya.” (HR. An Nasa’i dalam Al Kubra, sanadnya shahih. Lihat Shifat Shaum Nabi, hal. 25).
Lihatlah siksaan bagi orang yang membatalkan puasa dengan sengaja dalam hadits ini, maka bagaimana lagi dengan orang yang enggan berpuasa sejak awal Ramadhan dan tidak pernah berpuasa sama sekali. Renungkanlah hal ini, wahai saudaraku!

Sumber https://rumaysho.com/403-akibat-enggan-menunaikan-puasa...

Salamdakwah

24 Mar, 04:09


Dalam kitab Majalis Syahru Ramadhan, Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan,

والصيام صبر على طاعة الله, وصبر عن محارم الله و صبر على أقدار الله المؤلمة من الجوع و العطش وضعف البدن والنفسوفقد اجتمعت فيه أنواع الصبر الثلاثة, وتحقق أن يكون الصائم من الصابرين, وقد قال الله تعالى : إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُم بِغَيْرِ حِسَابٍ

Ibadah puasa mengandung :

Kesabaran dalam taat kepada Allah,
Sabar untuk tidak menerjang larangan Allah,
Serta sabar atas takdir-takdir Allah, seperti rasa lapar, haus serta kondisi fisik dan jiwa yang lemah.
Pada puasa, terkumpul tiga macam kesabaran ini. Sehingga orang yang puasa dapat mencapai derajat orang-orang yang sabar. Sementara Allah berfirman,

إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُم بِغَيْرِ حِسَابٍ

Sesungguhnya hanya orang-orang bersabar, yang mendapatkan pahala tanpa batas. (QS. Az-Zumar : 10).

Allah ta’ala memberikan gambaran global bagaimana pahala tanpa batas tersebut.

فَلَا تَعْلَمُ نَفْسٌ مَّا أُخْفِيَ لَهُم مِّن قُرَّةِ أَعْيُنٍ جَزَاءً بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

Tak seorangpun mengetahui berbagai nikmat yang menanti, yang indah dipandang sebagai balasan untuk mereka, atas apa yang mereka kerjakan. (QS. As-Sajdah : 17)

Itulah ganjaran, yang nikmatnya belum pernah terbesit oleh benak kita, tak pernah terasa oleh indera perasa kita dan juga tak pernah terlihat oleh pandangan mata kita. Artinya, silahkan anda menghayal kenikmatan ternikmat yang anda inginkan, ganjaran Allah lebih dan lebih dari itu. Nikmat di atas nikmat, yang tak pernah terbayang nikmatnya.

Maka sangat merugi, saat seorang tak beralasan syar’i tidak puasa.

Semoga kita termasuk yang mendapat keberuntungan ini.

Wallahua’lam bis showab.


Referensi: https://konsultasisyariah.com/31837-pahala-puasa-tak-terbatas.html

Salamdakwah

23 Mar, 11:03


Siapakah Salaf Itu?
Secara bahasa, salaf artinya pendahulu dan secara istilah yang dimaksud dengan salaf itu adalah Rasulullah dan para sahabatnya. Ini bukan klaim tanpa bukti, jika kita cermati ayat di atas, yang dimaksud dengan orang-orang yang telah dianugerahi nikmat oleh Allah tidak lain adalah Rasulullah dan para sahabatnya, generasi salaf.

Nabi yang paling utama ialah Nabi Muhammad, imamnya shiddiqin ialah Abu Bakar, imamnya para syuhada’ ialah Hamzah bin ‘Abdil Muthalib, ‘Umar bin Al Khaththab, ‘Utsman bin ‘Affan dan ‘Ali bin Abi Thalib. Dan orang saleh yang paling saleh adalah seluruh sahabat Nabi.

Merekalah salaf kita, yang jalan mereka (baca: manhaj) dalam beragama itulah yang seharusnya kita ikuti, baik dalam akidah, muamalah maupun dakwah.

Manhaj Salaf Adalah Jalan Kebenaran
Allah berfirman, “Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas petunjuk baginya. dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu’min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruknya tempat kembali” (QS. An Nisaa’: 115)

Ketika ayat ini diturunkan, orang-orang mu’min yang dimaksud adalah para sahabat Nabi. Bahkan Allah telah meridhai mereka dan orang-orang sesudahnya yang mengikuti mereka serta menjanjikan untuk mereka balasan yang besar. “Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah, Allah telah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar” (QS. At Taubah: 100).

