Fikih Ja'fari

@fikihjafari


"Sesuai fatwa Ayatullah Sayyid Ali Khamenei"

Fikih Ja'fari

22 Oct, 00:48


SOAL:
Bila berkenan, kami memohon YM menjelaskan cairan yang keluar dari manusia?

JAWAB:
Cairan yang terkadang keluar sesudah air mani disebut madziy, dan yang kadang kala keluar setelah air seni disebut wadziy, dan yang terkadang keluar setelah bercumbu antara suami istri disebut madziy, dan semuanya adalah suci serta tidak membatalkan kesucian.

https://telegram.me/FikihJafari

Fikih Ja'fari

22 Oct, 00:47


SOAL:
Setelah buang air kecil dan istibra', tanpa sengaja terkadang keluar cairan yang mirip dengan air seni. Suci ataukah najis cairan itu? Bila seseorang secara kebetulan menyadari peristiwa ini setelah beberapa waktu, maka apakah hukum shalatnya yang telah lalu? Apakah di masa mendatang ia diwajibkan untuk memeriksa (adanya) cairan yang keluar tanpa sengaja ini?

JAWAB:
Jika cairan yang keluar setelah melakukan istibra' diragukan apakah air seni atau bukan, maka ia tidak dihukumi seperti air seni, melainkan dianggap suci dan seseorang tidak diwajibkan memeriksa dan mencari dalam kasus demikian.

https://telegram.me/FikihJafari

Fikih Ja'fari

22 Oct, 00:46


SOAL:
Biasanya, orang yang akan melakukan shalat wajib melakukan istibra'* setelah kencing. Karena aurat saya terluka, maka ketika sedang melakukan istibra' dan karena ditekan, darah keluar dan bercampur dengan air yang saya gunakan untuk bersuci. Akibatnya, menjadi najislah pakaian dan badan saya. Bila saya tidak melakukan istibra', maka mungkin luka saya akan sembuh. Dapat dipastikan bahwa akibat istibra' dan pengurutan aurat, luka tersebut tidak akan sembuh. Bila keadaan demikian dibiarkan terus, maka luka tidak akan sembuh kecuali setelah tiga bulan. Kami ingin mendapatkan penjelasan YM, apakah saya mesti melakukan istibra'?

JAWAB:
Istibra' tidaklah wajib. Bahkan, bila menyebabkan mudharat, ia tidak diperbolehkan. Namun demikian, bila setelah buang air kecil, Anda tidak melakukan istibra' kemudian mengeluarkan cairan yang meragukan (yang mencurigakan), maka cairan tersebut dihukumi seperti air seni.

*Istibra' adalah perbuatan membersihkan saluran kencing demi menghilangkan kemungkinan adanya kencing yang tersisa sebelum bersuci.-penerjemah.

https://telegram.me/FikihJafari

Fikih Ja'fari

21 Oct, 00:46


SOAL:
Apakah hukum menyucikan tempat keluarnya air seni dan kotoran dengan air sedikit (qalil)?

JAWAB:
Untuk membersihkan tempat keluarnya air seni cukup dengan membasuhnya dengan air satu kali dan untuk menyucikan tempat keluarnya kotoran wajib membasuhnya sampai benda najis dan bekas-bekasnya hilang.

https://telegram.me/FikihJafari

Fikih Ja'fari

21 Oct, 00:44


SOAL:
Kabilah-kabilah pengembara, terutama pada hari-hari perjalanan, tidak memiliki air yang cukup untuk menyucikan tempat keluarnya air seni. Cukupkah mereka menyucikannya dengan kayu dan kerikil?

JAWAB:
Selain air, tidak ada benda yang dapat menyucikan tempat keluarnya air seni. Bila mereka tidak dapat menyucikannya dengan air, shalat mereka (tetap) sah.

https://telegram.me/FikihJafari

Fikih Ja'fari

21 Oct, 00:42


SOAL:
Seseorang mengisi air ke dalam sebuah bejana untuk digunakan mandi janabah. Ketika sedang mandi, air menetes dari tubuhnya ke dalam bejana tersebut. Apakah air itu tetap suci dalam situasi demikian? Apakah menyelesaikan (menyempurnakan) mandi dengan air tersebut terhalang secara syar'i (dianggap tidak sah)?

