Para santri Al-Anwar setelah periode tahun 2000 banyak menyaksikan tentang kehidupan Mbah Maimoen yang sudah lumayan mapan. Tetapi apakah kehidupan beliau tiba-tiba saja mapan?.
Tidak, kehidupan beliau terutama dalam kehidupan berkeluarga juga dimulai dengan nol.
Pernah pada suatu malam Idul Fithri, Syaikhona Maimoen Zubair sama sekali tidak mempunyai beras untuk digunakan sebagai zakat fithrah dan bahkan tidak mempunyai uang sedikit pun untuk membeli sekedar untuk jajan Idul Fithri, sedangkan waktu itu putra-putri beliau masih kecil-kecil.
Malam hari raya itu berjalan sampai pertengahan, dengan tetap tanpa ada yang membantu. Setelah pertengahan malam, Syaikhona Maimoen Zubair pun melaksanakan shalat tahajjud. Dalam sholat itu, beliau membaca berulang surat Al-Waqi'ah.
Pertolongan Yang Maha Kuasa seringkali datang pada waktu seseorang sudah sangat terpepet dan seolah-oleh hendak berputus asa.
Dan pertolongan itu pun datang pada waktu yang tepat.
مستهم البأساء والضراء وزلزلوا حتى يقول الرسول والذين آمنوا معه متى نصر الله، ألا إن نصر الله قريب.
Pada saat subuh tiba, ada seseorang yang mengetuk pintu rumah beliau. Orang itu datang dengan membawa beras yang cukup untuk menunaikan zakat fitrah dan juga membawa sesuatu yang bisa digunakan untuk membeli jajan dan kebutuhan untuk Idul Fithri.
Mbah Maimoen juga bercerita bahwa dulu pada tahun enam puluhan, makanan sehari-hari beliau dan keluarga adalah "Sredek", ketela pohon yang diparut kemudian dikeringkan agar awet. Parutan ketela itu kemudian dimasak kukus, setelah matang kemudian dicampur dengan parutan kelapa.
Saat masih kecil dulu, Wakil Gubernur Jawa Tengah Bapak Taj Yasin Maimoen dan adik beliau Bapak Idror Maimoen sarapan seringkali hanya dengan nasi putih dengan lauk telor setengah matang yang dicampur dengan kecap. Padahal waktu itu sudah memasuki tahun delapan puluhan. Ibunda mengatakan bahwa makanan itu menambah kecerdasan anak.
Gus Taj Yasin Maimoen bercerita bahwa dulu juga ikut membantu ibunda membuat es lilin untuk dijual.
Dari dulu makanan keseharian Mbah Maimoen memang apa adanya, tetapi bila ada tamu orang khusus semisal ulama' dan pejabat negara, maka beliau akan membeli sate kambing maupun sate ayam sebagai penghormatan atas kunjungan tamu tersebut.
Saat awal pernikahan dulu, Mbah Maimoen juga belum mempunyai bantal untuk tidur.
Begitu pula dengan kendaraan, pertama kali beliau membeli Vespa ereg-ereg. Setelah itu membeli mobil pickup doplak, kemudian kijang hijau daun, kemudian kijang warna putih. Saat beliau mempunyai kijang warna putih, mobil ini juga digunakan untuk mengantar santri yang sakit. Semua adalah kendaraan bekas yang dibeli secara kontan.
Setelah itu beliau sedikit demi sedikit berganti kendaraan mulai dari Katana, BMW, Baleno, Mersi, kemudian Mazda. Setelah itu baru kemudian mempunyai Alphard. Dua kendaraan terakhir ini dibeli baru dengan kontan.
Mobil yang lumayan bagus itu dimiliki beliau setelah beliau sudah mulai berumur sepuh.
Suatu saat ada seorang santri beliau yang sudah berumah tangga berkata kepada beliau: "Mbah, Njenengan itu sudah sepuh. Agar perjalanan njenengan nyaman, maka sudah pantas njenengan memiliki mobil yang nyaman".
Saat membelikan kendaraan putra-putri beliau yang sudah menikah, beliau biasanya membelikan mobil bekas. Hal itu memberikan pelajaran tentang kesederhanaan. Artinya beliau memberikan modal pertama berupa kendaraan bekas, walaupun setelah itu tetap membuka kesempatan untuk mengembangkan sehingga dimungkinkan bisa membeli mobil baru.
Gus Rojih bercerita bahwa kakek beliau Mbah Maimoen dawuh: "Kowe tak tukokno montor elek-elekan Yo. Nek mbangun omah ojo apik-apik". (Kamu saya belikan mobil bekas ya, bila kamu membangun rumah, jangan terlalu megah).
Syaikhona Maimoen dulu pernah bekerja dengan membeli padi hasil panen Sarang. Padi kering itu kemudian dibawa ke Pati untuk dijadikan beras. Karena waktu itu di daerah Rembang belum ada penggilingan padi. Setelah menjadi beras, kemudian di jual di toko.