Demikianlah, Salafiyyah adalah Islam itu sendiri yang murni dari pengaruh-pengaruh peradaban lama dan warisan berbagai kelompok sesat. Islam yang sesuai dengan pemahaman salaf telah banyak dipuji oleh nash-nash al-Qur’an dan as-Sunnah.

Manhaj Salaf Adalah Manhaj Ahlus Sunnah
Penamaan salaf bukanlah suatu hal yang bid’ah. Bahkan Rasulullah telah menegaskan saat beliau sakit mendekati wafatnya, di mana beliau bersabda kepada putrinya, Fathimah, “Bertakwalah kepada Allah dan bersabarlah, dan sesungguhnya aku adalah sebaik-baik salaf bagimu” (HR. Muslim).

Para ulama ahlus sunnah dulu dan sekarang banyak menggunakan istilah salaf dalam ucapan dan kitab-kitab mereka. Seperti contohnya ketika mereka memerangi kebid’ahan, mereka mengatakan, “Dan setiap kebaikan itu dengan mengikuti kaum salaf, sedangkan semua keburukan berasal dari bid’ahnya kaum kholaf (belakangan)”.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata dalam Majmu’ fatawanya bahwa tidak ada aib bagi yang menampakkan madzhab salaf dan bernasab padanya, bahkan wajib menerimanya secara ijma’, karena madzhab salaf itulah kebenaran.

Kembali Kepada Manhaj Salaf, Solusi Problematika Umat
Sungguh, kehinaan dan ketertindasan umat ini akan tercabut dengan kembalinya umat pada agama Islam yang murni, yaitu dengan meniti manhaj salaf.

Di tengah maraknya perpecahan umat ini di mana banyak dijumpai cara beragama yang berbeda-beda dan saling bertentangan, maka hanya ada satu jalan yang benar yaitu jalan yang sesuai dengan petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Inilah yang kemudian disebut dengan kembali kepada pemahaman yang benar, pemahamannya Rasulullah dan tiga generasi awal umat ini, para sahabatnya, para tabi’in, tabi’ tabi’in, serta para pengikut mereka yang setia dari kalangan para imam dan ulama. Tidak ada jalan lain untuk mencari kebenaran dan ishlah (perbaikan) yang hakiki melainkan harus kembali kepada pemahaman salaf.

Sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Malik, “Tidak akan baik keadaan umat terakhir ini kecuali dengan apa yang menjadi baik dengannya generasi pertama.”

Wallahu a’lam.

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/292-mengapa-harus-manhaj-salaf.html

Salamdakwah

23 Mar, 02:57


BIDAHNYA BACA NIAT NAWAITU SHOUMA GHODIN
Lafal niat yang dibaca saat puasa:
نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ اَدَاءِ فَرْضِ شَهْرِ رَمَضَان هذِهِ السَّنَةِ ِللهِ تَعَالَى .
“Saya niat berpuasa esok hari untuk menunaikan fardhu di bulan Ramadan tahun ini karena Allah taala.”
Melafalkan niat dengan ‘Nawaitu shouma ghodin’ setiap akan berpuasa adalah perbuatan yang TIDAK DISYARIATKAN, TIDAK ADA contoh dan tuntunannya dari Nabi ﷺ dan para sahabatnya. Dan tempatnya niat itu di dalam hati dan bukannya di lisan.
Imam an-Nawawi rahimahullah berkata:
“Tidak sah puasa seseorang kecuali dengan niat. Dan tempatnya niat itu di dalam hati, serta tidak disyaratkan untuk diucapkan. Masalah ini tidak terdapat perselisihan di antara para ulama.” [Raudhatuth Thaalibiin I/268]
Imam al-Utsaimin rahimahullah berkata:
التلفظ بالنية في جميع العبادات بدعة، فلا يقول الإنسان عند الوضوء: اللهم إني نويت أن أتوضأ، ولا عند الصلاة نويت أن أصلي، ولا عند الصدقة نويت أن أتصدق، ولا عند الصيام نويت أن أصوم، ولا عند الحج نويت أن أحج، فالتلفظ بالنية في جميع العبادات لم يرد عن النبي صلى الله عليه وعلى آله وسلم .
.
“Melafalkan niat pada seluruh ibadah adalah BIDAH. Seseorang tidak boleh mengatakan saat wudhu: “Ya Allah, saya berniat wudhu”, atau ketika salat: “Saya niat salat”, atau ketika bersedekah: “Saya niat bersedekah”, atau ketika hendak puasa: “Saya niat berpuasa”, atau ketika berhaji: “Saya niat berhaji”. Melafalkan niat pada seluruh ibadah tidak ada dasarnya dari Nabi ﷺ.