JAWAB:
Bila air yang menetes ke dalam bejana berasal dari bagian tubuh yang suci, maka ia suci dan tidak terhalang secara syar'i (tidak dilarang) untuk menyempurnakan mandi dengan air itu.

https://telegram.me/FikihJafari

Fikih Ja'fari

19 Oct, 00:47


SOAL:
Bagaimana menyucikan pakaian-pakaian yang terkena najis yang warnanya luntur dalam air ketika sedang disucikan?

JAWAB:
Bila lunturnya warna pakaian-pakaian itu tidak menyebabkan air menjadi mudhaf (tidak murni), maka pakaian tersebut menjadi suci dengan menuangkan air ke atasnya.

https://telegram.me/FikihJafari

Fikih Ja'fari

19 Oct, 00:45


SOAL:
Apakah matahari tergolong hal yang dapat menyucikan (muthahhirah)? Bila ia tergolong muthahhirah, apa persyaratannya dalam menyucikan?

JAWAB:
Bumi dan segala sesuatu yang tidak berpindah seperti bangunan, segala sesuatu yang berhubungan dengan bangunan, dan benda yang terpasang di dalamnya, seperti kayu, pintu, dan benda serupa lainnya menjadi suci bila terkena sinar matahari setelah benda najisnya (najasah) lenyap dan dengan syarat ketika terkena sinar matahari dalam keadaan basah.

https://telegram.me/FikihJafari

Fikih Ja'fari

19 Oct, 00:43


SOAL:
Apakah jalan-jalan berlantai aspal dan bahan-bahan lainnya, yang tergolong dari bumi yang dapat menyucikan, serta berjalan kaki di atasnya dapat menyucikan bagian bawah telapak kaki?

JAWAB:
Bumi yang berlantai dengan aspal tidak dapat menyucikan bagian bawah telapak kaki atau alas pelindung kaki seperti sandal.

https://telegram.me/FikihJafari

Fikih Ja'fari

18 Oct, 00:48


SOAL:
Untuk menyucikan telapak kaki atau sepatu, seseorang harus (disyaratkan) berjalan lima belas langkah.* Apakah ini berlaku setelah benda najis (najasah) hilang? Apakah telapak kaki atau sepatu menjadi suci bila benda najisnya hilang dengan berjalan lima belas langkah?

JAWAB:
Telapak kaki atau alas kaki (sepatu/sandal) yang najis karena (digunakan untuk) berjalan di atas tanah akan menjadi suci bila (digunakan untuk berjalan) di atas tanah dengan kira-kira 10 langkah di atas jalan yang kering dan suci dan bila benda najisnya sudah hilang.

*Berjalan tanpa alas kaki bila yang terkena najis adalah telapak kaki, dan berjalan dengan sepatu atau sandal bila yang terkena najis adalah sepatu atau sandal.-penerjemah.

https://telegram.me/FikihJafari

Fikih Ja'fari

18 Oct, 00:44


SOAL:
Ketika kami hendak mencuci permadani atau karpet yang terkena najis (mutanajjis) dengan air keran yang bersambung ke keran, apakah ia menjadi suci begitu air pipa sampai ke tempat yang terkena najis ataukah kami wajib memisahkan air bekas cucian (ghusalah) dari tempat yang terkena najis tersebut?

JAWAB:
Dalam menyucikan dengan air keran tidak disyaratkan memisahkan air bekas cucian (ghusalah) melainkan ia menjadi suci begitu air telah mencapai tempat yang terkena najis setelah benda najisnya hilang dan air cucian itu berpindah dari tempatnya dengan cara digosok pada saat masih bersambung dengan air keran.

https://telegram.me/FikihJafari

Fikih Ja'fari

18 Oct, 00:39


SOAL:
Ketika mencuci pakaian yang terkena najasah (mutanajjis) dengan air banyak (katsir*), wajibkah kami memerasnya ataukah cukup (untuk dianggap suci) bila tempat najasah direndam di dalam air tersebut setelah terlebih dahulu najasah-nya dihilangkan?

JAWAB:
Cukup bila pakaian itu terendam di dalam air dan kemudian air tersebut keluar darinya meskipun dengan digerakkan dalam air banyak (katsir) dan pemerasan tidaklah disyaratkan.

*Kadar air yang mencapai ukuran kurr. -penerjemah.

https://telegram.me/FikihJafari

Fikih Ja'fari

17 Oct, 00:56


SOAL:
Apakah perbedaan antara air kurr* dan air yang mengalir (al-ma' al-jari) berkaitan dengan penyucian?

JAWAB:
Tidak ada perbedaan antara keduanya dalam hal tersebut.

*Sesuai fatwa Imam Ali Khamene'i, Kurr adalah kadar air seukuran kurang lebih 384 liter.-penerjemah

https://telegram.me/FikihJafari

Fikih Ja'fari

17 Oct, 00:55


SOAL:
Kadang kala orang-orang menambahkan bahan-bahan tertentu ke dalam air yang membuatnya berubah warna seperti susu. Apakah air ini tergolong tidak murni (mudhaf)? Apa hukum berwudhu dan menyucikan sesuatu dengan air tersebut?

JAWAB:
Hukum air mudhaf tidak berlaku atasnya.

https://telegram.me/FikihJafari

Fikih Ja'fari

17 Oct, 00:52


SOAL:
Apakah untuk memberlakukan hukum-hukum air kurr wajib mengetahui dengan pasti bahwa air itu kurr atau cukup menganggapnya tetap kur, karena sebelumnya telah diketahui demikian, seperti air di toilet kereta api dan lainnya?

JAWAB:
Bila ia telah dapat memastikan bahwa keadaan air tersebut sebelumnya telah mencapai kurr, maka ia diperbolehkan menganggapnya seperti keadaan semula.

https://telegram.me/FikihJafari

Fikih Ja'fari

14 Oct, 22:28


SOAL:
Apa hukum berwudhu dan mandi dengan air yang kental secara alami, seperti air laut yang kental karena kandungan garamnya yang banyak, atau danau Urumiyeh (di Iran), misalnya, atau danau lain yang lebih kental?

JAWAB:
Hanya karena kentalnya air yang disebabkan oleh kandungan garam tidak membuatnya keluar dari kategori air murni (al-ma' al- muthlaq). Tolok ukur dalam memberlakukan konsekuensi-konsekuensi syar'i bagi air murni adalah opini masyarakat sekitar ('urf) yang menganggapnya sebagai air murni (muthlaq).

https://telegram.me/FikihJafari

Fikih Ja'fari

14 Oct, 22:27


SOAL:
Setelah mencuci kain yang terkena najasah (mutanajjis) dengan air yang mengalir (al-ma' al-jari) atau air kurr, wajibkah kami memerasnya di luar air tersebut agar menjadi suci ataukah ia bisa suci dengan diperas di dalamnya?

JAWAB:
Anda tidak disyaratkan memeras dalam menyucikan pakaian dan sebagainya dengan air yang mengalir atau air kurr, melainkan cukup melakukan perbuatan yang menyebabkan keluarnya air di dalamnya, sekalipun hanya menggerak-gerakkannya dengan keras, misalnya.

https://telegram.me/FikihJafari

Fikih Ja'fari

14 Oct, 22:24


SOAL:
Bila bagian bawah dari air sedikit (qalil)* yang mengalir dari atas ke bawah tanpa tekanan terkena najasah, apakah bagian yang atas tetap suci?

JAWAB:
Bila dapat dikatakan bahwa air tersebut mengalir dari atas ke bawah, maka bagian atas dari air tersebut adalah suci.

*Kadar air yang tidak mencapai kurr-penerjemah.

https://telegram.me/FikihJafari

Fikih Ja'fari

13 Oct, 22:22


▶️ Asal Sesuatu itu Suci

A. Maksud asal sesuatu itu suci

Secara global, dalam masalah taharah dan najasah, bahwa asal segala sesuatu itu dihukumi suci. Artinya, segala sesuatu yang tidak diyakini kenajisannya –dalam pandangan syar'i– dihukumi suci dan tidak ada kewajiban untuk meneliti atau bertanya.

B. Contoh kasus asal sesuatu itu suci

1. Seorang anak yang selalu menajisi dirinya, maka tangannya yang basah, air liur dan sisa makanannya, selama tidak diyakini kenajisannya dihukumi suci.

2. Debu-debu yang tidak diketahui apakah telah terpisah dari pakaian yang najis ataukah suci, dihukumi suci. Demikian juga bila kita mengetahui bahwa debu-debu tersebut berasal dari pakaian yang najis, tetapi kita tidak mengetahui dari bagian yang suci ataukah dari bagian yang basah karena najis.

3. Pakaian-pakaian yang diserahkan ke jasa pencucian, bila sebelumnya tidak najis, maka dihukumi suci, meskipun kita mengetahui bahwa pemilik jasa pencucian ini menggunakan bahan-bahan kimia untuk mencuci pakaian.