https://nasihatsahabat.com/bidahnya-baca-niat-nawaitu.../

#niat
#niatpuasa
#nawaitusaumaghodinanadaifardhushahriramadhonahazihisanatinlillahitaala
#bidah
#tidaksunnah
#bukansunnah

Salamdakwah

20 Mar, 11:37


Karena puasa adalah pengantar kepada ketaqwaan, puasa menahan jiwa dari banyak melakukan perbuatan maksiat berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Puasa adalah perisai“[1], telah kami jelaskan masalah ini dalam bab keutamaan puasa.

Inilah saudaraku se-Islam, amalan-amalan jelek yang harus kau ketahui agar engkau menjauhinya dan tidak terjatuh ke dalamnya, bagi Allah-lah untaian syair:

Aku mengenal kejelekan bukan untuk berbuat jelek tapi untuk menjauhinya
Barangsiapa yang tidak tahu kebaikan dari kejelekan akan terjatuh padanya

1. Perkataan Palsu
Dari Abu Hurairah, Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلُ الزُّوْرِ وَالعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ عَزَّوَجَلَّ حَاجَةٌ أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ

“Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan (tetap) mengamalkannya, maka tidaklah Allah Azza wa Jalla butuh (atas perbuatannya meskipun) meninggalkan makan dan minumnya” [Hadits Riwayat Bukhari 4/99]

2. Perbuatan Sia-Sia dan Kata-Kata Kotor
Dari Abu Hurairah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

لَيْسَ الصِّيَامِ مِنَ الْأَكْلِ الشَّرَابِ، إِنَّمَا الصِّيَامُ مِنَ الّغْوِ وَالرَّفَتِ، فَإِنْ شَابَكَ أِحَدٌ أَوْ جَهَلَ عَلَيْكَ فَقُلْ : إِنّي صَا ئِمٌ، إِنِّي صَاءِمٌ

“Puasa bukanlah dari makan, minum (semata), tetapi puasa itu menahan diri dari perbuatan sia-sia dan keji. Jika ada orang yang mencelamu, katakanlah : Aku sedang puasa, aku sedang puasa ” [Hadits Riwayat Ibnu Khuzaimah 1996, Al-Hakim 1/430-431, sanadnya SHAHIH]

Oleh karena itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengancam dengan ancaman yang keras terhadap orang-orang yang melakukan perbuatan tercela

Referensi : https://almanhaj.or.id/1116-wajib-dijauhi-oleh-orang-yang-puasa.html

Salamdakwah

20 Mar, 06:27


Imam Abu Bakr Az Zur’i rahimahullah memaparkan dua perkara yang wajib kita waspadai. Salah satunya adalah [اَلتَّهَاوُنُ بِالْأَمْرِ إِذَا حَضَرَ وَقْتُهُ], yaitu kewajiban telah datang tetapi kita tidak siap untuk menjalankannya. Ketidaksiapan tersebut salah satu bentuk meremehkan perintah. Akibatnya pun sangat besar, yaitu kelemahan untuk menjalankan kewajiban tersebut dan terhalang dari ridha-Nya. Kedua dampak tersebut merupakan hukuman atas ketidaksiapan dalam menjalankan kewajiban yang telah nampak di depan mata.[1]

Abu Bakr Az Zur’i menyitir firman Allah ta’ala berikut,

فَإِنْ رَجَعَكَ اللَّهُ إِلَى طَائِفَةٍ مِنْهُمْ فَاسْتَأْذَنُوكَ لِلْخُرُوجِ فَقُلْ لَنْ تَخْرُجُوا مَعِيَ أَبَدًا وَلَنْ تُقَاتِلُوا مَعِيَ عَدُوًّا إِنَّكُمْ رَضِيتُمْ بِالْقُعُودِ أَوَّلَ مَرَّةٍ فَاقْعُدُوا مَعَ الْخَالِفِينَ (٨٣)

“Maka jika Allah mengembalikanmu kepada suatu golongan dari mereka, kemudian mereka minta izin kepadamu untuk keluar (pergi berperang), Maka katakanlah: “Kamu tidak boleh keluar bersamaku selama-lamanya dan tidak boleh memerangi musuh bersamaku. Sesungguhnya kamu telah rela tidak pergi berperang kali yang pertama. karena itu duduklah bersama orang-orang yang tidak ikut berperang.” (At Taubah: 83).

Renungilah ayat di atas baik-baik! Ketahuilah, Allah ta’ala tidak menyukai keberangkatan mereka dan Dia lemahkan mereka, karena tidak ada persiapan dan niat mereka yang tidak lurus lagi. Namun, bila seorang bersiap untuk menunaikan suatu amal dan ia bangkit menghadap Allah dengan kerelaan hati, maka Allah terlalu mulia untuk menolak hamba yang datang menghadap-Nya. Berhati-hatilah dari mengalami nasib menjadi orang yang tidak layak menjalankan perintah Allah ta’ala yang penuh berkah. Seringnya kita mengikuti hawa nafsu, akan menyebabkan kita tertimpa hukuman berupa tertutupnya hati dari hidayah.

Allah ta’ala berfirman,

وَنُقَلِّبُ أَفْئِدَتَهُمْ وَأَبْصَارَهُمْ كَمَا لَمْ يُؤْمِنُوا بِهِ أَوَّلَ مَرَّةٍ وَنَذَرُهُمْ فِي طُغْيَانِهِمْ يَعْمَهُونَ (١١٠)

“Dan (begitu pula) Kami memalingkan hati dan penglihatan mereka seperti mereka belum pernah beriman kepadanya (Al Quran) pada permulaannya, dan Kami biarkan mereka bergelimang dalam kesesatannya yang sangat.” (Al An’am: 110).

Persiapkan Amal Shalih dalam Menyambut Ramadhan
Bila kita menginginkan kebebasan dari neraka di bulan Ramadhan dan ingin diterima amalnya serta dihapus segala dosanya, maka harus ada bekal yang dipersiapkan.

Allah ta’ala berfirman,

وَلَوْ أَرَادُوا الْخُرُوجَ لأعَدُّوا لَهُ عُدَّةً وَلَكِنْ كَرِهَ اللَّهُ انْبِعَاثَهُمْ فَثَبَّطَهُمْ وَقِيلَ اقْعُدُوا مَعَ الْقَاعِدِينَ (٤٦)

“Dan jika mereka mau berangkat, tentulah mereka menyiapkan persiapan untuk keberangkatan itu, tetapi Allah tidak menyukai keberangkatan mereka, maka Allah melemahkan keinginan mereka. dan dikatakan kepada mereka: “Tinggallah kamu bersama orang-orang yang tinggal itu.” (At Taubah: 46).

Harus ada persiapan! Dengan demikian, tersingkaplah ketidakjujuran orang-orang yang tidak mempersiapkan bekal untuk berangkat menyambut Ramadhan. Oleh sebab itu, dalam ayat di atas mereka dihukum dengan berbagai bentuk kelemahan dan kehinaan disebabkan keengganan mereka untuk melakukan persiapan.

Sebagai persiapan menyambut Ramadhan, Rasulullah memperbanyak puasa di bulan Sya’ban. ‘Aisyah radhiallahu ‘anhu berkata,

وَلَمْ أَرَهُ صَائِمًا مِنْ شَهْرٍ قَطُّ أَكْثَرَ مِنْ صِيَامِهِ مِنْ شَعْبَانَ كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ إِلاَّ قَلِيلاً

“Saya sama sekali belum pernah melihat rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa dalam satu bulan sebanyak puasa yang beliau lakukan di bulan Sya’ban, di dalamnya beliau berpuasa sebulan penuh.” Dalam riwayat lain, “Beliau berpuasa di bulan Sya’ban, kecuali sedikit hari.”[2]

Beliau tidak terlihat lebih banyak berpuasa di satu bulan melebihi puasanya di bulan Sya’ban, dan beliau tidak menyempurnakan puasa sebulan penuh kecuali di bulan Ramadhan.