4. Rembesan air yang menetes di suatu tempat yang kita tidak mengetahui apakah tempat itu suci ataukah najis, dihukumi suci.

5. Air yang disemprotkan ke jalanan oleh mobil-mobil pengangkut sampah kota dan kita tidak mengetahuinya apakah air itu suci ataukah najis, dihukumi suci. Demikian juga dengan air yang berada di dalam selokan-selokan jalan dan tidak jelas kesucian atau kenajisannya.

6. Perlengkapan kecantikan, seperti lipgloss, yang tidak diketahui apakah dibuat dari bangkai atau bukan, selama kenajisan benda-benda tersebut tidak diketahui melalui jalan syar'i, maka dihukumi suci dan tidak ada masalah untuk menggunakannya.

7. Ketika kita yakin bahwa sepatu yang kita pakai itu terbuat dari kulit hewan yang tidak disembelih secara syar'i dan juga kita yakin bahwa pada saat memakainya kaki kita berkeringat, maka sepatu tersebut dihukumi telah menajiskan kaki kita, karenanya wajib disucikan ketika hendak melakukan salat. Akan tetapi, apabila kita merasa ragu apakah kaki kita itu berkeringat atau tidak, atau kita merasa ragu mengenai syar'i atau tidaknya penyembelihan hewan yang kulitnya digunakan untuk bahan membuat sepatu tersebut, maka pada kondisi seperti itu kaki kita dihukumi suci.

8. Kuas yang digunakan untuk melukis, membuat peta dan semacamnya, dan tidak diketahui terbuat dari rambut babi ataukah bukan, dihukumi suci dan tidak ada masalah untuk menggunakannya, bahkan pada persoalan-persoalan yang mensyaratkan taharah.

9. Seseorang yang tidak kita ketahui statusnya sebagai seorang muslim ataukah nonmuslim, dihukumi suci dan tidak ada kewajiban untuk menanyakan tentang agama yang dianutnya.

10. Dinding-dinding, pintu dan hotel-hotel milik orang-orang nonmuslim yang bukan Ahli Kitab (seperti Budha dan Hindu) dan segala sesuatu yang berada di dalamnya, bila kita tidak mengetahuinya sebagai sesuatu yang suci ataukah najis, maka dihukumi suci (tentunya kalaupun kita yakin dengan kenajisannya, tidak ada pula kewajiban bagi kita untuk menyiram keseluruhannya. Kewajiban kita hanyalah menyucikan benda-benda najis yang akan kita gunakan untuk makan, minum, dan salat).

11. Benda-benda yang digunakan secara bersama oleh orang-orang nonmuslim dan muslim seperti jok mobil dan kursi-kursi yang ada di dalam kereta api dan sejenisnya, bila kita tidak mengetahui suci ataukah najis, maka dihukumi suci.

12. Alkohol yang tidak diketahui berasal dari jenis cairan yang memabukkan ataukah bukan, dihukumi suci.

▶️ Hukum-hukum Wadah

Makan dan minum sesuatu dari dalam wadah yang terbuat dari emas dan perak, hukumnya haram. Akan tetapi menyimpan atau menggunakannya untuk selain makan dan minum, tidak dihukumi haram.

Catatan:
Wadah-wadah yang disepuh dengan air emas atau perak, atau terbuat dari logam yang bercampur dengan kadar emas dan perak dan tidak dinilai sebagai wadah emas atau perak, tidak memiliki hukum wadah-wadah emas dan perak.

https://telegram.me/FikihJafari

Fikih Ja'fari

11 Oct, 00:47


▶️ Cara-cara Membuktikan Kesucian Sesuatu

Kesucian sesuatu dapat dibuktikan dengan tiga cara:

1. Orang itu sendiri yakin bahwa sesuatu yang tadinya najis telah suci.

2. Dzulyad yaitu seseorang yang sesuatu itu berada dalam kewenangannya (seperti tuan rumah, penjual, dan pembantu) mengatakan: telah suci.

3. Dua orang adil mengabarkan tentang kesucian sesuatu.

Catatan:
Apabila seorang anak yang menjelang balig menginformasikan tentang kesucian sesuatu yang berada dalam kewenangannya, maka ucapannya itu dapat diterima. Dengan kata lain bahwa apa yang diucapkannya itu–dalam masalah ini–dapat dipercaya.

https://telegram.me/FikihJafari