Generasi emas umat ini, generasi salafush shalih, mereka selalu mempersiapkan diri menyambut Ramadhan dengan sebaik-baiknya. Sebagian ulama salaf mengatakan,

Salamdakwah

20 Mar, 06:27


كَانُوا يَدْعُوْنَ اللهَ سِتَّةَ أَشْهُرٍ أَنْ يُبَلِّغَهُمْ شَهْرَ رَمَضَانَ ثُمَّ يَدْعُوْنَ اللهَ سِتَّةَ أَشْهُرٍ أَنْ يَتَقَبَّلَهُ مِنْهُمْ

”Mereka (para sahabat) berdo’a kepada Allah selama 6 bulan agar mereka dapat menjumpai bulan Ramadlan.”[3]

Sumber: https://muslim.or.id/4150-persiapkan-diri-menyambut-ramadhan.html

Salamdakwah

17 Mar, 10:21


Dalam mukaddimah kitab Al Waabilush Shayyib, Imam Ibnul Qayyim mengulas tiga hal di atas dengan sangat mengagumkan. Beliau mengatakan bahwa kehidupan manusia berputar pada tiga poros: Syukur, Sabar, dan Istighfar. Seseorang takkan lepas dari salah satu dari tiga keadaan:

(1) Ia mendapat curahan nikmat yang tak terhingga dari Allah, dan inilah mengharuskannya untuk bersyukur. Syukur memiliki tiga rukun, yang bila ketiganya diamalkan, berarti seorang hamba dianggap telah mewujudkan hakikat syukur tersebut, meski kuantitasnya masih jauh dari ‘cukup’. Ketiga rukun tersebut adalah:

Mengakui dalam hati bahwa nikmat tersebut dari Allah.
Mengucapkannya dengan lisan.
Menggunakan kenikmatan tersebut untuk menggapai ridha Allah, karena Dia-lah yang memberikannya.
Inilah rukun-rukun syukur yang mesti dipenuhi

(2) Atau, boleh jadi Allah mengujinya dengan berbagai ujian, dan kewajiban hamba saat itu ialah bersabar. Definisi sabar itu sendiri meliputi tiga hal:

Menahan hati dari perasaan marah, kesal, dan dongkol terhadap ketentuan Allah.
Menahan lisan dari berkeluh kesah dan menggerutu akan takdir Allah.
Menahan anggota badan dari bermaksiat seperti menampar wajah, menyobek pakaian, (atau membanting pintu, piring) dan perbuatan lain yang menunjukkan sikap ‘tidak terima’ terhadap keputusan Allah.
Perlu kita pahami bahwa Allah menguji hamba-Nya bukan karena Dia ingin membinasakan si hamba, namun untuk mengetes sejauh mana penghambaan kita terhadap-Nya. Kalaulah Allah mewajibkan sejumlah peribadatan (yaitu hal-hal yang menjadikan kita sebagai abdi/budak-nya Allah) saat kita dalam kondisi lapang; maka Allah juga mewajibkan sejumlah peribadatan kala kita dalam kondisi sempit.

Banyak orang yang ringan untuk melakukan peribadatan tipe pertama, karena biasanya hal tersebut selaras dengan keinginannya. Akan tetapi yang lebih penting dan utama adalah peribadatan tipe kedua, yang sering kali tidak selaras dengan keinginan yang bersangkutan.

Ibnul Qayyim lantas mencontohkan bahwa berwudhu di musim panas menggunakan air dingin; mempergauli isteri cantik yang dicintai, memberi nafkah kepada anak-isteri saat banyak duit; adalah ibadah. Demikian pula berwudhu dengan sempurna dengan air dingin di musim dingin dan menafkahi anak-isteri saat kondisi ekonomi terjepit, juga termasuk ibadah; tapi nilainya begitu jauh antara ibadah tipe pertama dengan ibadah tipe kedua. Yang kedua jauh lebih bernilai dibandingkan yang pertama, karena itulah ibadah yang sesungguhnya, yang membuktikan penghambaan seorang hamba kepada Khaliqnya.

Oleh sebab itu, Allah berjanji akan mencukupi hamba-hamba-Nya, sebagaimana firman Allah,

أَلَيْسَ اللَّهُ بِكَافٍ عَبْدَهُ

“Bukankah Allah-lah yang mencukupi (segala kebutuhan) hamba-Nya?” (QS. Az Zumar: 36).

Tingkat kecukupan tersebut tentulah berbanding lurus dengan tingkat penghambaan masing-masing hamba. Makin tinggi ia memperbudak dirinya demi kesenangan Allah yang konsekuensinya harus mengorbankan kesenangan pribadinya, maka makin tinggi pula kadar pencukupan yang Allah berikan kepadanya. Akibatnya, sang hamba akan senantiasa dicukupi oleh Allah dan termasuk dalam golongan yang Allah sebutkan dalam firman-Nya:

إِنَّ عِبَادِي لَيْسَ لَكَ عَلَيْهِمْ سُلْطَانٌ وَكَفَى بِرَبِّكَ وَكِيلًا

“(Sesungguhnya, engkau (Iblis) tidak memiliki kekuasaan atas hamba-hamba-Ku, dan cukuplah Rabb-mu (Hai Muhammad) sebagai wakil (penolong)” (QS. Al Isra’: 65).

Hamba-hamba yang dimaksud dalam ayat ini adalah hamba yang mendapatkan pencukupan dari Allah dalam ayat sebelumnya, yaitu mereka yang benar-benar menghambakan dirinya kepada Allah, baik dalam kondisi menyenangkan maupun menyusahkan. Inilah hamba-hamba yang terjaga dari gangguan syaithan, alias syaithan tidak bisa menguasai mereka dan menyeret mereka kepada makarnya, kecuali saat hamba tersebut lengah saja.

Salamdakwah

17 Mar, 10:21


Sebab bagaimana pun juga, setiap manusia tidak akan bebas 100% dari gangguan syaithan selama dia adalah manusia. Ia pasti akan termakan bisikan syaithan suatu ketika. Namun bedanya, orang yang benar-benar merealisasikan ‘ubudiyyah (peribadatan) kepada Allah hanya akan terganggu oleh syaithan di saat dirinya lengah saja, yakni saat dirinya tidak bisa menolak gangguan tersebut… saat itulah dia termakan hasutan syaithan dan melakukan pelanggaran.

dengan demikian, ia akan beralih ke kondisi berikutnya:

(3) Yaitu begitu ia melakukan dosa, segera lah ia memohon ampun (beristighfar) kepada Allah. Ini merupakan solusi luar biasa saat seorang hamba terjerumus dalam dosa. Bila ia hamba yang bertakwa, ia akan selalu terbayang oleh dosanya, hingga dosa yang dilakukan tadi justeru berdampak positif terhadapnya di kemudian hari. Ibnul Qayyim lantas menukil ucapan Syaikhul Islam Abu Isma’il Al Harawi yang mengatakan bahwa konon para salaf mengatakan: “Seseorang mungkin melakukan suatu dosa, yang karenanya ia masuk Jannah; dan ia mungkin melakukan ketaatan, yang karenanya ia masuk Neraka”. Bagaimana kok begitu? Bila Allah menghendaki kebaikan atas seseorang, Allah akan menjadikannya terjerumus dalam suatu dosa (padahal sebelumnya ia seorang yang shalih dan gemar beramal shalih). Dosa tersebut akan selalu terbayang di depan matanya, mengusik jiwanya, mengganggu tidurnya dan membuatnya selalu gelisah. Ia takut bahwa semua keshalihannya tadi akan sia-sia karena dosa tersebut, hingga dengan demikian ia menjadi takluk di hadapan Allah, takut kepada-Nya, mengharap rahmat dan maghfirah-Nya, serta bertaubat kepada-Nya. Nah, akibat dosa yang satu tadi, ia terhindar dari penyakit ‘ujub (kagum) terhadap keshalihannya selama ini, yang boleh jadi akan membinasakan dirinya, dan tersebab itulah ia akan masuk Jannah.

Namun sebaliknya orang yang melakukan suatu amalan besar, ia bisa jadi akan celaka akibat amalnya tersebut. Yakni bila ia merasa kagum dengan dirinya yang bisa beramal ‘shalih’ seperti itu. Nah, kekaguman ini akan membatalkan amalnya dan menjadikannya ‘lupa diri’. Maka bila Allah tidak mengujinya dengan suatu dosa yang mendorongnya untuk taubat, niscaya orang ini akan celaka dan masuk Neraka.

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/8883-rahasia-syukur-sabar-dan-istighfar.html